Sabtu, 31 Agustus 2013

Dan jawaban Martin Aleida terhadap komentar Salim Said

Komentar Salim Said soal tulisan Martin 
Aleida 
Toeti dan Ed yang baik,
 
Di bawah ini saya kirimkan memoir Martin Aleida selama yang bersangkutan bekerja di TEMPO. Banyak yang baru saya tahu tentang Martin dari tulisan ini. Baru sekaranglah saya tahu bahwa dia pernah bekerja di Ekspres sebelum di Tempo, pada hal untuk waktu singkat saya juga pernah bekerja di Ekspres, dan tidak ingat pernah ketemu Martin waktu itu. Saya juga baru tahu bahwa Martin pernah jadi tahanan politik, dan pernah diinterogasi oleh intel Kodam ketika sudah bekerja di Tempo. Martin pintar menyimpan rahasia, sehingga soal interogasi itu baru muncul bagi kami teman-temannya hampir 40 tahun kemudian.
 
Yang saya tahu dulu adalah bahwa Martin itu anak muda, datang dari Medan, tidak tahu apa-apa dan lalu oleh temannya sesama anak Medan menampungnya di koran PKI, Harian Rakyat. Begitu cerita Goenawan Mohammad (GM) kepada saya dulu. Dengan mengatakan demikian, GM nampaknya atau ingin meyakinkan saya bahwa Martin bukan orang komunis dan karena punya potensi sebagai penulis, boleh saja ditampung di TEMPO. Waktu itu Lukman dan Fikri pernah mengeluh kepada saya 
mengenai keputusan GM menerima Martin. "Ini bisa mempersulit kita,"kata Lukman waktu itu.
 
Di kemudian hari, di Praha ini, saya membaca buku John Roose Pretext for Mass Murder yang mengungkapkan tentang Martin (halaman 126,173 dan 290). Ternyata Martin itu kader partai yang sudah pernah mengikuti sekolah partai. Jadii dia bukan anak muda yang polos yang tidak tahu apa-apa, seperti kata GM kepada saya di awal tahun tujuhpuluhan. Lagi pula kalau dia polos, sulit rasanya 
membayangkan Harian Rakyat, sebagai organ utama PKI, menerima Martin. 
 
Pertanyaannya lalu, apakah GM tahu betul tentang Martin waktu itu sehingga berani mengambil risiko mempekerjakannya di TEMPO? Atau GM tahu tapi dengan sadar mempekerjakan Martin sebagai perlawanan GM kepada rezim otoriter orde baru? Menarik untuk dicatat bahwa selain Martin, orang PKI/Lekra yang dipekerjakan di TEMPO kemudian adalah Maniaka Tahir Thayeb dan Amarzan Ismail Lubis ( eks pulau Buru). Sekarang setelah orde baru runtuh, PKI bukan lagi persoalan, GM tentu bisa mengklaim bahwa beliau berani menantang orde baru d engan mempekerjakanmusuh-musuh Orba, yakni orang-orang komunis itu, justru pada saat jaya-jayanya rezim Suharto.
 
Hal kedua yang ingin saya catat dari memoir Martin ini adalah ingatannya yang tidak akurat dan kecenderungannya mencampuradukkan Dichtung und Warhait. Untuk diketahui, dalam salah satu rapat mengenai "perebutan saham"antara kita yang 17 orang dengan mereka yang merasa pemilik TEMPO (GM,FJ,Bur, Christianto Wibisono, Usamah dan Haryoko), kita memang sepakatbahwa yang masuk golongan kita adalah mereka yang bekerja sejak awalTEMPO, dan itu bukan cuma wartawan melainkan juga termasuk office boyseperti Wage. Martin datang belakangan -- seperti dia akui sendiri dia bergabung di TEMPO ketika kita sudah berkantor di Senen Raya -- sehinggakami tidak menghitungnya sebagai bagian dari kita. Jadi ingatan Martin bahwa saya yang menolak dia (kalau 
kalimat yang dikutipnya memang keluardari mulut saya, sutu hal yang saya ragukan) adalah serangan pribadi yang tidak fair kepada saya sebab yang saya katakan itu (kalau betul sayakatakan sebagai yang dikutip Martin dalam memoirnya tsb) adalah keputusanbersama. Jadi nothing to do with Martin 
personally.Cerita Martin mengenai dia bermalam di kamar saya di Matraman Raya, 
sayayakin adalah hasil kreativitasnya sebagai penulis novel. Bagaimana saya mengajaknya tidur di rumah saya, sementara saya tidak pernah akrab dengan Martin. Lagi pula Martin waktu itu sudah berkeluarga, ketika kami semuamasih bujangan. Orang TEMPO yang pernah tidur di kamar bujangan 
saya,selain GM, adalah almarhum Komar, Dahlan Iskan dan Cristianto Wibisono.
Martin pasti tidak pernah bermalam di rumah pondokan saya yang letaknya strategis itu (Matraman Raya 51.). Tidak tertutup kemungkinan dia pernah beberapa kali datang ke pondokan saya, sendiri atau bersama reporterTEMPO lainnya. Sebab kamar bujangan saya memang sering jadi tempat
kongkow-kongkow berbagai macam teman, dari reporter muda TEMPO hingga seniman senior seperti Taufiq Imail, Rendra, HB Jassin, Subagio Sastrowardoyo, Ayip Rosidi,Bastari Asnin Sutarji C. Bachri, Arifin C. Noer dll. Tapi yangsaya ingat kunjungan Martin ke pondokan saya hanya satu kali, 
yakni pada suatu hari lebaran bersama anak gadisnya yang masih kecil waktu itu.
 
Yang lebih fantastis lagi dari cerita Martin tentang saya adalah tentang kisah saya memberinya pistol yang, menurut tulisan Martin, dengan gagahdia menolaknya. Super fantastis lagi kisahnya tentang   Edhy datang kerumah saya dan Martin ada di situ. Almarhum Sarwo Edhy memang beberapa 
kalimampir di pondokan saya (satu kamar kecil dalam sebuah gedung besar yang  bagianutamanya/depan dulu menjadi kantor Gerwani, bukan dapur) tapi teman yang pernah jumpa Pak Sarwo di pondokan saya itu hanyalah GM yang memangpernah tinggal bersama saya secara acak sebelum kawin dengan Widarti.
 
Mohon maaf, tapi saya harus mengatakan bahwa cerita Martin tentang pistol serta jumpa Pak Sarwo Edhy di rumah saya adalah isapan jempol besar yang sangat bisa dimaafkan karena Martin adalah seorang penulis prosa yangtergolong lumayan. Pertanyaannya lalu, berapa banyakkah dari kisahnya
(memoirnya) yang sejarah dan berapa banyak pula yang hanya merupakan fantasi dari seorang penulis novel?
 
Salim Said.

--------------------------------------

Suara dari Kubur (Tanggapan untuk Salim Said) Salim Said telah memberikan tanggapan terhadap memoar saya. Tulisan itu saya susun untuk disumbangkan kepada upaya teman-teman yang ingin menerbitkan kumpulan tulisan serupa dari mereka yang pernah bekerja sebagai wartawan majalah berita mingguan TEMPO. Putu Wijaya, A. Dahana, Eka Budianta, Budiman S. Hartoyo, Toeti Kakiailatu dan beberapa lagi, sudah menyampaikan tulisan mereka. Tulisan saya, resensi untuk “Wars Within,” tentang sepenggal sejarah TEMPO, yang ditulis Janet Steele, merupakan tulisan paling awal yang diterima teman-teman. Karena tulisan itu berbentuk resensi, maka saya tambahkan lagi, sekarang yang berbentuk memoar. Dalam sebuah pertemuan dengan teman-teman mantan TEMPO yang jadi motor rencana penerbitan itu, saya usulkan agar tanggapan Salim terhadap memoar saya dimuat saja. (Salim sendiri tidak mau memberikan sumbangannya. ) Dan teman-teman setuju. Saya pikir, cita-cita saya
untuk menghargai perbedaan pendapat dengan begitu akan tercapai. Biarlah Salim menggunakan sebaik-baiknya kesempatan yang dia peroleh untuk meluruskan apa yang dia kira telah saya bengkokkan. Namun, perjalanan waktu menggoda saya untuk memberikan tanggapan atas tanggapannya itu. (Dan saya tidak berniat untuk memberikan tulisan ini kepada teman-teman yang sedang mempersiapkan kumpulan memoar orang-orang TEMPO tadi) Teman-teman muda, seperti Saut, Bonnie, Iqbal, Agustinus, dan beberapa lagi, yang adalah sastrawan dan wartawan, mendesak saya, “Abang seharusnya menjawab, supaya semuanya terang.” Generasi saya telah gagal menuliskan sejarah dengan jujur, karena stigma terhadap sesuatu fihak. Saya terpanggil untuk menyambut seruan teman-teman muda itu, mereka yang sehari-hari bergelut dengan saya. Dan inilah tanggapanku. Saya mulai dari soal-soal remeh temeh, untuk kemudian mengalir ke hal-hal yang substansial. Mungkin tertumpang emosi di
sana-sini. Tapi, sejauh dia spontan saya kira malah akan memperkaya warna saya di depan teman-teman. “Banyak yang baru saya tahu tentang Martin dari tulisan ini. Baru sekaranglah saya tahu bahwa dia …. Martin pintar menyimpan rahasia, sehingga soal interogasi itu baru muncul bagi kami teman-temannya hampir 40 tahun kemudian,” begitu tulis Salim. Hahaha..! Saya tak percaya ini. Si Martin itu luarbiasa, hampir 40 tahun kemudian Salim (yang pernah menjadi atasan langsungnya di TEMPO) baru tahu siapa dia. Ini laki-laki edan, dia mengalahkan perempuan yang disusupkan komunis jadi sekretaris Willy Brandt. Ketika terbongkar, Kanselir itu pun jatuh dibuatnya. Cewek itu ketahuan tak sampai lima tahun kemudian. Martin 40 tahun! Euy…! Apakah saya tidak bercerita siapa saya kepada Anda bisa dimahmilubkan, perlu ditangkap, dianggap sebagai penjahat setingkat kedurjanaan setan!? Wallahu alam. Salim baru tahu tentang saya, (apalah awak ini) walau tak
secara lagsung dia katakan, setelah dia membaca “Pretext For Mass Murder” disertasi doktoral John Roosa (salah lagi, bukan Roose! seperti yang dituliskan Salim.) Menurut Salim nama saya muncul dalam buku itu di halaman 126, 173 dan 290. Salah!, 126, 173, 289n47. Yang nyata-nyata di depan mata saja Salim bisa salah. Bagaimana ini? (Untuk informasi bagi Salim, dalam edisi Indonesia buku itu “Dalih Pembunuhan Massal,” namaku muncul di halaman 180, 198n47, 239-240.) Kabar yang menghibur adalah berita yang saya terima dari sebuah sumber primer. Katanya, John Roosa (hebatnya kawan yang berwajah mirip Richard Gere ini) menemukan tanggapan Salim tersebut di dunia maya, dan dia kabarnya tertawa terpingkal-pingkal membaca bahwa Salim baru tahu tentang Martin 40 tahun kemudian! Hihihihi… Tulis Salim selanjutnya: “Yang saya tahu dulu adalah bahwa Martin itu anak muda, datang dari Medan, tidak tahu apa-apa dan lalu oleh temannya sesama anak 
Medan menampungnya di koran PKI, Harian Rakyat. Begitu cerita Goenawan Mohamad (GM) kepada saya dulu.” Saya ragu apakah kutipan ini benar-benar cerita GM. Tapi, ya mungkin saja, karena tahu orang yang dia hadapi adalah Salim, wartawan “Angkatan Bersenjata” yang kecenderungan pikirannya tidak akan menjamin bahwa kalau Martin diceritakan sejujurnya siapa dia, apakah nyawanya akan selamat di tangan orang yang diajak bicara itu. Yang jelas, ketika saya melamar ke EKSPRES (atas anjuran Jufri Tanissan, staf EKSPRES, karena kasihan melihat saya nganggur. Dari Jufri kemudian saya dengar GM pernah tanya kepadanya di mana dia kenal dengan saya, sehingga merekomendasikan Martin untuk melamar ke EKSPRES?) saya mengatakan kepada GM bahwa saya adalah penulis beberapa cerita pendek yang dimuat “Horison.” Belakangan GM tahu bahwa saya pernah menjadi anggota redaksi majalah kebudayaan Zaman Baru, bersama Rivai Apin dan S. Anantaguna. Saya tak pernah
secara spesifik menceritakan bahwa saya pernah bekerja di Harian Rakyat kepada GM. Saya masih ingat, ketika para tahanan politik dibebaskan dari Buru, GM meminta saya untuk mengundang Apin dan Boejoeng Saleh untuk datang menemuinya di TEMPO, dan saya laksanakan dengan baik. Merasa dihormati. GM tambah tahu mengenai saya dari perjalanan waktu. “Pertanyaannya lalu, apakah GM tahu betul tentang Martin waktu itu sehingga berani mengambil risiko mempekerjakannya di TEMPO?” ulas Salim dengan menggunakan kalimat tanya? Ya, GM tahu betul bahwa saya bisa menulis. Dan saya masih ingat Siswadhi, kepala perpustakaan TEMPO, bekas wartawan majalah “Jaya” membocorkan hasil rapat redaksi, dengan mengatakan saya adalah reporter paling produktif dan “baik” dalam analisa para redaktur. Siswadhi sudah mengenal saya ketika saya bekerja sebagai wartawan Harian Rakyat. Salim kemudian berasumsi dengan pertanyaan bahwa GM tahu tentang Martin “tapi 
dengan sadar mempekerjakan Martin sebagai perlawanan GM kepada (Mas Salim, “perlawanan” diikuti kata preposisi “terhadap” bukan “kepada”) rezim otoriter orde baru?” Maaf, karena nada tulisan Salim berbau amis darah terhadap saya, maka saya ingin mengatakan ini adalah pertanyaan yang keji. GM, di mata saya adalah orang yang mulia, yang telah menerima saya bekerja, untuk melepaskan saya dari jerat pengangguran, untuk membiarkan saya kembali ke dunia saya (penulisan), bukan untuk menggunakan saya sebagai pemukul terhadap Orde Baru, sebagaimana Salim telah memanfaatkan apa yang dia ketahui dengan telat mengenai saya sebagai pentungan untuk menghantam GM. Pernah sekali Nyoto (Ketua Dewan Redaksi Harian Rakyat) menunjukkan kepada saya tulisannya tentang Soekarnoisme sebelum turun cetak, dan saya hanya mengangguk setuju, karena memang saya tak punya keberatan. GM, paling tidak dua kali menunjukkan tulisannya kepada saya sebelum turun
cetak. Pertama pengantar redaksi yang dia tulis untuk peristiwa jatuhnya pesawat terbang di Tinombala, di mana salah seorang wartawan TEMPO jatuh jadi korban. Dia menguji kebenaran tulisannya karena tahu saya yang berada di lapangan, dan menulis satu laporan utama mengenai bencana itu. Kedua, GM menunjukkan tulisannya yang kritis mengenai Pramoedya Ananta Toer, dan saya katakan tulisan itu harus ditunjukkan dulu kepada Pram, karena kalau sudah dimuat nanti, dia belum punya hak jawab sebagai tahanan politik. Dan ya Tuhan, GM memasukkan naskah itu ke dalam laci. Selama saya jadi wartawan tak pernah saya menemukan penulis setulus ini budinya. Apalah awak ni… Kredibilitas tulisan Salim tercemar karena terlalu banyak salah. Soal kecil, tapi mencermin jiwa penulisnya. Misalnya, Amarzan Ismail Hamid (bukan Amarzan Ismail Lubis!). Manyaka Thayeb (bukan Manjaka Tahir Thayeb, walau teman ini kadang-kadang menggunakan T. di depan namanya, karena dia
itu Teuku). Ajip Rosidi (bukan Ayip…) Tambahkan A. di depan nama Bastari Asnin. Kesaksamaan, kesaksamaan, sekali lagi kesaksamaan! Titel kesarjanaan bukan untuk diumbar, melainkan cermin dari tingkat pertanggungjawaban dan penghargaan kita dalam menjunjung martabat. Nada tulisan Salim tentang saya, Amarzan Ismail Hamid dan Manyaka Thayeb, walau tak terang-terangan, tapi kalau dibaca dengan teliti, diikuti gendangnya, terasa adalah bahwa orang-orang ini paling tidak harus disingkirkan, mungkin lebih tepat harus dibersihkan, dibabat, barangkali. Terbayang di mata saya, dia berdiri berkacak pinggang berdiri di atas bukit, menatap kami yang matanya sudah ditutup kain hitam, dan siap untuk menghunus pistol.. Baca ini: “Orang TEMPO yang pernah tidur di kamar bujangan saya, selain GM, adalah almarhum Komar..” Bagaimana mungkin jasad almarhum Komar menginap di rumah Anda. Atau memang itu maksudnya? Kan maksudnya Komar (almarhum)… Kecil tapi
mengisyaratkan sesuatu, maaf. Dichtung und Warhait, kata Salim pula dengan kerennya. Sekali lagi maaf, maksudnya Dichtung und Wahrheit. Saya koreksi karena kita semua kan memupuk Wahrheitsliebe! Saya maafkan, karena Salim di Praha bukan di Berlin. Mari kita bicarakan yang menyangkut soal saham. Sejarahnya! Bukan sahamnya! Saya tidak tertarik dengan duit, paling tidak waktu itu. Perlu Salim ketahui saya bergabung dengan TEMPO 15 Januari 1971, sebelum majalah itu terbit 6 Maret 1971. Saya tidak tahu ada “perebutan saham.” Saya tak tertarik itu, Bung. Saya ingat betul, saya diundang Haryoko Trisnadi untuk ikut rapat yang begitu saya duduk baru tahu itu urusan saham. Rapat untuk para calon kapitalis, sebagaimana disindir GM suatu ketika. Rapat itu berlangsung di ruang bawah kantor TEMPO lama, yang baru direnovasi. Dindingnya tripleks, ukuran kira-kira 3 kali 5 meter. Di ruang itu jugalah pimpinan TEMPO menerima Duta Besar Inggris, duta 
besar pertama yang mengunjungi TEMPO. Saya juga ingat anak tangga menuju redaksi sebanyak 13, membelok ke kiri 10 anak tangga, membelok ke kanan menuju ruang redaksi ada tiga anak tangga. Malam-malam di ruang bawah, yang ditempati administrasi siangnya, Putu Wijaya dan grup teaternya berlatih teater. Salah seorang pemainnya adalah pemuda yang menjadi tukang batu ketika TEMPO merenovasi rumah toko yang dia tempati sebagai markas. Berlatih keras sehingga dia kena TBC dan diobati oleh TEMPO secara teratur, karena belakangan dia bekerja sebagai resepsionis. Saya juga tak lupa denga ciri-ciri Anda, waktu itu. Sebagaimana kebanyakan orang Indonesia yang suka memelihara kuku, Anda membiarkan kuku kelingking Anda memanjang. Dan jarak ibu jari kaki Anda dengan jari tengah begitu renggang. Saya suka itu, karena itu pertanda Anda seorang pejalan jauh. Saya mengagumi Anda, dan inilah kelebihan Anda, ketika menulis sorotan untuk cerita pendek di majalah
Sastra begitu lancar, seperti mendengarkan Anda berbicara bertatap muka. Lancar. Tak banyak orang yang punya bakat seperti itu. Sayang, dunia sastra Anda tinggalkan. Padalah, inilah dunia yang bisa memperhalus budi manusia. Lantas kalau saya pernah di EKSPRES, apakah itu kesalahan saya kalau Anda tak tahu. Saya berhenti dari EKSPRES karena merasa dikejar-kejar, perasaan yang Anda tak bisa fahami, karena Anda di pihak yang melaksanakan red drive, pemburuan. Juga karena perbulan saya hanya menerima Rp 6.000.= Saya sudah punya anak satu. J.S. Hadis, waktu itu Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, (orang dekat Ibnu Subroto, juru bicara Angkatan Darat,) sahabat saya, mengajak saya untuk menjalankan kiosnya di Jembatan Merah, tak jauh dari Manggarai. (Dan GM tahu bagian sejarah pribadi saya yang ini, bahwa saya kenal Hadis - dia meninggal beberapa tahun lalu. Juga Fikri Jufri. Ibnu Subroto keberatan terhadap berita TEMPO, Hadis
meminta saya datang ke rumah sang jenderal di seberang lapangan Banteng, yang sekarang di tempati Departemen Agama, untuk mengambil semacam bantahan sang jenderal. Saya lupa apa pasalnya. Tapi, bisa dicek di TEMPO.) “Yang lebih fantastis lagi dari cerita Martin tentang saya adalah tentang kisah saya memberinya pistol yang, menurut tulisan Martin, dengan gagah dia menolaknya.” Begitu kata Salim. Sebenarnya, bukan episode itu “yang lebih fantastis.” Saya ingin dikenang lebih dahsyat lagi. Begini. Ketika terjadi pertikaian antara Anda dengan saya (saya lupa soal apa), dengan berjalan cepat dari ruang redaksi Anda menginjak-injak meja saya yang terletak dekat pintu, di ujung tangga. GM, setelah menyuruh saya diam, membawa Anda menuruni tangga, dan hilang entah ke mana. Tapi, saya masih sempat berteriak, “Tembaklah, nyawa saya gratis!” Kata-kata saya itu terlontar karena saya merasa sudah menjadi bagian dari ribuan orang kiri, yang
buta huruf atau sadar politik, dibantai dihabisi di seluruh negeri. Saya merasa sudah berada di dalam kubur bersama kewan-kawan saya yang malang, yang menghadap Tuhan dengan bekal pengabdian mereka kepada rakyat yang mereka bela. Mulialah kau kawan di alam baka. Tak sekarang, kelak suatu ketika kita akan jumpa. Memang, waktu itu saya tidak melihat Anda mengeluarkan pistol dari sarangnya. Episode ini dramatis, dan jadi kenangan buat saya. Pertemuan dengan Sarwo Edhy benar adanya. Anda salah ketika mengatakan tak mungkin Martin menginap di tempat saya, karena dia sudah berkeluarga. Saya sudah berkeluarga memang. Beranak satu. Ketika itu, saya masih ingat (saya suka minum air putih dan pepaya inilah rahasia kekuatan ingatan saya) waktu itu Agustus tahun 1972. Istri dan anak pertama saya kuungsikan ke Solo, rumah mertua saya, untuk menyambut kelahiran anak saya yang kedua, putri. Saya masih ingat, ketika kwitansi berisi ongkos persalinan di rumah
sakit Muhammadiyah yang kira-kira Rp 2.000 saya serahkan kepada bagian admintsrtasi TEMPO, orang-orang heran kok biayanya begitu murah. Sebab ongkos persalinan ketika itu di Jakarta sudah puluhan ribu atau malah ratusan ribu rupiah. Gaji saya di TEMPO waktu itu Rp 10.000. Saya tidak ragu dengan ingatan saya. Saya ingat kata-kata GM kepada Ramadhan KH, suatu saat, bahwa wartawan TEMPO itu “tidak mencatat, mereka menghafal.” Apalagi masa yang belum terlalu jauh di belakang. Saya, misalnya, tentu saja masih ingat satu diskusi mengenai plagiarisme di bagian Pustakaloka KOMPAS sebulan lalu. Tamrin Amal Tomagola, dari Universitas Indonesia, bercerita tentang bakat plagiarisme di kalangan mahasiswa yang sudah dimulai sejak dini. Dia bercerita dengan kocaknya tentang rekan dia yang absen tapi minta dia menekenkan namanya di absen. Dosen, Juwono Sudarsono, memanggil Tamrin dan berujar, “Orang ini saya kenal, saya tak melihatnya tadi, kok di
sini ada tandatangannya?” Tamrin menjawab “Dia hadir…Pak” Juwono menimpali, “Baiklah, melihat bagaimana kamu menjawab saya tahu apa artinya.” Tamrin juga menceritakan dia menuliskan tulisan yang ditugaskan fakultas untuk rekannya itu. Jauh ke belakang, saya juga teringat Anda menyebutkan A. Sibarani sebagai orang Lekra dalam skripsi S1 Anda. Dan Sibarani datang ke TEMPO mencari Anda dengan mengenakan topi koboi dan sepatu larsa. Di ruang tamu karikaturis terkenal itu menghardik tak tahan menahan emosi, “Mana Salim?” Sibarani, mungkin lebih kiri dari komunis, tapi dia bekerja untuk Bintang Timur yang berafiliasi dengan Partindo. Saya juga masih ingat Anda mau meneror dia dengan mengerahkan RPKAD. Dan manusia setengah dewa saya, GM-lah yang menasihati Anda supaya jangan melakukan itu. Saya juga ingat betul, Anda membantingkan botol Johny Walker ukuran kecil ke dinding kantor redaksi TEMPO di Proyek Senen, sambil menyumpah 
serapah. Ah… “It was really a disaster.” Saya ingin membangkitkan kenangan Anda, pada waktu putri saya yang Anda sebut itu melangsungkan pernikahan di Aula HAMKA Masjid Al Azhar, Anda datang. Terima kasih, dan saya ingat saya memeluk Anda di pelaminan. Itu adalah saat yang luar biasa dalam hidup saya. Kupertemukan mereka yang saling berseteru. Datang di antara undangan adalah GM, Salim Said, A. Sibarani. Taufiq Ismail, Slamet Sukirnanto, Sori Siregar, Amrus Natalsya, Sides Sudyarto DS, Putu Oka, T. Iskandar AS dan lain-lain. Ah, luar biasa perhelatan pernikahan putri saya itu menjadi gelanggang “perdamaian” walau sementara, untuk mereka yang saling tidak saling menyapa, padahal pernah menyatakan sehidup semati. Saya menulis memoar, bukan cerita pendek atau novel. Salam. Martin Aleida
 ----------------------------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar