Senin, 02 September 2013

Melawan Lupa, Yosep Tugio Taher, 1,9.2013

1
Melawan Lupa: “Peristiwa 1965”
Menjelang atau memasuki bulan-bulan September-Oktober setiap tahun, bangsa Indonesia,
terutama para jompo, yang telah dimakan usia dan penyakitan, ingatannya kembali kepada
masa-masa kebiadaban dan kedajalan melanda dan menghantui bumi Nusantara pada
tahun-tahun 1965/66, hampir setengah abad yang lalu. Segala apa yang terjadi pada tahuntahun
tersebut, kemudian menjadi sangat terkenal dengan sebutan “Peristiwa 1965”, suatu
peristiwa Tragedi Nasional yang tidak mungkin dilupakan begitu saja oleh manusia-manusia
yang punya nalar.
Peristiwa 1965 membawa dampak yang sangat besar buat negara dan bangsa
Indonesia, peristiwa yang menjadikan trauma bangsa, peristiwa yang merobah jalannya
sejarah dan revolusi Indonesia, peristiwa yang menghancur luluhkan susunan dan tata
kehidupan bangsa sampai sekarang dimana korupsi dan kkn merajalela, ketidak adilan,
mafia hukum terror yang berbau SARA dan kebobrokan moral masyarakat serta kemiskinan
yang bertambah, sedang manusia yang satu berkuasa dan mencelakakan manusia yang
lain, yang sampai hari ini tidak berkesudahan. Semua itu bermula dari Peristiwa 1965,
peristiwa berdarah yang mengorbankan jutaan manusia Indonesia tak berdosa.
Pembunuhan massal diseluruh tanah air yang dilakukan oleh militer dan kaum preman
milisia ciptaan Angkatan Darat, membuat tahun 1965 tidak bisa dilupakan oleh bangsa yang
mempunyai nalar dan budaya. Peristiwa besar ini mempunyai pengaruh yang besar dan
dalam, bukan hanya pada waktu itu tetapi juga sampai sekarang, bukan hanya secara
nasional tetapi juga internasional, karena Ia mengubah jalan, arah revolusi, sejarah
Indonesia, dari arah mencapai Indonesia merdeka yang demokratis menjadi Indonesia yang
militer fasistis. Tidak salah kalau Prof. John Roosa, penulis buku “Dalih Pembunuhan
Massal-G30S dan Kudeta Suharto” menyatakan bahwa “Identitas bangsa Indonesia berubah
total sesudah 1965”
Namun, banyak diantara bangsa Indonesia, banyak diantara kaum muda, terutama generasi
yang lahir pada atau setelah 1965, sebagian besar, tidak mengetahui, apa dan bagaimana
Peristiwa 1965, yang terjadi hampir setengah abad yang lalu itu, sehingga pantas sekali
kalau Prof John Roosa terpaksa harus mengatakan: “Saya tidak habis pikir, kok bisa ada
peristiwa sebesar dan sehebat ini tapi pengetahuan kita tentangnya sedemikian kecil.”
Yang mereka tahu adalah apa yang pernah didengar dan dijejalkan oleh Orde Baru/Suharto,
melalui segala sarananya, mass media, film, tv dan pendidikan disekolah-sekolah bahwa
Peristiwa 1965 adalah “Pemberontakan G30S/PKI”, “Pembunuhan para Jenderal AD oleh
PKI”, “Kudeta PKI terhadap Pemerintah untuk mengganti Pancasila dengan ajaran Komunis”
dsb. Akan tetapi,tentang pembunuhan masal terhadap jutaan manusia-manusia yang
dituduh Komunis dan pengikut Bung Karno, tidak mereka ketahui bahkan tidak pernah
dibicarakan atau disebut. Bahkan Suharto yang mengkudeta dan menahan serta membunuh
Bung Karno secara perlahan, tidak pernah disinggung ataupun dibicarakan. Ini disebabkan
karena selama 32 tahun Suharto berkuasa, dia berhasil merobah segala-galanya, termasuk
mencuci otak orang-orang pandai melalui bedil dan bayonetnya hingga membebek mengikut
Suharto, “Jenderal terkuat yang saat berkuasa mampu menyihir banyak orang pintar menjadi
bebek-bebek, meneluh wakil-wakil rakyat menjadi gagu, dan membuat pers tiarap sekian
lama”, seperti yang dikatakan oleh H A. Mustofa Bisri, pengasuh pesantren Rodlatut
Thalibin, Rembang pada saat meninggalnya Suharto.
Bahkan, sampai sekarangpun, masih cukup banyak mereka yang menjadi tokoh, yang
menjadi pemimpin pemerintahan, yang menjadi pemimpin partai bahkan pemimpin agama,
tetap bernyanyi berdendang menyanyikan lagu Suharto dan ordebarunya, demi
mempertahankan kursi dan kedudukan empuknya, tanpa mau menggali dan melihat
kebenaran sejarah, bahkan mengabaikan kajian-kajian dan riset yang dilakukan oleh pakar2
pakar sejarah, baik dalam maupun luar negeri. Mereka menutup mata dan telinga dan tidak
mau mempelajari tentang apa sebenarnya yang disebut dan diartikan sebagai Kudeta dan
apa yang disebut dan diartikan sebagai Pemberontakan dan mencoba memeti eskan perihal
Peristiwa 1965.
Kalau mereka sudah terpojok tidak bisa memberikan jawaban ketika membicarakan
Peristiwa 1965, maka mereka, para pengikut Suharto dan penerus Orba itu- timbul dan
menonjol kemunafikannya. Seorang tokoh KAMI yang pernah menjadi Wapres, pernah
menjadi komandan milisia dan preman tahun 1965 pernah bersuara dan mengatakan bahwa
peristiwa 1965 itu kan sudah lama, perlu apa dibicarakan. Nampak bahwa ini berarti, dia
mencoba menutupi dan melupakan begitu saja peristiwa yang paling dahsyat dan biadab
yang pernah terjadi dalam kehidupan manusia yang dikatakan “beradab dan
berkebudayaan” diabad duapuluh ini. Dia bersuara tanpa memikirkan derita para korban,
sanak-saudara, yang ayah, keluarga dan teman-temannya yang dibunuh didepan mata
mereka, ditangkap dan dipenjarakan bertahun-tahun, harta benda dirampok dan dijarah,
wanita-wanita yang diperkosa beramai-ramai lalu dibunuh, tanpa salah dan diadili. Tokoh ini
lupa bahwa para korban dan sanak saudara mereka ini adalah manusia, yang juga punya
rasa dendam karena keluarga mereka yang dihabisi begitu saja oleh penguasa zalim.
Segala perkataan dan sepak terjangnya hanya membuktikan bahwa dia adalah salah satu
dari sekian banyak pendukung dan penerus Jenderal Otoriter Suharto.
Ada juga mantan Jenderal, mantan petinggi militer yang berambisi ingin jadi Presiden,
namun begitu munafik dan menyembunyikan sejarah dan pernah mengatakan bahwa tidak
ada pembunuhan massal di Indonesia, “yang ada itu di Bosnia, Rwanda dan Kamboja”
katanya, pada hal Komandan RPKAD Sarwo Edhi Wibowo pernah mengaku sendiri telah
membunuh 3 juta komunis selama malang melintang di Jateng, Jatim dan Bali tahun 65/66.
Bahkan, lebih tidak tahu malu lagi, setelah Komnas HAM menyatakan bahwa memang telah
terjadi Kejahatan Kemanusian, Pembunuhan Massal pada tahun-tahun 65/66 di Indonesia, si
mantan jenderal itu, membuka suara supaya bangsa Indonesia me“Lupakan konflik politik
masa lalu demi masa depan”. Betapa munafiknya! Pertama mengatakan tidak ada genosida,
pembunuhan massal di Indonesia. Sekarang mengatakan “lupakan konflik politik masa lalu
itu” ……!
Dan tak ketinggalan, untuk menutup jejak perilaku “bapak mertua” yaitu Letjen Sarwo Edhi
Wibowo Komandan RPKAD yang telah membantai 3 juta jiwa bangsa Indonsia, Penguasa
negara, Presiden RI SBY yang juga tanpa malu berkata bahwa “membicarakan masalah
Peristiwa 1965 sebagai tidak produktif” (Rakyat Merdeka 1 Oktober 2006). Pernyataan yang
tak tahu malu ini, mencoba menghilangkan dan menutupi sejarah dan mempunyai efek
buruk hingga rakyat takut untuk berbicara masalah Peristiwa 1965 yang menyengsarakan
puluhan juta rakyat bangsa Indonesia. Pernyataan ini, langsung atau tidak langsung,
memaksa rakyat untuk bungkam, karena pengalaman seperti jaman Suharto berkuasa, di
mana “dinding bertelinga” karena banyaknya informan yang berkeliaran yang memudahkan
untuk seseorang ditangkap dan dipenjarakan tanpa proses hukum, dengan tuduhan “terlibat
langsung maupun tidak langsung dengan g30s/pki”. Dan rakyat yang kala itu dipaksa
menjahit mulut selama Suharto berkuasa, kini dilanjutkan oleh SBY melalui pernyataannya.
Jelas, tampak sekali tidak ada perbedaan antara Suharto dan Yudoyono. Tiga juta lebih
rakyat dibantai tanpa salah, meninggalkan puluhan jutaan anak, istri dan keluarga dan sanak
family, dibungkam, tidak boleh berkata oleh SBY dengan ucapan“membicarakan masalah
Peristiwa 1965 sebagai tidak produktif”. Ribuan anak-anak bangsa, putra dan putri Indonesia
yang dikirim oleh Pemerintah RI untuk belajar dan bekerja di luar negeri, oleh Pemerintah
fasis Suharto, paspor mereka dirampas dan kewarganegaraannya dicabut, sehingga mereka
menggapai-gapai mencari pegangan (asylum) di negeri-negeri dimana mereka berada.
Semua itu karena mereka dianggap sebagai pengikut Bung Karno dan tidak dikehendaki
oleh Suharto dan rezimnya. Sebagai bangsa Indonesia, tidakkah mereka semua menyimpan
rasa tidak puas dan dendam dalam hati sampai hari ini? Apakah mereka dianggap hanya
3
sebagai binatang-binatang yang tidak perlu diperhatikan dan bukannya sebagai manusia
yang mempunyai Hak Asasi Manusia yang diakui oleh Undang-Undang Negara Republik
Indonesia? Bahkan, pada pidato kenegaraan Agustus 2013 yang baru saja lalu, persoalan
mereka ini tidak lagi disebut-sebut, hilang lenyap dikorup oleh oknum-oknum yang masih
meneruskan kekuasaan orba Suharto.
Sesungguhnya, kalau kita mau meneliti, sejarah semenjak 1965 benar-benar sudah diputar
balik sedemikian rupa. Di bawah ancaman bedil dan bayonetnya Tentara Suharto, segala
rekayasa yang mendiskreditkan komunis, disebar luas dan dijejalkan kepada bangsa
Indonesia. Tiga puluh dua tahun kekuasaan tirani Suharto, melalui film, radio, surat kabar
dan mass media, sekolah dan mesjid, bangsa Indonesia dijejali cerita dan rekayasa,
pelintiran dan penipuan sejarah sehingga generasi muda banyak yang tidak tahu apa
sebenarnya Peristiwa 1965 itu dan binatang apa yang disebut G30S itu?
Film “Pemberontakan G30S/PKI” yang sengaja diciptakan oleh antek Orde Baru dan
disutradarai oleh Arifin C Nur, selama 32 tahun dipaksakan menjadi santapan dan tontonan
bangsa Indonesia menjadi santapan moral generasi bangsa sehingga mereka tidak bisa
melihat kebenaran selain harus menerima cekokan orba. Setiap hari, setiap malam, setiap
saat selama 32 tahun bangsa ini dicuci otak dan mentalnya, dipaksa untuk harus menerima
bahwa komunis itu jelek, bahwa orang komunis itu tidak beragama dan wajib hukumnya
untyuk dibunuh. bahwa PKI itu jelek, Tanpa bisa mendapat waktu dan kesempatan untuk
berpikir dan melihat, seperti katak dibawah tempurung, generasi muda bangsa dicecoki
dengan semboyan-semboyan bahwa PKI itu jelek, pemberontak, biadab, anti Tuhan dsb.
Mereka takut untuk berpikir dan bersuara, apakah memang benar begitu? Tokoh politik dan
agama berteriak-teriak di radio dan televisi serta dewan-dewan pemerintahan mengatakan
bahwa sisa-sisa komunis mencoba memutar balik sejarah 1965. Mari, para tokoh dan
pemimpin, dapatkah anda membuktikan, apakah benar PKI berontak? Apakah benar PKI
Kudeta? Apa dan bagaimana yang disebut pemberontakan? Apa itu yang disebut Kudeta?
Berani dan bisakah tokoh-tokoh politik dan agama menjelaskannya secara terperinci dan
ilmiah, selain dugaan dan tuduhan murahan seenaknya seperti yang dilakukan Suharto?
Siapakah sebenarnya yang kudeta dan berontak? PKI ataukah Suharto? PKI yang dituduh
dan diduga bersalah tidak bisa membela diri, membukakan kebenaran karena Suharto
dengan licik dan buru-buru membungkam dan melarang kehadiran PKI dan para pemimpin
dan jutaan anggotanya dilenyapkan, dibunuh dan dihabisi tanpa proses hukum! Bahkan,
Suharto yang kemudian terkenal sebagai “the smilling general”, karena dengan penuh
senyum sinis, merasa bangga bahwa perintahnya untuk membunuh DN Aidit, Ketua Partai
Komunis Indonesia, Anggota MPRS dan Menteri Negara RI, yang juga merupakan temannya
semenjak zaman revolusi (sama-sama tergabung dalam Grup Pathuk di Yogyakarta tahun
1946), dilaksanakan dengan patuh oleh herdernya yaitu, Kolonel Jasir Hadibroto. Aidit
dibunuh tanpa proses dan pengadilan. Kenapa Suharto buru-buru membunuh DN Aidit tanpa
proses pengadilan? Karena Suharto takut, kalau Aidit dibawa pengadilan atau dibiarkan
hidup, dia tentu akan bicara, maka akan terbukalah rahasia siapa sesungguhnya
Suharto….dan terutama sekali apa pertalian Suharto dengan PKI dan Aidit.
Dengan kejadian yang demikian, tidakkah para generasi muda bangsa kita perlu menoleh
dan melihat sejarah, melihat konflik politik masa lalu, yang dikenal dengan “Peristiwa 1965”,
yang telah menelan jutaan korban, manusia yang tanpa salah dibunuh, dibantai dan tidak
diketahui dimana kuburnya, serta menyengsarakan hampir seperlima jumlah penduduk
Indonesia kala itu? Kita tidak perlu dan tidak mungkin kembali ke masa lalu, namun apakah
sejarah masa lalu akan kita biarkan, kita lupakan begitu saja? Hanya ‘kambing-kambing
congek” (istilah dari Amin Rais) yang barangkali akan melupakan masa lalu begitu saja!
Sedangkan keledai yang dianggap binatang paling dungu, akan senantiasa ingat akan
lobang di mana dia jatuh. Dan dia pasti tidak akan jatuh terperosok untuk kedua kalinya
dalam lobang yang sama. Ini karena binatang yang dianggap bebal itu tidak melupakan
masa lalu. Nah, bagaimana dengan manusia yang berkebudayaan dan bernalar? Apakah
4
akan melupakan masa lalu begitu saja? Hanya mereka-mereka yang terlibat, baik langsung
maupun tidak langsung, dan menjadi dajal-dajal dalam pembunuhan masal, melakukan
kejahatan kemanusiaan terbesar dalam abad ke 20 ini dan merupakan pengikut dan penerus
Suharto yang mencoba melupakan “Peristiwa 1965”.
Jadi, untuk sekedar memberi gambaran kepada para generasi muda Indonesia, terutama
yang terlahir setelah 1965, agar jangan berjalan meraba-raba dalam kegelapan, agar jangan
menjadi kambing-kambing congek yang menjadi korban tokoh-tokoh politik dan agama, mari
kita coba menelusuri kembali, mempelajari apa dan bagaimana sebenarnya yang terjadi
pada 1965 itu, hingga disebut “Peristiwa 1965” yang mengerikan, yang merobah sejarah dan
segala-galanya di bumi Indonesia ini.
Peristiwa 1965 ini harus kita ungkap dan bicarakan agar tidak hilang seperti batu yang
dilempar ke laut, seperti batangkayu yang di rendam di lumpur yang dalam dan seperti
hutang yang dilupakan begitu saja. Peristiwa 1965, kalau diumpamakan batang yang
terendam, kita harus bangkitkan batang yang terendam itu, supaya kita bisa tahu jenis kayu
atau batang apa yang terendam itu! Kalau diibaratkan hutang, kita harus tagih piutang itu.
Bukankah ada pepatah orang tua-tua yang mengatakan “membangkit batang terendam,
menjemput piutang lama”. Nah, dendam sejarah harus kita nyatakan supaya orang tahu
akan kebenaran, agar para arsitek yang terlibat pembunuhan massal tidak bisa lagi
bersembunyi di balik lalang sehelai, agar apa yang pernah terjadi tidak seenaknya diputar
balik dan direkayasa, dan yang penting dan pokok agar peristiwa yang mengerikan itu tidak
terulang lagi……!!!. Kendatipun, satu demi satu para jagal telah mengakui dan membukakan
peran kedajalan mereka dalam pembunuhan massal, seperti film dokumen Act of Killing
(Sumatra Utara) dan Laporan Tempo (Jawa), namun para korban yang masih hidup, yang
tinggal menunggu mati dimakan usia dan penyakit, harus lebih banyak bersuara
membukakan kedajalan manusia Suharto dan antek-anteknya agar generasi muda bangsa
bisa melihat kebenaran dan tidak hidup dengan warisan sejarah tipuan dan rekayasa belaka,
menganggap seolah-olah Suharto adalah manusia suci dan titisan dewa hingga patut
dihargai dan disanjung sanjung ….! Para korban dan generasi bangsa yang melek harus
berani untuk tidak henti-hentinya membukakan kebenaran sejarah dan kelicikan Suharto.
G30S - Gerakan 30 September
Menurut informasi dan berbagai tulisan yang masih bisa dikumpulkan, pada dinihari, Jumat
1 Oktober 1965, sekelompok perwira muda Angkatan Darat, melalui suatu aksi yang mereka
namakan “Gerakan 30 September”, dibawah pimpinan Letkol. Untung Samsuri, Komandan
Yon I Cakrabirawa, Pasukan Pengawal Presiden; Kolonel A. Latief, Komandan Brigade
Infantri 1 Kodam V Jaya dan Brigjen Supardjo, melakukan penculikan dan penangkapan
terhadap para perwira tinggi Angkatan Darat yang mereka duga tergabung dalam organisasi
“dewan jenderal” yang hendak melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno.
Penculikan yang katanya bertujuan untuk menyelamatkan Bung Karno dari kudeta Dewan
Jenderal, menangkap dan membawa untuk menghadapkan para jenderal Angkatan Darat itu
kepada Presiden Sukarno, ternyata berakhir dengan pembunuhan yang mengenaskan,
yang jenazahnya dibuang di sumur tua yang disebut Lubang Buaya, di daerah Kebun Karet
Pondok Gede Jakarta.
Enam Jenderal dan seorang Perwira menengah menjadi korban di malam dan pagi naas itu.
Mereka adalah: Jenderal Ahmad Yani, Menteri/Panglima Angkatan Darat; Mayjen. Suprapto,
Asisten II Men/Pangad; Mayjen. Haryono M. T., Asisten III Men/Pangad; Mayjen. S. Parman,
Asisten I Men/Pangad; Brigjen. D.I. Panjaitan, Asisten IV Men/Pangad; Brigjen. Sutoyo
Siswomiharjo, Oditur Jenderal Angkatan Darat. Jenderal Abdul Haris Nasution, Kepala Staf
Angkatan Bersenjata RI, berhasil lolos, namun ajudannya, Letnan P. Tendean, dan anak
Jenderal A.H.Nasution, Ade Irma Suryani, menjadi korban.
5
Sebelum orang tahu apa yang terjadi, Yoga Sugama yang tahun 50-an pernah dikirim oleh
KSAD Zulkifli Lubis mengikuti pendidikan Intel pada MI-6 Inggris, pada pagi hari 1 Oktober
65 itu, mengaku lebih dahulu sampai di Kostrad dan sebagai Asisten I Kostrad/Intelijen,
mendengar kejadian pagi subuh 1 Oktober itu, serta merta mengatakan bahwa hal itu
pasti perbuatan PKI. Dan ketika RRI Jakarta pada jam 07.00 pagi, menyiarkan
pengumuman tentang Gerakan 30 September di bawah Letkol Untung, tentang
penangkapan para jenderal dan penyelamatan Bung Karno, maka Yoga Sugama-pun
memerintahkan, “Siapkan semua penjagaan, senjata, bongkar gudang. Ini PKI berontak.”
Yoga Sugama mengucapkan “kesimpulannya” itu, karena Untung pernah menjadi anak
buahnya dalam RTP II Bukttinggi waktu bertugas menumpas PRRI di Sumatra Barat dan
dianggapnya sebagai kiri. Begitu juga Ali Murtopo yang pernah training di CIA, dengan
gembira menyokong ucapan Yoga Sugama itu.
Beberapa jam setelah para jenderal diculik dan dibunuh, kelompok dalam Kostrad yaitu
Soeharto, Yoga Sugama dan Ali Mutopo, tanpa melakukan penyelidikan terlebih dahulu,
langsung mengumumkan dengan mengatakan bahwa"G30S didalangi PKI".
Lantas Soeharto sebagai Pangkostrad dengan lantang memerintahkan: "Basmi dulu
partai itu (PKI), bukti-bukti cari kemudian". Dan tanpa selidik dan tanpa pemeriksaan
terlebih dahulu, kontan saja di belakang kata G30S diberi cap PKI, menjadi G30S/PKI.
Bahkan Kolonel Haji Sugandhi, Pemimpin Redaksi Harian Angkatan Bersenjata
menciptakan dan menyiarkan suatu sebutan baru, tanpa mengikuti kaedah dan peraturan
Bahasa Indonesia, merobah “Gerakan 30 September” menjadi “Gerakan September Tiga
Puluh” yang disingkatnya menjadi Gestapu, guna memberikan gambaran kekejaman yang
menculik dan membunuh para Jenderal, seperti Gestapo Nazi Jerman dalam Perang
Dunia Kedua. Berkat Angkatan Darat, jadilah dan disebutlah G30S menjadi Gestapu/PKI.
Lebih jelek lagi, sejak 1 Oktober itu, Pangdam V Jaya memberlakukan jam malam di
Jakarta dan semua harian, suratkabar dan media di Jakarta dilarang terbit selama
semingu. Hanya tiga surat kabar militer yaitu Harian Angkatan Bersenjata. Berita Yudha
dan Api Pancasila yang menjadi corong militer, Kostrad dan Angkatan Darat yang
diperbolehkan terbit guna mempopulerkan rekayasa dan plintiran tentang Pemberontakan
G30S/PKI, Kudeta PKI, Gestapu PKI dan segala berita jelek yang ditimpakan kepada PKI.
Harian lainnya, setelah seminggu, jika ingin terbit harus mengikuti segala aturan
pemberitaan dari Kostrad/AD. Demgam demikian, maka leluasalah Kostrad/AD melalui
mass medianya menyiarkan segala berita rekayasa dan pelintiran.
Jenderal Suharto yang ketika itu adalah Panglima Komando Strategi Angkatan Darat
(Pangkostrad), dalam kesempatan itu, bertanya kepada Yoga Sugama, “Apa kira-kira
Presiden Soekarno terlibat dalam gerakan ini?” Lagi, tanpa selidik dan tanpa pemeriksaan,
Yoga Sugama yang adalah Ass. I Kostrad/Perwira Intelijen, langsung menjawab : “Ya”.
Jawaban spontan yang tanpa penyelidikan, tanpa bukti dan fakta ini, yang seolah-olah sudah
dipersiapkan, menuduh Presiden/Pangti ABRI Bung Karno sebagai terlibat dengan gerakan
para militer muda itu. Jawaban dan sekali gus tuduhan atas Bung Karno ini nampak seolaholah
seperti sudah diatur, sudah direka dan disutradarai oleh “tiga sekawan” kelompok
Suharto, yaitu Yoga dan Ali Murtopo dan Suharto. Diatur agar Yoga Sugama mengatakan
begitu, karena semenjak di KODAM Diponegoro tahun 50-an, mereka bertiga ini tidak
pernah berpisah. “Pernyataan” ini sangat membesarkan hati Soeharto, karena ini sesuai
dengan rencana, ambisi dan keinginan serta iktikadnya dari semula, karena dendamnya
kepada Bung Karno yang telah menanda tangani surat pemecatannya sebagai Pangdam
Diponegoro karena keterlibatannya dengan penyelundupan. Dan sesuai dengan apa yang
pernah diucapkannya kepada Kolonel A.Latief dua hari sebelumnya (28 September 1965),
sebagaimana dilaporkan oleh Kol. A. Latief, bahwa ”Jenderal Soeharto MENGHENDAKI
Presiden SOEKARNO DIGANTI”.
6
Presiden Soekarno yang berada di Halim pada pagi hari itu dan mendengar gugurnya para
perwira tinggi AD, tidak mau mendukung G30S yang katanya untuk menyelamatkan
Presiden dari kudeta Dewan Jenderal, memerintahkan Brigjen Supardjo menghentikan
gerakannya, dan Supardjo sebagai militer mematuhi Perintah Presiden/Pangti ABRI ini.
Selanjutnya, Presiden Soekarno, selaku Pangti ABRI, setelah mendengar meninggalnya
Jenderal Ahmad Yani, mengeluarkan Perintah Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin
Besar Revolusi Indonesia yang menyatakan: “Pimpinan Angkatan Darat RI sementara
berada langsung dalam tangan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI. Bahwa untuk
melaksanakan tugas sehari-hari dalam Angkatan Darat ditugaskan untuk sementara Mayor
Jenderal TNI Pranoto Reksosamudro Ass III/Pangad….” Perintah Presiden/Panglima
Tertinggi ABRI itu dikeluarkan pada 1 Oktober 1965, dan memerintahkan ajudan beliau Kol.
KKO Bambang Widjanarko memanggil Pranoto Reksosamudro dan Umar Wirahadikusuma
Pangdam V Jaya untuk menghadap.
Akan tetapi, pada jam 9.00 pagi hari itu juga, dalam rapat yang berlangsung di Markas
Kostrad, di bawah pimpinan Letjen Suharto selaku Panglima Kostrad, setelah mengetahui
bahwa Letjen A. Yani Menpangad telah terbunuh, Suharto dengan mengabaikan perintah
dan keputusan Presiden/Pangti ABRI, “mengangkat dan menetapkan dirinya” sebagai
Panglima Angkatan Darat.
Ketika Ajudan Presiden Kol. KKO Bambang Wijarnako datang ke Makostrad menyampaikan
Perintah Presiden/Panglima Tertinggi ABRI itu dikeluarkan pada 1 Oktober 1965, meminta
Pranoto Reksosamudara dan Umar Wirahadikusuma Pangdam V Jaya untuk menghadap
Presiden, disambut oleh Pangkostrad Jenderal Suharto dengan angkuh dan galak, sambil
mengatakan kepada kurir Presiden Soekarno dalam bahasa Belanda: “Jendral Umar blijft
hier!” (Y.Pohan: “Siapa yang melakukan kudeta terhadap Bung Karno” -
http://www.munindo.brd.de/archiv/pohan.htm)
Dengan perilaku Suharto dan kejadian pada pagi hari 1 Oktober di Kostrad itu, maka
mulailah tercatat gerakan pembangkangan dan pengengkaran perintah Pangti
ABRI/Presiden Sukarno oleh Letjen Suharto. Mulailah Suharto mengabaikan Sapta Marga
dan Sumpah Prajurit dan melakukan pembangkangan terhadap atasannya, Presiden/Pangti
ABRI Bung Karno.
Lebih jauh lagi, bahkan lewat kurir pribadi Ajudan Presiden Kol. Bambang Wijarnako
tersebut, Suharto memberi “perintah dan petunjuk” kepada Presiden/Pangti ABRI Sukarno,
agar segala persoalan yang menyangkut militer harus melalui dirinya, Pangkostrad Letjen
Suharto. Inilah langkah awal kudeta Suharto terhadap Bung Karno.
Penolakan dan dikesampingkannya hak Presiden/Pangti ABRI tersebut, diakui Soeharto
dalam 4 “petunjuk” kepada Presiden Soekarno, dengan kata lain Suharto mendikte Presiden
Soekarno agar mengikuti perintahnya.
Dengan 4 petunjuk Mayjen. Soeharto kepada presiden melalui Kolonel Bambang Widjanarko
itu, memperlihatkan bahwa Soeharto, (yang dengan menggunakan G30S Untung, Latief,
Supardjo melenyapkan rival-rivalnya dan menggunakan Gestok Soeharto, Yoga Sugama,
dan Ali Murtopo), mulai 1 Oktober 1965, secara de facto menjadi penguasa di Indonesia,
sebagai langkah awal untuk secara de jure menguasai Indonesia. Beginilah Soeharto
melakukan dan memulai kudetanya, namun PKI yang dituduh melakukan kudeta dan
pemberontakan!”
Kalau kita mau melihat kepada Sumpah Prajurit dan Sapta Marga, jelas tindakan Suharto ini
adalah suatu pelanggaran besar yaitu pembangkangan kepada atasan. Mengapa Panglima
Tertinggi ABRI Presiden Sukarno hanya berdiam diri. Mengapa Pangti ABRI tidak segera
memecat Jenderal Suharto pada waktu itu. Ada apa dan mengapa…. Ya Mengapa……..???
7
Dan sejalan dengan itu, Suharto dengan sigap, seperti kucing yang menunggu dan
mengintai tikus beraksi yang sedang beraksi, segera menubruk, menerkam, “melumpuhkan”
sebagian kekuatan Yon 454/Diponegoro dan Yon 530/Brawijaya yang tergabung dalam
G30S di Lubang Buaya Pondok Gede, dengan menggunakan pasukan RPKAD Yon
328/Kujang Siliwangi, yang semuanya adalah pasukan yang dipanggil dari Jateng, Jatim dan
Jabar dan berada di bawah pimpinan Pangkostrad Jenderal Suharto sendiri. Sungguh
permainan yang cukup lihai…..!
RRI yang pagi hari digunakan oleh G30S untuk menyiarkan pengumumannya, sore harinya
ditinggalkan begitu saja oleh pasukan G30S yang datang ke Markas Kostrad untuk
mendapatkan makanan. Lalu RRI digunakan untuk menyiarkan pengumuman Suharto. Oleh
Pangdam V Jaya Letjen Umar Wirahadikusuma, di Jakarta diumumkan dan diberlakukan
“jam malam” dan semua surat kabar media dilarang terbit, kecuali suratkabar militer yaitu
Angkatan Bersenjata, Berita Yudha dan Api Pancasila. Waktu jam malam dan pelarangan
terbit media massa itu, digunakan oleh pihak militer melalui RRI dan korannya untuk
mengkampanyekan keterlibatan PKI dalam G30S. Semua berita fitnah dan rekayasa yang
telah dipersiapkan pihak militer disiarkan oleh Koran Angkatan Bersenjata, Berita Yudha dan
Api Pancasila. Ternyata, usaha pihak militer yang dikepalai oleh Pangkostrad Letjen Suharto
ini berhasil menanamkan “kepercayaan”, simpati dan dukungan kuat masyarakat terhadap
gerakan penumpasan yang dipimpin Suharto. G30S yang cuma “berkuasa” beberapa jam di
Radio, dapat “dilumpuhkan” oleh pasukan Kostrad/Suharto dengan mudah. Para prajurit
Kostrad yang digunakan sebagai kekuatan G30S, lari ke markas induk yaitu Kostrad untuk
minta makan dan beberapa orang melarikan diri dan “diselesaikan” oleh pasukan Siliwangi.
“SEJAK 4 Oktober 1965, ketika dilakukan pengentasan jenazah para jenderal dari sumur tua
Lubang Buaya, maka disiapkanlah skenario yang telah digodok dalam badan intelijen militer
untuk melakukan propaganda hitam terhadap PKI, yang semua itu, sejalan dan seirama
dengan suara dan sepak terjang perwakilan Imperialis Amerika Serikat di Jakarta.
Marshall Green, Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta pada tanggal 5 Oktober 1965,
mengirim telegram Nomor 868 yang ditujukan kepada Departemen Luar Negeri Amerika
Serikat, menyatakan: “Inilah saat yang tepat untuk mengenyahkan komunisme dari
Indonesia. Namun bantuan harus secara diam-diam”, “Army now has opportunity to move
against PKI if it act quickly……Momentum is now at peak with discovery of bodies of
murdered army leaders. In short, it’s now or never…”
Selanjutnya, Green memberikan beberapa panduan tentang sikap AS/CIA: *Hindari
keterlibatan yang terang-terangan karena seiring berkembangnya perebutan kekuasaan.
*Secara sembunyi, sampaikan dengan jelas kepada tokoh-tokoh kunci di ABRI seperti
Nasution dan Soeharto tentang keinginan kita membantu apa yang kita bisa, sementara di
saat bersamaan sampaikan kepada mereka asumsi kita bahwa kita sebaiknya menjaga agar
setiap bentuk keterlibatan atau campur tangan kita tidak terlihat. Pertahankan dan jika
mungkin perluas kontak kita dengan militer. *Sebarkan berita mengenai kesalahan PKI,
pengkhianatan dan kebrutalannya (prioritas ini mungkin paling membutuhkan bantuan kita
segera, yang dapat kita berikan kepada ABRI jika kita menemukan jalan untuk
melakukannya tanpa diketahui bahwa hal itu merupakan usaha AS) … Spread the story of
PKI’s guilt, treachery dan brutality (this priority effort is perhaps most—needed immediate
assistance we can give army if we can find way to do it without identifying it as solely or
largely US effort).” Rita Uli Hutapea, Misteri CIA di Seputar G30S, detik.com, 08/8/2001
Ternyata, “panduan” Duta Besar AS/CIA, Marshall Green itu, terutama perihal
menyebarluaskan “kesalahan PKI, pengkhianatan dan kebrutalannya”, serta
penghancurannya, menjadi garis utama para perwira Angkatan Darat, yang kemudian
menjadi panutan dan policy Angkatan Darat dan pemerintahan militer. Hal ini terbukti,
sebagaimana yang dikatakan Duta Besar Green dalam telegramnya “prioritas ini
membutuhkan bantuan kita segera … tanpa diketahui bahwa hal itu merupakan usaha AS …
8
secara sembunyi sampaikan dengan jelas kepada tokoh-tokoh kunci di ABRI seperti
Nasution dan Soeharto tentang keinginan kita … seiring dengan berkembangnya perebutan
kekuasa-an….” (Sebagai pemain di belakang layar, tentu saja Duta Besar Green sudah jauh
lebih tahu tentang “berkembangnya perebutan kekuasaan” oleh Soeharto dan Nasution-pen)
Pada tanggal 5 Oktober itu juga, Phoenix Park Singapore (Kedutaan Inggris) mengirim
telegram ke Departemen Luar Negeri di London, yang berbunyi: “….we should have no
hesitation in doing what we can surreptitiously to blacken the PKI in the eyes of the people of
Indonesia.” (dari film dokumen Shadow Play)
Dan ternyata, sejalan dengan itu, mengikuti garis politik dari CIA diatas, setelah jenasah para
Jenderal diangkat dari sumur tua Lubang Buaya, mulailah pidato fitnah dan tuduhan
Jenderal Soeharto tentang penyiksaan kejam dan biadab di Lubang Buaya. Suharto berkata:
“Sejak menyaksikan … apa yang didapat di Lubang Buaya, kegiatan saya yang utama
adalah menghancurkan PKI, menumpas perlawanan mereka di mana-mana, di ibukota, di
daerah-daerah, dan di pegunungan tempat pelarian mereka….” (Suharto: Pikiran, Ucapan,
dan Tindakan Saya, 1989, halaman 136).
Dengan ucapannya ini, Suharto secara licik melakukan politik menghasut dan melibatkan
rakyat dalam operasi penghancuran dan pembasmian PKI, satu dan lain, adalah agar rakyat
tidak melawan maupun mencegahnya, malah berbalik dan mendukung dan membantu
Angkatan Darat. Menurut pengamatan, manuver ini dilakukannya dengan cara dan langkahlangkah
berikut:
Langkah pertama dilakukan antara lain dengan cara media massa kiri dilenyapkan. Tiga
suratkabar tentara: Berita Yudha, Angkatan Bersenjata, dan Api Pantjasila, serta seluruh
media pers yang ada di bawah ancaman pemberangusan setiap hari menyiarkan beritaberita
yang disiapkan oleh Angkatan Darat. Operasi konyol G30S di Jakarta terus-menerus
digambarkan sebagai upaya kudeta yang didalangi oleh PKI, ataupun sebagai
pemberontakan PKI untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Gerakan 30 September
tidak disingkat dengan akronim G30S, melainkan dengan G30S/PKI, sehingga pada PKI
dilekatkan cap pemberontak brutal.
Langkah kedua yaitu mengingkari kemanusiaan orang komunis, penggambaran mereka
sebagai makhluk kejam, asusila dan ateis. Dilukiskan dengan rinci tentang pembentukan
pendapat umum mengenai kebengisan, kelicikan, dan kebiadaban PKI dengan merujuk
kepada Polisi Rahasia Nazi Jerman, Gestapo.Laporan pemeriksaan bedah mayat para
jenderal, tertanggal 5 Oktober 1965 dari tim lima dokter ahli ilmu kedokteran kehakiman,
yang dibentuk atas perintah Presiden Soekarno, yang melukiskan di bawah sumpah secara
terperinci kondisi jenazah, disampaikan juga kepada Soeharto, diumumkan oleh Presiden
Soekarno pada tanggal 9 Oktober 1965, tetapi tidak pernah disiarkan kepada masyarakat,
baik oleh pemerintah maupun oleh media massa. Visum et Repertum ini jelas mengingkari
adanya luka-luka karena sayatan atau pencongkelan mata dan menyebut antara lain tentang
keutuhan alat kelamin para korban. Sebaliknya, bermunculan foto mayat-mayat yang sudah
mulai membusuk dan rusak di TV, koran dan majalah, disertai uraian bahwa tanda-tanda
bekas penganiayaan di sekujur tubuh korban, membuktikan kekejaman dan kebiadaban
G30S/PKI. Bahkan juga Jenderal Soeharto pribadi memberi pernyataan seperti itu. Fitnah
semacam ini, tentang kebiadaban, kekejian dan keasusilaan anggota PKI maupun
simpatisan PKI berfungsi untuk meniadakan rasa salah rakyat, apabila kemudian mereka
dilibatkan untuk menganiaya, bahkan membunuh makhluk biadab dan asusila tersebut.
Langkah ketiga, yaitu penyalahgunaan rasa keagamaan untuk menghasut, dan menanam
kebencian terhadap komunis. Tidak jarang komunis disebut tidak bertuhan, ateis, malah
musuh Tuhan. Pandangan ini mengabaikan kenyataan bahwa hampir semua anggota PKI,
9
seperti juga semua bangsa Indonesia beragama. Akan tetapi, hasutan-hasutan di atas
memang bukan bermaksud menggambarkan kebenaran, melainkan menanamkan
kebencian, menabur gagasan bahwa memerangi PKI adalah wajib hukumnya, bahkan tidak
haram untuk mengalirkan darah orang komunis.
Langkah keempat, yaitu menggerakkan demonstrasi massal menuntut pembubaran
dan/atau pembasmian PKI. Terhitung mulai 2 Oktober 1965 dengan dorongan dan inisiatif
Angkatan Darat, didirikan Kesatuan Aksi Penggayangan Gestapu (KAP-Gestapu) dan
organisasi-organisasi KAMI, KAPPI, dll., yang memelopori demon-strasi
mahasiswa/pelajar/pemuda yang terus-menerus mengutuk “Gestapu/PKI” dan semua
organisasi komunis. Angkatan Darat kemudian mengadakan operasi penangkapan tokoh,
kader dan anggota PKI, dan organisasi-organisasi yang berafiliasi dengannya.”
Paul Mudigdo, S.H. orang yang ikut mengalami peristiwa di atas, apalagi sebagai kriminolog,
dalam meninjau secara retrospektif, rekayasa pembangkitan dan peningkatan rasa
kebencian dan kemarahan rakyat terhadap PKI dan organisasi pendukungnya, mengakui
dengan sejujurnya bahwa “rekayasa semacam itu sangat efektif.” (Catatan Wiyanto Rahman,
S.H., pada Sarasehan Leuven Belgia: Peristiwa G30S dalam Tinjauan Ulang,
http://arus.kerjabudaya.org/htm/1965)
Karena “gagalnya” kebijaksanaan politik Bung Karno yang disabot militer dengan
menggunakan kekerasan melalui ormas-ormas milisia dan massa pemuda, dan yang
katanya atas “desakan militer” Presiden Sukarno, yang hanya berkemeja lengan pendek
(short sleave) dan berpeci pada malam hari tanggal 16 Oktober 1965 di istana, terpaksa
menunjuk Mayjen Suharto menjadi pimpinan Militer yang baru, menjadi Menteri Panglima
Angkatan Darat (Menpangad). Dengan status resmi memimpin tentara, Jenderal Suharto
merencanakan pembersihan sistematis terhadap PKI. Ia segera menugaskan Sarwo Edhi
Wibowo dan pasukan para komando (RPKAD) ke Jateng. Disini mereka membersihkan
perwira tentara yang bersimpati dengan PKI. Setelah itu, tentara membersihkan orang-orang
yang dituduh simpatisan Komunis di seluruh Indonesia.
(Komentar: Pendapat saya pribadi, kalau mau kita berpikir lebih dalam, inilah kesalahan
kedua Bung Karno. Kesalahan pertama adalah pada 1 Oktober ketika Bung Karno
membiarkan Suharto mengangkat dirinya menjadi Pangad menggantikan A.Yani dan
memberi 4 petunjuk kepada Bung Karno lewat ajudan BK. Kenapa Bung Karno tidak
menggunakan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit terhadap Suharto yang membangkang?
Dan kini BK “mengukuhkan” kedudukan Suharto dengan mengangkatnya sebagai
Menpangad.pada 16 Oktober itu. Bukakah ini sama artinya dengan memberi senjata kepada
orang mau membunuhnya? –YTT)
Semenjak saat itu, Suharto, dengan alasan membasmi G30S sampai keakar-akarnya,
dengan menggunakan militer dan organisasi milisianya dengan sigap dan tangkas
melakukan perburuan dan pembunuhan bukan saja terhadap orang-orang Komunis namun
juga terhadap para pengikut dan pendukung Bung Karno diseluruh Nusantara. G30S yang
diembel-embeli PKI oleh Suharto dan menjadi G30S/PKI, menjadi “mahluk-makluk” buronan.
Semua anggota PKI, dan ormas-ormas progresip serta pengikut Bung Karno, dianggap
“terlibat langsung maupun tidak langsung” dengan G30S/PKI. Itulah kriteria yang diberikan
oleh Jenderal Suharto/Pangkokamtib. Tidak ada hukum dan keadilan, semua yang
”dianggap” terlibat langsung maupun tidak langsung, harus dibabat habis sampai ke akarakarnya!
Hal itu diakui langsung oleh para petinggi Militer seperti: Sarwo Edhi Wibowo, Kemal Idris,
Sudomo, Jasir Hadibroto dll.
10
“Selama masih ada satu orang komunispun di Indonesia, akan ada operasi militer melawan
satu orang itu. Suharto memberi perintah untuk membersihkan semua, maka ini yang saya
lakukan. Saya perintahkan semua prajurit saya untuk patrol dan menangkap setiap orang
yang berada di pos-pos PKI” (ucapan Brigjen Kemal Idris, Komandan RPKAD-dari filem doc.
Shadow Play).
Pembunuhan di Daerah-Daerah
“KELOMPOK-KELOMPOK paramiliter didorong untuk melakukan pembunuhan terhadap
sejumlah orang dan diberi dukungan moral dan logistik oleh Angkatan Darat. Di Jawa Timur,
Gerakan Pemuda Ansor yang berafiliasi ke NU merupakan tulang punggung utama
Angkatan Darat, sementara di Medan adalah Pemuda Pancasila, dan di Bali adalah gerakan
Pemuda Ansor dan kelompok-kelompok pengamanan masyarakat anti-PKI yang didukung
oleh Partai Nasional Indonesia.” (Elizabeth Fuller Collins, “Indonesia: Sebuah Budaya
Kekerasan?”).
Api menyala. Darah pun tumpah. Ketika kemarahan dan kebencian sudah meluas,
pembunuhan massal diorganisir dan terjadi secara sangat sistematis, seiring dengan
pergerakan RPKAD. Di Jakarta, rumah dan gedung-gedung yang diduga milik anggota atau
simpatisan komunis dirusak dan dibakar. Orang-orang yang dituduh komunis, ditangkap dan
diarak oleh demonstran, dan dalam keadaan tak berdaya, di tengah-tengah massa
demonstran, korban ditusuk dan dibunuh dengan pedang panjang, sedang pihak militer
hanya melihat dan menonton.
Telegram Green, Duta Besar AS di Jakarta ke Washington tanggal 20 Oktober 1965
mengatakan: “Beberapa ribu kader PKI dilaporkan telah ditangkap di Jakarta … beberapa
ratus di antaranya telah dibunuh. Kami mengetahui hal itu … pimpinan PKI Jakarta telah
ditangkap dan barangkali telah dibunuh…. RPKAD tidak mengumpulkan tawanan, mereka
langsung membunuh PKI.”
Green melanjutkan: “pembersihan oleh AD berlanjut di kampung dan tempat-tempat lain di
daerah Jakarta. Pemuda Muslim “membantu” mengawani pasukan militer. Sumber
mengatakan “beberapa” pembunuhan merupakan hasil dari pembersihan ini. Fakta lebih
jauh tentang hubungan militer dengan kumpulan yang terorganisir dalam kampanye anti PKI
ini, dapat dilihat dari pertemuan antara Kolonel Ethel (CIA) dan pembantu dekat Jenderal
Nasution, yang mengatakan bahwa demonstrasi anti PKI akan meningkatkan
pengganyangan menjadi anti Tionghoa. Dan perusakan dan pendudukan kantor
perdagangan Kedutaan Tiongkok di Cikini, bukan dilakukan oleh AD akan tetapi oleh
“mereka yang bertindak untuk kita”, yaitu Muslim dan Ansor. Hanya 3 bulan semenjak
kampanye anti PKI, CIA melaporkan: “Hampir semua anggota Politbiro PKI ditangkap,
banyak di antara mereka telah dibunuh, termasuk tiga pimpinan tertinggi partai. Berita besar
hari ini, adalah: ditangkap dan dibunuhnya Ketua PKI D.N. Aidit. Sedang pembunuhan
terhadap anggota dan simpatisan PKI di Sumatra Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan
Bali, terus berlangsung….” Bagi AS dan sekutunya, keberhasilan Angkatan Darat Indonesia
menghancurkan PKI adalah merupakan suatu kemenangan besar.” Demikian Marian
Wilkinson menulis dalam Sydney Morning Herald, 10 Juli 1999.
Diseluruh bumi Indonesia, disetiap propinsi, dikota, di desa, di mana-mana darah mengalir
dari orang-orang yang dibunuh tanpa salah. Mayat-mayat bergelimpangan di pinggir-pinggir
jalan, diselokan, dirawa-rawa dan merapung di sungai-sungai. Bahkan ada yang hanya
kepala-kepala tanpa tubuh ditancapkan diatas sepotong kayu dan dipajangkan dipinggir atau
simpang-simpang jalan menjadi tontonan. Mereka semua dibunuh tanpa melawan dan tanpa
proses hukum pengadilan. Kaum milisia bersama Angkatan Darat telah menjadi binatang
buas yang memakan sesama bangsanya, melakukan pembunuhan masal yang tidak
berperikemanusiaan, sedang Suharto di singgasana merasa puas dan bangga sebagai “the
11
Smilling General” melihat perintahnya dilaksanakan. Tidak heran kalau menurut laporan CIA
tahun 1968 yang (biasanya CIA tidak mau membuka rahasia), mengatakan bahwa
pembunuhan besar-besaran (massal) itu sebagai "one of the worst mass murders of the 20th
century."
Bahkan Bertrand Russel, pemikir besar Liberalisme, menyebut peristiwa ini sebagai hal
yang amat mengerikan yang mustahil bisa dilakukan manusia. (Perang Urat
Syaraf…Kompas 9 Pebruari 2001) “In four months, five times as many people died in
Indonesia as in Vietnam in twelve years” Selama empat bulan, manusia yang dibunuh di
Indonesia, 5 kali dari jumlah korban perang Vietnam selama 12 tahun (Bertrand Russel,
1966/Kathy Kadane, State News Service, 1990).
Peristiwa pembantaian di Jawa Timur diungkapkan oleh Bung Karno dalam pidato di depan
HMI di Bogor 18 Desember 1965. Bung Karno mengatakan pembunuhan itu dilakukan
dengan sadis, orang bahkan tidak berani menguburkan korban. “Awas kalau kau berani
ngrumat jenazah, engkau akan dibunuh. Jenazah itu diklelerkan saja di bawah pohon, di
pinggir sungai, dilempar bagai bangkai anjing yang sudah mati.”
Aceh dan Sumatra Utara
PENDUDUK Muslim di Aceh sangat gairah dalam menghabiskan kaum komunis. Mereka
memotong leher orang-orang PKI dan menancapkan kepalanya di sepanjang jalan buat
tontonan. Pimpinan organisasi Pemuda Pancasila mengatakan kepada pejabat Konsulat
Amerika di Medan bahwa organisasi mereka (Pemuda Pancasila) akan membunuh setiap
anggota PKI yang dapat mereka tangkap. Organisasi itu tidak akan menyerahkan orang PKI
itu kepada penguasa/pemerintah, sebelum mereka mati atau hampir mati. Kantor-kantor PKI,
toko, dan rumah-rumah dibakar. Ratusan dan mungkin ribuan kader dan aktivis PKI yang
tidak sempat dibunuh, ditahan di penjara atau di tempat-tempat yang dijadikan tempat
tahanan. (Marian Wilkinson, Sydney Morning Herald, 10 Juli 1999)
American Free Press menulis: “In Aceh, for example, the civilian were ‘decapitated and their
heads were placed on stakes along the road’. The bodies often repeatedly slashed with
knifes or sword. Then thrown into the river that they would not ‘contaminate Aceh soil’.” (
http://www.americanfreepress.net) Sehingga berhari-hari, berminggu-minggu dan bulan,
rakyat tidak berani memakan ikan sungai, karena banyaknya mayat-mayat tak berkepala
yang mengambang memenuhi sungai-sungai di Aceh dan Sumatra Utara.
Korban buruh perkebunan di Sumatra Utara sedikitnya 100.000 tewas. Sedang di Tapanuli,
Utara, Selatan, dan Simalungun, tatanan adat terjungkal setelah milisi Komando Aksi
Penumpasan G30S mulai bergerak mengganyang elemen-elemen komunis. Mereka tidak
peduli apakah korban adalah paman, satu marga, atau keluarga istrinya. Mereka tidak peduli
kendatipun hubungan yang dibentuk hierarki adat itu adalah simpul keutuhan sosial.
Sumatra Barat
DI Sumatra Barat, negeri yang punya budaya “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing” juga
tak urung melakukan kekejaman-kekejaman pembunuhan terhadap rakyat yang tidak
melakukan kesalahan, kecuali dianggap sebagai anggota atau simpatisan PKI. Keadaannya,
sama seperti ketika tahun 1958, di mana PRRI menangkapi semua orang yang dianggap
komunis, sehingga tak salah kalau dikatakan bahwa orde baru/Soeharto sebenarnya adalah
penerusan PRRI dalam skala global, dari Sabang sampai Merauke. Di setiap kampung dan
negeri terjadi pembunuhan-pembunuhan terhadap kaum komunis. Bahkan, kaum alim ulama
Minangkabau yang berpikiran maju, dari partai Islam Perti, PSII misalnya, juga dibunuh,
kemudian difitnahkan bahwa mereka dibunuh oleh PKI, sehingga menambah kebencian dan
12
kemarahan yang membara dari masyarakat yang menelan bulat-bulat fitnah dan rekayasa
pihak militer. Pihak militer orde baru, bersama para milisi dari segala macam organisasi
komando aksi, mengharubirukan negeri Minangkabau. Seperti contoh, dapat diceritakan
keadaan yang terjadi di satu kampung dan kota, Salido dan Painan di pesisir selatan
Sumatra Barat:
“Setelah kejadian peristiwa awal Oktober 1965 di Jakarta, dalam menanti dan menunggu
pidato dari Presiden Soekarno, yang kiranya dapat menjelaskan apa yang sebenarnya
terjadi, rakyat yang dalam ketidaktahuan, tiba-tiba saja dikejutkan oleh kehadiran Komandan
Kodim Painan, Letkol. Purnomo Sipur, yang meneror masyarakat di kota Painan dan
sekitarnya. Pasukan Kodim itu dengan kejam dan brutal melakukan penangkapan atas
beratus-ratus pemuka masyarakat, rakyat dan ninik mamak di pesisir selatan Kerinci. Beliaubeliau
yang ditangkap itu, digiring seperti menggiring hewan ternak, dimasukkan ke dalam
penjara-penjara dan digunduli. Sebagian disuntik oleh dokter, yang adalah seorang wamilda
(wajib militer darurat) dan dimuat ke sebuah dump truk yang biasa digunakan buat
mengangkut sampah, tanah, atau pecahan batu, dan dibawa ke Bukit Pulai, sekitar 10 km di
luar kota Painan. Di sana, para pemuka rakyat yang dijubelkan dalam dump truk itu,
dituangkan dari dump truk seperti menuangkan sampah. Dan manusia-manusia yang
berjatuhan di belakang truk yang bak bagian depannya dinaikkan itu, atas perintah dan
komando Letkol. Purnomo Sipur, diberondong dengan tembakan senjata api. Jerit, pekik dan
lolong manusia-manusia tak berdosa, menyebut nama Allah, menggema di Bukit Pulai pada
tanggal 9 November 1965 itu. Tubuh-tubuh korban yang secara paksa dihabisi nyawanya itu,
bergelimpangan bermandi darah, diiringi dengan sorak-sorai dan tawa ria serdadu-serdadu
brutal dan biadab pengikut Jenderal Soeharto, di bawah komando Letkol. Purnomo Sipur.
Tidak terhitung jumlahnya anak-anak bangsa, yang di antaranya adalah pejuang Perintis
Kemerdekaan RI, ninik mamak dan alim ulama Minangkabau, direnggut secara paksa hak
hidupnya oleh rezim biadab orde baru/Soeharto.
Syamsudin, seorang bekas anggota Mobrig (Mobile Brigade—TNI), ditangkap oleh militer
rezim Soeharto. Tangan dan kakinya diikat pada dua buah pedati yang kemudian ditarik oleh
dua ekor kerbau dengan arah yang berlawanan. Tubuh Syamsudin hancur berkecai.
Potongan tubuh bertebaran dengan darah yang berserakan membasah bumi Minangkabau!
“Pesta” militer yang brutal dan biadab ini mereka lakukan di depan anak dan istri Syamsudin,
yang dipaksa untuk menyaksikan “kebudayaan AD/orde baru Jenderal Soeharto!
Nurhayani, seorang gadis remaja yang baru saja tamat SMP, ditangkap, karena dia
menghalang-halangi Letkol. Purnomo Sipur yang akan menangkap ayah si gadis. Perwira
ABRI/Jenderal Soeharto yang gagah perkasa ini, memasukkan Nurhayani ke dalam karung
dan mengikatnya, dan melemparkannya ke Batang (Sungai) Nilam di Air Hadji. Para militer
yang hebat dan perkasa itu, tertawa terbahak-bahak, sambil minum air kelapa muda, melihat
karung yang berisi tubuh Nurhayani menggelepar-gelapar dibawa arus air. Setelah
pahlawan-pahlawan rezim Soeharto itu berlalu, keluarga dan sanak saudara Nurhayani,
dengan raung dan tangis, mengambil mayatnya dari Sungai Nilam dan mengebumikannya
sesuai dengan adat istiadat Minangkabau.”
Pengungkapan di atas hanya dari satu daerah kecil Salido dan Painan di pesisir barat
Sumatera Barat. Bagaimana dengan daerah, kota dan kabupaten-kabupaten lain seperti
Agam, Limapuluhkota, Pasaman, Kerinci, Pesisir Selatan. Dan Padang Pariaman, dll.?
Riau
“SEORANG staf Kedutaan Besar Amerika di Jakarta melaporkan tentang teror militer-muslim
yang langsung ditujukan melawan kaum buruh dalam perusahaan minyak vital Caltex:
“Muslim dengan sepengetahuan dan pesetujuan pihak militer menjarah rumah-rumah
komunis di dalam kota dan menutup gedung-gedungnya di daerah-daerah. Pihak militer
menggerebek rumah-rumah pimpinan PKI dan memberitahukan pihak pimpinan perusahaan
minyak Caltex pada 29 Oktober 65, akan rencana militer, yang bakal menangkapi anggotaanggota
dan pimpinan buruh komunis Perbum, yang menjadi tulang punggung dan kekuatan
PKI di Provinsi Riau.” Mike Head/Marian Wilkinson, Sydney Morning Herald, 20 Juli 1999
13
Pada tanggal 18 November 1965 (20 hari setelah pemberitahuan pihak militer kepada
Manajer Caltex), maka pihak militer, dengan dibantu oleh organisasi-organisasi buruh
muslim dan lokal, melakukan operasi penangkapan atas anggota dan pimpinan organisasi
buruh minyak Perbum (Persatuan Buruh Minyak), di seluruh daerah perusahaan Caltex.
Ratusan buruh, baik staf maupun non staf, ditangkap dan dikumpulkan dalam satu tempat
tahanan yang bernama RTM, Rumah Tahanan Militer, di ibukota provinsi, Pekanbaru. Bagi
perusahaan minyak asing Caltex, bukan hal yang sulit untuk mengetahui siapa yang menjadi
anggota Perbum, karena semenjak 1 Mei 1964, telah ditandatangani suatu Persetujuan
Bersama antara kaum buruh dan majikan, yang disebut CLA (Colective Labour Agreement),
di mana kaum buruh diwajibkan memberi surat pernyataan yang ditandatangani kepada
majikan untuk memotong gajinya Rp100/bulan guna diserahkan kepada organisasi yang
dipilih oleh buruh. Dengan demikian, seluruh buruh minyak yang menjadi anggota Perbum,
yang merupakan 75% dari jumlah semua buruh, terdaftar namanya pada perusahaan minyak
Caltex! Dan ketika tiba saat militer yang dibantu organisasi buruh muslim dan lokal (PPC,
Persatuan Pegawai Caltex), dengan mudah menangkapi anggota-anggota Perbum yang
dituduh sebagai organisasi buruh komunis.
Di seluruh pelosok daerah, pihak militer menangkapi orang-orang yang yang diduga PKI,
dan menjadi anggota atau simpatisan organisasi Pemuda Rakyat, Gerwani, Sobsi, BTI,
Lekra, dan sebagainya. Rumah Tahanan Militer menjadi penuh sesak, namun penangkapan
terus berlangsung. Dari daerah-daerah kabupaten atau kecamatan, penangkapan berjalan
terus, dan para tahanan tersebut, dikatakan, dikirim ke Pekanbaru, ke Rumah Tahanan
Militer, namun kenyataannya tidak pernah sampai, hilang lenyap dalam perjalanan, tak tahu
kabar beritanya.
Sebagai bukti, dapat dijelaskan, dari Kabupaten Bengkalis, 50 orang ditangkap dan
dibawa dengan kapal motor menuju Pekanbaru, namun tidak seorang pun yang sampai dan
tidak diketahui kabar beritanya; dari Bagan Siapi-api, 40 orang ditangkap dan dibawa
dengan kapal motor, namun hanya seorang yang sampai dan dimasukkan ke Rumah
Tahanan Militer Pekanbaru; dari Selatpanjang, 30 orang ditangkap dan dibawa dengan kapal
motor, dan tak seorang pun yang sampai; dari Rengat, 50 orang yang ditangkap dan dibawa
dengan truk, dan tak seorang pun yang sampai ke Pekanbaru; dari Tembilahan, 30 orang
ditangkap dan dibawa dengan truk, juga tidak ada yang sampai ke Pekanbaru; di Pasir
Pengaraian, 50 orang langsung dibunuh tanpa melalui proses. Dari dalam Rumah Tahanan
Militer di Pekanbaru sendiri, dalam periode 15 Februari 1966 sampai 16 September 1968, 40
orang tahanan diambil malam dan hilang, dibunuh! Di antara mereka yang diambil dan
dibunuh ini banyak yang sebelumnya menjadi pegawai tinggi pada perusahaan minyak asing
Caltex, bahkan seorang yang sedang dikirim oleh Caltex belajar di Amerika, dipanggil
pulang, dijebloskan ke dalam tahanan, kemudian diambil malam dan dibunuh! Menurut berita
yang tersiar di dalam tahanan, seseorang yang berhasil membunuh seorang tahanan
komunis ketika itu, mendapat imbalan “uang jasa” sebanyak Rp50.- (lima puluh rupiah) dari
“organisasi”. Apakah ini merupakan pembagian “dana” yang diberikan oleh Amerika Serikat
melalui perantaraan Adam Malik, yaitu “bantuan” sebanyak Rp50 juta(?)—seperti yang
diberitakan kepada KAP (Kesatuan Aksi Pengganyangan) Gestapu, yang dipimpin oleh
Subchan Z.E. dari NU dan Harry Tjan Silalahi dari Katolik untuk pembantaian komunis?
Jawa Barat
DI Jawa Barat, pembunuhan massal juga terjadi, tetapi dalam skala yang jauh lebih kecil
karena militer di Jawa Barat cukup patuh pada perintah Presiden Soekarno untuk tidak
saling membunuh. Tapi basis-basis PKI di Subang, Indramayu, dan Cirebon tetap
diluluhlantakkan, dibumi-hanguskan, dan dihancurkan. Puluhan ribu orang mati dibunuh
hanya dalam tempo dua bulanan.
Kenapa pembunuhan di Jabar tidak “sehebat” di Jateng atau Bali misalnya? Dalam hal ini,
Prof. Ben Anderson sempat berwawancara dengan Pangdam Siliwangi, Jenderal Ibrahim
14
Ajie, dan bertanya: “Kenapa tidak ada pembunuhan besar-besaran di Jawa Barat?” Jenderal
Ajie menjawab: “Sebenarnya memang ada, umpamanya di Indramayu, tetapi tidak meluas.
Itu sebabnya karena saya tidak ingin ada pembantaian di Jawa Barat. Karena merasa
bagaimanapun ini sebagian besar orang biasa, orang-orang kecil. Akan mengerikan kalau
mereka itu dibunuh. Saya sudah kasih perintah kepada semua kesatuan di bawah saya,
orang ini ditangkap, diamankan. Tapi jangan sampai ada macem-macem.” Ternyata
kewibawaan si Adjie yang terkenal jenderal kanan, yang dekat dengan Amerika, itu berlaku
penuh, namun pada waktu itu dia dianggap sebagai saingannya Soeharto, lalu dibuang ke
London jadi dubes di sana. ( Prof. Ben Anderson, Tentang Pembunuhan Massal 65 dan
Tentang Matinya Para Jenderal.)
Pasukan RPKAD Sarwo Edhi Wibowo, setelah mengharubirukan Jakarta, setelah
membunuh dan menangkapi orang-orang kiri terutama komunis, mulai bergerak masuk Jawa
Tengah pada bulan Oktober itu, lalu menyebar ke Jawa Timur di bulan November dan
kemudian menyebar ke Bali untuk melakukan pembunuhan di bulan Desember 1965.
Jawa Tengah
MENURUT yang diceritakan dalan film dokumen Shadow Play, pasukan Sarwo Edhi
Wibowo, pertama-tama ke Jawa Tengah, membersihkan, menghilangkan para perwira
dalam Divisi Diponegoro yang bersimpati kepada G30S.
Prof. Ben Anderson dalam satu wawancara mengatakan, bahwa kelompok pimpinan Kodam
Diponegoro yang mendukung G30S, Kolonel Suherman—asisten satu, Kolonel Maryono—
asisten tiga, Letkol. Usman—asisten empat, dsb, untuk selama kira-kira 48 jam, menguasai
hampir seluruh Jawa Tengah, kemudian mereka juga hilang. Tidak pernah di antara mereka
ada yang diadili, diajukan ke pengadilan, dsb. Mereka hilang tanpa bekas, dan itu tidak
pernah diisukan. Malah kalau membaca laporan dari Buku Putih apa yang terjadi di Jawa
Tengah sama sekali tidak menjadi masalah. Jadi semua perhatian dengan sengaja
dipusatkan pada apa yang terjadi di Jakarta. Dan, siapa yang tahu tentang mereka yang
hilang ini? Kita harus tanyakan kepada pemerintah Indonesia, Suherman di mana? Maryono,
Usman di mana? Dan sebagainya. Banyak sekali tokoh-tokoh dari G30S hilang tanpa bekas.
Yang tahu bagaimana nasibnya, ya tentara sendiri. Prof. Ben Anderson, Tentang
Pembunuhan Massal 65 dan Tentang Matinya Para Jenderal.
Di Boyolali, 21 Oktober 1965, menjadi awal pembantaian massal, ribuan orang ditembaki
dan digorok secara biadab. Kuburan massal hasil galian paksa para korban tercipta
mendadak. Orang-orang yang menolak membunuh atau menggali kuburan, diancam akan
ikut dibunuh. Tubuh-tubuh tanpa kepala bergelimpangan di desa dan kampung perkotaan
sekitar Solo, Blora, dan Prambanan. Di Blora sendiri tak kurang 5.000 orang dibantai dengan
sadis. Sungai Bengawan Solo, Kali Wedi Klaten, dan Sungai Brantas di Jawa Timur penuh
dengan mayat bertubuh tak utuh. Kali jadi merah. Orang ketakutan. Tak jelas siapa kawan,
siapa lawan.
Jawa Timur
LAPORAN dari misionaris Katolik di Kediri menyebut 3 ribu orang tewas dibantai pada
November 1965.
Jenderal Soemitro, Pangdam Brawijaya mengatakan bahwa “1 orang nyawa jenderal harus
ditebus 100 ribu nyawa PKI.” Ia pun mengiringi pembantaian massal di berbagai wilayah di
Indonesia. Dia pulalah yang memimpin penangkapan, penggorokan, penembakan ratusan
massa sekaligus dan membuang mayat mereka ke dalam lubang yang digali oleh para
15
korban itu sendiri. Diperkirakan 250.000 korban mati atau hilang di Jawa Timur. [Indymediajakarta]
Mass Grave in Indonesia
Peristiwa pembantaian di Jawa Timur diungkapkan Soekarno dalam pidato di depan HMI di
Bogor 18 Desember 1965. Soekarno mengatakan pembunuhan itu dilakukan dengan sadis,
orang bahkan tidak berani menguburkan korban. “Awas kalau kau berani ngrumat jenazah,
engkau akan dibunuh. Jenazah itu diklelerkan saja di bawah pohon, di pinggir sungai,
dilempar bagai bangkai anjing yang sudah mati.” Soekarno Menggugat oleh Asvi Warman
Adam, Harian Kompas, 6/6/03
Bali
DI Bali, pembantaian massal dimulai setelah RPKAD mendarat pada awal Desember 1965.
Mereka menggalang milisi-milisi binaan PNI yang disebut Tameng. Mereka juga datang
bersama segerombolan milisi Jawa—Madura yang berasal dari Banyuwangi. Pola
pembantaian pun kurang lebih sama biadab dengan di Jawa, bahkan mungkin lebih
menggila karena ketegangan antara PNI dengan PKI merasuk sampai ke ranah-ranah
pribadi di dalam keluarga-keluarga besar. Dengan memanfaatkan adat dan ritual, di
beberapa tempat terjadi pembantaian seluruh garis keluarga dengan anggapan akan
menghilangkan dendam turunan. Laki-laki berusia 17 tahun ke atas, apalagi kalau ia pandai,
tak bakal selamat.
Bali harus dibersihkan dari malapetaka, diupacarai dengan banjir darah agar Pulau
Dewata suci kembali. Mayat-mayat pun dipotong, dipisahkan tangan, kaki dan kepala dari
badan dan dibuang di berbagai tempat supaya unsur-unsur jahat tak bersatu. Rumah demi
rumah di suatu desa dibakar, kadang-kadang dengan penghuninya secara hidup-hidup.
Kuburan massal yang berisi ratusan mayat bertebaran hampir di seluruh bagian pulau cantik
ini. Terkirakan sekitar 80.000—100.000 jadi korban pembantaian.
Tim Pencari Fakta yang dibentuk oleh Bung Karno mencatat laporan resmi para penguasa,
antara 80.000—100.000 jiwa telah menjadi korban di Jawa dan Bali. Tetapi di balik itu, para
penguasa sendiri menduga korbannya 10 kali lebih besar dari yang mereka laporkan.
(Memoar Oey Tjoe Tat ) Pembunuhan di Bali ini diperkirakan 5% dari jumlah penduduk Bali
sendiri. ( [Indymedia-jakarta] Mass Grave in Indonesia)
Dr. Robert Cribb, dosen sejarah pada Australian National University Melbourne,
mengatakan: “Kadang-kadang tentara sendiri masuk ke desa membunuh orang, tapi
biasanya orang ditangkap, ditahan, dan dikeluarkan di tangan milisia, di tangan organisasiorgansasi
yang diadakan oleh tentara untuk dibunuh. Sarwo Edhi yang memimpin RPKAD
mengatakan bahwa di Jawa rakyat harus dihasut untuk membunuh orang komunis. Dari
saksi, jelas, bahwa di Bali juga RPKAD punya peranan besar menghasut rakyat….” (film
dokumen: “Kawan Tiba Senja”, LPKP 65 Bali & JK 6)
“Ditangkap di satu desa dan dibawa ke desa lain dan dibunuh, supaya orang yang ditangkap
tidak kenal dengan si pelaku…. Untuk ini perlu kordinasi. Nah, saya ingin tahu siapa
kordinator ini?” tanya Prof.Dr. Henk Schulte Merdbolt, sejarawan Amsterdam University,
Netherland. (film dokumen: “Kawan Tiba Senja”, LPKP 65 Bali & JK 6)
Dalam penyelidikan rakyat Bali sendiri, diketahui beberapa tempat yang menjadi lokasi
kuburan massal di Pulau Bali, seperti: di Desa Sangsit, Kabupaten Buleleng, di Desa
Rendang dan Nongan Kabupaten Karangasem, di Pantai Masceti Kabupaten Gianyar, di
Desa Kapal Kabupaten Badung. Umumnya mereka yang dibantai di Desa Kapal, adalah
orang-orang yang ditahan, diambil, dan dikeluarkan dari kamar tahanan dan dibunuh. Di
antara mereka adalah Ketut Kandel, Anom Dede, Ir. Sataya Bandem Wirka, Bandem Pageh,
I Gede Puger, Anak Agung Kencana, Wayan Duma, Anak Agung Tiaga, Ida Bagus Dupem,
16
Ida Bagus Warjana, Ketut Nadi, Harto Setiadi. Di antara mereka, ada yang ditembak, belum
mati lantas dibuang ke lubang dan ditimbun, bahkan ada yang tubuhnya dicincang dan
dipotong-potong, leher, kaki dan tangan dicerai-beraikan seperti yang mereka lakukan atas I
Gede Puger, tokoh veteran pejuang Bali. Pulau Bali benar-benar bersimbah darah! Hanya
dalam beberapa minggu di bulan Desember 1965, antara 80—100 ribu orang mati dalam
pembantaian, merupakan 5% dari jumlah penduduk Pulau Bali. (film dokumen: “Kawan Tiba
Senja”, LPKP 65 Bali & JK 6)
Di seluruh Indonesia, dalam waktu beberapa bulan dari mulai Oktober 1965 sampai 3 bulan
pertama 1966, menurut perkiraan umum ada sekitar 800 ribu sampai sejuta orang dibunuh
dengan berbagai cara. Digorok, disiksa, dipenggali dan kepalanya ditancapkan di pagar
rumah korban, dibantai dan ditembaki secara massal, dibakar hidup-hidup bersama rumah
dan kampungnya, dibuang ke jurang, sungai dan lautan. Tanah dan harta para anggota PKI
atau golongan kiri pun dijarah dan dikuasai oleh tentara dan milisi-milisi ciptaannya macam
KAMI, KAPI, KAPPI, dst. Kebencian rasial pun dikobarkan. Kantor, sekolah, rumah, tanah
dan daerah pertokoan yang dimiliki kaum etnis Tionghoa, baik yang tergabung dalam
Baperki atau tidak, direbut kemudian diduduki sebagai markas tentara, rumah jenderal,
kantor Golkar atau markas milisi orba, sampai sekarang. Puluhan ribu orang dipekerjakan di
Pulau Buru dan Nusakambangan, memenuhi kebutuhan hidup mereka sebagai orang
buangan, dan kebutuhan para perampok kehidupan mereka.( [Indymedia-jakarta] Mass
Grave in Indonesia)
Hampir di setiap kota provinsi dan kabupaten didirikan tempat-tempat tahanan orang-orang
yang ditangkap dengan tuduhan “ada indikasi” terlibat langsung maupun tak langsung
dengan G30S. Ratusan ribu tahanan ditempatkan di dalam kamp-kamp yang sangat tidak
memadai dan di bawah standar kemanusian. Tempat, kesehatan, makanan, dan lain-lain
yang sangat minim yang semuanya itu hanya bertujuan untuk melenyapkan secara pelan
dan bertahap, mengikut apa yang diucapkan Soeharto: “Kalau ditahan terus, siapa yang
memberi makan?” Karena kenyataannya, di samping para tahanan yang mati karena sakit,
kurang makan dan tekanan batin, dsb., banyak di antaranya yang diambil malam dari tempat
tahanannya dan dibunuh. Inilah praktik kekejaman kemanusiaan, kebiadaban, yang
dilakukan oleh rezim orba/Soeharto.
Jumlah Korban
Menurut catatan yang dapat dikumpulkan, Team pencari fakta yang dibentuk oleh Bung
Karno menurut laporan resmi para penguasa, antara 80.000—100.000 jiwa telah menjadi
korban di Jawa dan Bali. Tetapi di balik itu, para penguasa sendiri menduga korbannya 10
kali lebih besar dari yang mereka laporkan. (Memoar Oey Tjoe Tat)
Dr. Robert Cribb, dosen sejarah pada Universitas Nasional Australia di Melbourne,
memperkirakan jumlah korban berkisar antara 78.000 hingga 2 juta jiwa.
John Hughes dalam bukunya “Indonesian Upheaval” (1967), memprediksikan antara 60.000
hingga 400.000 orang.
Donald Hindley, dalam tulisannya, “Political Power and the October Coup in Indonesia”
(1967), memperkirakan sekira setengah juta orang.
Prof. Guy Pauker, agen CIA yang sangat dikenal dan tidak asing lagi di Seskoad (Sekolah
Staf Komando Angkatan Darat), dalam tulisannya “Toward New Order in Indonesia”
memperkirakan 200.000 orang yang dibunuh.
17
Yahya Muhaimin dalam bukunya Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945—
1966, memprediksikan sekira 100.000 orang.
Ulf Sundhaussen, dalam bukunya The Road to Power: Indonesian Military Politic 1945—
1967 (1982), khusus untuk Jawa Barat, tanpa menyebut angka, mengatakan bahwa dari
seluruh anggota komunis yang dibunuh di Jawa barat, bisa jadi hampir seluruhnya dibantai
di Subang. (Reiza D. Dienaputra, Penelusuran kembali Peristiwa G30S 1965—
http://www.polarhome.com/pipermail/ nusantara/2002-Oktober/000424.html)
Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, setelah selesai training di Australia dan menjadi Komandan
RPKAD, menjadi pembunuh berdarah dingin yang melakukan pembersihan di Jakarta, Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan Bali, kepada Panitia Pencari Fakta, mengaku “telah membunuh 3
juta komunis”. (Ketika Permadi SH menjenguk Sarwo Edhi Wibowo sebelum dia meninggal,
Sarwo Edhi mengatakan bahwa jumlah sebenarnya yang telah dibunuh adalah 3 juta.
Permadi SH terkejut mendengar angka itu, namun Sarwo Edhi Wibowo mengatakan “jangan
kaget, memang itu yang sebetulnya”).
Pramoedya Ananta Toer, sastrawan dan bekas tapol dari Pulau Buru, dalam ucapannya
sebelum meninggal dunia, yang direkam dalam film dokumen “Shadow Play” mengatakan:
“Sampai sekarang tidak jelas berapa jumlahnya yang dibunuh. Soedomo [Kopkamtib]
mengatakan 2 juta yang dibunuh, Sarwo Edhie [RPKAD] mengatakan 3 juta yang dibunuh.
Yang jelas tidak ada yang tahu sampai sekarang.”
Presiden Amerika Serikat Barack Obama, ketika masih menjadi senator, dalam satu
tulisannya mengatakan: “In 1965, under the leadership of General Suharto, the military
moved against Sukarno, and under emergency powers began a massive purge of
communists and their sympathizers. According to estimates, between 500.000 and one
million people were slaughtered during the purge, with 750.000 others imprisoned or forced
to exile.” (Barack Obama, The Audicity of Hope. Thoughts on Reclaiming The American
Dream.)
Cikal bakal
Ketangkasan Mayjen. Soeharto meredam aksi G30S memancing kecurigaan Ratna Sari
Dewi Soekarno, istri ketiga Bung Karno yang berasal dari Jepang. Katanya: “Sepertinya
Soeharto sudah tahu semua, seakan telah direncanakan…. Bagaimana dia bisa
memecahkan masalah yang terjadi pada malam 30 September dan segera bertindak. Begitu
cepat. Kalau belum tahu rencana G30S, ia tak mungkin bisa melakukannya.”
Sejalan dengan itu, Mike Head yang menulis dalam Sydney Morning Herald, 19 Juli 1999,
mengatakan: “The speed with which Soeharto moved on October 1 support the conclusion
that, acting ini concert with the US agencies, he engineered the whole operation to eliminate
his rivals and provide a pretext for moving against Soekarno and the PKI.”
Apakah benar dugaan Ratna Sari Dewi Sukarno dan Wartawan Australia Mike Head
bahwa mustahil kalau Suharto tidak tahu sebelumnya tentang akan adanya aksi
penculikan para jenderal itu? Mari kita telusuri:
Brigjen Supardjo,(Tempo, 1 Oktober 1988) mengatakan bahwa tanggal 16 September 1965
telah terbentuk susunan untuk “suatu gerakan” dengan pimpinan Letnan Kolonel Untung,
Komandan Batalyon I Pasukan Pengawal Presiden, Cakrabirawa, guna menyelamatkan
Presiden Bung Karno dari kudeta Dewan Jenderal yang diduga akan berlangsung pada 5
Oktober 1965, bertepatan dengan Hari Angkatan Bersenjata RI. Disamping itu Kolonel
A.Latief dari Kodam V Jaya dan juga Brigjen Suparjo sendiri ikut menjadi pimpinan Gerakan
30 September itu.
18
Sebelum “gerakan” itu melancarkan aksinya, Letkol. Untung yang tidak asing bagi Letjen
Soeharto, mantan Pangdam Diponegoro yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad,
mendatanginya dan melaporkan rencananya guna menyelamatkan Presiden dari kudeta
Dewan Jenderal. Kepada Letkol Untung, Soeharto mengatakan bahwa sikap Untung itu
sudah benar. “Bagus kalau Kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu,”
demikian kata Soeharto menurut Letkol. Untung, seperti yang diceritakan kepada dan
kemudian dikisahkan kembali oleh Subandrio (Wakil Perdana Menteri I), yang selama orba
ditahan bersama Letkol. Untung. Malahan, menurut penjelasan Untung, Soeharto
menawarkan bantuan pasukan. “Kalau perlu bantuan pasukan akan saya bantu. Dalam
waktu secepatnya akan saya datangkan pasukan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah.”
Letkol Untung, bukan saja tidak asing buat Suharto, namun juga merupakan anakbuah
Suharto semenjak jaman revolusi bahkan ketika Perebutan Irian Barat. Bahkan juga Untung
merupakan anak mantu angkat Suharto sendiri. Istri Untung adalah hasil “carian” Ibu Tien
Suharto. Sedang Kolonel A.Latief, juga tidak asing bagi Suharto karena mereka sama-sama
berjuang saat Revolusi. Ketika peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Jogya, menurut
suatu cerita, bahkan yang maju memasuki Jogyakarta adalah Letnan A. Latief yang adalah
anakbuahnya Kolonel Suharto. Sedang Suharto sendiri menurut suatu cerita, berada di garis
belakang. Jadi, Untung dan Latief adalah anakbuah Suharto semenjak zaman Revolusi di
Jawa Tengah. Sedang Brigjen Suparjo yang adalah berasal dari Divisi Siliwangi. Pasukan
Supardjo-lah yang telah berhasil menangkap gembong DI, Kartosuwiryo, dan mengakhiri
pemberontakan DI di Jawa Barat. Kemudian ia ditugaskan ke Kostrad, lalu menjabat sebagai
Panglima Kopur II Kostrad di bawah Jenderal Soeharto. Tokoh ini juga cukup dekat dengan
Soeharto. Hampir dapat dipastikan bahwa tokoh ini pun, seperti kedua tokoh sebelumnya,
yakni Letkol. Untung dan Kolonel Latief, seseorang yang memiliki kesetiaan tinggi kepada
Presiden Soekarno. Di samping itu, Supardjo pernah mendapatkan pendidikan militer di
Amerika yakni di Fort Bragg dan Okinawa. Tentulah pemilihannya selain berdasar kriteria di
dalam negeri yakni pihak AD, juga telah melalui seleksi ketat baku yang dikendalikan oleh
CIA.
Ketika Mayjen. Soeharto melakukan perjalanan ke Kalimantan sebagai Wakil Panglima
Kolaga, ia menyempatkan diri menemui anak buahnya, Brigjen. Supardjo. Sebagai
komandan pasukan tempur dalam hubungannya dengan konfrontasi terhadap Malaysia,
Supardjo sangat risau terhadap korupsi para pembesar militer AD dalam pengiriman suplai
ke garis depan. Kenyataan itu sangat mengurangi kekuatan dan semangat pasukannya
bahkan membuat frustasi.
Setelah mendengar langsung rencana Letkol Untung, guna menyelamatkan Presiden dari
kudeta Dewan Jenderal, selaku Panglima Kostrad, Soeharto segera memberi perintah
dengan telegram No. T.220/9 pada tanggal 15 September 1965 dan mengulanginya lagi
dengan radiogram No. T.239/9 tanggal 21 September 1965 kepada Yon 530 Brawijaya Jawa
Timur dan Yon 454 Banteng Raider Diponegoro Jawa Tengah untuk datang ke Jakarta
dengan kelengkapan tempur penuh. Ketika pasukan itu datang ke Kostrad, mereka diterima
oleh Soeharto dan juga dilakukan inspeksi pasukan pada tanggal 29 September 1965.
Sedangkan Yon 328 Siliwangi datang dengan tanpa peluru. Tanggal 30 September 1965 jam
17.00, Yon 454 diperintahkan oleh Suharto ke Lubang Buaya, daerah yang berada dibawah
kekuasaan Kodam V Jaya/Kostrad untuk bergabung dengan pasukan lainnya guna
melakukan gerakan pada malam harinya.
Sebelumnya, guna mematangkan rencana, Kol. A.Latief berkali-kali datang mengunjungi
Suharto. Kol. Latief melaporkan: “Dari sekian banyak kunjungan, seingat saya sekitar
tanggal 18 September 1965 saya sekeluarga berkunjung seperti biasanya ke rumah
keluarga Jenderal Soeharto/Pangkostrad di Jalan Agus Salim, Jakarta.
19
Tanggal 28 September 1965, Kol. Latief bersama istri berkunjung lagi ke rumah Suharto.
Dalam keadaan yang memungkinkan, Latief dan Suharto berunding atas hal-hal yang
bakal dilaksanakan. Dalam suatu kesempatan bahkan Suharto mengatakan kepada Latief
bahwa Bung Karno harus diganti. Dalam laporannya, Latief antara lain mengatakan:
“Seperti biasanya, pada tanggal 28 September 1965 sekitar pukul 20,00 (malam hari) saya
dan istri berkunjung ke rumah Jenderal Soeharto/Pangkostrad di Jl Agus Salim Jakarta, di
saat itu sewaktu berdua dengan saya, Jenderal Soeharto menegaskan pada diri saya
bahwa Jenderal Soeharto MENGHENDAKI (kata yang ditekankan kepada diri saya)
Presiden SOEKARNO DIGANTI, karena selalu membikin ribut. Saya jawab: 'Tidak
mungkin, karena BUNG KARNO didukung rakyat!'; ---- KESAKSIAN TAMBAHAN ATAS
PERNYATAAN DAN TUNTUTAN Kol. A. Latief TERTANGGAL 01 JANUARI 2003 Kolom
Ibrahim Isa, http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com. (Silahkan Lihat juga
Mengorek Abu Sejarah Hitam Indonesia/Ultimus 2010, halaman 117)
“Pada tanggal 29 September 1965, antara pukul 09.00—10.00 (siang hari) saya menemui
Jenderal Soeharto yang di saat itu sedang menunggu putranya yang tersiram sup panas
yang sedang dirawat di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta, di situ saya melapor kepada
Jenderal Soeharto, bahwa kami akan menculik para jenderal Angkatan Darat untuk
dihadapkan kepada Pangti-ABRI Presiden Soekarno, dan yang akan dilaksanakan besok
malam (sehari berikutnya) tanggal 30 September 1965;
Menanggapi laporan saya itu, Jenderal Soeharto bertanya: ‘Siapa komandan operasinya?’
Saya jawab: ‘Letkol. Untung’ (yang saya mengetahui Letkol. Untung telah dikenal baik oleh
Jenderal Soeharto). Seterusnya Jenderal Soeharto lalu berkomentar: ‘Ya sudah, saya mau
istirahat.’ Selanjutnya kami berdua berpisahan.” (Pengakuan Kol. Latief, 2003, www.
kabarindonesia.com).
Pada tanggal 30 September, jam 11.00 malam hari, Kolonel Latief mengunjungi Jenderal
Soeharto di RSPAD Gatot Subroto untuk melaporkan situasi “gerakan” yang bakal dimulai
empat jam lagi. Soeharto kala itu berada di rumah sakit, menemani istrinya menunggui
anaknya yang sedang dirawat karena terguyur sup panas. Inilah kontak terakhir pelaksana
gerakan, untuk melaporkan bahwa akan segera dilaksanakan (4 jam kemudian), yang
diterima Soeharto dengan penuh keseriusan.
Menurut seorang saksi, segera sesudah itu Soeharto segera berangkat ke Kostrad untuk
konsolidasi pasukan dan keliling kota melihat-lihat keadaan, lewat di depan RRI, kantor
Telkom, dan TVRI. (Subandrio, Karim DP, http://www.progind.net, “Apa sebab Bung Karno
bisa digulingkan?”)
Jadi, melihat catatan diatas, maka tidaklah salah kalau Ratna Sari Dewi mengatakan bahwa
“Sepertinya Soeharto sudah tahu semua, seakan telah direncanakan…. Bagaimana dia bisa
memecahkan masalah yang terjadi pada malam 30 September dan segera bertindak. Begitu
cepat. Kalau belum tahu rencana G30S, ia tak mungkin bisa melakukannya.” Begitu juga
Mike Head dari Sydney Morning Herald yang mengatakan: “The speed with which Soeharto
moved on October 1 support the conclusion that, acting ini concert with the US agencies, he
engineered the whole operation to eliminate his rivals and provide a pretext for moving
against Soekarno and the PKI.”.
Suharto secara langsung mengetahui akan tejadinya penculikan para jenderal. Dia terlibat
langsung dengan G30S. Andaikata, Suharto bukanlah dalang di belakang layar dari gerakan
itu, maka sekurang-kurangnya dia mengambil keuntungan dari segala sepak terjang anak
buahnya, Letkol Untung dan Kolonel A.Latief. Suharto telah mengetahui rencana
pengambilan [penculikan] para jenderal beberapa hari sebelumnya bahkan beberapa jam
sebelum kejadian berdasarkan laporan Kolonel Abdul Latief, bekas anak buah Soeharto
20
yang menjadi salah seorang tokoh penting dalam G30S. Jenderal Soeharto sebagai
Panglima Kostrad tidak mengambil langkah apa pun, justru hanya menunggu. Kenyataan ini
membuat kecewa dan dipertanyakan oleh salah seorang bekas tangan kanan Soeharto yang
telah berjasa mengepung Istana Merdeka pada 11 Maret 1966 yaitu Letjen. (Purn.) RPKAD
Kemal Idris.
Kalau mengikut kategori hukum yang dikeluarkan oleh Jenderal Suharto/Pangkokamtib
sendiri yaitu “terlibat langsung maupun tidak langsung” dengan G30S/PKI, maka
sesungguhnya Suharto adalah terlibat langsung dengan G30S, sebagaimana yang disebut
diatas. Karenanya, sebagaimana tokoh PKI yang diberi jatah hukum mati dalam sandiwara
Mahmilub, maka Suharto juga harus dijatuhi hukuman mati.
Masih dapat ditambahkan lagi bahwa Soeharto memiliki riwayat permusuhan internal dengan
keenam jenderal yang dibunuh tersebut, yang menangkap dan mengadili dan mencopot
jabatan Suharto sebagai Pangdam Diponegoro, karena kedapatan melakukan korupsi dan
penyelundupan ketika menjabat sebagai Pangdam. Bahkan Jenderal A.Yani ketika itu
sempat menempeleng Suharto. Jadi, Suharto berkepentingan untuk terbunuhnya keenam
Jenderal Angkatan Darat itu. Jelas, nampak sekali bahwa G30S, Untung dan Latief hanyalah
sekedar alat dan pion untuk mencapai dan melaksanakan niat dan iktikad busuk Jenderal
Suharto.
Komnas HAM
Setelah bekerja keras melakukan penyelidikan selama 4 tahun, Komnas HAM pada 23 Juli
2012 mengumumkan pernyataan bahwa Kasus 1965 adalah Pelanggaran HAM Berat.
Ketua Tim Penyelidikan Peristiwa 1965/1966 Komnas HAM Nur Kholis menjelaskan bahwa
memang telah terjadi pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan
penduduk secara paksa serta perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik
lain secara sewenang-wenang. Menurutnya, perbuatan-perbuatan tersebut ditujukan
terhadap yang diduga sebagai anggota atau simpatisan PKI. Semua peristiwa ini terjadi
hampir di seluruh wilayah Indonesia kecuali Papua.
Komnas HAM juga menyatakan bahwa salah satu unit negara yang patut dimintai
pertanggungjawaban adalah struktur Komando Pemulihan dan Keamanan
(Kopkamtib) yang dipimpin oleh mantan presiden Soeharto, yang memimpin dari 1965
dan 1967, serta antara 1977 dan 1978. Dan Komnas HAM mendesak supaya para
pejabat militer yang terlibat dibawa ke pengadilan.
Nur Kholis mengatakan hasil penyelidikan Komnas HAM yang dilakukan selama empat
tahun tersebut telah diserahkan pada Kejaksaan Agung pada 20 Juli 2012 untuk ditindak
lanjuti.
Namun, seperti bola, hasil penyelidikan Komnas HAM ini, oleh Jaksa Agung ditendang
kepada Presiden dan kemudian Presiden menendang kembali ke Jaksa Agung dan
memerintahkan Jaksa Agung untuk menindak lanjuti. “Yudhoyono Orders AGO Probe Into
1965 ‘Serious Rights Violations’ tulis Jakarta Globe, 25 Juli 2012”. Lalu, Jaksa Agung
menendang kembali, mengembalikan berkas penyelidikan itu kepada Komnas HAM.
Persis seperti bola, ditendang kesana kemari……!
Dan, kenyataannya sampai sekarang, sudah lebih setahun, tak terdengar lagi kabar
beritanya, entah kemana perginya semua berkas laporan dari Komnas HAM, hilang
lenyap….’gone with the wind’…..! Jadi memang sesungguhnyalah, selagi peneruspenerus
Orba Suharto masih bercokol diatas singgasana jangan harap keadilan dan
21
kebenaran akan ditegakkan. Hanya kaum muda bangsa yang bisa dan akan
mendobrak itu semua!
Karenanya, tidak akan berlebihan kalau Tele Confrence di 4 kota besar yaitu Jakarta,
Melbourne, Vancouver dan Kopenhagen yang dilangsungkan baru-baru ini dalam
membahas Tragedi Nasional 1965, akan disambut gembira oleh rakyat yang cinta
kebenaran dan keadilan, terutama oleh kaum muda terpelajar yang menunjukkan
antusias yang tinggi terhadap sejarah bangsanya yang selama ini diputarbalik oleh
penguasa. Sesungguhnyalah, “the truth will come out”, becik ketitik ala ketara….!!!
Yoseph Tugio Taher - 1/9/2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar