Yohanes
Sulaiman dan Wibawa Dokumentasi CIA
Yohanes Sulaiman
dan Wibawa Dokumentasi CIA
(Dilengkapi
Lampiran tulisan YS dan Ikranegara)
Oleh Anton
Sejarah yang hanya
mengungkapkan fakta evenementiel kiranya kurang memadai. Karena itu dibutuhkan
pelacakan pola-pola, sistem, struktur serta kecenderungan, dan pelbagai jenis
generalisasi, sehingga dapat dipakai sebagai landasan untuk memproyeksikan masa
depan.
(Sartono
Kartodirdjo, Sejarawan Indonesia)
Sengaja saya ambil
cuplikan basis penelitian sejarah Sartono Kartodirdjo – yang dimuat dalam kata
pengantar Buku Satu (dari tiga buku) Nusa Jawa: Silang Budaya karya Dennys
Lombard- dalam melakukan riset sejarah dimana beliau sendiri menganggap
sangat kurang bermanfaat bila sejarah ditarik dengan cara konvensional. Begitu
juga dengan Dennys Lombard sarjana besar bidang sejarah Perancis yang berminat
pada studi tentang Jawa. Ia menekankan pada aliran yang dikenal sebagai ‘aliran
Annelies’ sebuah mazhab sejarah yang menekankan pada ‘kecenderungan’ studi
jenis ini akan menghasilkan studi sejarah kritis ketimbang studi sejarah
konvensional apalagi studi dokumen yang cuman beber-beber dokumen tanpa jelas
pelacakannya juga tanpa melihat situasi yang melingkupinya. Yah, kalau kita
berbicara tentang sumber, semua orang pun berpendapat bahwa proyek sejarah amat
tergantung pada tersedianya sumber itu. Apalagi mencakup kejadian sejarah yang
amat kontroversial dimana puncak dari misteri dari G 30 S itu justru terjadi
pada 1 Oktober 1965, namun tidak berarti kemudian sumber itu menjadi paling
sakral sendiri apalagi sumber keluaran CIA yang juga perlu dipelajari kritis,
apa itu opini atau fakta objektif yang mengandung makna-makna sejarah.
Tanggal 1 Oktober
1965 dimulai dengan matinya para Jenderal dimana kematian enam Jenderal itu
tidak sesuai rencana penangkapan. Siapa dan atas dasar apa gerakan itu
membunuhi para Jenderal, apa sudah ada dalam briffing pra G 30 S terhadap
pembunuhan para Jenderal? Kejadian ini merembet sampai pengambilalihan
kekuasaan di Angkatan Darat oleh Suharto dimana perintah Sukarno sendiri sudah
diabaikan oleh Suharto untuk memanggil Mayjen Pranoto dan Mayjen Umar
Wirahadikusumah ke Halim, pada titik inilah kekuasaan Sukarno sebagai Panglima
tertinggi Angkatan Bersenjata sudah hilang dan berarti beliau tidak lagi secara
esensial menjadi Presiden RI yang harus mengalami insubordinasi dari perwira
tingginya : Mayor Jenderal Suharto dimana kemudian membawa Sukarno pada situasi
yang tidak dimengerti sampai pada kematiannya tanggal 21 Juni 1970.
Disini kiranya apa
yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 merupakan titik temu dari seluruh masa
lalu Demokrasi Terpimpin dan seluruh sejarah Orde Baru dimasa depan. Jadi 1
Oktober 1965 adalah hub/centraal dari masa lalu dan masa depan. Namun ada
perbedaan antara proloog dan epiloog dari 1 Oktober 1965. Proloog sampai saat
ini belum jelas. Satu-satunya yang bisa diambil kesimpulannya sementara justru
adalah dari kata-kata dua orang pelaku sejarah sendiri : Pertama, Suharto dan
kedua Sukarno. Suharto adalah orang yang paling pertama menyebutkan bahwa aksi
penculikan itu dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Ucapan ini
diakuinya dalam biografi resmi Suharto “Pikiran, Ucapan dan Tindakan yang
disusun oleh G Dwipayana dan semua buku sejarah yang keluar dari berbagai macam
mainstream. Ucapan ini dikatakan pada pagi hari (Suharto sendiri mengaku
setelah mendengar siaran berita RRI jam 7.00 saat Letkol Untung membacakan
gerakan revolusinya) kepada beberapa perwiranya di markas Kostrad dengan
mengatakan bahwa : “Letkol Untung sudah lama menjadi binaan PKI” dan Suharto
mengatakan juga bahwa dia sudah lama kenal Untung yang memang anak buahnya
sendiri sejak Suharto menjabat komandan di Solo awal tahun 50-an. Jadi dari
pola-pola, kecenderungan dan sistem yang dihasilkan dari analisa Suharto pelaku
gerakan 30 September 1965 adalah PKI dimana Untung merupakan bagian dari PKI
opini inilah yang kemudian berkembang menjadi dasar tindakan-tindakan politik
berikutnya. Apakah kesimpulan ini sudah dipersiapkan sejak sebelum terjadinya kejadiannya
atau spontanitas saja ketika mendengar di RRI bahwa Untung yang melakukan
pimpinan Gerakan. Hal ini perlu diselidiki oleh Sejarawan lebih jauh.
Kedua, adalah
kesimpulan dari Sukarno yang memang harus diakui dia mengalami kebingungan
terbesar - (sehingga kecerdikan Sukarno yang kesohor itu selalu salah
tempat pasca G 30 S) - sejak terjadi pembunuhan para Jenderal yang
dilancarkan oleh pelaku Gerakan 30 September. Sukarno sendiri mengatakan itu
merupakan gerakan 1 Oktober 1965 (Gestok) namun istilah Gestok tidak populer
bagi rezim Orde Baru karena menjadi saling kelindan antara Gerakan Untung
dengan Gerakan Suharto. Dimana memang dari sisi formal waktu berlangsung pada
hari yang sama arti penting Gerakan Untung terjadi pada dini hari 1 Oktober 1965
dan dimulainya Gerakan Suharto pada siang dan sore hari 1 Oktober 1965.
Kedua-duanya juga melakukan hal yang sama yaitu melawan Sukarno. Pertama,
Untung tidak memasukkan nama Sukarno dalam susunan Dewan Revolusi-nya walaupun
susunan itu ngawur dan asal main comot saja tapi jelas nama Sukarno sebagai
Presiden sudah tidak ada lagi. Kedua, adalah Suharto secara sepihak mengangkat
dirinya menjadi Menpangad menggantikan posisi Yani yang belum jelas nasibnya.
Walaupun hal itu memang sering dilakukan Suharto dalam kondisi normal yang
biasanya dipersiapkan secara prosedural dari pekerjaan sehari-hari dimana
Letjen Yani akan berhalangan namun ketika kejadian Penculikan tersebut adalah
situasi abnormal dimana keputusan Presiden-lah yang menentukan tapi Suharto
berani ambil tindakan untuk masuk ke ruang komando Menpangad dan ini bisa
dikatakan Insubordinasi atau pembangkangan antara Jenderal Suharto kepada
Presidennya. Suharto tanpa memberitahu dulu atau melapor pada Bung Karno bahwa
dia yang akan menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat bukan itu saja. Suharto
tidak berusaha mencari Sukarno tapi malah menelpon semua kepala Angkatan dari
matra yang berbeda (kecuali AU Suharto hanya berhasil menghubungi Wattimena
Wapangau) : Laut, Udara dan Kepolisian yang intinya agar semua matra Angkatan
Bersenjata tidak mengeluarkan pasukan tanpa sepengetahuan dirinya. Dititik ini
juga berarti Suharto secara esensial sudah berada pada titik tertinggi kekuatan
Angkatan Bersenjata dan berarti memiliki posisi diatas Sukarno. Apalagi setelah
ajudan-ajudan Bung Karno datang ke Kostrad untuk mencari Pandam V/Jaya Mayjen
Umar Wirahadikusumah yang dipanggil Bung Karno dan Suharto melarangnya. Semua
yang berhubungan dengan Angkatan Darat harus melalui dirinya. Insubordinasi
Suharto ini menjadi pelengkap pada pidato Sukarno yang diarahkan pada nomor
tiga dari tiga pokok analisisnya : ‘Memang Adanya Oknum-Oknum Yang Tidak Benar’
pada peristiwa yang dibahasakannya sebagai Gestok pada Sidang MPRS 10 Januari
1967 dalam pidato pelengkap Nawaksara adalah sebagai berikut :
Keblingernya
Pemimpin PKI
Kelihaian Subversi
Nekolim
Memang adanya
oknum-oknum yang tidak benar
Tiga pokok analisa
Bung Karno inilah yang kemudian mau tidak mau menjadi pusat studi sejarawan
dalam meneliti kasus G 30 S mulai dari aliran buku putih sampai aliran yang
bikin heboh seperti :Cornell Paper ataupun Pledoi Latif tahun 1978. Jadi
antara analisa Suharto dan analisa Bung Karno yang dipisahkan dalam waktu
hampir dua tahun menyisakan gap yang panjang. Sukarno lebih jelas mengambil
kesimpulannya –bahkan sampai detik ini paling lengkap untuk dijadikan landasan
berpikir kenapa G 30 S bisa terjadi – Tiga pokok pemikiran Nawaksara itu
merupakan titik pertemuan dari semua kepentingan yang kemudian menghasilkan
Gerakan 30 September 1965. Bila mengambil analisa singkat tulisan YS di Kompas
(sesungguhnya tulisan itu terlalu singkat tapi bagi saya sendiri jelas arahnya)
bisa dilihat bahwa YS mengambil jalur nomor dua dari tiga pokok analisa Bung
Karno : Kelihaian Subversi Nekolim, walaupun mungkin ini akan dibantah YS yang
begitu kagum dengan data CIA tapi bila dilihat dari penekanan konfrontasi
Indonesia-Malaysia yang meletakkan PKI sebagai variabel terpenting dalam
kekuatan Bung Karno baik politik sipil maupun militer maka tidak bisa
dihindarkan dari kemampuan CIA dan tentunya agen Inggris untuk mempermainkan
Sukarno-PKI, juga agen-agen dari negara lain yang juga disebut Ikranegara
seperti keterlibatan Jenderal Agayant yang kemudian malah melahirkan dokumen
Gilchrist. Kasus Jenderal Agayant yang menurut Bung Ikranegara orang Ceko, tapi
juga ada yang bilang dia orang Armenia berpostur tinggi langsing dan berwajah
aristokrat mengenai kewarganegaraannya sangatlah lazim seorang intel membawa
banyak dokumen kewarganegaraan. Dokumen Gilchrist adalah dokumen yang dianggap
paling bertanggung jawab terhadap munculnya opini Dewan Djenderal. Walaupun
secara mutu dokumen ini diragukan merupakan sebuah hasil kesimpulan objektif
intelijen yang mengungkap dengan kata-kata terkenalnya : Our Local Friends
Army” Dokumen Gilchrist ini polanya sama dengan Dokumen Ramadi yang heboh
sembilan tahun kemudian mengawali penangkapan besar-besaran mahasiswa dan
intelektual oleh junta militer Orde Baru dalam kasus Malari 1974.
Yang juga perlu
diperhatikan dari tiga prinsip Sukarno adalah pertanyaan setelah mengungkap
tiga prinsip itu “Kenapa hanya saya dimintai tanggung jawab atas kejadian
Gestok itu? Bukankah Menko Hankam juga bertanggung jawab? Dari pertanyaan ini
bisa dilanjutkan lagi, lalu Suharto bisa dimintai tanggung jawab karena melalui
radiogramPangkostrad no. 220 dan no.239 tanggal 21 September 1965
menginstruksikan agar Batalyon 530/Para Brigade 3/Brawijaya dipersiapkan dalam
rangka HUT ABRI yang jatuh pada tanggal 5 Oktober 1965 dan pasukan ini
digunakan sebagai kekuatan penculikan. Mana tanggung jawab Suharto untuk
mengendalikan pasukan ini di Jakarta?
Juga banyak disebut
pada buku-buku sejarah terutama aliran yang mengambil teori yangberlawanan
dengan Sejarawan CIA seperti : kubu Wertheim,Ben Anderson dan Ruth Mc Vey dengan
sudut pandang aliran CIA dimana Antonie CA Dake jadi dedengkotnya (belakangan
muncul nama Helen-Louise Simpson Hunter yang juga pegawai CIA kemudian menulis
sejarah G 30 S dengan bukunya : Sukarno and The Indonesian Coup : The Untold
Story). Peter Dale Scott juga banyak mengutip dokumen CIA yang dideklasifikasi
sekitar tahun 1982. Saya rasa kehadiran tesis YS yang berbau dokumen CIA nanti
sama saja dengan ACA Dake atau Hunter tidak ada yang baru dalam menambah
perbendaharaan untuk menemukan kesimpulan kecuali melahirkan banyak pertanyaan
baru terhadap apa yang sesungguhnya terjadi pada G 30 S atau dengan istilah
Ikranegara : “Silahkan bertengkar sampai Tua!”
Untuk kasus
konfrontasi Malaysia-Indonesia dalam kaitannya dengan agresi Malaysia ke
Kalimantan Utara YS terkesan menganggap dirinyalah yang menjadi pendobrak untuk
berharap melahirkan teori baru bahwa konflik Malaysia-Indonesia merupakan titik
singgung dan korelasi terpenting dalam G 30 S dan digunakannya kekuatan
PKI oleh Sukarno sebagai bagian dari kepentingan politik itu. Tapi sayangnya
korelasi G 30 S dengan konfrontasi Malaysia lewat sensitivitasnya paling dalam
sudah diungkap lengkap oleh Manaii Sophiaan dalam bukunya ‘kehormatan bagi yang
berhak’ juga buku-buku lainnya seperti :
De Stille Genocide.
De fatalle gebeurtenissen rond de val Indonesische President Sukarno yang
disusun oleh Lambert Gibbels, diterbitkan oleh Uitgeverijs Prometheus tahun
2005 dan diterjemahkan oleh PT Grasindo dengan judul Pembantaian Yang
Ditutup-tutupi : Peristiwa Fatal Kejatuhan Bung Karno, yang juga dirilis tahun
2005.
ANATOMY of the
Jakarta Coup : October 1, 1965 : The collution with the China which the
destroyed the Army Command, President Sukarno and The Communist Party of
Indonesia karya Victor M.Fic, diterbitkan oleh Abhinav Publications, 2004.
Buku lama
‘Deception Game’ yang ditulis oleh eks Agen KGB Ladislav Bittmann kepala
Departemen VII Dinas Inteligent Cekoslowakia yang kemudian disadur oleh Oejeng
Soewargana dalam judul ‘Permainan Curang’ dan diterbitkan oleh Tjandramerta,
Jakarta 1973. Yang kemudian memunculkan nama Mayor Louda yang mendiskreditkan
Bill Palmers dan berakibat diusirnya program ‘Peace Corps’ dari Indonesia. Juga
banyak mengungkap kasus konfrontasi Malaysia. Buku ini banyak mengungkap dari sisi
KGB namun juga jangan dilupakan bias CIA dalam membaca buku ini.
Ruth Mc Vey.
‘Korespondensi pribadi dengan George Kahin, Benedict Anderson dan Frederick
Bunnel.
In the Spirit of
the Red Banteng : Indonesian Communist and Between Moscow and Peking, Aksara
Karunia, Jakarta Edisi kedua, 2002.
Recollections of an
Indonesian Diplomat in The Sukarno Era, University of Queensland Press, St.
Lucia, Queensland, Australia 1977.
Indonesia’s Hidden
History of 1965 : When the Archives be the Declassified” yang termaktub dalam :
Kabar Seberang Sulating Maphilindo,1995.
Communism Under
Sukarno, karya Rex Mortimer terbitan Cornell University Press, Ithaca and
London, 1974.
Menyingkap Dua Hari
Tergelap, karya : James F Luhulima, Penerbit Buku Kompas, September 2006. Dalam
buku juga diungkap hubungan Ali Murtopo dengan kontak-kontak di Malaysia dan
penyamaran Benny Moerdani sebagai karyawan Garuda Airways.
A Preliminary
Analysis of The October 1, 1965 Coup In Indonesia, Ithaca, NY, Cornell
University Press, 1971. karya Ben Anderson dan Ruth Mc Vey.
Peter Dale Scott,
CIA dan Penggulingan Sukarno, Lembaga Analisis Informasi, Jakarta.
Harold Crouch
Militer dan Politik di Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1986.
Soebandrio,
Kesaksianku Tentang G 30 S, Forum Pendukung Reformasi Total, Jakarta, 2001
M.C Ricklefs,
Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1998.
What Happened in
Indonesia? Letter to the Editors, The New York Times, June i1 1978.
Tulisan-tulisan
diatas menyinggung korelasi Konfrontasi Malaysia dengan G 30 S dan
menjadikan konfrontasi dengan Malaysia sebagai interior penting yang disana
terletak koridor menuju gerakan G 30 S. Juga sedikit menyinggung Malaysia
dicatat tentang buku Oei Tjoe Tat : ‘Pembantu Presiden Sukarno’ walaupun tidak
secara tegas menyinggung Malaysia namun bisa menggambarkan kondisi yang terjadi
pada G 30 S bersama buku Soebandrio “Kesaksianku tentang G 30 S. Penting
juga diperhatikan dokumen-dokumen CIA yang dibahas oleh Gabriel Kolko yang
membahas Dokumen-Dokumen States Department dan CIA mengenai debat peranan
Amerika Serikat di Indonesia pada tahun 1965, pada tanggal 13 Agustus 1990
dengan mengutip Lyndon B Johnson Library. Juga perlu diperhatikan laporan dari
New Yorks Review Books 1978 yang mengungkap perkataan cendikiawan Inggris
Neville Haxwell yang menemukan sepucuk surat dari seorang duta besar Pakistan
yang ditujukan pada Menteri Luar Negeri Pakistan Zulfikar Ali Bhutto yang
melaporkan seorang pejabat Belanda di NATO yang mengatakan bahwa Indonesia akan
jatuh ke tangan barat seperti apel busuk. Tapi dari semua buku yang
mementingkan korelasi antara konflik Malaysia dan Indonesia adalah buku :
Kehormatan Bagi Yang Berhak : Bung Karno Tidak Terlibat G 30 S/PKI, Yayasan
Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, 1994. Ini buku bagus yang mengungkap jejak
sejarah dari aliran nomor dua analisa Bung Karno : Kelihaian agen-agen Nekolim.
Sukarno sendiri mengatakan dalam sebuah pidatonya (-walaupun YS mungkin enggan
membaca orasi Bung Karno yang dianggapnya tidak ilmiah dan dikonsumsi untuk
umum namun saya berpendapat apa yang diucapkan seorang Sukarno yang punya watak
terbuka harus diperhatikan)- “Saat ini semua orang lupa dengan Malaysia semua
bicara Gestapu...Gestapu!”
Bila kemudian YS
akan mengeluarkan tesis berdasarkan hubungan antara Konfrontasi
Malaysia-Indonesia dengan PKI sebagai variabel terpenting dimana kemudian
berujung pada meledaknya G 30 S. Selain juga akan mengungkap masalah Poros
Jakarta-Hanoi-Pyongyang-Peking bila dilandasi pada laporan CIA kemungkinan
besar ya hanya akan membangun tembok loncatan baru lagi bahwa CIA tidak tahu
menahu atas kejadian G 30 S dan tidak ikut campur terhadap pembantaian
orang-orang Indonesia akibat tuduhan PKI itu yang selalu didengungkan oleh
sejarawan berbasis CIA.
Sejarawan-Sejarawan
yang bias terhadap Sukarno dan cenderung menghakimi PKI juga mementingkan peran
Suharto dan CIA selalu menggunakan ukuran-ukuran :
Meremehkan
kemampuan Sukarno dan Kekuatan Militer Indonesia bahkan menjadi separuh
ketawaan.
Menggambarkan
seolah-olah Sukarno stress dengan tidak dianggapnya dia dalam percaturan
politik Internasional.
Menempatkan Sukarno
sebagai orang paling opportunis dalam melakukan taktik politiknya.
Mengkarakterkan
Sukarno sebagai bagian dari pembunuhan Jenderal-Jenderal ;bahkan di buku ACA
Dake Sukarno digambarkan sengaja menyuruh seorang perwira Tjakrabirawa mencari
AH Nasution dan memerintahkan perwira itu membunuh AH Nasution yang lolos pada
malam penyerbuan.
CIA sama sekali
kaget dengan kemunculan Suharto. Sehingga memunculkan pertanyaan bego “Siapa
Suharto?” apakah tidak diselidiki link antara Suwarto dan Suharto di jaman
mereka menjadi guru dan murid di Seskoad Bandung?
Menganggap Kedubes
Amerika Serikat kekurangan informasi pada G 30 S.
Diplomat Amerika
merasa tidak mengenal Suharto. Suharto seakan-akan dijadikan orang out of the
blue sky dalam G 30 S atau seperti pepatah bahasa Belanda : “Monyet Jelek
Yang Muncul Tiba-Tiba”. Tidak dikaji lebih serius hubungan
Suharto-Syam-Untung-Latif-Supardjo dan pasukan yang didatangkan dari Diponegoro
dimana kekuatannya digunakan sebagai pasukan penculik para Jenderal.
Adanya unsur-unsur
opini Subyektif dokumen-dokumen CIA yang sering menempatkan negara objek
penderita sebagai biang ketololan.
Menganggap remeh
adanya unsur kekuatan lain di balik kekuatan pro Amerika yaitu : Kekuatan Blok
Kiri yang dimana Sukarno mendekat.
Tapi dari semua
yang terjadi adalah pengabaian penyelidikan Sejarawan aliran CIA tentang
hubungan dekat : Suharto-Untung-Syam-Latif-Supardjo dan Suharto-Ali-Yoga dimana
Suharto mengerti sekali dua himpunan ini. Tapi saya yakin ahli-ahli pemuja CIA
dan pendukung liberalisme yang bias terhadap Nasionalisme Sukarno serta bias
terhadap PKI mati-matian akan enggan melihat korelasi
Suharto-Untung-Syam-Latif-Supardjo dan Suharto-Ali-Yoga. Padahal dari semua
titik misteri adalah orang yang bernama Syam Kamaruzaman. Selama Syam tidak
dijadikan objek paling penting dalam meneliti hubungan-hubungan yang terjadi
maka selama itu pula pintu G 30 S masih sangat sempit untuk dilewati dan membongkar
apa dan mengapa peristiwa itu terjadi.
Tidak ada bahasan
khusus yang murni ilmiah tentang faktor Syam Kamaruzaman. Yang muncul adalah
tulisan populer seperti yang pernah termuat di tabloid Detak sekitar tahun
1999. Dan tulisan lama dari AM Hanafi yang menceritakan apa dan siapa Syam
serta pengakuan Hanafi untuk menjauhkan Syam dari DN Aidit. Tulisan AM Hanafi
tentang Syam cukup lengkap kronologisnya dimana Syam sebagai agen ganda bisa
masuk kemana-mana. Syam ini bekas anak buah komisaris polisi Mudigdo yang tewas
dalam peristiwa Madiun, kemudian disebut-sebut pernah menolong Aidit saat razia
Agustus 1951 yang diperintahkan PM Sukiman Wirjosandjojo dari Masyumi untuk
masuk ke SBKA di Priok lalu menyamar dan kemudian kembali lagi ke publik
setelah Bung Karno menjamin keselamatan anggota PKI yang ditangkap akibat
sindrom Joseph MacCarthy. Antara tahun-tahun 1950-1960 perlu dikaji bagaimana
hubungan Aidit dengan Syam. Lalu dari sisi Suharto, Syam bukan orang asing ia
sama-sama kenal di Pathok sebagai bagian dari kaderisasi pemuda Sosialis dimana
Suharto datang sebagai serdadu muda yang punya pengalaman pendidikan dan
pamornya naik karena berhasil merebut gudang senjata milik Jepang di Kotabaru
tahun 1946. Tidak tertutup kemungkinan ada hubungan antara Syam dan Suharto
antara tahun 1950-1965. Sementara semua orang tahu bahwa Latif adalah anak buah
Suharto sejak jaman perang kemerdekaan dan pernah diselamatkan Suharto dari
aksi pembersihan Madiun oleh Gatot Subroto. Latif sendiri jadi salah satu
komandan batalyon Suharto yang berjibaku pada pertempuran 1 Maret 1949 dengan
peristiwa Suharto makan soto babat yang terkenalnya itu ditengah anak buahnya
bertempur. Ini bukan rumor coba dibaca pada buku Pledoi : Pengakuan Kol. Latif
Suharto terlibat dalam G 30 S. Untung sendiri anak buah kesayangan Suharto
sejak jaman Panembahan Senopati pada tahun 1950-an awal. Mayor Untung adalah
penerima Bintang Sakti bersama LB Moerdani pada perebutan Irian Barat. Dan
Suharto sempat marah-marah karena Untung diambil oleh Istana untuk menjadi
perwira Tjakrabirawa. Adakah hubungan Untung-Suharto selama tahun-tahun
1960-1965 selain kunjungan Suharto ke perkawinan Untung di Kebumen?.
Tidak pernah ada
diskusi terbesar dan mencekam dari ingatan sejarah pada kasus G 30 S dijaman
Orde Baru kecuali pada tahun 1978 dimana orang sudah mulai pelan-pelan berani
bertanya secara kritis tentang kejadian G 30 S sesungguhnya dan ada pledoi dari
pengadilan Kol. Latif yang berintikan pertemuannya dua kali dengan Suharto
untuk melaporkan gerakan yang dipimpinnya. Ini kemudian menimbulkan pertanyaan
di kalangan masyarakat luas dan kaum intelektual bahkan pada tanggal 21 Januari
1978 beberapa surat kabar dilarang terbit oleh Kopkamtib dengan
mempertimbangkan keamanan koran yang dibredel itu adalah : Sinar Harapan,
Pelita, Merdeka, Indonesian Times dan Kompas. Ketakutan Orde Baru terhadap
eksepsi Latif ini menunjukkan memang ada yang ditutupi pada proloog G 30 S.
Namun fokus pretext
telikungan (meminjam istilah Ikranegara) penculikan pada berlangsungnya
kejadian tidak dipilih YS sebagai bahan tesisnya padahal disitulah puncak
misterinya kalau kita memeriksa jauh kebelakang yang ada kita akan terjebak
‘pada peristiwa apa’ bukan ‘peristiwa kenapa’ atau terjebak ke dalam silang
sengketa yang susah melihat keluar kejadian G 30 S, kenapa kita tidak mendalami
itu. Sesungguhnya James Luhulima dalam bukunya ‘Menyingkap Dua Hari Tergelap’
sudah sangat cantik dalam fokus amatan, tapi dia tidak mau masuk ke dalam
senyawa peristiwa itu saya maklumi karena tulisannya bersifat jurnalistik.
Padahal yang terbaik adalah memfokuskan tokoh-tokohnya membuat rantai relasi di
antara tokoh-tokohnya yang kemudian bertemu pada satu titik yaitu : peristiwa G
30 S bila ini dilakukan kita akan menemukan missing link dimana-mana termasuk
bungkemnya Suharto sampai detik ini terhadap peristiwa yang paling
diketahuinya. Dari semua tokoh dialah yang paling mengetahui semua peristiwa
bukan karena kita berspekulasi dia yang merancang peristiwa itu tapi karena dia
yang membangun kekuasaan sehingga dia mengerti akses informasi yang pasti
mengalir pada dirinya sehingga ia bisa memegang kendali. Pemenang pertarungan
adalah dia yang memegang informasi lebih banyak. Begitu kata orang.
YS lebih memilih
konflik Malaysia-Indonesia sebagai faktor penggerak G 30 S yang ujung-ujungnya
bisa saya pastikan hanya menambah deretan pertanyaan yang lebih banyak lagi
tentang G 30 S. Karena faktor konflik Indonesia-Malaysia adalah bagian dari apa
yang terlihat bukan apa yang terjadi. Konflik Indonesia –Malaysia memang bisa menjadi
salah satu alasan terpenting (bagi penganut teori CIA dan Inggris sebagai
konspirator utama). Bagi saya pribadi puncak misteri dari kejadian G 30 S
tersebut adalah masuknya unsur spontanitas/improvisasi dalam rangkaian
gerakan-gerakan Pasukan Untung yang semakin jam semakin mendekati kekonyolan
hingga gerakan itu sama sekali perbuatan sia-sia dan merupakan gerakan paling
konyol namun tragis bahkan bila dibandingkan dengan rencana serbuan Westerling
ke Jakarta tahun 50-an atau konflik 17 Oktober 1952 dimana sempat ada
pertikaian antar perwira namun berhenti di bawah kaki Sukarno Gerakan
Untung-lah yang paling konyol.
Kejadian G 30 S
bukan hanya tidak berhenti dibawah kaki Sukarno tapi malah menjerembabkan
Sukarno dalam lembah kehinaan ia juga sering dianggap tokoh Gestapu, Bapaknya
Gestapu. Banyak aliran yang menuduhkan Sukarno tahu menahu dalam peristiwa
penculikan para Jenderal di malam naas termasuk tudingan Antonie C.A Dake yang
menganggap Sukarno sebagai biang masalah. Bahkan tudingan Dake itu sendiri
mengatakan bahwa Sukarno dengan liciknya berpura-pura mengundang Ahmad Yani
makan pagi 1 Oktober 1965 sebagai gurauan yang tak lucu, karena Sukarno tahu
pagi 1 Oktober 1965 Yani sudah dipastikan tewas. Atas dasar perintah siapa dan
bagaimana lahirnya kronologi perintah Jenderal-Jenderal itu kemudian ditembaki
sampai mati. Bagi saya inilah puncak pengungkapan itu untuk membuka bagian
terbesar pintu baja G 30 S. Tapi YS memilih konflik Malaysia-Indonesia dimana
Sukarno nyetir PKI dan berusaha dengan oportunis memanfaatkan PKI dataran
penelitian ini masih sangat luas dan tidak menyempit ke arah pengungkapan
kejadian. Bagi saya faktor PKI hanya sebagian kecil dari rangkaian gerak
kerja-kerja misterius yang kemudian tersusun menjadi bentuk penculikan G 30 S dan
pembantaian para Jenderal. Bagi sejarawan aliran CIA faktor lolosnya AH
Nasution dianggap sebagai faktor utama kegagalan G 30 S dan kebingungan Sukarno
sehingga dia menjadi panik. Dimana ujungnya adalah jatuhnya Sukarno.
Walaupun peran PKI memang tidak kecil dari ruang sejarah tetapi yang menjadi
pelajaran sejarah adalah PKI sendiri mengabaikan politik khas Jawa yaitu
memusatkan : Keseimbangan. Politik PKI pada waktu itu adalah Politik ganyang
sana, ganyang sini sesuai dengan idealisme-nya namun yang terjadi adalah
meluaskan daratan konflik serta membuka peluang gerakan-gerakan asing untuk
memancing kelompok yang tidak menyukai PKI dan Bung Karno sebagai orang yang
dianggap paling bertanggung jawab melindungi PKI. Menurut bahasa Sudisman dan
Rewang terjebak ‘subyektivisme’ yang kemudian di lakukan tindakan separuh
sia-sia yaitu pemikiran : Krotik dan Otokritik terhadap keterlibatan
pemimpin-pemimpinnya terhadap Gerakan 30 September.
Untuk tulisan
lengkapnya saya akan mencoba memulai dengan menjawab tanggapan YS terhadap
tulisan saya : Yohannes Sulaiman, Ikranegara dan Dialektika Sukarno. Begini
tanggapan saya terhadap tulisan Bung YS :
Sungguh menarik
jawaban dari bung Yohanes Sulaiman (YS) ya memang saya akui saya menjelaskannya
dengan panjang lebar atau istilah bung YS meluber kemana-mana, tapi sebagai
ahli sejarah profesional tentunya anda tidak bisa berkeluh kesah seperti ini.
Tugas seorang sejarawan adalah merangkai semua pendapat yang bernilai sejarah
berdasarkan basis yang ingin ditelitinya, kalau tidak bernilai sejarah ya
jangan dimasukkan. Saya pribadi ingin sekali lahir di Indonesia sejarawan
generasi baru yang memang di didik dalam lingkup akademis sejarah yang kemudian
tidak ikut-ikutan terjebak dalam arus besar tekanan politik Orde Baru dengan
cap ini itu. Selain itu seorang sejarawan harus jujur bahwa dia bekerja hanya
untuk mengungkap kebenaran, bukanhasil yang didapat malah mendiskreditkan
kelompok atau demi kepentingan ‘siapa yang bayar’ (Insya Allah semoga YS
terjauh dari sikap yang demikian). Seorang sejarawan harus bekerja mengungkap
fakta kemudian mengambil kesimpulan-kesimpulan yang tidak hanya berhenti pada
fakta tapi dia harus bisa menyingkap lebih jauh lagi ke dalam interdisiplin
ilmu kalau hanya menghapal dokumen yang sudah ada katakanlah ditangannya tanpa
melakukan penafsiran berdasarkan ruang-ruang disiplin ilmu bisa dikhawatirkan
akan terjebak pada stigma yang tidak perlu. Cukuplah Orde Baru yang senang
ngibulin sejarah, generasi muda sekarang harus lebih berani lagi terus menerus
bertanya tentang apa yang terjadi di masa lalu tanpa jebakan stigma ini itu.
Untuk kemudian belajar agar jangan masa lampau terulang lagi hal yang
menyakitkan. Dari sejarahlah kita menengok lalu berpikir untuk apa kita
melangkah ke masa depan.
Saya catat ada
beberapa poin dari silang sengketa disini :
Tanggapan YS kepada
Ikranegara :
Massa PKI sebagai
senjata utama Bung Karno menghadapi Malaysia dan ketakutan BK terhadap besarnya
PKI (Sukarno dan PKI)
Otoriterian Bung
Karno dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia terutama Angkatan Darat.
Pribadi Bung Karno
yang penuh gelombang
Kelihaian Sukarno
Tanggapan YS kepada
Anton :
Wibawa dokumen CIA
Bukti Sejarawan
Menghubungkan Korelasi antara Pertikaian Malaysia terhadap implikasi G 30 S.
Dengan kata lain sensitivitas rangkaian peristiwanya.
Penempatan pasukan
TNI di Kalimantan Utara
Tertawaan
Dialektika historis terhadap penggunaan analisa sejarah.
Pertama-tama
sebagai sejarawan anda masih menggunakan kata resmi Orde Baru yaitu : G 30
S/PKI. Dan ini mengherankan karena bagi banyak sejarawan senior Indonesia kasus
G 30 S terutama bagian proloog belum selesai perdebatannya. Walaupun di tataran
pengajaran formal sekolah dengan tekanan politik yang masih paranoid terus
mencantumkan sebutan : PKI di belakang G 30 S dan pakai acara bakar-bakar buku
sejarah bahkan dihadiri pejabat resmi (Sebuah sikap a-intelektual yang sangat
disayangkan). Padahal keterlibatan PKI sebagai institusi diluar biro chusus
jalur Aidit-Syam masih sangat disangsikan. Keterlibatan atau katakanlah
informasi adanya gerakan G 30 S bagi barisan pimpinan PKI hanya terbatas pada
pimpinan puncak yaitu : DN Aidit, Sudisman, Nyoto dan beberapa anggota yang
dilibatkan dalam biro chusus, tapi harus dibuktikan lagi sejauh mana biro
chusus ini terlibat dalam rencana penculikan dan pasti ada tingkatan-tingkatan
informasi, sesuai dengan struktur hirarkis, tingkat pengetahuan informasi DN Aidit
tentu berbeda dengan Sudisman, atau Nyoto. Namun keberadaan DN Aidit di Halim
bisa diarahkan bahwa dia memang mengerti atau setidak-tidaknya tahu akan ada
gerakan penculikan. Nilai informasi ini sama saja dengan yang diketahui Suharto
pada dua hari sebelum penculikan ketika Kol. Latief menyambangi rumah Suharto
bersama istrinya (ini menunjukkan hubungan Latif-Suharto sebagai kolega dekat).
Saat diberitahu Latif akan ada penangkapan-penangkapan terhadap beberapa orang
Jenderal, Pak Harto bilang ia sudah diberi informasi itu oleh orang yang
bernama Subagyo. Pertemuan kekeluargaan itu terjadi pada tanggal 28 September
1965. Lalu pertemuan kedua terjadi di rumah sakit saat itu Tommy Suharto
tersiram sup panas. Ada dua versi disini, pertama Suharto dalam wawancara
dengan Der Spiegel tahun 1970 mengaku melihat dari dekat Kol. Latif mondar
mandir. Kedua pada buku otobiografinya yang disusun Dwipayana 1988 ia mengaku
melihat dari jauh kol. Latif dan diakuinya bahwa kol. Itu berniat membunuhnya.
Tapi Kol. Latif dalam pledoinya tahun 1978 Kol. Abdul Latif mengaku, pada malam
30 September 1965 ia menemui Mayjen Suharto yang sedang menunggui anaknya yang
sedang dirawat karena tersiram sup panas. Latif dalam pledoi-nya mengatakan
bahwa pada malam itu ia memberi tahu bahwa ia dan kawan-kawannya akan mengambil
paksa Jenderal-Jenderal. Suharto kata Latif hanya mengangguk-angguk. Karena
diburu waktu Latif menganggap Suharto sudah mengerti dan Suharto menyatakan
setuju. Informasi ini merupakan paralel dari ketahuan DN Aidit dengan Suharto.
Tapi ada lagi kisah yang juga perlu diselidiki tentang DN Aidit yang sempat
bertanya “Saya akan dibawa kemana?” saat beberapa orang menjemput DN Aidit
untuk ditempatkan di Halim Perdanakusuma. Tapi melihat proses Biro Chusus dan
keterlibatan Syam Kamaruzaman sungguh sulit untuk melepaskan keterpisahan DN
Aidit dari gerakan Untung. Tapi yang menjadi pertanyaan besarnya : “Siapakan
yang menyuruh membunuhi para Jenderal?” apa itu sudah merupakan bagian dari
operasi atau improvisasi ditengah gerakan yang kacau? Kelompok sejarawan yang
berpihak pada adanya konspirasi dan intrik internal Angkatan Darat memusatkan
perhatian pada kenapa :
Kenapa gerakan ini
kacau?
Apa sengaja gerakan
ini dirancang untuk gagal?
Siapa pemegang
penuh komandonya DN Aidit, Untung, Syam atau Soepardjo?
Kenapa tidak
dirancang operasi Plane B bila rencana utama gagal?
Apa tujuan gerakan
ini? Kalau ingin dihadapkan ke Bung Karno kenapa dibawa ke sebuah desa di dekat
Halim? Bukan ke Istana?
Kenapa Lubang Buaya
yang menjadi lokasi?
Kenapa para
komandan pasukan benar-benar meremehkan pasukan Kostrad yang ada di Merdeka
Barat? Kenapa yang datang untuk mendukung gerakan sedikit? Kenapa pasukan RPKAD
yang ada di Tjidjantung ternyata belum berangkat ke front terdepan di Malaysia,
karena direncanakan mereka berangkat? Kenapa ini tidak dicek oleh Supardjo yang
juga Wakil Kolaga Malaysia? Kenapa bisa seceroboh itu?
Kenapa Dewan
Revolusi berani menantang secara terbuka Bung Karno pada pagi hari tanggal 1
Oktober 1965? Dengan tidak memasukkan nama Sukarno sebagai Presiden dalam
susunan Dewan Revolusi.
Juga ada keanehan
lain bila PKI siap dalam pemberontakan itu kenapa tidak ada kesiapan militer
untuk mempertahankan wilayah atau setidak-tidaknya melakukan perlawanan
terhadap kelompok yang ingin melibasnya tapi malah seakan-akan menyerahkan
lehernya untuk dibunuh.
Pembantaian-pembantaian
1965-1966 sungguh mengerikan dan menjadi ingatan alam bawah sadar manusia
Indonesia untuk menutup dalam-dalam dibawah kenangan kolektifnya. Apalagi
setelah Orde Baru berkuasa situasi histeris ditambah propaganda yang mengerikan
menjadi tekanan psikis bagi orang Indonesia sehingga mereka bergidik bila
membayangkan PKI apa CIA atau AS tidak terlibat dalam aksi propaganda ini.
Rasanya aneh bila tidak terlibat di buku ACA Dake dedengkot peneliti pro CIA
sendiri menyebutkan pada bukunya (Sukarno Files hal. 356) :
Sebarkan
kisah-kisah mengenai kesalahan PKI, sifat pengkhianatannya dan brutalnya (usaha
prioritas ini mungkin merupakan bantuan yang paling diperlukan yang dapat kita
berikan pada Angkatan Darat, jika kita mendapatkan cara tanpa
mengidentifikasikannya sebagai usaha AS secara tunggal atau sebagai usaha yang
sebagian besar berasal dari AS).
Apakah dengan
pencantuman G 30 S/PKI bukan G 30 S memang sdr. YS mengatakan terdakwa utamanya
adalah PKI. Posisi anda adalah sebagai sejarawan bukan alat politik dari
kelompok tertentu yang dimenangkan situasi saling telikung dan tikam. Jadi
netralitas dan objektivitas adalah patokan paling sakral yang tidak bisa dikencingi.
Atas dasar apa saudara mencantumkan lagi kata-kata PKI dalam G 30 S, padahal
kebenaran sejarahnya masih saling berbantahan? Kenapa kita tidak menulis
PRRI/Masyumi misalnya karena keterlibatan Natsir dan Sjafrudin Prawiranegara?
Atau PRRI/PSI karena ada unsur Prof. Soemitro Djojohadikusumo? Tapi
pencantuman itu tidak terjadi di jaman Bung Karno. Stempel keji sejarah baru
terjadi setelah G 30 S berjalan beberapa bulan dan ketika informasi sudah
dimonopoli pemenang pertarungan yaitu :kubu Suharto baru ada kata : PKI dalam
cantuman G 30 S.
Pencantuman itu
membawa akibat paling menakutkan dalam sejarah kemanusiaan di Indonesia.
Kalaupun di satu waktu nanti, andai memang terbukti secara akurat PKI terlibat
dalam G 30 S juga tidak bijak mencantumkan kata-kata PKI dibelakang gerakan
itu. Karena kata-kata itu telah terbukti di jaman Orde Baru digunakan secara
brutal merampas hak hidup bukan saja pelakunya tapi orang yang sama sekali
tidak tahu menahu. Untuk itulah diperlukan kearifan sejarah, asal jangan maen
ketok dan maen menang sendiri seakan-akan dirinya paling benar lalu
meminggirkan kelompok yang ditindas. Ini sama saja juga dengan apa yang
dituduhkan pada PKI saat jaya-jayanya yang suka tindas sana tindas sini. Yang
kemudian menjadi pertanyaan : Apakah menindas dan menghinakan kelompok yang
berbeda memang jadi sifat dasar manusia Indonesia? Pertanyaan yang perlu
direnungkan, bila jawabannya cenderung iya...kita memang bangsa yang sakit
jiwa. Janganlah kita melahirkan kebrutalan pemikiran sejarah, tapi dari sejarahlah
kita harus banyak belajar agar ke depan kita semakin menghargai kemanusiaan
bukan mematikan kemanusiaan.
Baiklah sekarang
kita satu-satu menjawab tanggapan YS dimana poin-poinnya sudah saya susun.
Sukarno dan Saingan
Politik (1945-1949)
Sebelum memasuki
relasi Sukarno-PKI banyak manfaatnya bila kita melihat dan memahami cara
berpolitik Sukarno. Bagaimana Sukarno menghadapi rivaal-rivaal politiknya.
Apakah Sukarno bertipe Machiavellis atau seorang pemimpin bermartabat yang
paham ideologinya dan landasan berpikirnya dalam konteks pelaksanaan
ideologi-ideologinya. Untuk itu mari kita telaah bagaimana hubungan Sukarno
dengan Amir Sjarifudin, Musso dan Tan Malaka. Tiga tokoh ini secara subjektif
menempatkan dirinya paralel dengan Bung Karno.
Pada tulisan
Yohanes Sulaiman menekankan kekuatan PKI sebagai kekhawatiran utama Bung
Karno, secara tersirat dokumen CIA ini malah menggambarkan BK ini malah mirip
Stalin curiga kemana-mana. Dan seperti Saddam Hussein bantai siapa saja yang
menentang kekuasaannya sambil memanfaatkan secara maksimal situasi politik yang
mendukung. Yang sekarang menjadi pertanyaannya adalah apakah kekuasaan Sukarno
itu hanya untuk kekuasaan atau memang dia punya ideologi tertentu. Saya jelas
akan menjawab Sukarno berjuang karena keyakinan ideologinya. Sukarno adalah
seorang Lenin yang punya dasar landasan ideologi jelas, Sukarno adalah seorang
Mao yang dasar landasan ideologi jelas, Sukarno adalah seorang Ho Chi Minh yang
punya landasan ideologi jelas. Jadi tulisan anda dengan menyebutkan di Kompas
berdasarkan dokumentasi CIA itu :
Kekhawatiran
Soekarno terlihat dalam dokumen CIA yang baru
dideklasifikasikan setahun lalu, bertanggalkan 13 Januari
1965. Dokumen itu menyebutkan, dalam sebuah percakapan santai dengan para pemimpin politik sayap kanan, Soekarno menyatakan tak bisa menoleransi gerakan anti-PKI karena ia butuh dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia. Ia menyatakan, namanya sudah "jatuh" di dunia internasional dan Indonesia dianggap negara gila karena keputusannya membawa Indonesia keluar dari PBB. Namun, Soekarno menekankan, suatu waktu,giliran PKI akan tiba" dan saat itu gerakan menentang PKI sama
dengan gerakan untuk menentang Soekarno. Soekarno berkata, "Kamu bisa
menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu." Soekarno mengakhiri percakapan itu dengan berkata, "Untukku, Malaysia itu musuh nomor
satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang."
Bila YS mempercayai dokumen CIA ini dan menjadikannya bahan sejarah yang paling sahih untuk memulai bekerja dalam menilai bagaimana jalan pikiran Bung Karno maka ini sama saja mengantarkan pembaca ke alam pikiran : Betapa jahatnya Sukarno, ambil untung kemudian buang. Adalah lucu melihat watak Sukarno sedemikian rupa ini sama lucunya dengan berita burung yang mengabarkan Sukarno menyerah dan mohon ampun pada Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan tahun 1980-an Rosihan Anwar mengangkat isu ini di Kompas yang kemudian tulisan minta ampun BK dibantah oleh Syafrudin Prawiranegara.
dideklasifikasikan setahun lalu, bertanggalkan 13 Januari
1965. Dokumen itu menyebutkan, dalam sebuah percakapan santai dengan para pemimpin politik sayap kanan, Soekarno menyatakan tak bisa menoleransi gerakan anti-PKI karena ia butuh dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia. Ia menyatakan, namanya sudah "jatuh" di dunia internasional dan Indonesia dianggap negara gila karena keputusannya membawa Indonesia keluar dari PBB. Namun, Soekarno menekankan, suatu waktu,giliran PKI akan tiba" dan saat itu gerakan menentang PKI sama
dengan gerakan untuk menentang Soekarno. Soekarno berkata, "Kamu bisa
menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu." Soekarno mengakhiri percakapan itu dengan berkata, "Untukku, Malaysia itu musuh nomor
satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang."
Bila YS mempercayai dokumen CIA ini dan menjadikannya bahan sejarah yang paling sahih untuk memulai bekerja dalam menilai bagaimana jalan pikiran Bung Karno maka ini sama saja mengantarkan pembaca ke alam pikiran : Betapa jahatnya Sukarno, ambil untung kemudian buang. Adalah lucu melihat watak Sukarno sedemikian rupa ini sama lucunya dengan berita burung yang mengabarkan Sukarno menyerah dan mohon ampun pada Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan tahun 1980-an Rosihan Anwar mengangkat isu ini di Kompas yang kemudian tulisan minta ampun BK dibantah oleh Syafrudin Prawiranegara.
Untuk mendalami
kupasan singkatan dokumen CIA dengan membandingkan karakter Bung Karno dari
pemanfaatan politiknya mari kita diskusikan apakah Sukarno memang sekeji itu
dalam memanfaatkan peluang politik untuk itu kita tarik dari mulai tahun
1945setelah ia dilantik menjadi Presiden RI dan menjadikan posisi Sukarno
secara formal paling tinggi dalam struktur hirarkis kepemimpinan Indonesia.
Bila menilik dari dokumen CIA kebanggaan YS ada pertanyaan besar : Sukarno ini
Machiavelis atau seorang Negarawan agung?
Untuk itu mari kita
mulai pada persaingan serius antara Sukarno dan Tokoh-tokoh kiri garis keras
(Tan Malaka, Musso dan Amir Sjarifudin). Tak ada tokoh yang setara dengan
Sukarno di masa Revolusi Kemerdekaan selain Tan Malaka. Dalam tulisannya YS
mengatakan Tan Malaka pernah meminta dukungan Sjahrir untuk mengangkat dirinya
sebagai Presiden menggantikan Sukarno. Sjahrir menjawab pendek : Kalau kamu
sepuluh persen saja lebih populer dari Bung Karno kita akan mempertimbangkan
kamu menjadi Presiden RI. Yohanes Sulaiman mengatakan ini tulisan dari Rosihan
Anwar yang mungkin dengan separuh ejekan menganggap saya naif bahwa Rosihan
Anwar saya duga sebagai CIA juga – (bukan, Pak Ros adalah jurnalis sejati tapi
memang kadang-kadang sikap ikut anginnya juga keterlaluan, dia jurnalis
terhormat jauh dari pikiran saya dia CIA, lingkar dalam PSI justru orang-orang
yang nasionalis dan bermartabat mungkin hanya Mitro yang main dengan PRRI tapi
toh dikemudian hari dia menjauh dari PSI bahkan oleh Pak Ros disindir
memiliki d’Artagnan complex, jagoan tua yang selalu ingin jadi nomor satu
)- . Pertama, jelas benar itu tulisan Rosihan Anwar, tapi perlu diingat
Rosihan Anwar itu mengutip George McTurnan Kahin dalam ‘Nasionalisme dan
Revolusi di Indonesia, terbitan Sebelas Maret University dan Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta 1995. hal.185-187 begini tulisan lengkapnya :
Pada awalnya
Sjahrir dan kelompoknya tidak mendukung Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus
1945 dan menolak menghadiri rapat pada malam sebelumnya, yang diselenggarakan
di rumah Laksamana Maeda. Mereka tidak yakin proklamasi kemerdekaan yang
dibacakan Sukarno dan Hatta dapat membawa rakyat ke puncak revolusi kemerdekaan
untuk melawan Jepang. Menurut pendapatnya pemimpin Indonesia harus lebih keras
dan menunjukkan sikap anti Jepang agar mendapat simpati dan dukungan Sekutu
dalam menyikapi kemerdekaan. Kemudian Sjahrir bersama kelompoknya menyingkir
dan menolak tawaran Sukarno untuk memegang jabatan penting dalam kabinet yang
akan segera dibentuk
Selama dua minggu
Sjahrir bersama para pemimpin pemuda melakukan perjalanan keliling Jawa untuk
melihat sikap rakyat pada pemerintah Sukarno-Hatta. Mereka melihat dukungan
rakyat sangat kuat sehingga kembali ke Jakarta mereka mengubah sikapnya, dan
walaupun sering bersikap kritis dan kerap kali menentang pemerintah, mereka menyatakan
dukungannya kepada Sukarno dan Hatta sebagai pemimpin Republik.
Melihat Sjahrir
yang pada awalnya menolak mendukung Sukarno dan Hatta, begitu Sjahrir kembali
ke Jakarta, Tan Malaka segera menghubunginya. Ia mengusulkan agar kekuatan
mereka digabung untuk menggulingkan Sukarno dan Hatta kalau berhasil, Tan
Malaka akan menjadi Presiden dan Sjahrir akan memimpin kabinet dan memegang
kementerian pertahanan, ekonomi, dalam negeri dan luar negeri. Sementara
Soebardjo hanya akan diberi kedudukan yang tidak penting di dalam kabinet.
Tan Malaka merasa
yakin bahwa ia akan mendapat dukungan dari kelompok bawah tanah Sukarni, dan
kemungkinan besar dari berbagai kesatuan bersenjata yang berada di bawah
pengaruh kelompok tersebut. Tan Malaka juga berpendapat kalau Sjahrir
bergabung, mereka akan cukup kuat untuk menggulingkan Sukarno. Namun Sjahrir
menolak usul tersebut dan menasihati Tan Malaka kalau ingin menyaingi
popularitas Sukarno ia harus melakukan perjalanan seperti dirinya.
(G MT Kahin,
Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia hal. 185-187)
Tulisan itu
memperlihatkan baik Sjahrir maupun Tan Malaka memang merasa dirinya bersaing
dengan Sukarno. Bahkan oleh Rosihan Anwar pula dicatat sesungguhnya Sjahrir
telah bertindak jauh berikut catatan Rosihan Anwar tentang Dr.Sudarsono
yang merupakan bagian dari jaringan bawah tanah Sutan Sjahrir, berikut
kutipannya :
Seorang kurir
dikirim dari Jakarta ke Cirebon. Ia membawa teks proklamasi kemerdekaan
yang telah disusun oleh Sjahrir dan kawan-kawannya.
Maka tanggal 16 Agustus 1945,
pada hakikatnya dokter Sudarsono dan teman-teman sepaham sudah memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia.
Tidak dikira
Sukarno tidak begitu segera mempercayai kekekalahan Jepang. Sukarno mau
mengecek dulu pada pembesar Jepang di Gunsenkeibu tentang kebenaran berita
tersebut. Oleh karena itu, terjadilah kelambatan. Baru tanggal 17 Agustus 1945
di Jakarta Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan
kemerdekaan.
Dalam pada itu di Cirebon telah bertindak sehari sebelumnya seorang dokter yang bernama Sudarsono dengan perbuatan politik yang sama, yaitu memproklamasikan kemerdekaan. Soal ini sudah barang tentu kemudian selesai sendiri. Sebab proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 oleh Sukarno-Hatta mendapatkan dukungan semua golongan dan lapisan yang mau menegakkan Republik Indonesia.
Bagaimana bunyi
teks prokmasi kemerdekaan yang diumumkan oleh Dokter Sudarsono di Cirebon tidak
diketahui lagi. Pemberitaan dalam pers tentang peristiwa itu tidak ada. Arsip
dokumen ini telah hilang. Ini adalah suatu kasus stranger than fiction, lebih
aneh dari fiksi atau rekaan.
(Rosihan Anwar, In
Memoriam Mengenang yang wafat, Penerbit Buku Kompas hal. 89-90)
Dalam tulisan
Rosihan Anwar tersebut telah terlihat bagaimana Sjahrir yang selama ini
dikatakan menolak adanya kemerdekaan yang terburu-buru dan menurut istilah BK
‘ngambek’ tidak mau mengakui proklamasi 1945 ternyata bukan karena dia bersikap
hati-hati sebagaimana layaknya Bung Karno dan Hatta ketika mereka berdua sampai
saling omong keras masalah proklamasi kemerdekaan dengan Wikana cs. Ternyata
memang Sjahrir punya agenda lain. Sebagai politisi yang lihai ia ternyata sadar
tidak mudah melawan Bung Karno pada dataran populis. Dan ini yang tidak akan
diungkap oleh Rosihan Anwar –pengikut setia Sjahrir- sikap selicin belut
Sjahrir. Sjahrir tidak pernah terjebak oleh sikap subjektivisme yang merasa
dirinya besar dari Sukarno ini kelebihan beliau dan ini tidak dimiliki pada
tiga tokoh lainnya : Amir Sjarifudin, Musso dan Tan Malaka. Ketiga orang itu tewas
ditembak bangsa sendiri karena terjebak subyektivisme menganggap Sukarno tak
lebih dari anak kecil. Amir adalah seorang tokoh paling berani dalam gerakan
bawah tanah di jaman Jepang dia ditangkap oleh Kenpeitai Surabaya. Ia digantung
dengan kepala di bawah nyawanya tinggal seujung jari lagi. Tapi beruntung bagi
dia Amir berhasil diselamatkan Bung Karno yang pasang badan untuk membebaskan
Amir, namun nasib Amir yang mustinya bisa diselamatkan lagi oleh BK ternyata
tidak terjadi pada akhir tahun 1948. Bung Karno yang sedang duduk di beranda
muka Istana Agung Yogyakarta tidak tahu Amir Sjarifudin cs sedang dibawa ke
benteng Vredenburg di depan persis Istana Yogya. AM Hanafi mengaku sempat
memohon agar BK menyelamatkan Amir tapi ternyata Amir sudah keburu dibawa
tentara Gatot Subroto dan ditembak mati di Ngaliyan, Boyolali.
Kedua, adalah nasib
tragis Musso. Musso yang kenal lama dengan Bung Karno sejak era mondok di rumah
Pak Tjokro sempat bertemu Sukarno di Istana sepulangnya dari Moskow. Bung Karno
bahkan sempat berkelakar “Pak Musso masih jago silat?” namun perkembangan
politik pada waktu itu memang condong ke kanan. Hatta yang memimpin kabinet
setelah kegagalan Sjahrir dan Amir memutuskan untuk melakukan politik American
back up agar perang cepat selesai. Hatta dan Sjahrir memiliki basis kesamaan
intelektual. Mereka tidak memandang penting arti perang kemerdekaan yang
menggelora dan membakar semangat nasionalis. Terlebih Sjahrir yang dipengaruhi
oleh sosialisme demokrat, anti fasisme dan pasifis. Ideologi Sjahrir adalah
Sosialisme bergaya Eropa Barat yang sampai saat ini masih memiliki kekuatan
signifikan di Eropa Barat terutama Perancis, Inggris, Belanda dan Jerman.
Sjahrir sangat membenci fasisme dan ia juga sebagaimana kaum Sosdem sejak jaman
Rosa Luxemburg, Stalin adalah musuh besar. Dan perang yang berlarut-larut
justru akan menurunkan kabut tujuan kemerdekaan yang lebih rasional. Namun
sikap Sjahrir ini ditentang oleh kelompok Tan Malaka. Tan Malaka-Sjahrir adalah
dua seteru yang paling keras sepanjang Revolusi Kemerdekaan 1945. Dalam militer
Sjahrir yang belakangan di dukung Hatta memiliki perwira cemerlang bernama AH
Nasution dan TB Simatupang Di pihak Tan Malaka memiliki perwira-perwira yang
berasal dari PETA seperti : Jenderal Sudirman. Penolakan Jenderal Sudirman
untuk menyerah pada agresi militer kedua juga menunjukkan kebenciannya pada
diplomasiSjahrir. Begitulah konstelasi politik yang terjadi pada waktu itu.
Dalam pertarungan ini kemudian muncullah Musso tiba-tiba. Menjadi orang ketiga
perseteruan Tan Malaka – Sjahrir. Sebelum kedatangan Musso sempat mencuat juga
nama Suripno yang menjadi tokoh Indonesia dalam pertemuan kongres pemuda
Komunis di Moskow, Suripno ini yang mengatur link Moskow-Jogya dengan hasilnya
membawa Musso.
Musso akhirnya
menyarankan agar seluruh kekuatan sayap kiri bergabung dan merevitalisasi PKI.
Nama PKI sendiri memang sudah ditakdirkan jelek dari dulu, dari jamannya
Belanda maka tidak ada PKI dalam pembentukan partai-partai sesuai dengan
Maklumat November 1945. Para pemimpin PKI selalu bermantelkan Partai Sosialis
agar tidak menjadi sasaran tembak politisi yang komunistophobi. Wikana, Amir
Sjarifudin, Tan Ling Djie, Abdulmadjid dan Setiadjid mengaku sudah menjadi
Komunis sejak tahun 1935. Pengakuan mereka terang-terangan harus dipertanyakan
apa karena mereka merasa sudah ada dukungan kekuatan riil dari kelompok
bersenjata atau merasa sudah ada link dengan Moskow yang bersedia membantu?
Kelompok bersenjata yang pro PKI biasanya bukan karena keyakinan ideologi
mereka tapi karena memang mereka merasa dirugikan atas aksi potong kekuatan
oleh Hatta-Nasution di tubuh TNI Masyarakat. TNI Masyarakat sendiri merupakan
bentukan Amir Sjarifudin saat Amir masih menjabat sebagai Perdana Menteri.
Kemudian apakah benar ada dukungan dari Moskwa? Pada tahun-tahun 1945-1949
Stalin lebih disibukkan pada pemulihan Sovyet Uni karena kehancuran saat
melawan Hitler dan sedang memperluas pengaruh di Eropa Timur. Stalin agak
kurang peduli dengan perkembangan pengaruh Komunisme-Stalinis di Asia. Sikap Stalin
sama saja dengan apa yang diomongkannya pada Tan Malaka ketika mendengar ada
rencana pemberontakan PKI di Hindia Belanda tahun 1926/1927 kata-kata singkat
Stalin : “Apa kamu sudah gila?”
Tan Malaka sendiri
akhirnya bubar jalan untuk mendukung Komunis Moskow, dia merubah haluan
politiknya menjadi Komunis Nasionalis dan pikiran-pikirannya sangat berpengaruh
di kalangan pemuda yang punya pengaruh pada Angkatan Bersenjata baik Chaerul
Saleh, Dokter Muwardi maupun Adam Malik. Sementara Musso yang sudah lama tidak
tinggal di Indonesia masih menganggap Sukarno cuman anak ingusan yang indekos
di rumah Pak Tjokro. Musso tidak paham bangunan karir Sukarno sudah dipondasi
pada tahun 1927. Ini artinya sejak Musso lari ke luar negeri karena dikejar
Intel Hindia Belanda. Sementara Sukarno mulai menyusun karirnya dan jauh
dikenal bangsa Indonesia dibandingkan Musso. Sukarno sejak tahun 1928 sampai
kedatangan Jepang adalah politisi paling populer. Anak-anak kecil pun tahu
tentang Sukarno dan menjadi pahlawan mereka. Bila nama orang sudah merasuk ke
pikiran anak-akan kecil dan dijadikan idola maka nama itu sudah meraih puncak
popularitasnya. Begitu juga Sukarno di tahun 20-an. Di titik inilah kemudian
Musso melakukan blundernya dan menyerang Sukarno di depan massa. Kontan ia
langsung ditinggalkan banyak dukungan yang tadinya memihak pada dirinya. Karena
dalam pandangan rakyat Indonesia yang masih kuat sikap patriakhinya dan tidak
mampu membedakan mana negara mana rakyat, maka figur Sukarno adalah seperti
Raja Jawa. Negara adalah dirinya. Menyerang Sukarno berarti menyerang negara.
Inilah pusat dari kesalahan Musso dalam menghadapi Sukarmo. Seandainya ia bisa
menahan diri dan terus menjalin kerjasama dengan Sukarno maka ada kemungkinan
ia bisa mengurung Hatta-Nasution namun Musso terlalu menganggap kecil Sukarno.
Lalu bagaimana dengan Sovyet kenapa orang yang pro ke mereka. Ketika mereka
dibantai tidak ada pembelaan Moskow sama sekali, atau memang kabar dukungan
Moskow ke Indonesia adalah imajinasi liar baik dari Suripno ataupun orang yang
berseberangan dengannya Hatta. Perlu diingat konteks Peristiwa Madiun di kepala
Hatta-Nasution adalah berdirinya negara Sovyet di Indonesia. Sementara kejadian
sebenarnya hanyalah pergeseran jabatan petinggi walikota saja dan ada pengaruh juga
dari kasus geger Solo dimana pasukan Siliwangi menembak Kolonel Sutarto. Musso
yang telah menggelar pertemuan kekuatan politik membentuk FDR dan mengkritik
peranan PKI sekaligus merevitalisasinya lewat sebuah Resolusi : Djalan Baroe
Repoeblik Indonesia”. Namun gerakan pasukan Siliwangi lebih cepat untuk
menghantam Musso apalagi setelah blunder Musso pasukan yang tadinya bersimpati
memilih bersikap netral, walaupun diam-diam mereka juga banyak menampung para
perwira yang dimusuhi pasukan Hatta, seperti : Kapten Abdul Latif yang kelak
banyak berperan dalam G 30 S ditampung oleh Brigade Suharto di Yogya atau
seperti Mayor CPM S. Parman (yang kemudian menjadi Mayjen dan diculik oleh
gerombolan G 30 S) atau Letnan Sudharmono (kelak Sudharmono ini menjadi wapres
tapi sebelumnya pencalonannya ditolak oleh Kelompok LB Moerdani karena
ditengarai Sudharmono terlibat peristiwa Madiun). Dalam pada itu Musso
tertangkap di Ponorogo sedang menyamar menjadi kusir Delman dan ditembak mati.
Sementara pemimpin lain ditangkap tentara dan dibawa ke Yogya semua pemimpin
itu ditembak mati di Ngaliyan Boyolali pada tanggal 19 Desember di Ngaliyan,
Boyolali.
Sekarang mari kita
bicara Tan Malaka yang menurut saya merupakan saingan paling paralel dengan
Bung Karno berbeda dengan Hatta dan Sjahrir yang memilih sebagai bagian dari
subordinat dari Sukarno sepanjang 1945-1949 daripada Tan Malaka yang tidak
pernah bisa menjadi bawahan Bung Karno. Agaknya kurang sreg bila kita tidak
mengetahui Tan Malaka dari sudut pandang ‘konsepsi kebangsaan’ lalu kita
bandingkan antara pemikiran Tan Malaka dengan Sukarno dari sinilah kemudian
bisa diambil garis lurus adanya PKI-Aidit 1954 dimana orang tidak pernah
mengetahuinya. Bagaimanapun secara kasat mata orang-orang Tan Malaka berbeda
dengan orang-orang Aidit pada kurun waktu sepuluh tahun (1955-1965) bahkan
bertentangan tapi pada hakikatnya revitalisasi PKI 1954 lebih mirip garis
pemikiran Tan Malaka ketimbang doktrin Musso yang tertuang dalam resolusi
“Djalan Baroe Revolusi Indonesia” perjuangan Komunisme Aidit terlepas dari
tudingan kedok revolusi Bung Karno merupakan sebuah garis lurus terhadap apa
yang disebut “Kemerdekaan 100%” pertemuan antara pemikiran DN Aidit dengan
ambisi Sukarno sesungguhnya sudah tertuang dari sikap revolusioner Tan Malaka
dalam menjalankan “konsepsi perjuangan 100% Merdeka” dimana isinya lebih keras
daripada konsepsi Sjahrir dalam buku tipis “perdjoangan kita”. Arti penting Tan
Malaka dalam perjuangan Indonesia sesungguhnya merupakan periode singkat tapi
esensinya adalah kenangan kuat yang menggores dalam Revolusi Kemerdekaan
(1945-1949) Memang ada dua kubu dalam Revolusi itu. Pertama kubu elitis yang
berada pada jalur Hatta-Sjahrir-Nasution dan kubu populis Tan Malaka-Amir
Sjarifudin-Sudirman. Namun kubu populis terpecah jadi dua yaitu : nasionalis
Komunis dan Sovyet Komunis dimana Amir-Musso memilih jalur Sovyet Komunis
sembari menunggu bantuan dari Sovyet Uni. Sukarno dalam hal ini berdiri di
tengah-tengah. Dan itu memang watak dasar Sukarno. Di Kanan Berdiri Hatta-Sjahrir-Nasution
dan di kiri kubu populis. Jadi tripancang politik Sukarno sudah dimulai sejak
1945-1949.
Tan Malaka sendiri
memulai karir politiknya tahun 1919 dan selama enam tahun bersekolah di
Belanda. Sewaktu muda ia menekuni Marxisme dan terutama ‘filsafat Alamiah’
perlu diketahui di bagian Eropa Barat yang berkembang pada tahun-tahun
1901-1930 adalah aliran positivisme sementara filsafat alamiah yang
mengedepankan Ilmu Pengetahuan merupakan studi yang sudah klasik ciri khas abad
19. Tidak diketahui apakah Tan Malaka mengenal teori-teori yang juga berkembang
di Eropa tentang pengaruh filsafat positivisme atau idealisme neo hegelian yang
kemudian bermunculan di Inggris setelah perkembangannya di Jerman terhenti dan
apakah Tan Malaka juga mengenal Metafisika dalam pengertiannya yang lebih baru
dimana mulai muncul ahli-ahli filsafat yang membongkar realitas menuju alam
transendensi-nya. Karena jika kita mempelajari tulisan-tulisan Tan Malaka jujur
saja terlalu khas abad 19. Tapi yang jelas tulisan Tan Malaka memiliki nilai
lebih pada pembongkaran tahyul dengan menggunakan alat rasionalitas walaupun
terkadang menjadi pemujaan yang berlebihan untuk Ilmu Pengetahuan. Berbeda
dengan pemikiran-pemikirannya yang ketinggalan jaman konsepsi perjuangan Tan
Malaka justru paling maju di depan, konsep Kemerdekaan 100% ini yang kemudian
menjadi alat koreksi pada tahun-tahun demokrasi terpimpin 1960-1965.
Bahkan dibandingkan
dengan Sukarno sekalipun. Pemikiran-pemikiran Sukarno sendiri atau katakanlah
filsafat Sukarno sangat maju dalam menelaah konsep-konsep Pancasila sebagai
puncak yang menginjak pada dua bahu Marxisme di kiri dan Deklarasi Independen
di kanan. Namun sayangnya konsepsi perjuangan Sukarno lebih pada sikap kompromi
dan tidak jarang meminjam tahyul-tahyul politik seperti pembiarannya pada
kepercayaan bahwa di Ratu Adil Jawa. Sulit melepaskan cara berpikir dan
bertindak Sukarno dari alam pikiran Jawa. Sukarno sendiri berperan sebagai
dalang yang mahir bicara namun kadang-kadang halusinasinya kuat sehingga
membuat orang Jawa yang lebih mengenal alam pikiran wayang kerap terpukau.
Sukarno adalah imajinasi sementara Tan Malaka adalah rasionalitas disini titik
perbedaannya.
Lalu bagaimana Tan
Malaka mempengaruhi perjuangan kemerdekaan Indonesia?. Sejauh ini belum ada sejarawan
secara detil melakukan studi tentang pengaruh ideologi Tan Malaka di kalangan
tentara. Padahal dari kisah-kisah sejarah peran Tan Malaka justru yang paling
menonjol selama 1945-1949 bersama peran Hatta-Sjahrir. Tan Malaka adalah tokoh
utama oposisi yang selalu menolak perjanjian-perjanjian diplomat Indonesia
dengan Belanda. Ia selalu berada di belakang layar untuk membangun penolakan
politik kompromi. Faktor inilah yang kemudian Jenderal Sudirman bersimpati pada
Tan Malaka. Musuh terbesar Tan Malaka adalah Sjahrir namun Sjahrir tidak pernah
menanggapi serius Tan Malaka, bahkan Sjahrir pernah menawari Tan Malaka jabatan
Perdana Menteri tapi ditolak Tan Malaka. Yang menjadi pertanyaan sekarang
kenapa justru Tan Malaka mendukung Hatta untuk menyerang Amir-Musso. Apa
setelah Hatta menang Tan Malaka tinggal menghadapi Hatta? Disini letak
pertanyaan utama tentan taktik membingungkan Tan Malaka. Namun persaingan
dengan BK adalah suatu yang jelas. Tan Malaka sangat disegani BK.
Hal yang paling
mengesankan adalah ketika Tan Malaka dimintai BK sebagai pewaris pemimpin RI
bila Sukarno-Hatta mengalami sesuatu yang dapat menghalangi jalannya
pemerintahan RI. Suatu siang yang panas awal bulan Oktober 1945 Tan Malaka
diundang BK untuk bicara panjang lebar tentang masa depan Indonesia. Saat itu
Achmad Subardjo menunggu diluar. Rupanya Sukarno sangat terkesan dengan alur
pemikiran Tan Malaka untuk itu ia meminta Tan Malaka siap untuk menjadi ahli
waris kepemimpinan RI bila Sukarno-Hatta berhalangan. Ahmad Subardjo di panggil
ke dalam dan dimintai untuk memanggil Hatta agar ia juga menyetujui
penandatanganan ahli waris itu. Namun Hatta yang cerdik justru melihat dari
sisi lain, warisan ini akan mengundang konflik terselubung di kemudian hari
untuk itu dengan penolakan halus Tan Malaka memveto. Hatta meminta jangan hanya
Tan Malaka tapi juga Wongsonegoro, Iwa Kusumasumantri dan Sjahrir. Apakah kelak
kemudian hari surat ini yang membawa celaka Tan Malaka. Lalu kenapa Tan Malaka
tidak merebut pemerintahan pada saat Sukarno-Hatta-Sjahrir ditangkap?
Tan Malaka
dieksekusi di Kediri pada tahun 1949 oleh pasukan Jenderal Sungkono. Keputusan
eksekusi Tan Malaka itu lebih disebabkan karena agar jangan sampai Tan Malaka
mengobarkan perlawanan semesta untuk menolak perundingan-perundingan yang
mengarah perundingan puncak yaitu KMB 1949. Ataukah lebih dari sekedar
kekhawatiran itu ialah : Pengaruh besar Tan Malaka di militer pada faksi “The
Nasution’s Outsider”? Dimana di dalamnya bergabung Jenderal Sudirman dan beberapa
perwira TNI Jawa Tengah dan Timur yang berlatar belakang PETA.
Yang menjadi
pertanyaan juga selain alasan diatas adalah siapa yang perintah eksekusi Amir
Sjarifudin, Musso dan Tan Malaka. Bila Sukarno mana suratnya? Hal ini
membuktikan bahwa pada tahun 1945-1949 Sukarno sama sekali tidak memiliki
kekuasaan riil politik, semua dipegang Sjahrir dan Hatta dalam pelaksanaan
perintah sehari-hari jadi persaingan Sukarno dan Tan Malaka serta kelompok
garis keras merupakan penajaman dari gerakan Hatta-Sjahrir. Hingga sampai
disini tidak tepat bila Sukarno membunuh kawan seiringan seperjalanan lalu
apakah Sukarno kemudian berubah pada tahun 1959-1965? Untuk itu mari kita buka
lagi situasi politik Internasional.
Perubahan Watak
Imperialisme
Amerika Serikat
memang lebih agresif daripada Stalin. Seperti yang saya ceritakan pada tulisan
saya yang terdahulu dalam menanggapi Yohanes Sulaiman, AS saat memasuki perang
dunia kedua sudah memikirkan akan memihak mana : Jerman atau Inggris-Sovyet
dalam menghadapi tentara Nazi Jerman. Coba saudara YS cari dokumen-dokumen CIA
di Universitas anda, apakah memang ada delegasi-delegasi Hitler mengunjungi
Amerika untuk membujuk Washington untuk memihak mereka atau setidaknya tidak
ikut campur. Tapi takdir sejarah berkata :Amerika harus memihak Inggris-Sovyet.
Dengan begini Amerika mengambil langkah dua tahap Hajar Hitler, lalu kurung
Stalin. Beruntung bagi AS negara mereka tidak hancur dan perekonomian pulih
akibat full employment dan full production buat membiayai perang. Depresi
ekonomi 1929 tidak terlihat lagi. Konsentrasi mereka sekarang adalah
menggantikan hegemoni Inggris di seluruh bekas jajahannya. Termasuk ikut campur
pada Vietnam dan Indonesia dua negara terberani di Asia yang merebut
kemerdekaan dengan perang bersenjata. Di Indonesia konsentrasi Amerika adalah
agar jangan ada kekuatan Komunis yang tumbuh signifikan. Disini Amerika lebih
rasional ketimbang Belanda yang mencap semua pemimpin Indonesia komunis.
Amerika Serikat melihat Sukarno adalah Nasionalis-tradisionalis dan
Hatta-Sjahrir sebagai Nasionalis-Modernis. Kedua kubu ini tidak masalah bagi
Amerika. Dari sini saja sudah jelas bahwa Sukarno sama sekali bukan pengekor
Komunisme Stalin. Sukarno sama seperti tokoh-tokoh pergerakan lainnya terpesona
dengan Marxisme, namun dalam hal Sosialisme pandangan Sukarno lebih cenderung
pada bentuk Nasionalisme ini adalah pengaruh HOS Tjokroaminoto. Sementara
Sjahrir lebih bersifat Internasionalisme bukan dalam pandangan Globalisasi baik
sistem Komunisme maupun Kapitalisme. Sjahrir adalah Sosialis Humanis
pemikiran-pemikirannya lebih cenderung dekat pada alam pemikiran Marx Muda
ketimbang Revolusioner gaya Moskow. Jadi bila ditarik garis dari tahun 1948
sudah terlihat jelas bahwa Sukarno sama sekali bukan komunis dan menjadikan
bandingan Sukarno komunis atau tidak pada peristiwa belakangan yang menguatnya
PKI Aidit adalah sama saja memeriksa ekor daripada kepala apalagi memperkuat
dengan dokumen CIA yang bergaya rahasia hanya sekedar ingin membuktikan Sukarno
PKI atau tidak. Yang jadi pertanyaan justru adalah Apakah Sukarno dibawah
pengaruh Aidit atau Aidit dibawah pengaruh Sukarno, itu yang penting. Jadi
disini kita sudah keluar dari himpunan bahwa Sukarno adalah bagian dari PKI.
Dalam struktur politik Sukarno diatas PKI massa PKI-lah yang kemudian banyak
dibantai pada peristiwa G 30 S sesungguhnya adalah kaum Nasionalis yang membela
Sukarno bukan karena kesadaran ideologi Komunisme-nya, apalah mereka tahu
dengan pemikiran Karl Marx. Ingat yang naik panggung politik adalah Sukarno
bukan Aidit, bukan Nyoto bukan Peris Perdede. Jadi secara alamiah
pikiran-pikiran Sukarno jauh merasuk ke dalam ketimbang pemikiran-pemikiran
Aidit. Orang PKI lebih kenal tulisan Dibawah Bendera Revolusi daripada
Masyarakat Indonesia Revolusi Indonesia (MIRI) tulisan DN Aidit. Coba sebutkan
dari kosa kata Aidit yang terkenal, paling-paling kosa kata yang
mempertentangkan Aidit dengan Pancasila dimana Aidit keselip lidah terhadap
omongan DN Aidit yang kemudian dimuat oleh harian “Revolusioner” yang
menyebutkan : “Pancasila hanya bermanfaat sampai Revolusi selesai” atau pidato
arogan Aidit di depan massa CGMI dan Onderbouw PKI lainnya yang dihadiri
Sukarno dan J. Leimena : “Kalau tidak berani bubarkan PKI silahkan pakai sarung
saja!”
Jadi bila menarik
Sukarno bukan PKI dengan susah payah pakai dokumen CIA yang didesklasifikasikan
ini sama saja Tautologi pengertian sejarah : Sebuah ulangan yang tidak punya
makna.
Berulang kali dalam
tulisan-tulisan saya (dalam konteks Imperialisme), saya menyebut tentang
Konferensi New Hampshire, Bretton Woods 1944 karena disanalah awal mulai desain
tatanan dunia baru dimana Amerika Serikat berperan sebagai otak dari
Imperialisme. The New Orde of The Worlds dimana kemudian Bung Karno melawan
dengan konsepsi “To build the World anew” dalam pidatonya di PBB. Pidato Bung
Karno itu merupakan jawaban terhadap konspirasi Bretton Woods tapi dunia
tidak pernah memperhatikan ini. Bahkan yang amat disayangkan
pemikiran-pemikiran Bung Karno sering di dangkalkan menjadi bagian dari dunia
Komunis tapi jauh lebih dangkal lagi melihat Sukarno hanya memainkan PKI
sebagai badut politiknya. Karena PKI dan Sukarno tidak bisa dilepaskan dari
kesatuan konsepsi masyarakat Indonesia baru. Melihat PKI hanya pion catur Bung
Karno dan Malaysia hanya satu-satunya musuh Sukarno sama saja mendangkalkan
kronika sejarah Indonesia. Watak Imperialisme baru dan perubahan-perubahan
konstanta politik yang revolusioner membuat Sukarno merasa perlu melakukan reka
ulang terhadap Indonesia dengan memasukkan unsur-unsur revolusioner dalam diri
bangsa Indonesia. Tujuan utama Revolusi Indonesia (1960-1965) adalah
menciptakan manusia Indonesia yang :
Memiliki
kepribadian Indonesia
Kuat dalam
perjuangan
Cerdas dan
Berpendidikan
Bersatu
Karakter-karakter
dasar Indonesia inilah yang kemudian tercermin dalam jargon-jargon politik
Sukarno dalam pembentukan Revolusionernya.
Kenapa keempat
karakter itu yang kemudian menjadi bahan-bahan bangunan untuk membuat benteng
Nasionalisme dan antisipasi terhadap serbuan Nasionalisme? Apa bentuk
imperialisme asing itu dalam kapitalisme tahap lanjut?
Penguasaan Pasar
Produk Final
Tidak ada lagi
sistem politik koloni vulgar khas abad 19.
Globalisasi budaya
populer sebagai pusat akumulasi modal
Penguasaan total
terhadap wilayah-wilayah yang memiliki sumber energi dan terletak di wilayah
strategis (di Timur Tengah penempatan Israel sebagai negara boneka Amerika, di
Amerika dengan menduduki Panama dan di Afrika Utara dengan menguasai
elite-elite politik Mesir, di Asia Tenggara menggunakan tangan
Singapura-Malaysia-Australia)
Menciptakan desain
raksasa untuk sistem keuangan Internasional dimana negara-negara terkebelakang
tapi kaya sumber daya alam dibuat tergantung kelangsungan hidupnya lewat sistem
keuangan eko-dependensia. Istilah ini ekonomi dependensia dijelaskan oleh Arif
Budiman seiring dengan berkembangnya jaringan intelektual New Left semenjak
kerusuhan Paris 1968 dan kedatangan Prof. Sidney Hook ke Jakarta pada awal
1970-an.
Pembentukan
negara-negara Junta Militer untuk menandingi Komunisme Stalinis dan Komunisme
Maois. Junta Militer adalah sebuah ideologi dengan warna fasisme berarti ini
merupakan penajaman dari nasionalisme fasisme dengan warna berbeda dari Hitler.
Junta Militer bentukan Imperialisme bukanlah nasionalis sejati macam
orang-orang Jerman dengan Nazi-nya tapi merupakan agen penjual negara. Selain
di Indonesia terjadi juga keadaan yang mirip di : Filipina, Korea Selatan,
Chile, dan Mexico.
Mulai meliriknya
kekuatan politik agama dalam hal ini Masyumi ke blok Amerika Serikat, bahkan
dibawah Sukiman Wirjosandjojo Indonesia sempat dijadikan orbit Amerika di Asia
Tenggara tapi kemudian Sukiman jatuh, Sementara kekuatan Soska, Sosialisme
Kanan juga terbuka dengan Amerika Serikat.
Diperlukan kelompok
radikal-pelopor untuk bersikap disiplin dan keras terhadap infiltrasi
Imperialisme gaya baru.
Dari delapan pokok
soal ini kita bisa lebih jauh lagi mendeteksi hubungan Sukarno-PKI
Sukarno dan PKI
Hubungan Sukarno
dan PKI bila dilihat sepintas adalah hubungan naik turun, namun bila kita
melihatnya secara detil hubungan Sukarno dan PKI adalah hubungan
syarat-menyarat, hubungan timbal balik dan hubungan negosiasi untuk memasukkan
Komunisme sebagai realitas ke dalam bingkai Nasionalisme. Pemikiran politik
Sukarno yang paling dominan hanya berpusat pada satu hal : Persatuan Indonesia.
Hal ini yang bisa dijadikan landasan dalam menilai hubungan Sukarno dengan
rivaal-rivaal politiknya ataupun koleganya. Apakah kemudian PKI setelah
revitalisasi 1954 menjadi sebuah bagian dari konspirasi Sukarno untuk menggusur
partai-partai yang terus menerus menjadi lawan politiknya? Ataukah memang PKI
beredar pada orbit pemikiran Sukarno?
PKI 1951-1965
Komunisme dalam Orbit Sukarno
Inti bentrok
Sukarno dengan Amir-Musso adalah konsepsi negara Sovyet di Madiun. Walaupun ini
banyak dibantah bahwa ‘berita Madiun 1948’ hanyalah masalah pergantian pejabat
internal walikota dan beberapa militer dari unsur TNI Masyarakat melakukan
pelucutan senjata terhadap kelompok pro Hatta dimana geger Solo menjadi titik pangkalnya
namun realita yang terjadi dimana Sukarno mendengar bahwa di Madiun telah
berdiri negara Sovyet. Jelas disini Sukarno apapun akan membela keutuhan
Republik Indonesia. Yang menjadi pertanyaan lagi apakah dalam ‘berita Madiun’
itu terdapat unsur permainan intelijen CIA? Ini yang belum pernah dibuktikan.
Namun yang pasti sebelum terjadinya peristiwa Madiun berlansung Konferensi
Rahasia Sarangan 21 Juli 1948 dimana Hatta, Natsir, Sukiman Wirjosandjojo dan
Kepala Polisi RI Sukamto bertemu dengan Gerald Hopkins dan Merle Cochran
sebagai utusan khusus Amerika serta delegasi Amerika untuk urusan penyelesaian
masalah sengketan Indonesia-Belanda. Awalnya Sukarno ikut dari pertemuan ini
kemudian tidak sampai selesai Sukarno keluar. Konferensi ini sangat rahasia,
lalu siapa yang mengetahuinya : Sjam Kamaruzaman! Ini membuktikan Sjam adalah
polisi Intel dari pihak kanan. Karena konferensi itu membahas penghancuran
komunisme di Indonesia dengan bantuan Amerika Serikat beserta
konsesi-konsesinya. Konferensi ini tidak pernah dibahas sejarawan manapun baik
Indonesia maupun luar negeri berikut dengan dokumen-dokumennya. Kalau ini
diungkap maka akan ada pertanyaan KMB 1949 itu kemenangan politik RI total atas
Belanda atau perjanjian kontrak konsesi terselubung antara Amerika
Serikat-Republik Indonesia? Riset terhadap konferensi Sarangan jauh lebih
penting daripada hanya mengungkap korelasi konflik Malaysia-Indonesia dengan
hubungan Sukarno-PKI karena hampir semua sejarawan tahu bahwa G 30 S memang
berkaitan erat dengan masalah konflik ini selain dua masalah penting lainnya.
Dua masalah itu akan saya bahas belakangan. Sekarang kita masuk ke dalam
pembentukan PKI sebagai Orbit Sukarno. Untuk membuktikan bahwa hubungan
Sukarno-PKI bukan hubungan pemanfaatan picik Sukarno seperti yang saudara
Yohanes Sulaiman tulis dalam artikel Kompas.Hubungan Sukarno-PKI lebih tepatnya
merupakan hubungan Sukarno untuk membentuk konsepsi Indonesia Raya-nya
dalam alam pikiran Sukarno.
Ada dua orang
penting di Indonesia yang telah memikirkan konsep Indonesia Raya. Sukarno dan
Tan Malaka. Perbedaannya adalah Sukarno membangun konsepsi Indonesia Raya
dengan mencoba membentuk sejarah masyarakat ia berusaha membangun realitas
kemerdekaan berikut pola-pola masyarakatnya berdasarkan Sosialisme. Sementara
Tan Malaka merumuskan konsepsi Indonesia Raya berlandaskan Manusia-nya dengan
prinsip Madilog. Sukarno sama sekali tidak pernah menyinggung secara detail
konsepsi Manusia Indonesia ke depan, tapi Tan Malaka sudah. Begitu juga
sebaliknya Tan Malaka tidak pernah secara detail mengenalkan konsepsi susunan
masyarakat setelah Indonesia merdeka yang ada korelasinya hanyalah konsep
kemerdekaan 100% tapi itu hanya masalah jangka pendek pada pertempuran
Belanda-Indonesia bukan pembentukan hukum sejarah masyarakat tapi Tan Malaka
adalah orang paling berjasa dalam mengenalkan mimpi manusia Indonesia masa
depan. Di bawah level dua orang itu baru kita bisa sebutkan : Sjahrir, Hatta
dan Soedjatmoko namun pengaruh ketiga orang itu kurang menggema dibandingkan
Sukarno dan Tan Malaka. Kemudian Tan Malaka hilang, pengganti Tan Malaka dari
kubu yang dekat dengan Tan Malaka atau dari Partai Murba sama sekali tidak ada
yang sekelas dengan Tan Malaka. Ini berarti Sukarno berjalan sendirian di
dekade 1950-an. Untuk memahami bagaimana dekade 1950-an secara politik
bekerja ada tiga pokok soal yang musti diperhatikan :
Dominasi politik
kanan dan kebangkrutan politik kanan
Kerja Politik PKI
di luar formalitas kabinet
Pematangan konsep
politik Sukarno menuju perjuangan akhir
Dominasi politik
kanan
Pada tahun-tahun
awal 1950 warna kanan sangat terasa dalam politik Indonesia hal ini merupakan
KMB effect. Adalah orang-orang Sjahrir-Natsir-Sukiman-Ali Sastroamidjojo yang
begitu kental ke kanan. Walaupun dalam spektrum politik yang berbeda semisal
Sjahrir cs yang europeesch (sosialisme barat), Natsir yang Islam- Nasionalis
namun condong ke Eropa, Sukiman Wirjosandjojo bisa dikatakan Amerikanis tulen,
dan Ali Sastro yang bimbang warna Ali juga kental dengan gaya politik Hardi dan
Suwirjo yang birokratis dan kepriyayi-priyayian. Kirinya Ali Sastro baru
terbentuk setelah matangnya konsep Nasakom (1962-1965) dan menjadi benteng
terakhir pembelaan PNI pada Bung Karno yang tersudut dalam pertarungan head to
head melawan Sukarno pada babak-babak akhir adegan kudeta merayap.
Yang perlu
diperhatikan adalah persaingan Natsir-Sukiman. Jika kita bicara politik
parlementer kita hanya bisa memfokuskan pada dua partai PNI dan Masyumi. Namun
dari dua partai itu justru Masyumi yang memiliki dinamika kepemimpinan internal
yang sampai berpengaruh di parlemen. Persaingan yang tajam antara
Natsir-Sukiman dan tidak berdayanya Natsir berhadapan dengan Sukiman
menghasilkan formatur kabinet Sukiman dengan Menteri Luar Negeri Achmad
Soebardjo pada tahun 1951. Berbeda dengan Natsir yang agak moderat dalam
pandangan politiknya, Sukiman jelas dalam melakukan realitas politik untuk
menghancurkan kelompok kiri (ingat waktu itu PKI sudah hancur akibat ‘Berita
Madiun 1948’) namun berusaha bangkit lewat Comitee Central yang dibuat dengan
sedikit hati-hati dibawah Tan Ling Djie.
Dalam kabinet
Sukiman inilah yang kepicikan untuk menghancurkan kelompok yang dianggapnya
kiri terjadi. Menlu Soebardjo memutuskan untuk mendekati Amerika Serikat. Dan
PM Sukiman menawarkan pada Amerika Serikat penangkapan-penangkapan kelompok
kiri sebagai bukti bahwa Indonesia setia pada garis McCarthy, garis
komunistophobi. Penangkapan Sukiman ini bisa disebut sebagai ‘Red Drive
Proposal II’ dimana yang pertama adalah : Konferensi Rahasia Sarangan’. Garis
politik ‘Asal Kiri Tangkap’ mulai dari kirinya Sjahrir sampai kirinya
Tjugito(Fraksi PKI.
Razia Sukiman ini
main tangkap dengan cap asal kiri, ini persis apa yang dilakukan rezim Suharto
pada 1965-1967 dan Orde Baru 1967-1998. Dimana seluruh anasir yang digolongkan
kiri ditangkapi. Ulah Sukiman ini justru ditentang oleh Natsir melalui harian
‘Abadi’ sebuah koran Masyumi yang pro Natsir dan sering dijadikan corong Natsir
dalam mensosialisasikan ide-ide politiknya. Dari pemikiran ini kecuali ide-ide
Natsir yang terjebak dalam konsepsi Negara Islam karena dorongan situasional
pada tahun 1955-1957 menunjukkan bahwa Natsir adalah politisi Islam-Nasionalis
pertama yang mendukung politik bebas aktif jauh dari campur tangan Amerika.
Namun Natsir kemudian terseret dalam kasus PRRI. Dalam tulisan Natsir tersebut
menyebutkan bahwa Duta Besar Amerika Serikat Allen Griffin melalui berbagai
nota-nota rahasia yang dikirim ke Washington (Silahkan saudara YS cari
dokumennya) mendesak agar Indonesia dimasukkan ke dalam program ‘Mutual
Security Act’. MSA Affair ini terjadi lewat pintu Menlu Soebardjo hal ini
berhasil dibongkar lewat ‘rumor Natsir’ lalu para anggota kabinet yang marah
mempertanyakan kebenaran adanya perjanjian rahasia AS-Indonesia dalam proyek
condong kanan dengan bahasa khas AS ‘Membantu dunia bebas’. Para anggota
kabinet mempertanyakan apa yang dimaksud dengan ‘dunia bebas’? Apakah itu
berarti memihak pada politik yang berdaulat atau berpihak pada AS. Adalah
Sewaka Menteri Pertahanan dari unsur Partai Indonesia Raya yang mendesak agar
Soebardjo mengundurkan diri. Dalam hal ini perlu diperhatikan anomali politik
Soebardjo sebagai orang yang pernah dekat dengan Tan Malaka dan mengenalkan Tan
Malaka dari kelompok gerakan muda yang baru tumbuh kemudian terjebak pada
politik memalukan dengan melakukan aksi sepihak untuk ‘menjual’ politik
Indonesia pada AS. Soerbardjo memang gagal bahkan Soekiman mengundurkan diri
setelah dilipatgandakan serangannya oleh KH Wahid Hasjim lewat pertanyaan
urusan Haji. Soekiman juga dinilai gagal dalam perundingan-perundingan dengan
Belanda. Hal yang perlu diketahui adalah kegagalan Soekiman karena AS masih
memihak dan mempercayai Belanda sebagai benteng anti komunis. Adanya Belanda di
Irian menjadi ‘Politics Hedging’ terhadap antisipasi kegagalan Hatta atau kaum
kanan Indonesia terhadap kekuatan Komunisme. Barulah ketika Belanda dinilai
oleh AS juga tidak serius dalam politik perang di Asia Tenggara. (Coba anda cek
dalam dokumen-dokumen di kampus anda tentang dinamika politik Belanda pada tahun
1960-an yang mulai berusaha menjadi negara-negara Skandinavia yaitu :menarik
diri dari konflik Internasional dan berkonsentrasi untuk kemakmuran dalam
negeri. Watak Imperialisme Belanda sudah habis hal ini karena menguatnya
barisan Sosialisme dalam tubuh Parlemen Belanda) Amerika Serikat membutuhkan
komprador baru yang realisasinya adalah penyusupan-penyusupan di tubuh Militer.
Dari sinilah kita bisa menganalisa ayuh mengayuh bandul politik Amerika. Dimana
pusat ayuhannya ada pada titik kekuatan Komunisme.
Tumbuhnya PKI Aidit
Untuk memahami PKI
(1951-1965) perlu dianatomi pemimpinnya yaitu : DN Aidit, Njoto, MH Lukman dan
Soedisman. Sampai saat ini kita belum bisa membedah secara detil
pemikiran-pemikiran mereka karena keterbatasan referensi akibat penjara politik
Orde Baru tapi secara garis besar bisa dilihat wacana-wacana mereka dari apa
yang sudah sering kita lihat pada referensi yang agak terbuka pasca Reformasi
1998.
DN Aidit
Dipa Nusantara
Aidit adalah seorang otodidak besar politik Indonesia yang tidak pernah
tertandingi oleh siapapun sampai saat ini dalam membesarkan partainya. Tidak
terkecuali Sukarno. Kelemahan Sukarno dibanding Aidit adalah Bung Karno tidak
pernah berpikir dalam lingkup konsentrasi kepartaian yang kuat. Bung Karno
sangat lemah dalam melakukan organisasi yang solid. Ini terbukti dengan begitu
saja pecah partai PNI setelah penangkapannya di tahun 1928 dan kehadiran Hatta
yang berantem dengan Mr. Sartono dimana Sukarno memihak pada Mr.Sartono di
Partindo. Jadi secara organisatoris Sukarno tidak ada apa-apanya. Namun secara
magis politik Sukarno punya nilai jual paling tinggi untuk itulah kemerdekaan
politik Indonesia ada dan diproklamasikan tahun 1945. Aidit berlawanan dengan
Sjahrir dalam membangun partainya. Sjahrir bermain di atas, Aidit berkoridor di
massa. Disini kemudian bertarung antara kaum elite dengan kaum populis dimana
Sukarno berhasil memenangkan kedua-duanya.
Lalu siapa Aidit?
Aidit tidak dibesarkan dalam lingkungan komunisme otodidak tidak seperti
hal-nya tokoh-tokoh utama Komunis jaman pergerakan seperti : Setiadjid, Tan
Malaka atau Musso yang berkenalan langsung dengan paham-paham komintern
Stalinis serta agak kurang mengenal dimensi lain komunisme yang banyak
bermunculan dalam penentangannya terhadap Menara Suar Pemikiran Lenin seperti
Rosal Luxemburg dan Eduard Bernstein (si ahli revisionis yang menolak
revolusioner kemudian pemikirannya berkembang ke arah sosialisme demokrat).
Aidit dibesarkan murni dari pergerakan Indonesia lewat Gerindo dimana dia
banyak berhubungan dengan orang-orang pergerakan termasuk Hatta. Jadi awal
tanam pikiran Aidit adalah pergerakan nasionalis bukan internasionalisme
seperti yang ada dalam logika Musso atau Tan Malaka (walaupun kemudian Tan
Malaka menyeberang ke murni nasionalis) Bila dilihat dari tulisan-tulisan Aidit
hampir semuanya cenderung mengajukan problem-problem nasionalisme ketimbang
problem-problem komunisme Internasional inilah yang kemudian Aidit merasa asing
dengan Komunisme Sovyet dan dekat dengan komunisme Cina. Orang yang mengenalkan
Aidit dan mungkin menjadikannya berjuang di jalan Komunisme kemungkinan
terbesar adalah Wikana seorang inspirator besar kemerdekaan Indonesia Raya yang
dengan jaringan pemanfaatan perwira Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Yang
kemudian bergulir menjadi proklamasi 1945. Adalah tugas kaum sejarawan untuk
lebih detail lagi mengupas watak Aidit dalam pembentukan karakter politiknya
terutama periode 1939-1945 dimana Aidit mendapatkan tanaman pelajaran politik
penting dari Sukarno, Hatta, AK Gani dan Wikana.
Aidit juga ikut
dalam rapat-rapat pembentukan kemerdekaan jadi ia tahu benar dari awal
bagaimana Indonesia ingin dibentuk dan berdasarkan apa. Juga adanya pengaruh
pikiran-pikiran Sukarno di dalam dirinya. Bila dikatakan Aidit ikut dalam
kelompok Internasionalis Musso mungkin argumennya dia masih terlalu muda. Aidit
berdiri di dua sisi, Sisi Nasionalisme dan sisi PKI.
Perlu dipelajari
juga suasana konsolidasi PKI di era Aidit yaitu : Permusuhannya di kalangan
tua. Pada jaman Aidit orang-orang eks Digulis banyak yang tidak menyenangi
kepemimpinan baru. Di tataran bawah banyak yang bilang seperti jargon : PKI
dulu lain dengan PKI sekarang atau dalam bahasa Aidit sendiri : Bongkar Tan
Ling Djieisme...Tan Ling Djie di ikonkan Aidit sebagai figur lama yang harus
tersungkur dalam hal ini Wikana juga menjadi korban. Apakah ini berarti Aidit
mengabaikan Internasionalisme kemudian menjadi pendukung penuh Sukarno dalam
proyek Nasionalismenya. Dalam kritik dan otokritik PKI yang dilakukan oleh
sisa-sisa elite PKI yang sempat lolos kejaran tentara pasca G 30 S sempat
menyuarakan bahwa kegagalan terbesar PKI adalah ikut dibelakang Sukarno dan
terlalu larut dalam Revolusinya Sukarno sehingga menjadi korban politik dari
musuh-musuhnya Sukarno. Bila dilihat dari penolakan kelompok tua PKI dan Kritik
dari elite PKI pasca G 30 S kita bisa mengambil pertanyaan. PKI itu komunisme
beneran atau kaki politik Sukarno?.
Pertanyaan ini akan
mengambil perenungan yang dalam. Dan saya menjawab PKI era Aidit (1951-1965)
adalah kaki politik Sukarno bukan bentukan yang nyambung dengan embanan
historisitas komunisme Internasional.
Dua Kegagalan
Sukarno
Ada dua kegagalan
Sukarno yang terus menerus membayangi dirinya ialah : Kegagalan ikut dalam
pembidanan Angkatan Bersenjata dan Kegagalan dalam melindungi orang-orang kiri
karena takut dicap sebagai bagian dari Komunisme sepanjang Revolusi Bersenjata
1945-1949. Kegagalan itu secara bawah sadar membawa Sukarno pada keinginannya
untuk menguasai dua kekuatan itu sekaligus.
Sukarno mengalami
cap buruk oleh Belanda (yang juga terus menerus memfitnah Sukarno adalah fasis
dan komunis) karena dinilai sebagai kolaborator dan bekerja sama dengan fasisme
Jepang dari sinilah kemudian Sukarno mulai agak berjarak dengan kelompok
militer. Sukarno melakukan politik naif yaitu :Membentuk Negara tanpa Angkatan
Bersenjata. Disinilah kenapa sejarah TNI bukan sejarah militer tapi sejarah
rakyat bersenjata. Dan namanya BKR, TKR kemudian TNI transformasi nama ini
menunjukkan Sukarno takut dicap fasis sehingga menimbulkan kemarahan Inggris.
Sesungguhnya tuduhan Belanda itu ngawur mana ada komunisme yang fasis atau
fasis yang komunisme kedua ideologi itu bertentangan satu sama lain. Tapi
Sukarno masih terlalu hati-hati. Pembentukan tentara profesional baru terjadi
ketika Oerip Soemohardjo membentak di depan elite pemimpin RI dengan kata-kata
terkenal “Mana ada Negara zonder Tentara?!!!” dari sinilah kemudian lahir BKR
kemudian mengalami transformasi menjadi TKR dan TNI. Sukarno bukanlah bidan
tentara juga bukan Baby Sitter yang mengasuh tentara. Baby Sitter TNI adalah
Hatta melalui tangan AH Nasution dari sini kemudian Sukarno dan Nasution
membangun kekuatannya masing-masing dan Sukarno mempunyai jembatan tengah yaitu
Letjen Ahmad Yani dalam era demokrasi terpimpin.
Kedua, adalah
berjaraknya Sukarno dengan kekuatan kiri. Dan ini kemudian ditebusnya dengan
merangkul dan membesarkan PKI Aidit. Semua tulisan-tulisan Sukarno selalu
mengandung kekaguman pada dua hal : Sosialisme Marxisme dan Nasionalis –bahkan
harus diakui Sukarno kagum dengan Hitler dalam menumbuhkan watak nasionalis
yang kuat – Dari sinilah kita kemudian menarik akar-akar pemikiran Sukarno.
Bila dilihat dari
wataknya antara Sukarno dan Aidit tidak ada bedanya. Sama-sama bergaris keras
dalam sikap nasionalisme-nya. Sejak kongres ke IV tahun 1954 diputuskan bahwa
PKI tidak boleh lagi melakukan petualangan politik dan ikut pertarungan politik
lewat jalur resmi. Disini kemudian Sudisman membesarkan organisasi partai lewat
struktur administrasi yang brilian dan berhasil melakukan pembentukan sel-sel
kekuatan politik yang riil.
Jadi disini terjadi
PKI Aidit adalah PKI kaki Sukarno. Kemudian Bung Karno berusaha sekuat tenaga
membangun pengaruh di militer dengan menyingkirkan Nasution dan menolak Gatot
Subroto.
Nyoto
Nyoto adalah
pemimpin PKI yang meragukan watak komunisme-nya karena gaya hidupnya yang
borjuis dan penikmat musik serta musik Jazz. Nyoto adalah sahabat dekat Jack
Lesmana juga orang yang paling dipercaya oleh Bung Karno untuk menuliskan
amanat-amanat pidato Sukarno terutama pada saat pidato 17 Agustus 1945. Dari
unsur Nyoto inilah PKI menjadi senyawa dengan Sukarno. Penyingkiran Njoto
sebagai redaktur Harian Rakyat merupakan intrik internal partai dari
persaingannya dengan Oloan Hutapea.
MH Lukman
Mohammad Hatta
Lukman, ayah MH Lukman adalah sahabat Hatta dan menamai anaknya mirip dengan
Muhammad Hatta. Dia adalah orang yang paling mengenal relasi-relasi di luar
partai. Lukman juga merupakan benteng pembela Aidit di dalam tubuh partai namun
di depan Aidit, Lukman sangat lemah.
Sudisman
Menilai Sudisman
dengan PKI-nya adalah menilai Sudisman sebagai jenius pembentuk partai juga
orang yang paling berani –keberanian Sudisman ini mengundang kekaguman Soe Hok
Gie yang menuliskan watak berani Sudisman dalam catatan hariannya - dan
membuktikan dalam pledoinya bahwa PKI merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari Sukarno.
Sudisman adalah
jebolan Pesindo bersama Supeno ia memimpin Lasykar Pesindo di Yogya dan
menjelang serangan umum 1949 ia bersama dengan Kapten Latif merencanakan
penyerbuan militer pada saat Serangan Umum, perencanaan itu berlangsung di
dalam betheng Keraton Yogyakarta. Kapten Latif ini adalah Kolonel Latif
orang yang paling berperan penting dalam Gerakan 30 September selain Untung dan
Brigjen Suparjo. Kemudian Sudisman bertemu dengan tiga serangkai : DN Aidit, MH
Lukman dan Nyoto lalu dia menduduki jabatan paling rumit yaitu organisatoris
Partai. Kemunculan Sudisman di muka publik justru pada pledoinya di tahun 1968
yang menjadi bukti bahwa PKI di era Aidit (1951-1965) bukan Komunisme bentukan
Sovyet atau RRC tapi merupakan murni dari proses sejarah perkembangan
masyarakat Indonesia. Pikiran termurni seseorang adalah ketika dia
dihadapkan pada kesulitan terbesar dan saat Sudisman menghadapi kematiannya
lewat palu pengadilan Mahmilub coba betapa dekat hubungan Sukarno dan PKI dan
bagaimana dalam hal ini PKI membela Sukarno, juga Sukarno membela PKI sampai
beliau mengalami kematiannya dalam kondisi mengenaskan dan tidak layak
diperlakukan selayaknya pemimpin besar kemerdekaan, berikut pledoi Sudisman
tentang Bung Karno :
......... kekuatan
militer sekarang supaya mengadakan plebisit dengan tema:
Bung Karno, ya atau
tidak.
Atau pilih antara
Bung Karno dan Jenderal Nasution misalnya.
Plebisit tanpa
biaya dapat diselenggarakan, yaitu dengan serentak di seluruh Indonesia
diadakan pemilihan lurah dengan tema seperti diatas, Sampai sekarang dalam
pemilihan umum lurah, rakjat membiayainya sendiri dan tidak ada anggaran dari
pemerintah untuk itu. Ini jika mau menempuh jalan demokratis, jangan dengan
jalan seperti sekarang ini.
Dengan plebisit
saya yakin rakyat akan pilih kembali Bung Karno sebagai Presiden. Sungguh suatu
tragedi nasional, Bung Karno dijatuhkan oleh MPRS yang sebagian besar
angautanya adalah 'conflicten regoling' yang mengatur sengketa antara Presiden
dengan MPR belum ada dan sekarang terang ada konflik. Jalan satu-satunya adalah
plebisit. Saja teringat pada zaman penjajahan Belanda du1u kita minta
"Volksraad" dan "Rood van Indie" diganti dengan
"Parlemen" karena baik "Volkraad" maupun "Rood van
Indie" tidak dipilih langsung oleh rakjat dan sebagai anggautanya terdiri
dari anggota-anggota angkatan Gubermur Jenderal. Dimana letak tragedinya?
Tragedinya ialah di zaman penjajahan kita berjuang maju ke Indonesia
Berparlemen, tapi setelah merdeka kita mundur ke semacam "Rood van
Indie" bahasa Jawanjy "jo kebangeten" atau
"keterlaluan".
Saja dan PKI tidak.
pernah memberikan gelar ini atau itu kepada Bung Karno, tidak pernah memberikan
agung ini, atau agung itu, sebab gelar satu-satunya jang tepat adalah
"Bung Karno" sehingga nama Bung Kerno berkembang dari Sukarno (ada
kesukaran) ke Bung Karno (artinya bongkar kesukaran). Sebagai sesama orang
revolusioner, justru dalam keadaan sulit separti sekarang inilah saya terus
membela dan mempertahankan Bung Karno, sebab sesuatu mengatakan bahwa "in
de nood leert men zijn vrien den kennen" (dalam kesulitan kita mengenal
kawan) dan "jo sanak, jo kedang, jen mati aku sing kelangan" kata
Bung Karno untuk PKI. Sebagai arek Surabaya, saja sambut uluran tangan Bung
Karno dengan: "ali-ali nggak ilang, nggak isa lali ambek kancane". (artinya
tidak bisa lupa sama kawannya).
Kenapa saja bela
dan pertahankan Bung Karno? Sebabnya ialah sepanjang sejarahnya Bung Karno
konsekwen anti Imperialis sampai berani menyemboyankan "go to hell with
your aid" terhadap imperialis Amerika Serikat; Bung Karno setuju mengikis
sisa-sisa feodal dengan mengadakan landreform terbatas; dan Bung Karno setia
pada persatuan tenaga-tenaga revolusioner. Inilah dasar daripada instruksi saya
pada anggota-anggota PKI, untuk masuk dan bentuk "Barisan Sukarno".
Dalam kesulitan
seperti sekarang ini berlakulah pepatah Pavlov bagi Bung Karno "a
discovery begins where an unsuccessful experiment ends" (suatu penemuan
mulai pada saat pengalaman yang tidak sukses berhenti).
(Sudisman, Pledoi
menjelang kematiannya di depan Mahmlub 1968)
Dilihat dari
pemikiran Sudisman jelas hubungan PKI- Sukarno bukan hubungan hanya didasarkan
pada saling memanfaatkan kekuasaan yang picik tapi memang dalam rangka
membentuk bangunan masyarakat sosialisme sesuai dengan struktur Bung Karno :
Nasakom.
Ada ciri ketakutan
dari sejarawan-sejarawan juga para intelektual Indonesia akibat imbas buruk
propaganda Suharto pada jaman Orde Baru yang begitu mengerikan :
Memandang negatif
PKI sebagai kekuatan antagonis dalam perkembangan politik Indonesia : Padahal dalam
kerja intelektual kita harus objektief apalagi sejarawan harus melepaskan
dirinya dari konteks-konteks cap yang berkembang dalam sejarah masyarakat.
Akibat paranoia sejarah sedemikian rupa orang lupa bahwa yang paling berteriak
terhadap ketidakberesan pemerintahan Demokrasi Terpimpin adalah PKI terutama
masalah penurunan harga, Bung Karno sendiri menyatakan itu di depan KAMI awal
tahun 1966 di Istana Bogor.
Melihat relasi
PKI-Sukarno adalah relasi yang buruk padahal dalam studi sejarah harus
dilepaskan cap-cap relasi sebelum kita memasuki konteks. Relasi sejarah harus
dilihat sebagai bentuk netral dulu, baru pada pengamatan kita bisa memberikan
cap.
Pendangkalan fakta.
Seperti kasus Yohanes Sulaiman yang mendasari pada dokumen CIA tentang sikap
jiwa kerdil Sukarno dengan akan menghancurkan PKI setelah proyek Malaysia
selesai. Kalau orang-orang militer yang anti PKI tahu ini kenapa mereka agak
berjarak dengan PKI, jadi diamkan saja dan bantu Bung Karno nyerang Malaysia
baru itu nyerang PKI. Benar-benar studi sejarah yang naif.
Ini yang paling
sukar. Karena kita berada dalam dimensi ruang dan waktu kapitalisme kita sulit
melepaskan diri berpikir dengan berjarak pada pengamatan usaha-usaha
Sosialisme. Semua yang terjadi pada perkembangan Sejarah Masyarakat Indonesia
pada tahun 1945-1966 adalah ‘Perkembangan Sejarah Masyarakat Sosialisme” jadi
tolok ukurnya harus dengan bagaimana menyikapi cara berpikir masyarakat
Sosialisme bekerja.
Jadi bila Bung
Karno dikatakan akan menghancurkan PKI ini sama saja mengatakan : ‘Bung Karno
memotong satu kaki Bung Karno’ masak orang mau potong kakinya sendiri.
Penafsiran dokumen CIA oleh Yohanes Sulaiman ini kok mirip seperti pembelaan
gaya lama seperti PNI di era Hadisubeno yang berusaha menjauhkan mati-matian
Bung Karno bukan saja dari PKI tapi dari relasi pemikiran Sukarno dengan
Marxisme benar-benar gerakan cari selamat yang keterlaluan. Saya hanya
berspekulasi apakah tulisan ini mengandung pesan “Mari jauhkan Bung Karno
dengan PKI” kalau itu terjadi ini adalah sebuah pengkhianatan intelektual bagi
kaum sejarawan. Perlu bukti yang dalam bahwa Bung Karno ingin menghancurkan PKI
karena ini pembelokan bagi sejarah Indonesia yang serius.
Otoritas Bung Karno
terhadap Sirkulasi Kepemimpinan
Tulisan Yohanes
Sulaiman pada Ikranegara juga mengundang tertawaan karena seakan-akan merupakan
tulisan orang yang baru belajar sejarah.
Pertama adalah
spekulasinya tentang Nasution yang tidak dipercaya CIA. Memang Nasution dikenal
sebagai orang yang tidak prinsipil dan plin plan. Tapi patut diingat Nasution
adalah orang yang juga takut berhadapan dengan Sukarno. Harus diselidiki apakah
Nasution mendukung benar Suharto dalam menegakkan rezim Junta Militer karena
memang sepenuhnya mendukung atau Suharto dianggap sebagai jembatan menuju rezim
berikutnya - sebagai bukti Nasution setelah Orde Baru mapan melakukan
politik oposisi karena dia adalah lambang dari korban PKI saja-lah maka Pak Nas
tidak dipenjarakan sebagaimana yang terjadi dengan Pak Ton alias HR Dharsono,
padahal kebencian Orba pada Nasution luar biasa Pak Nas pernah di dorong secara
kasar oleh seorang tentara pada sebuah resepsi karena disana akan hadir
Sudharmono - . Nasution bukan tipe Jenderal penjual negara. Dia loyalis
termasuk dengan Yani hanya saja Nasution menjelang tahun 1965 mencoba bersikap
rasional terhadap pemikiran-pemikiran Sukarno sebagai ciri khasnya dia yang
terkenal tapi oleh Sukarno, Jenderal Nasution di blok dan diisi tempatnya oleh
Yani. Yohanes Sulaiman juga bilang Nasution terlalu dekat dengan Moskow adalah
lucu selucunya. Nasution baik dari pemikiran militer maupun kedekatan historis
rasionalnya sangat dekat dengan barat. Nasution mengirim banyak perwira-perwira
penting ke barat bukan ke Moskow. Jenderal-Jenderal yang kelak menempati posisi
penting Angkatan Darat adalah didikan Fort Benning, Fort Leavenworth di USA
ataupun Fuhrungs der akademie der bundeswehr di Jerman Barat. Masa depan
militer Angkatan Darat dalam konsep Nasution sejak perang Revolusi Kemerdekaan
1945-1949 adalah ‘Militer Bergaya Barat’ hanya memang konflik-konflik
militer-lah Nasution kemudian terjebak omongan Dwifungsi walaupun Dwifungsi
Nasution dengan Dwifungsi Suharto berbeda artinya. Dwifungsi inilah yang
kemudian menjadi serdadu penjaga Orde Baru mirip dengan Pancasila ala Suharto.
Nasution bahkan dikenal terlalu barat. YS harus membeberkan
bukti kedekatan Nasution dengan Moskow kecuali kontrak jual beli mesin
militer.
Kedua, adalah
anggapan Bung Karno sama sekali tidak memiliki kekuasaan dalam sirkulasi
kepemimpinan tentara adalah sebuah studi yang aneh dan darimana YS mendapatkan
pelajaran sejarah seperti ini? Apakah YS tidak pernah melihat bahwa apa yang
dilakukan Perwira-Perwira loyalis pemerintah dalam menghajar tentara di luar
Jawa di era 1950-an merupakan sebuah pesan bahwa Sukarno mengalami kristalisasi
kekuatan di militernya. Apakah setelah perjanjian di depan makam Jenderal
Sudirman di Semaki Yogyakarta pasca kejadian 17 Oktober 1952 tidak bisa
diartikan sebagai kekuatan Sukarno lewat tangan Nasution membenahi militernya?
Apakah penolakan pengangkatan Kahar Muzakar atau penangkapan Andi Selle di
Pinrang bukan merupakan pengaruh Jawa. Seperti yang anda katakan Sukarno sangat
lihai dalam mengangkat Jenderal-Jenderal perangnya dan dia bisa dengan santai
memecat Jenderalnya. Bahkan Asvi Warman Adam dalam studinya mengatakan
kesalahan terbesar Sukarno adalah : Terlalu memandang remeh Suharto dan segera
memecat Suharto saat itu juga saat Suharto menolak memberi peluang Jenderal
Pranoto dan Jenderal Umar bertemu dengan Sukarno. Ini bukan karena Sukarno
lemah tapi memang jadi watak Sukarno untuk lihat keadaan tidak asal main pecat.
Ada beberapa bukti
bahwa tangan kekuasaan Sukarno di Militer sangat kuat dan apa yang dikatakan
Ikranegara dalam tanggapannya pada Yohanes Sulaiman merupakan kebenaran
sejarah. Uraian ini sebagai bukti bahwa Bung Karno sangat kuat dalam mengganti
para Jenderal atau perwira tinggi untuk itu coba saya sitir pada nasib dua
perwira yang merasakan tangan kekuasaan Bung Karno. Jenderal Gatot Subroto dan
Mayor (pensiun Letjen) Kemal Idris.
....Pak Nas dan Pak
Gatot pernah dibawa ke pertemuan Beograd, kemudian langsung ke New York, dimana
Bung Karno mengucapkan pidato : “The Build World anew”. Setelah pulang ada
perpecahan diantara dua orang ini (Pak Nas dan Pak Gatot)
Maka kepada Pak Nas
saya kemukakan : “setelah Pak Nas dan Pak Gatot dibawa Bung Karno ke Beograd
saya mengira atau umumnya mengira yang mengganti Pak Nas itu Pak Gatot” .
Soalnya Pak Gatot pernah mengatakan pada saya waktu inspeksi ke Bandung : “Mit,
jangan salahkan bapakmu, ya kalau sebentar lagi pundak saya ditambah
bintangnya” ..........
Tapi ternyata yang
menggantikan Nasution itu Jenderal Yani. Awalnya Yani menolak lalu menandangi
Pak Gatot dan berkata dia tidak bersedia mengganti Pak Nas menjadi Kasad. Tapi
Pak Gatot membentak Yani “ Ben je nog soldaat, of niet?! (Kamu masih prajurit
atau bukan?”) Laksanakan perintah itu!” Tapi kalimat itu ditambahnya dengan
didorong rasa kecewa “Wat ben Ik” (Apalah saya).
Selain Yani muncul
juga nama Sudirman (bukan Pangsar ya..) ya di kasak-kusuk menjadi calon kuat
Kasad menggantikan Nasution. Awalnya Jenderal Sumitro curiga Nasution memecah
belah Angkatan Darat tapi kemudian hari Jenderal Sumitro mendapat penjelasan
dari Nasution sebagai berikut :
“Sekian waktu
kemudian saya mendapat penjelasan dari Pak Nas yang menggugurkan semua pikiran
saya yang lebih dulu itu. Ternyata, bukan Pak Nas yang menolak Pak Gatot untuk
menggantikannya. Yang menolak adalah Bung Karno. Bung Karno meminta tiga orang
lagi calon. Maka diajukanlah : Jenderal Yani, Jenderal Sudirman dan Jenderal
Djatikusumo. Kemudian ditetapkanlah Jenderal Yani menggantikan Jenderal
Nasution. Saya lega merasa mendapat keterangan demikian dari Pak Nas.
(Soemitro, Dari
Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib, disusun Ramadhan KH dan diterbitkan
oleh Sinar Harapan 1994 catatan utama hal. 352-353)
Catatan kedua
adalah :
Tentang Kemal Idris
yang saat itu masih berpangkat Mayor dan terlibat dalam stel intalasi meriam
yang moncongnya diarahkan ke Istana pada peristiwa 17 Oktober 1952 sehingga
tidak disukai Bung Karno. Ia menilai jabatannya dicoret oleh Bung Karno dan
tidak dibela Nasution :
........Saya
merasakan, ujung dari peristiwa Oktober 1952 itu masih berlanjut. Ini saya
rasakan dalam perjalanan karir saya di Angkatan Darat yang seringkali mengalami
hambatan. Kalau saya diajukan oleh atasan untuk menduduki sesuatu jabatan,
selalu ditolak oleh Soekarno, dengan tidak menandatangani surat keputusannya.
Saya pernah tidak
diberi jabatan atau meja selama 8 tahun. Sejak itu saya merasa terkucil dan
dipetieskan. Walaupun kenaikan pangkat dan kesempatan mengikuti pendidikan
tambahan selalu ada, tetapi tidak dalam hal kedudukan dan jabatan
saya. Kecuali pemindahan saya ke Resimen VII yang dipindahkan dari Jakarta
ke Purwakarta.
Barangkali timbul
pertanyaan : Apakah Soekarno turut campur tangan dalam urusan mutasi dan
penempatan perwira Angkatan Darat? Bung Karno sebetulnya tidak turut ikut
campur dalam hal kenaikan pangkat dan penempatan perwira. Akan tetapi , Jika
Bung Karno melihat nama saya dipromosikan maka dia akan mencoretnya.
.....”Pak Nas,
kenapa saya mengalami keadaan semacam ini?” saya bertanya suatu hari kepada
Nasution.
“Orang nomor satu
harus tahu ke mana kamu harus ditempatkan, kalau dia bilang tidak setuju
berarti tidak jadi” jawab Nasution.
Waktu menjadi
Kepala Staf Kostrad, seharusnya saya naik pangkat menjadi Mayor Jenderal. Bung
Karno tidak setuju kecuali kalau saya bersedia ditugaskan ke luar negeri. Saya
memperoleh cerita ini dari Pak Harto, yang tidak berapa lama kemudian menaikkan
pangkat saya menjadi Mayor Jenderal.
(Biografi Kemal
Idris, Bertarung Dalam Revolusi, Penyusun H. Rosihan Anwar, Ramadhan KH dkk,
penerbit Sinar Harapan 1996)
Dari
tulisan-tulisan ini saja sudah menunjukkan betapa berkuasanya Sukarno atas
Angkatan Darat. Bahkan dari sudut pandang CIA sekalipun yang katanya Sukarno
sudah mempersiapkan pengganti Yani adalah : Jenderal Moersjid. Jadi analisa
Yohanes Sulaiman tentang betapa impotennya kekuasaan Sukarno terhadap sirkulasi
kekuasaan di tubuh elite militer perlu dipertanyakan. Bukan pertanyaan
analisanya, tapi pada Profesor mana dia belajar?
Pribadi Yang Penuh
Gelombang
Dengan nada yang
meyakinkan Yohanes Sulaiman menggambarkan karakter Sukarno sebagai berikut
baiklah saya sitir tulisan Yohanes Sulaiman :
Sukarno adalah
seorang individualis. Manusia jang tjongkak dengan suara-batin
yang menjala-njala,
manusia jang mengakui bahwa ia mentjintai dirinja
sendiri tidak
mungkin mendjadi satelit jang melekat pada bangsa lain.
Sukarno tidak
mungkin menghambakan diri pada dominasi kekuasaan
manapun djuga. Dia
tidak mungkin menjadi boneka."
Orang macam apa
yang berani menulis seperti ini, kecuali Sukarno
dengan harga
dirinya yang memang sangat tinggi itu, di mana ia ingin
Indonesia juga
memiliki harga diri tinggi di mata dunia? Saya tadinya
juga tidak percaya
waktu membaca dokumen CIA tersebut, tapi dari
membaca biografi
Sukarno serta melihat tindakan-tindakannya sejak
tahun 1945lah maka
akhirnya saya percaya bahwa Sukarno BISA melakukan
hal ini, yakni melempar
Indonesia ke Konfrontasi karena ia
dipermalukan
Malaysia. Masih banyak lagi bahan yang bisa saya gunakan
untuk mendukung
argumen saya ini, tapi saya tak mau memanjang-
manjangkan tulisan
yang memang sudah cukup panjang ini.
(Tulisan Yohanes
Sulaiman menanggapi tulisan Ikranegara)
Pertama-tama adalah
sebuah kesalahan fatal menggambarkan pribadi Bung Karno dalam dimensi ini. Ini
merupakan ciri khas Sejarawan CIA yang ternyata wataknya dianut benar oleh
Yohanes Sulaiman. Disini bukan saja YS salah menilai kepribadian Bung Karno
dengan mengutip satu paragraph lalu membandingkan dengan teori balas dendam
brutal Sukarno yang tak mau peduli menjerumuskan perang yang tidak
dimengertinya. Selain salah dalam menilai entah sadar atau tidak YS telah
menghina watak perjuangan Bung Karno yang seakan-akan mau bikin celaka orang
Indonesia dengan konfrontasi dengan Malaysia. Ini sama saja dengan omongan
orang Belanda : Liat Sukarno bikin celaka orang Jawa dengan perangnya melawan
kita!...benar-benar logika yang tak masuk akal dan konyol miriplah komentar
saya dengan Ikranegara. Saya akan membandingkan pribadi Bung Karno dengan yang
ini dan kepribadian ini sudah banyak dikenal orang bahkan Onghokham pernah
memuatnya dalam sebuah edisi majalah Prisma juga banyak dikutip para Sejarawan
untuk mengulas kepribadian Bung Karno. Mungkin anda kalau tercerahkan dan tidak
main merendahkan bangsa Indonesia dengan American Ubber Alles anda sebagai
watak inferior complex juga akan mengulas dari sini :
“Hari kelahiranku
adalah serba enam. Tanggal enam bulan enam. Adalah menjadi nasibku yang paling
baik dilahirkan dibawah bintang Gemini, lambang kekembaran, dan memang itulah
aku sesungguhnya. Dua sifat yang berlawanan. Aku bisa lunak dan aku bisa
cerewet. Aku bisa keras laksana baja atau lembut berirama. Kepribadianku adalah
paduan antara pikiran sehat dan getaran perasaan. Aku seseorang yang suka
memaafkan, akan tetapi akupun orang yang sekeras kepala. Aku menjebloskan
musuh-musuh negara ke balik jeruji besi, namun demikian aku tidak sampai hati
membiarkan burung dalam sangkar”
(Sukarno Penyambung
Lidah Rakyat, Cindy Adams)
Itu watak yang
tepat menilai Bung Karno bukan watak balas dendam brutal sehingga tidak peduli
rakyat sendiri mati. Sukarno punya keyakinan tersendiri terhadap hukum sejarah
kapitalisme dengan melakukan politik konfrontasi dengan Malaysia dan sekarang
terbukti bukan? Betapa Amerika menguasai dunia kalau perlu membunuhi bayi-bayi
kecil di Baghdad sana? Atau anda nggak merasa? Pantas anda kan berada di ruang
kapitalis itu sendiri.
Coba YS tunjukkan
watak-watak mana dari Bung Karno yang menunjukkan bahwa dia main menjerumuskan
rakyatnya? Penghinaan yang luar biasa!.... dari nama besar Sukarno yang sudah
teruji kesetiaannya untuk bangsa Indonesia. Ini bukan emosional coba anda
beberkan dimana kesalahan Bung Karno sehingga menjerumuskan rakyatnya? Atau
tingkah laku Bung Karno yang menurut anda main hantam seperti watak yang anda
ceritakan?
Apa ulah Bung Karno
yang menjerumuskan rakyat Indonesia Gestapu? ....Atau Poros Peking-Jakarta yang
gunanya untuk bikin Indonesia sebagai boneka Peking? .... kalau anda
benar-benar bisa membuktikan konfrontasi Malaysia adalah masalah persoalan
pribadi Bung Karno angkat saya angkat anda menjadi sejarawan Indonesia
terbesar....
Tertawaan anda tentang
Dialektika dalam Sejarah juga mengundang kebingungan saya karena bagaimanapun
teori dialektika dalam sejarah sudah jamak dan cap-capan Kiri adalah dosa
sepertinya hanya ada di Indonesia jaman Orde Baru. Di Amerika sekalipun
(kecuali memang orannya CIA atau sejarawan bayaran) postulat Marxian dalam
landasan dialektika dalam studi sejarah adalah hal yang wajar dan bersifat
netral. Ketakutan atas pemikiran Marxian hanya ada di Indonesia dan ini memang
hasil pendidikan rezim sinting Orde Baru dalam memperbodoh bangsanya dan
menjauhkan dalam khasanah intelektual yang kritis. Sebagai contoh tulisan anda
mengatakan “hubungan injak-injak foto dengan kemarahan Sukarno” adalah hubungan
dialektis bukan sekedar fakta. Itu dialektis interpersona padahal dalam studi
sejarah kita harus juga belajar memahami situasi ruang waktu dimana kejadian
itu bekerja dan sistem-sistem masyarakat apa yang ada lalu bisa kita ulas
fakta-faktanya.
Nasehat saya :
kalau tesis anda tidak jauh berbeda dengan tulisan anda saat ini mendingan
tidak usah jauh-jauh ke Amerika cukuplah berguru ke jago-jago sejarah di LIPI
sana ada bung Asvi, Bung Kiki, Ikrar Nusa bhakti, Pak Alfian atau ke UI sajalah
disana ada Pak Tamrin Amal Tomagola mereka lebih paham Indonesia dibanding
dosen luaran generasi sekarang.
Dan untuk
mempelajari sejarah Indonesia kita harus lihat dari banyak sisi jangan hanya
satu dimensi maka disinilah hubungannya dengan dialektis. Saya prihatin tentang
jalan pikiran anda yang mengatakan “Jangan Bawa-Bawa Dialektika yang sering digembar
gemborkan DN Aidit” lha apa hubungannya Dialektika dengan Aidit?
Dialektikaberpengaruh sekali bukan saja dalam ilmu sejarah tapi dalam ilmu
Sosiologi sejak Marx Ilmu Sosiologi itu berubah dan lebih dinamis. Saya melihat
postulat Dialektika yang anda katakan kiri itu bagi saya bukan kiri bukan kanan
itu alat menganalisa Marxian bagi saya sama saja nilainya dengan Weber,
Durkheim, Habermas, Foucoult bahkan Fromm dalam menganalisa masyarakat.
Sedemikian picikkah pelajaran di Ohio sana? Siapa yang mengajari anda panas
dingin dengan dialektika? Wah kalau calon doktoral saja ..(sejarawan lagi!)
sepicik ini bagaimana orang awamnya ya...acung jempol deh buat Gobbels-Gobbels
Orde Baru.
Intelektualitas
dalam membuka sejarah bukan kenikmatan untuk bermewah-mewah kenikmatan
Intelektualitas justru dari keberaniannya bertarung dengan kehidupan apalagi
mencintai bangsanya. Dari Pram-lah kita patut bercermin bagaimana keteguhan
intelektualitas dan kecintaan pada bangsa layak kita berikan :
........16 Agustus
1969. Kau berbulan madu di Happy land yang sudah jelas. Aku ke Happy land
somewhere: konon ke Pulau Buru di Maluku, sebuah pulau lebih besar dari Bali.
Dan besok kalau tidak dibatalkan oleh entah siapa, 17 Agustus. Kami berangkat
bersama lebih dari 800 orang dengan kapal ADRI XV sebagai hadiah ulang tahun
Republik Indonesia. Kesadaran sajalah yang membikin diri tahu, kami sedang ada
di perairan tanah air kami sendiri, negara Maritim dengan tiga belas ribu
pulau. Kata orang, setiap diantara pulau itu milik kami, jkuga setiap cangkir
dari perairan antara dua samudra itu, Hindia dan Pasifik. Itu ajaran klasik di
sekolah. Lebih nyata lagi oleh ucapan Peltu Marzuki di RTC Salemba: Kalian tak
punya hak apa-apa selain bernafas. (Dan ternyata sudah sekian dari kami hak untuk
bernafas pun dirampas)....kami berlayar dalam ruang dengan pintu besar jeriji
besi, dan dikunci dalam sekapan, dalam tiga ruang besar di bawah dek. Melihat
langit pun tak ada lagi hak, jangankan memiliki atau ikut memiliki.
(Pramudya Ananta
Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, catatan dari Pulau Buru, Jakarta 6 Februari
1995).
Tulisan ini diawali
dengan kutipan Sartono Kartodirdjo, ditutup dengan tulisan Sartono pula :
Suatu bangsa tidak
mengenal sejarahnya berarti suatu bangsa tidak mengenal identitas, padahal
bangsa tanpa identitas adalah Contradictio in Terminis. (Kata Pengantar Sejarah
Pergerakan Nasional Jilid 2)
ANTON
LAMPIRAN-LAMPIRAN
TULISAN YOHANNES SULAIMAN DAN IKRANEGARA
YOHANES
SULAIMAN :
dari:
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0709/29/opini/3873018.htm
Sabtu, 29 September 2007
SOEKARNO, MALAYSIA DAN PKI
Yohanes Sulaiman
Sudah 42 tahun tragedi berdarah yang disebut peristiwa G30S/PKI itu
berlangsung. Namun, apa yang terjadi pada malam naas tersebut masih
merupakan misteri. Salah satu pertanyaan yang sering diajukan adalah
apa hubungan Soekarno dengan PKI? Benarkah Soekarno mau menyerahkan
Indonesia kepada PKI? Jawabannya tidak! Soekarno memerlukan PKI
karena saat itu ia ingin mengganyang Malaysia. Namun, Soekarno sendiri tak
mau membiarkan PKI naik ke panggung kekuasaan.
Seberapa jauh keterlibatan Soekarno dalam tragedi tersebut? Apa saja
yang termuat dalam berbagai dokumen Kementerian Luar Negeri Amerika
Serikat dan CIA yang baru saja dideklasifikasikan?
Satu hal yang kurang diperhatikan para sejarawan yang meneliti
kedekatan Soekarno dan PKI adalah hubungan antara konfrontasi
Malaysia
dan kedekatan Soekarno dengan PKI.
Demonstrasi anti-Indonesia
Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, di mana para
demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa
lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman-Perdana
Menteri Malaysia saat itu-dan memaksanya untuk menginjak Garuda,
amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak.
Howard Jones, Duta Besar AS saat itu, melaporkan kepada Washington
bahwa ia bertemu Soekarno. "Saat itu Soekarno marah besar.... Tidak
ada lagi pertukaran salam. Tak ada basa-basi.... Menjawab pertanyaan
saya, apakah situasi sudah terkendali, Soekarno meledak dan mengutuk
tindakan Tunku. "Sejak kapan seorang kepala negara pernah menginjak-
injak lambang negara lain?" Soekarno juga menyebutkan fotonya yang
dirobek dan diinjak-injak. "Rakyat Indonesia sudah murka! Ini Asia,
tahun 1963. Saya juga amat beremosi! (telegram dari Kedubes AS di
Indonesia kepada Departemen Luar Negeri AS, 19 September 1963)
Howard Jones menyatakan simpatinya, tetapi ia menekankan bahwa
Indonesia tak bisa mengandalkan bantuan AS jika Soekarno ingin
melakukan balas dendam. Sementara itu, TNI Angkatan Darat terpecah:
Jenderal Ahmad Yani tidak bersedia mengerahkan pasukan untuk menyerbu
Malaysia karena tidak merasa tentara Indonesia cukup siap menghadapi
Malaysia yang dibelakangi Inggris. Namun, Jenderal AH Nasution setuju
untuk mengganyang Malaysia karena ia khawatir isu Malaysia akan
ditunggangi PKI untuk memperkuat posisinya di percaturan politik di
Indonesia.
Saat itu PKI merupakan pendukung terbesar gerakan mengganyang
Malaysia, yang dianggap antek neokolonialisme dan imperialisme.
Namun,
pertimbangan PKI bukan didasarkan sekadar idealisme. PKI berusaha
membangkitkan semangat nasionalisme Indonesia dan menempatkan PKI
sebagai gerakan nasionalis yang lebih nasionalis daripada tentara
untuk memperkuat posisinya dalam percaturan politik di Indonesia,
yang saat itu berpusat pada Soekarno, tentara, dan PKI.
Melihat dukungan tentara yang setengah-setengah, Soekarno kecewa,
padahal ia ingin sekali mengganyang Malaysia. Sejak saat itulah,
hubungan Soekarno dan PKI bertambah kuat, apalagi setelah tentara
sendiri mengalami kegagalan dalam operasi gerilya di Malaysia.
Penyebab kegagalan itu bukan karena tentara Indonesia tidak
berkualitas, tetapi para pemimpin TNI Angkatan Darat di Jakarta tidak
tertarik untuk mengeskalasi konfrontasi.
Kita harus memerhatikan secara saksama jalur pemikiran para pemimpin
Angkatan Darat saat itu. Mereka menghadapi buah simalakama. Mereka
tidak mau mengeskalasi konflik karena tidak tak yakin akan bisa
menang menghadapi Inggris. Di sisi lain, jika mereka tak melakukan apa-apa,
Soekarno akan mengamuk. Tak peduli keputusan apa yang diambil, PKI
akan tetap untung.
Akhirnya, para pemimpin Angkatan Darat mengambil posisi unik. Mereka
menyetujui perintah Soekarno untuk mengirimkan tentara ke Kalimantan,
tetapi tak akan benar-benar serius dalam konfrontasi ini agar situasi
tak bertambah buruh menjadi perang terbuka Indonesia melawan
Malaysia-
Inggris (dan Australia-Selandia Baru). Tak heran, Brigadir Jenderal
Suparjo, komandan pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi
tak dilakukan sepenuh hati dan ia merasa operasinya disabotase dari
belakang. (JAC Mackie, 1971, hal 214)
Kekhawatiran Soekarno
Namun, pada saat yang sama, gagalnya konfrontasi juga berakibat buruk
bagi para penentang PKI, seperti Partai Murba. Posisi PKI menguat,
sampai 25 November 1964, kepada Washington, Howard Jones melaporkan,
Adam Malik, Chaerul Saleh, Jenderal Nasution, Jenderal Sukendro, dan
banyak lagi yang lain meminta Pemerintah AS membantu menyelamatkan
kaum moderat di Indonesia dari posisi mereka yang amat sulit (akibat
menguatnya posisi PKI).... Sebagian tentara Indonesia merasa malu
karena gagalnya usaha mengganyang Malaysia. (telegram dari Kedubes AS di
Indonesia kepada Departemen Luar Negeri AS, 25 November 1964)
Sementara itu, secara internasional pun posisi PKI bertambah kuat
dengan semakin dekatnya hubungan Indonesia dengan China-Beijing.
Kedekatan ini disebabkan kesuksesan China dalam menguji bom nuklir
dan dukungan Beijing kepada konfrontasi Malaysia. Di sisi lain, Soekarno
merasa khawatir dengan PKI yang dianggap terlalu kuat. Namun,
masalahnya, ia amat memerlukan PKI untuk mengganyang Malaysia,
apalagi karena Indonesia sendiri sudah terkucil di lingkungan internasional
akibat konfrontasi tersebut.
Kekhawatiran Soekarno terlihat dalam dokumen CIA yang baru
dideklasifikasikan beberapa tahun lalu, bertanggalkan 13 Januari
1965.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0709/29/opini/3873018.htm
Sabtu, 29 September 2007
SOEKARNO, MALAYSIA DAN PKI
Yohanes Sulaiman
Sudah 42 tahun tragedi berdarah yang disebut peristiwa G30S/PKI itu
berlangsung. Namun, apa yang terjadi pada malam naas tersebut masih
merupakan misteri. Salah satu pertanyaan yang sering diajukan adalah
apa hubungan Soekarno dengan PKI? Benarkah Soekarno mau menyerahkan
Indonesia kepada PKI? Jawabannya tidak! Soekarno memerlukan PKI
karena saat itu ia ingin mengganyang Malaysia. Namun, Soekarno sendiri tak
mau membiarkan PKI naik ke panggung kekuasaan.
Seberapa jauh keterlibatan Soekarno dalam tragedi tersebut? Apa saja
yang termuat dalam berbagai dokumen Kementerian Luar Negeri Amerika
Serikat dan CIA yang baru saja dideklasifikasikan?
Satu hal yang kurang diperhatikan para sejarawan yang meneliti
kedekatan Soekarno dan PKI adalah hubungan antara konfrontasi
Malaysia
dan kedekatan Soekarno dengan PKI.
Demonstrasi anti-Indonesia
Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, di mana para
demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa
lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman-Perdana
Menteri Malaysia saat itu-dan memaksanya untuk menginjak Garuda,
amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak.
Howard Jones, Duta Besar AS saat itu, melaporkan kepada Washington
bahwa ia bertemu Soekarno. "Saat itu Soekarno marah besar.... Tidak
ada lagi pertukaran salam. Tak ada basa-basi.... Menjawab pertanyaan
saya, apakah situasi sudah terkendali, Soekarno meledak dan mengutuk
tindakan Tunku. "Sejak kapan seorang kepala negara pernah menginjak-
injak lambang negara lain?" Soekarno juga menyebutkan fotonya yang
dirobek dan diinjak-injak. "Rakyat Indonesia sudah murka! Ini Asia,
tahun 1963. Saya juga amat beremosi! (telegram dari Kedubes AS di
Indonesia kepada Departemen Luar Negeri AS, 19 September 1963)
Howard Jones menyatakan simpatinya, tetapi ia menekankan bahwa
Indonesia tak bisa mengandalkan bantuan AS jika Soekarno ingin
melakukan balas dendam. Sementara itu, TNI Angkatan Darat terpecah:
Jenderal Ahmad Yani tidak bersedia mengerahkan pasukan untuk menyerbu
Malaysia karena tidak merasa tentara Indonesia cukup siap menghadapi
Malaysia yang dibelakangi Inggris. Namun, Jenderal AH Nasution setuju
untuk mengganyang Malaysia karena ia khawatir isu Malaysia akan
ditunggangi PKI untuk memperkuat posisinya di percaturan politik di
Indonesia.
Saat itu PKI merupakan pendukung terbesar gerakan mengganyang
Malaysia, yang dianggap antek neokolonialisme dan imperialisme.
Namun,
pertimbangan PKI bukan didasarkan sekadar idealisme. PKI berusaha
membangkitkan semangat nasionalisme Indonesia dan menempatkan PKI
sebagai gerakan nasionalis yang lebih nasionalis daripada tentara
untuk memperkuat posisinya dalam percaturan politik di Indonesia,
yang saat itu berpusat pada Soekarno, tentara, dan PKI.
Melihat dukungan tentara yang setengah-setengah, Soekarno kecewa,
padahal ia ingin sekali mengganyang Malaysia. Sejak saat itulah,
hubungan Soekarno dan PKI bertambah kuat, apalagi setelah tentara
sendiri mengalami kegagalan dalam operasi gerilya di Malaysia.
Penyebab kegagalan itu bukan karena tentara Indonesia tidak
berkualitas, tetapi para pemimpin TNI Angkatan Darat di Jakarta tidak
tertarik untuk mengeskalasi konfrontasi.
Kita harus memerhatikan secara saksama jalur pemikiran para pemimpin
Angkatan Darat saat itu. Mereka menghadapi buah simalakama. Mereka
tidak mau mengeskalasi konflik karena tidak tak yakin akan bisa
menang menghadapi Inggris. Di sisi lain, jika mereka tak melakukan apa-apa,
Soekarno akan mengamuk. Tak peduli keputusan apa yang diambil, PKI
akan tetap untung.
Akhirnya, para pemimpin Angkatan Darat mengambil posisi unik. Mereka
menyetujui perintah Soekarno untuk mengirimkan tentara ke Kalimantan,
tetapi tak akan benar-benar serius dalam konfrontasi ini agar situasi
tak bertambah buruh menjadi perang terbuka Indonesia melawan
Malaysia-
Inggris (dan Australia-Selandia Baru). Tak heran, Brigadir Jenderal
Suparjo, komandan pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi
tak dilakukan sepenuh hati dan ia merasa operasinya disabotase dari
belakang. (JAC Mackie, 1971, hal 214)
Kekhawatiran Soekarno
Namun, pada saat yang sama, gagalnya konfrontasi juga berakibat buruk
bagi para penentang PKI, seperti Partai Murba. Posisi PKI menguat,
sampai 25 November 1964, kepada Washington, Howard Jones melaporkan,
Adam Malik, Chaerul Saleh, Jenderal Nasution, Jenderal Sukendro, dan
banyak lagi yang lain meminta Pemerintah AS membantu menyelamatkan
kaum moderat di Indonesia dari posisi mereka yang amat sulit (akibat
menguatnya posisi PKI).... Sebagian tentara Indonesia merasa malu
karena gagalnya usaha mengganyang Malaysia. (telegram dari Kedubes AS di
Indonesia kepada Departemen Luar Negeri AS, 25 November 1964)
Sementara itu, secara internasional pun posisi PKI bertambah kuat
dengan semakin dekatnya hubungan Indonesia dengan China-Beijing.
Kedekatan ini disebabkan kesuksesan China dalam menguji bom nuklir
dan dukungan Beijing kepada konfrontasi Malaysia. Di sisi lain, Soekarno
merasa khawatir dengan PKI yang dianggap terlalu kuat. Namun,
masalahnya, ia amat memerlukan PKI untuk mengganyang Malaysia,
apalagi karena Indonesia sendiri sudah terkucil di lingkungan internasional
akibat konfrontasi tersebut.
Kekhawatiran Soekarno terlihat dalam dokumen CIA yang baru
dideklasifikasikan beberapa tahun lalu, bertanggalkan 13 Januari
1965.
Dokumen itu menyebutkan, dalam sebuah percakapan santai dengan para
pemimpin politik sayap kanan, Soekarno menyatakan tak bisa
menoleransi gerakan anti-PKI karena ia butuh dukungan PKI untuk menghadapi
Malaysia. Ia menyatakan, namanya sudah "jatuh" di dunia internasional
dan Indonesia dianggap negara gila karena keputusannya membawa
Indonesia keluar dari PBB. Namun, Soekarno menekankan, suatu waktu,
"giliran PKI akan tiba" dan saat itu gerakan menentang PKI sama
dengan gerakan untuk menentang Soekarno. Soekarno berkata, "Kamu bisa
menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu." Soekarno mengakhiri
percakapan itu dengan berkata, "Untukku, Malaysia itu musuh nomor
satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang."
Dari sini terlihat, kedekatan Soekarno dengan PKI diakibatkan
gagalnya TNI Angkatan Darat memenuhi keinginan Soekarno mengganyang Malayia.
Soekarno di sini terlihat bukan sebagai antek atau pendukung PKI,
tetapi ia memang berusaha menggunakan PKI untuk membantu kebijakannya
dalam mengganyang Malaysia. Kegagalan para pemimpin TNI Angkatan
Darat juga membuat tentara-tentara, seperti Brigadir Jenderal Suparjo kesal
kepada para pimpinan Angkatan Darat. Mereka akhirnya merasa perlu
melakukan operasi untuk mengadili para pemimpin TNI Angkatan Darat
yang dianggap berkhianat kepada misi yang dibebankan Soekarno. Untuk
melakukan hal ini, mereka memutuskan untuk berhubungan dengan orang-
orang dari PKI karena dianggap memiliki misi yang sama, yakni
mengganyang Malaysia. Hal ini akhirnya menyebabkan peristiwa yang
sampai sekarang disebut sebagai G30S/PKI.
Catatan:
Yohanes Sulaiman Mahasiswa PhD Ilmu Politik Sekaligus Mengajar
Hubungan Internasional di Ohio State University. Disertasi "Politik
Luar Negeri Indonesia di Bawah Soekarno dan Hubungannya dengan AS
Tahun 1945-1967"
TANGGAPAN
IKRANEGARA
YANG TIDAK MASUK
AKAL ATAS DOKUMEN CIA
Yang tidak masuk
akal dalam analisis/tafsir atas dokumen CIA yang di-
deklasifikasi-kan itu adalah bahwa Soekarno memutuskan untuk
menggunakan kekuatan PKI dalam rencana mengganyang Malaysia setelah
Angkatan Darat sendiri gagal atau ogah-ogahan mendukung "dendam"
Soekarno akibat gambar yang diinjak-injak itu. Apa ya mungkin
kekuatan sipil tak terlatih militer seperti PKI (Pemuda Rakyat dan
Gerwani yang dilatih darurat sebagai sukarelawan/wati di Lobang
Buaya, misalnya?) itu akan mampu melakukan missi yang dinyatakan
gagal dilakukan oleh tentara terlatih? Konyol amat keputusan
Soekarno ketika itu, ya?
Selain itu, bukankah Soekarno adalah Panglima Tertinggi Angkatan
Perang RI selain Pemimpin Besar revolusi ketika itu, yaitu masa
setelah tahun 1959 (Dekrit dan pembubaran MPR hasil pilihan rakyat
lewat pemilu) ketika Soekarno menjadi satu-satunya kekuatan dan
penguasa yang bersifat otoriter itu? Artinya, bisa saja Soekarno
memecat jenderalnya dan mengambil alih semua komando, kalau dia mau,
bukan? Tapi juga, apa iya hanya anggota PKI saja yang diharapkan
untuk mengganyang Malaysia? Singkatnya, laporan CIA itu
menggambarkan betapa konyolnya seorang Soekarno yang di zaman itu
adalah salah satu nama besar bertaraf internasional!
Jadi, dokumen CIA yang di-deklasifikasi-kan itu pun perlu dicermati,
mana yang betul-betul fakta dan mana yang sebenarnya opini yang
subyektif. Nada dokumen CIA itu, sebagaimana dokumen-dukomen
sejenisnya, menempatkan pelapornya pada posisi diri yang hebat
sambil merendahkan lawannya -- sejalan dengan kepribadian
bias "American uber alles"!) Maka Soekarno hanya digambarkan sebagai
seorang yang emosional dan penuh dendam dan gila hormat, sehingga
hanya karena gambarnya diinjak-injak jadi ingin mengganyang
Malaysia.
Laporan CIA itu sih jelas bagi saya mengandung penilian yang konyol-
konyolan atas politik konfrontasi Soekarno pada masa itu. Dan hal
ini pula yang digunakan oleh Yohanes Sulaiman dalam "Soekarno,
Malaysia dan PKI" (Kompas 29 September 2007).
Bung Karno itu seorang ideolog yang setaraf dengan Mao, sama-sama
merasa yakin dirinya melahirkan sebuah ajaran politik, yang di mata
AS dkk tentulah berlawanan dan tidak menguntungkan. Bukankah
Marhaenisme BK itu dintakan sendiri oleh BK bahwa isme-nya itu pada
dasarnya berangkat dari Marxisme yang kemudian diterapkan sesuai
dengan kondisi riil Indonesia?
Itulah dasar "Ajaran Bung Karno" yang menjadi inti ideologi
politknya yang dijabarkan dalam pidato-pidatonya dan kemudian
dikemas oleh Juru Bicara Usdek-Manipol (Jubir Usman) Ruslan Abdul
Ghani menjadi "Tubapi" (Tujuh Bahan Pokok Indoktrrinasi) sebagai
materi satu-satunya pelajaran Civic Education di seluruh sekolah dan
perguruan tinggi di Indonesia pada masa kediktaroran BK (1959 sd
1965). Ajarannya itu bukan hanya dimaksudkan untuk dijadikan
ideologi membangun Indonesia, melainkan juga untuk membangun kembali
seluruh dunia, sebagaimana dipidatokan BK di PBB dengan judul "To
Build the World Anew."
Dalam konterk pelaksanaakn Ajaran BK itu, maka urusan mengganyang
Malaysia hanyalah bagian kecil saja dari action plannya, sebab
Malaysia jelas-jelas berada di kubu kekuatan lawan. Jadi, bukan
dikarenakan oleh adanya peristiwa injak-injak gambar di Malaysia
itu! Demikian juga halnya dengan posisi PKI di mata BK yang dalam
pidato-pidatonya selalu di-anak-emas-kan sebagai yang paling
progresif dan revolusioner, bukan dimaksudkan hanya anggota PKI-nya
itu saja, melainkan PKI sebagai bagian dari strateginya di panggung
internasional, bahwa di belakang PKI itu adalah kekuatan militer RRC
dan Korea Selatan (Poros Jakarta-Peking-Pyongyang) selain juga Uni
Soviet. Kekuatan militer Kubu Marxis Internasional ini tidak
diungkapkan dalam laporan CIA yang dideklasifikasikan. Padahal,
siapa pun yang pernah hidup di Zaman Orde Lama itu, akan merasakan
kehadiran kubu internasional kiri ini, selain kubu internasional
yang kanan di bawah Inggeris dan AS.
Nah, mungkin sekali Yohanes Sulaiman tidak mengalami zaman itu,
sehingga mudah saja ikut-ikutan mengambil posisi "American uber
alles" yang bias itu selama studi di OSU. Mungkin juga, siapa tahu,
dia dipengaruhi oleh profesor ternama (beliau sahabat baik saya
lho!) di kampusnya yang bangga disebut sebagai dedengkot "Mafia
(politik) Ohio" yang (maaf kalau saya keliru, Prof) menurut saya
juga punya pandangan bias "American uber alles" lho!
Tentang G30S (Gestok menurut Bung Karno, G30s/PKI menurut Soeharto)
itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari adanya Zaman Perang dingin,
dan juga dokumen palsu Gilchrist buatan Intel Cheko di bawah
pengawasan Jendral Agayant/KGB. Dokumen inilah yang dipakai sebagai
dasar tentang adanya Dewan jendral yang merencanakan akan berkhianat
terhadap bung Karno. Apakah BK diam? Tidak! Belaiau akan ambil
tindakan keras terhadap jenderal-jenderalnya. Maka, komando
penangkapan atas sejumlah jenderal itu dikumandangkan oleh BK pada
petang hari tanggal 30 september 1965 dengan kisah santd Arjuna dan
Kresna dalam pidatonya. Tapi pelaksanaannya dijalankan setelah lewat
jam malam, artinya tanggal 1 Oktober 1965 di bawah piminan Untung.
Komando BK itu hanyalah bertujuan menangkap sejumlah jenderal untuk
diadili di lingkungan Halim Perdanakusumah. Tapi dalam
pelaksanaannya komando itu ditelikung menjadi pembantaian atas
jendral-jendral tersebut yang mayat-mayatnya berakhir di dalam sumur
mati di Lobang Buaya.
Itulah fakta yang tidak bisa dibantah sehubungan dengan yang terjadi
pada 30 September dan 1 Oktober 1965. Tentang bagaimana prolognya
sebelum tanggal 30 September, silahkan bertengkar sampai tua!
Ikra.-
======
deklasifikasi-kan itu adalah bahwa Soekarno memutuskan untuk
menggunakan kekuatan PKI dalam rencana mengganyang Malaysia setelah
Angkatan Darat sendiri gagal atau ogah-ogahan mendukung "dendam"
Soekarno akibat gambar yang diinjak-injak itu. Apa ya mungkin
kekuatan sipil tak terlatih militer seperti PKI (Pemuda Rakyat dan
Gerwani yang dilatih darurat sebagai sukarelawan/wati di Lobang
Buaya, misalnya?) itu akan mampu melakukan missi yang dinyatakan
gagal dilakukan oleh tentara terlatih? Konyol amat keputusan
Soekarno ketika itu, ya?
Selain itu, bukankah Soekarno adalah Panglima Tertinggi Angkatan
Perang RI selain Pemimpin Besar revolusi ketika itu, yaitu masa
setelah tahun 1959 (Dekrit dan pembubaran MPR hasil pilihan rakyat
lewat pemilu) ketika Soekarno menjadi satu-satunya kekuatan dan
penguasa yang bersifat otoriter itu? Artinya, bisa saja Soekarno
memecat jenderalnya dan mengambil alih semua komando, kalau dia mau,
bukan? Tapi juga, apa iya hanya anggota PKI saja yang diharapkan
untuk mengganyang Malaysia? Singkatnya, laporan CIA itu
menggambarkan betapa konyolnya seorang Soekarno yang di zaman itu
adalah salah satu nama besar bertaraf internasional!
Jadi, dokumen CIA yang di-deklasifikasi-kan itu pun perlu dicermati,
mana yang betul-betul fakta dan mana yang sebenarnya opini yang
subyektif. Nada dokumen CIA itu, sebagaimana dokumen-dukomen
sejenisnya, menempatkan pelapornya pada posisi diri yang hebat
sambil merendahkan lawannya -- sejalan dengan kepribadian
bias "American uber alles"!) Maka Soekarno hanya digambarkan sebagai
seorang yang emosional dan penuh dendam dan gila hormat, sehingga
hanya karena gambarnya diinjak-injak jadi ingin mengganyang
Malaysia.
Laporan CIA itu sih jelas bagi saya mengandung penilian yang konyol-
konyolan atas politik konfrontasi Soekarno pada masa itu. Dan hal
ini pula yang digunakan oleh Yohanes Sulaiman dalam "Soekarno,
Malaysia dan PKI" (Kompas 29 September 2007).
Bung Karno itu seorang ideolog yang setaraf dengan Mao, sama-sama
merasa yakin dirinya melahirkan sebuah ajaran politik, yang di mata
AS dkk tentulah berlawanan dan tidak menguntungkan. Bukankah
Marhaenisme BK itu dintakan sendiri oleh BK bahwa isme-nya itu pada
dasarnya berangkat dari Marxisme yang kemudian diterapkan sesuai
dengan kondisi riil Indonesia?
Itulah dasar "Ajaran Bung Karno" yang menjadi inti ideologi
politknya yang dijabarkan dalam pidato-pidatonya dan kemudian
dikemas oleh Juru Bicara Usdek-Manipol (Jubir Usman) Ruslan Abdul
Ghani menjadi "Tubapi" (Tujuh Bahan Pokok Indoktrrinasi) sebagai
materi satu-satunya pelajaran Civic Education di seluruh sekolah dan
perguruan tinggi di Indonesia pada masa kediktaroran BK (1959 sd
1965). Ajarannya itu bukan hanya dimaksudkan untuk dijadikan
ideologi membangun Indonesia, melainkan juga untuk membangun kembali
seluruh dunia, sebagaimana dipidatokan BK di PBB dengan judul "To
Build the World Anew."
Dalam konterk pelaksanaakn Ajaran BK itu, maka urusan mengganyang
Malaysia hanyalah bagian kecil saja dari action plannya, sebab
Malaysia jelas-jelas berada di kubu kekuatan lawan. Jadi, bukan
dikarenakan oleh adanya peristiwa injak-injak gambar di Malaysia
itu! Demikian juga halnya dengan posisi PKI di mata BK yang dalam
pidato-pidatonya selalu di-anak-emas-kan sebagai yang paling
progresif dan revolusioner, bukan dimaksudkan hanya anggota PKI-nya
itu saja, melainkan PKI sebagai bagian dari strateginya di panggung
internasional, bahwa di belakang PKI itu adalah kekuatan militer RRC
dan Korea Selatan (Poros Jakarta-Peking-Pyongyang) selain juga Uni
Soviet. Kekuatan militer Kubu Marxis Internasional ini tidak
diungkapkan dalam laporan CIA yang dideklasifikasikan. Padahal,
siapa pun yang pernah hidup di Zaman Orde Lama itu, akan merasakan
kehadiran kubu internasional kiri ini, selain kubu internasional
yang kanan di bawah Inggeris dan AS.
Nah, mungkin sekali Yohanes Sulaiman tidak mengalami zaman itu,
sehingga mudah saja ikut-ikutan mengambil posisi "American uber
alles" yang bias itu selama studi di OSU. Mungkin juga, siapa tahu,
dia dipengaruhi oleh profesor ternama (beliau sahabat baik saya
lho!) di kampusnya yang bangga disebut sebagai dedengkot "Mafia
(politik) Ohio" yang (maaf kalau saya keliru, Prof) menurut saya
juga punya pandangan bias "American uber alles" lho!
Tentang G30S (Gestok menurut Bung Karno, G30s/PKI menurut Soeharto)
itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari adanya Zaman Perang dingin,
dan juga dokumen palsu Gilchrist buatan Intel Cheko di bawah
pengawasan Jendral Agayant/KGB. Dokumen inilah yang dipakai sebagai
dasar tentang adanya Dewan jendral yang merencanakan akan berkhianat
terhadap bung Karno. Apakah BK diam? Tidak! Belaiau akan ambil
tindakan keras terhadap jenderal-jenderalnya. Maka, komando
penangkapan atas sejumlah jenderal itu dikumandangkan oleh BK pada
petang hari tanggal 30 september 1965 dengan kisah santd Arjuna dan
Kresna dalam pidatonya. Tapi pelaksanaannya dijalankan setelah lewat
jam malam, artinya tanggal 1 Oktober 1965 di bawah piminan Untung.
Komando BK itu hanyalah bertujuan menangkap sejumlah jenderal untuk
diadili di lingkungan Halim Perdanakusumah. Tapi dalam
pelaksanaannya komando itu ditelikung menjadi pembantaian atas
jendral-jendral tersebut yang mayat-mayatnya berakhir di dalam sumur
mati di Lobang Buaya.
Itulah fakta yang tidak bisa dibantah sehubungan dengan yang terjadi
pada 30 September dan 1 Oktober 1965. Tentang bagaimana prolognya
sebelum tanggal 30 September, silahkan bertengkar sampai tua!
Ikra.-
======
TANGGAPAN ANTON
YANG PERTAMA
Yohannes Sulaiman,
Ikranegara Dan Dialektika Sejarah Sukarno
Oleh Anton
Tulisan Yohannes
Sulaiman di Kompas (29 Sept 07) lebih mirip cerita dongeng seorang kakek
pensiunan CIA kepada cucunya ketimbang tulisan ilmiah seorang Mahasiswa
Doktoral Ilmu politik. Adalah lucu di jaman ketika informasi sudah sedemikian
komplit hanya menyandarkan pada referensi CIA yang kerap banyak bias-nya dan
bisa juga merupakan bahan propaganda murahan (Bahkan kemarin saya membaca buku
di Gramedia tentang sisi gelap seksual Hitler, Mao dan banyak tokoh lainnya yang
seperti alat propaganda CIA ketimbang dokumen historis berdasarkan fakta).
Namun sejarah bukan hanya sekumpulan fakta, bila meminjam filsafat bahasa
: fakta tidak dapat mengungkapkan benar atau salah namun proposisi-proposisilah
yang bisa mengungkapkan benar atau salah. Dari sisi sejarah dialektika-lah yang
harus dimaknai untuk mengambil kesimpulan tindakan itu benar atau salah dari
pemaknaan sejarah, jadi dialektika dalam dimensi sejarah adalah proposisi
itu sendiri dan dialektika historis Indonesia pada 1960-1965 adalah sebuah
rangkaian historis apa yang terjadi setelah Perang Dunia II yang selesai tahun
1945. Dimana awalnya adalah Keputusan diam-diam untuk mentransformasikan
Imperialisme bentuk baru hasil kajian Pertemuan New Hampshire, Bretton
Woods 1944.
Beruntung Bung
Ikranegara, aktor besar Film dan Teater Indonesia itu mengingatkan kekonyolan
dalam tulisan sdr. Johannes Sulaiman terhadap interpretasi sejarah ala Sdr. J.
Sulaiman, apalagi Sdr. J. Sulaiman menambahkan bahwa jarang sejarawan
memperhatikan faktor kedekatan Sukarno dengan PKI adalah masalah proyek
Malaysia. Hal ini bisa ditertawakan karena bukan saja jarang, hampir semua
sejarawan yang meneliti kasus G 30 S selalu melakukan perhatian khusus terhadap
korelasi antara proyek politik pengganyangan Malaysia dimana banyak spekulasi
muncul hubungan ini berimplikasi terhadap aksi G 30 S.
PKI sebagai
kekuatan politik dan Sukarno mau tidak mau berterima kasih dengan PKI dalam
politik anti Malaysia-nya karena PNI sendiri sudah melempem (kongres terakhir
PNI hanya bisa mengumpulkan tanda tangan kader kurang dari satu juta
orang).Tapi adalah naif menyandarkan PKI sebagai kekuatan militer ini sama saja
melakukan tindakan bunuh diri. Sukarno tidak akan sekonyol itu nyuruh perang
anak-anak Pemuda Rakyat yang nggak ngerti militer untuk terjun ke Kalimantan
Utara. Bisa dibuktikan aksi-aksi penyusupan ke garis Nekolim semuanya dilakukan
oleh tentara TNI kalaupun ada sukarelawan itu bukan bagian penting dari rencana
operasi militer.
PKI digunakan oleh
Sukarno sebagai basis politik dalam negerinya untuk mendukung politik Anti
Imperialisme. Sukarno sadar sesadarnya bahwa Indonesia ini sudah jadi inceran
Amerika yang ingin menguasai sumber daya alam dan perlu dicurigai kenapa
Amerika tidak memihak Belanda pada dua konflik militer Indonesia dengan Belanda
tahun 1945-1949 dan Konflik Irian Barat 1962. Salah satu persepsinya adalah
Amerika ingin menguasai Indonesia tanpa campur tangan Belanda di dalamnya
sementara kekuatan Inggris tetap berada di garis Singapura. Hal ini juga
diucapkan Jenderal Yani yang ditujukan pada Nekolim Inggris : “Kita tidak
gentar! Kalau mereka serang kita! Sekaligus kita hancur leburkan Singapura, Ya
karena memang Singapura adalah pokok, milestone dalam line of life
Imperialisme” bila menyimak pernyataan A. Yani itu adalah sungguh naif
mengatakan Yani takut dalam menghadapi militer Inggris. Perlu diingat Yani
berpengalaman menghadapi PRRI di Sumatera dengan kekuatan militer terbatas
padahal saat itu PRRI didukung senjata modern Amerika yang didrop melalui
Singapura dimana Prof. Sumitro Djojohadikusumo jadi agen dalam penyelundupan
senjata-senjata itu dan itu diakui Prof. Sumitro sendiri dalam biografinya.
Apalagi setelah adanya modernisasi senjata besar-besaran dengan bantuan Uni
Sovyet dan dukungan dari Cina maka untuk menghadapi Malaysia Bung Karno dan
Yani pasti sudah punya hitung-hitungan sendiri.Perselisihan mengenai Angkatan
Ke V sebenarnya tidak begitu signifikan pada konstelasi politik pada waktu itu.
Itu hanya dibesar-besarkan oleh media tertentu yang diam-diam mencoba
mempertajam gap Sukarno-Yani. Namun agak sulit kiranya melihat Yani berani
dengan Bung Karno bahkan berpikiran mengkudeta, Yani adalah anak emas Bung
Karno ia sering disapa “Anak Lanangku” (Anak Laki-Lakiku). Pelaku-pelaku
sejarah yang dekat dengan lingkaran dalam Bung Karno pasti mengetahui bahwa
hubungan Yani dan Bung Karno sudah mencapai taraf hubungan emosional dan Yani
adalah macan politiknya Sukarno. Yani sendiri yang menciptakan kata-kata :
Nekolim. Sebagai catatan untuk AH Nasution sendiri saja masih sungkan
berhadapan dengan Bung Karno pada peristiwa pasca G 30 S dimana Suharto sudah
mulai muncul namun dia relatif tidak memiliki hubungan emosional dengan Bung
Karno. Disini harus dikaji relasi-relasi psikologis dalam konstelasi politik
pada saat itu. Bung Karno pasca G 30 S dalam rangkaian pidato dari Oktober
1965- 1967 sendiri yang seperti banteng ketaton selalu bilang dia mengutuk
Gestok (Gestok : bahasa BK untuk istilah G 30 S) berulang kali. Tapi dia
menolak pembubaran PKI karena dengan bubarnya PKI maka landasan politik yang
dibangun Sukarno akan goyah lantas Imperialisme masuk dan nyatanya benar toch
akhir sejarah kekuasaan Suharto adalah ketika dia menandatangi dokumen IMF yang
disaksikan dengan cara tidak sopan oleh Michael Camdessus dimana maknanya
memang Indonesia merupakan bagian dari Imperialisme halus Amerika.
PKI di jaman
politik Pengganyangan Malaysia memang memiliki arti penting bagi Sukarno tapi
bukan berarti lantas Sukarno bisa disetir PKI disini juga Sukarno mengatur
Angkatan Darat. Bagi saya sendiri yang kurang diperhatikan oleh sejarawan
adalah hubungan Loyalitas Sukarno-Yani-Nasution dan percaturan politik diantara
mereka bertiga. Sementara faktor sukarelawan dan kekuatan politik bisa
dikatakan sepenuhnya beres. Relasi-relasi Sukarno-Yani-Nasution harus
diperhatikan karena relasi itu menyangkut hubungan cinta-benci dimana Yani
kerap menjadi korban pertikaian AH Nasution-Sukarno. Nasution sendiri memang
sedari mulanya berpihak pada militer rasional bergaya barat sementara Yani
seperti perwira jebolan PETA lainnya ia lebih sebagai representatif Jenderal
Populis namun juga perlu diperhatikan pengaruh pikiran-pikiran Yani setelah
menyelesaikan pendidikan militer di USA serta mulai berpengaruhnya jalur Pentagon
di kalangan think tank Angkatan Darat dimana Mayjen Suwarto menjadi tokoh
pentingnya. Ini yang perlu diperhatikan bukan masalah injak-injak foto dan
lambang Garuda. Bila militer TNI dituduhkan takut dengan kekuatan Inggris di
Malaysia bisa dipertanyakan, takut seperti apa? Perlu diingat semua front di
Kalimantan Utara sudah diisi penuh oleh tentara Indonesia. Bahkan menurut
biografi buku Jenderal Sumitro ia berkali-kali meninjau front terdepan
Indonesia dengan Malaysia di Long Bawang dimana dia sempat ditembaki oleh
tentara Inggris. Perlu diragukan juga teori ‘kepengecutan Yani’ yang juga
dijadikan bahan oleh J.Sulaiman( teori penolakan perang Angkatan Darat terhadap
Federasi Malaysia baru muncul setelah kekuatan Suharto mapan dimana ekspedisi
damai Ali Murtopo mencapai puncak kesepakatan dan faktanya Yani sendiri sudah
meninggal pada saat itu jadi tidak ada uji historis dimana Yani takut terhadap
konflik Malaysia). Apakah ada dokumen yang mengatakan Yani menolak perang
dengan Malaysia walaupun itu diam-diam kecuali dari dokumen CIA?. Coba periksa
berita-berita di koran-koran Indonesia pada masa konfrontasi dengan Malaysia
bukan dari sisi agen rahasia intelijen Inggris-Amerika. Memang dalam sejarah
militer kerap Jenderal-Jenderal perang sering ragu akan kekuatan militer
mereka seperti Jenderal-Jenderal Angkatan Darat Jerman dibawah Hitler
ketika mulai pecah konflik Sudetenland dengan Cekoslowakia yang dikhawatirkan
memancing Inggris dan Perancis untuk perang dengan Jerman atau kekhawatiran Ike
Eisenhower untuk menyerbu Eropa tahun 1944 namun baik Hitler, FDR atau
Churchill mereka jauh lebih mengerti kekuatan ketimbang Jenderal-Jenderal
mereka sendiri. Jadi asumsi Ikranegara disini benar bahwa Sukarno jauh lebih
mengerti kekuatan Angkatan Perangnya dan tidak mungkin menjerumuskan Indonesia
ke dalam perang yang tidak dimengerti. Perlu diingat juga Sukarno termasuk
dalam barisan konservatif dalam pemimpin Indonesia yang berani perang. Tan
Malaka adalah contoh pemimpin yang sangat percaya akan kekuatan Angkatan Perang
Indonesia dengan menerapkan prinsip Merdeka 100% dimana kemudian Tan Malaka
akhirnya dibunuh oleh pasukan dibawah Jenderal Sungkono di Kediri karena Tan
Malaka dianggap menentang politik resmi pemerintah dibawah Hatta –jelas disini
Tan Malaka lebih berani berperang bila dibandingkan Bung Karno dan menunjukkan
Bung Karno lebih punya hitungan untuk melakukan tindakan politiknya seperti apa
yang terjadi pada proloog Proklamasi 1945 -. Jadi Sukarno punya hitung-hitungan
yang lebih jeli akan kekuatan Indonesia dalam menghadapi Malaysia. Asumsi yang
mengatakan Inggris lebih kuat bertempur juga perlu diragukan. Ingat Inggris
belum pernah punya pengalaman perang semesta gerilya di hutan-hutan Asia justru
Perancis yang sudah merasakannya dengan dihajar di Dien Bien Phu oleh rakyat
Vietnam (belakangan Belanda juga merasakan pengalaman pahit bertempur gerilya
di hutan-hutan Indonesia) , realitas sesungguhnya ada pada kekuatan
militer ada di Amerika Serikat – dan AS gagal total dalam perang Vietnam - .
Namun Inggris adalah bangsa cerdas mereka tak mau buang-buang nyawa seperti
kejadian Surabaya 10 November 1945, Inggris memilih melakukan ketrampilan
paling jempolan yaitu : Operasi Intelijen untuk menjatuhkan Bung Karno dari
dalam dan Bung Karno-pun menyadari kelihaian Inggris ia pernah menyebutkan ini
dalam pidatonya pada Rapat Panglima Angkatan Darat pada 28 Mei 1965
tentang kecurigaan ada kekuatan asing yang akan membunuh Sukarno, Yani dan
Subandrio. Inilah kutipan pidato Bung Karno :
Kaum imperialis
sejak mereka bisa mengadakan peacefull coexistence dengan
Moskow, mereka mempunyai anggapan bahwa yang menjadi musuh bukan lagi
Moskow, melainkan kita: Indonesian Revolution, Sesudah the Indonesian Revolution
naik aktivitas dan gengsinya, bahkan sesudah revolusi Indonesia benar-benar
universal, suaranya mendapat resonansi di bangsa- bangsa lain.
Moskow, mereka mempunyai anggapan bahwa yang menjadi musuh bukan lagi
Moskow, melainkan kita: Indonesian Revolution, Sesudah the Indonesian Revolution
naik aktivitas dan gengsinya, bahkan sesudah revolusi Indonesia benar-benar
universal, suaranya mendapat resonansi di bangsa- bangsa lain.
Sesudah mereka
melihat bahwa Indonesia adalah salah satu pokok dalam kesatuan
Asia-Afrika, sesudah mereka melihat bahwa di dalam Dasa Warsa AA. (18 april 1965)
Indonesia tidak tenggelam kedudukannya di dunia AA, malahan naik, malahan
Indonesia oleh beberapa negara AA dianggap sebagai mercu suarnya, sesudah
Indonesia menganjurkan agar supaya Konperensi AA-II di Aljazair lekas diadakan,
sesudah Indonesia mengambil inisiatif untuk mengadakan CONEFO (Conference of
the New Emerging Forces) dan ternyata inisiatif Indonesia ini mendapat sambutan
yang hebat dari negara-negara AsiaAfrika, Amerika Latin dan negara-negara komunis,
sesudah itu maka pihak imperialis boleh dikatakan terbuka matanya dan
mengatakan: Here in Indonesia lies the danger. Revolusi Indonesia ini harus
di-contain.
Asia-Afrika, sesudah mereka melihat bahwa di dalam Dasa Warsa AA. (18 april 1965)
Indonesia tidak tenggelam kedudukannya di dunia AA, malahan naik, malahan
Indonesia oleh beberapa negara AA dianggap sebagai mercu suarnya, sesudah
Indonesia menganjurkan agar supaya Konperensi AA-II di Aljazair lekas diadakan,
sesudah Indonesia mengambil inisiatif untuk mengadakan CONEFO (Conference of
the New Emerging Forces) dan ternyata inisiatif Indonesia ini mendapat sambutan
yang hebat dari negara-negara AsiaAfrika, Amerika Latin dan negara-negara komunis,
sesudah itu maka pihak imperialis boleh dikatakan terbuka matanya dan
mengatakan: Here in Indonesia lies the danger. Revolusi Indonesia ini harus
di-contain.
Dulu mereka mencoba
menghancurkan revolusi komunis di Rusia, karena Sovyetlah
yang pertama memberontak terhadap sistim kapitalisme dan sistim kolonial. Pada
waktu itu segala usaha diadakan oleh mereka untuk menghancurkan Sovyet Uni.
yang pertama memberontak terhadap sistim kapitalisme dan sistim kolonial. Pada
waktu itu segala usaha diadakan oleh mereka untuk menghancurkan Sovyet Uni.
Ini in geuren en
kleuren (panjang lebar) diceritakan oleh Leon Trotzky dalam bukunya
"Mein Leben". Bagaimana Trotzky sendiri memimpin ketahanan terhadap gempuran
dari lima jurusan. Trotzky sebagai Panglima Besar tentara Sovyet mondar-mandir ke
lima front itu dalam Markas Besarnya di gerbong Kereta Api.
"Mein Leben". Bagaimana Trotzky sendiri memimpin ketahanan terhadap gempuran
dari lima jurusan. Trotzky sebagai Panglima Besar tentara Sovyet mondar-mandir ke
lima front itu dalam Markas Besarnya di gerbong Kereta Api.
Sejak usaha itu
gagal untuk menghancur-lemburkan Sovyet Uni, mulailah mereka
mengadakan international campaign terhadap komunis. Maka tiap usaha dari bangsa
apa pun yang anti imperialis, dicap komunis.
mengadakan international campaign terhadap komunis. Maka tiap usaha dari bangsa
apa pun yang anti imperialis, dicap komunis.
Bahkan Petrus
Bloemberger dalam bukunya "De Communistische Beweging In
Nederlandsch Indie", Dr. Cipto Mangunkusumo dan Ir. Sukarno juga dikatakan: Ze
Zijn communisten - mereka komunis. Dan sampai sekarang masih saja "the
communist danger in Indonesia "
Nederlandsch Indie", Dr. Cipto Mangunkusumo dan Ir. Sukarno juga dikatakan: Ze
Zijn communisten - mereka komunis. Dan sampai sekarang masih saja "the
communist danger in Indonesia "
Baca bukunya Arnold
Brackman, wartawan Amerika dulu tinggal di Jakarta dan kawin
dengan noni Jakarta, bukunya tebal, "Communism in Indonesia", kita semua
dikatakannya komunis, di samping PKI.
dengan noni Jakarta, bukunya tebal, "Communism in Indonesia", kita semua
dikatakannya komunis, di samping PKI.
Sebutan komunis itu
bagi kita sudah oude koek (basi). Kita sebenarnya sekedar
mempertahankan tanahair kita, mempertahankan kemerdekaan kita dan
mempertahankan revolusi kita. Oleh karena revolusi kita anti imperialisme, ; mereka
sebut komunis. Dijual oleh mereka omongan bahwa Indonesia yang paling berbahaya,
oleh karena Indonesia is going communist. Padahal tidak. Indonesia hanya ingin
mempertahankan kemerdekaannya, hanya ingin menggabungkan semua tenaga anti
imperialis di 3 dunia menjadi satu barisan yang berhasrat menentang imperialisme.
mempertahankan tanahair kita, mempertahankan kemerdekaan kita dan
mempertahankan revolusi kita. Oleh karena revolusi kita anti imperialisme, ; mereka
sebut komunis. Dijual oleh mereka omongan bahwa Indonesia yang paling berbahaya,
oleh karena Indonesia is going communist. Padahal tidak. Indonesia hanya ingin
mempertahankan kemerdekaannya, hanya ingin menggabungkan semua tenaga anti
imperialis di 3 dunia menjadi satu barisan yang berhasrat menentang imperialisme.
Karena revolusi
kita dianggap sebagai yang paling berbahaya, enemy number one -
musuh nomor satu, -. maka segala usaha mereka sebenarnya ditumpahkan kepada
menghancurkan kita, revolusi kita. Itulah yang penting harus kita pahami. We are in
the centre -kita berada di pusat aktivitas mereka untuk menghancurkan. Kita yang
akan dihancurkan, dengan macam-macam jalan.
musuh nomor satu, -. maka segala usaha mereka sebenarnya ditumpahkan kepada
menghancurkan kita, revolusi kita. Itulah yang penting harus kita pahami. We are in
the centre -kita berada di pusat aktivitas mereka untuk menghancurkan. Kita yang
akan dihancurkan, dengan macam-macam jalan.
Panglima Angkatan
Darat sudah disclose (menyingkap) bahwa ada plan yang nyata
bisa dibuktikan zwart op wit dari mereka untok menghantam kita. Ada plan yang
nyata en jullie moet het weten (kalian harus tahu). Bukah sekedar plan yang nyata
ada untuk mengadakan propaganda per radio dan surat kabar anti kita, tidak! Dan
Jenderal Yani pun sudah berkata: Kita tidak gentar! Kalau; mereka serang kita,
sekaligus kita hancur leburkan Singapura. Ya, memang karena Singapura adalah
pokok, mile stone di dalam life line of imperialism.
bisa dibuktikan zwart op wit dari mereka untok menghantam kita. Ada plan yang
nyata en jullie moet het weten (kalian harus tahu). Bukah sekedar plan yang nyata
ada untuk mengadakan propaganda per radio dan surat kabar anti kita, tidak! Dan
Jenderal Yani pun sudah berkata: Kita tidak gentar! Kalau; mereka serang kita,
sekaligus kita hancur leburkan Singapura. Ya, memang karena Singapura adalah
pokok, mile stone di dalam life line of imperialism.
Sebetulnya selain
plan-plan itu, kita mengetahui juga macam-macam plan dari
mereka untuk menghancurkan revolusi Indonesia, Salah satu plan itu untuk
membunuh beberapa pemimpin Indonesia: Sukarno, Yani dan Subandrio. Itu yang
pertama-tama harus dibunuh, malah kalau bisa, sebelum Konperensi AA - II di
Alzajair (April 1965).
mereka untuk menghancurkan revolusi Indonesia, Salah satu plan itu untuk
membunuh beberapa pemimpin Indonesia: Sukarno, Yani dan Subandrio. Itu yang
pertama-tama harus dibunuh, malah kalau bisa, sebelum Konperensi AA - II di
Alzajair (April 1965).
Kalau tidak bisa,
sesudah Konperensi di Aljazair, diadakan limited attack on
Indonesia-gempuran terbatas terhadap Indonesia. Dan pada waktu itu sedang ada
limited attack, maka seperti disebutkan dalam mereka punya plan, kawan-kawan
mereka (di dalam negeri) akan bertindak membantu menggulingkan Sukarno, Yani
dan Subandrio.
Indonesia-gempuran terbatas terhadap Indonesia. Dan pada waktu itu sedang ada
limited attack, maka seperti disebutkan dalam mereka punya plan, kawan-kawan
mereka (di dalam negeri) akan bertindak membantu menggulingkan Sukarno, Yani
dan Subandrio.
Kalau ini gagal
juga, mereka akan berikhtiar lain untuk menggulingkan Sukarno, Yani
dan Subandrio, yaitu membuka segala rahasia mereka terutama yang mengenai
personal life (rahasia hidup pribadi), sehingga rakyat akan bertindak memberontak
terhadap Sukarno, Yani dan Subandrio.
dan Subandrio, yaitu membuka segala rahasia mereka terutama yang mengenai
personal life (rahasia hidup pribadi), sehingga rakyat akan bertindak memberontak
terhadap Sukarno, Yani dan Subandrio.
Kita mengetahui:
"They are preparing an attack of Indonesia. They are going to try to
kill Sukarno, Yani and Subandrio. They are going to make a limited attack on
Indonesia. They have the* friends here" - mereka mempersiapkan serangan terhadap
Indonesia. Mereka mencoba hendak membunuh Sukarno, Yani dan Subandrio.
Mereka akan melakukan serangan terbatas terhadap Indonesia. Dan mereka
mempunyai teman-teman di sini "
kill Sukarno, Yani and Subandrio. They are going to make a limited attack on
Indonesia. They have the* friends here" - mereka mempersiapkan serangan terhadap
Indonesia. Mereka mencoba hendak membunuh Sukarno, Yani dan Subandrio.
Mereka akan melakukan serangan terbatas terhadap Indonesia. Dan mereka
mempunyai teman-teman di sini "
(Demikian kutipan
sebagian dari isi pidato Bung Karno yang rekamannya setelah
ditranskrip terdiri dari 14 halaman folio tik-tikan (2 spasi).
ditranskrip terdiri dari 14 halaman folio tik-tikan (2 spasi).
Pidato ini jarang
dimuat dalam kajian Sejarawan yang menulis tentang fakta G 30 S. Justru Manaii
Sophiaan eks Dubes Indonesia untuk Sovyet dan Anggota Konstituante dari PNI
yang dekat dengan Bung Karno yang memuat pidato pada pembukaan rapat Pimpinan
Angkatan Darat, Mei 1965 dalam bukunya “Kehormatan Bagi Yang Berhak”. Pidato
ini juga menunjukkan juga menunjukkan bahwa Sukarno sudah sadar ada permainan
intelijen asing untuk menjatuhkan dirinya beserta Yani dan Subandrio dimana
masing-masing merupakan kunci dalam politik perang dengan Malaysia. Dalam
konteks perang dengan Malaysia tidak ada faktor yang signifikan dari pemimpin
PKI seperti : DN Aidit atau Nyoto. Kenapa garis Subandrio-Yani menjadi
signifikan?. Pertama, adalah Subandrio seorang diplomat ulung dia berhasil
dalam politik diplomasi perebutan Irian Barat sehingga menghindari perang
terbuka antara RI-Belanda. Subandrio memiliki hubungan dengan banyak diplomat
asing dan pemimpin luar negeri yang bisa mempengaruhi negara-negara lain
mendukung politik Sukarno terhadap Malaysia yang ditakuti Inggris juga adalah
pengaruh kekuatan diplomasi Subandrio terhadap negara-negara Asia-Afrika
terutama kelompok negara-negara Sosialis yang banyak tumbuh di Asia-Afrika
dimana mereka menentang Imperialisme Amerika. Subandrio sebagai tokoh BPI juga
memiliki data intelijen yang bisa membuka perang intelijen dengan
Amerika-Inggris. Dengan menyingkirkan Subandrio maka data-data keterlibatan
intelijen asing bisa di eliminir semaksimal mungkin, buktinya pasca G 30 S
kantor Subandrio di Pejambon jadi sasaran amuk massa dan dibakar sekaligus
mementahkan semua data Subandrio yang sudah dikutuk menjadi ‘Durno’ oleh penentang
Sukarno di tahun 1966.
Kedua, dengan
menyingkirkan Yani maka pihak asing berpeluang memasukkan Jenderal yang tidak
terlalu fanatis terhadap Sukarno sehingga bisa memperlemah kekuatan militer
Sukarno. Bila Subandrio dan Yani bisa disingkirkan maka puncaknya adalah
Sukarno sendiri. Ini dikatakan juga oleh Oejeng Suwargana yang merupakan
komplotan konspirasi bawah tanah yang pernah menyebutkan (seperti dikutip dalam
buku Oltmans yang juga disadur oleh Rosihan Anwar dalam Petite Histoire) :
“kami akan kucilkan (Isoleren) Soekarno dan membiarkannya mati bagaikan sebuah
bunga yang tak lagi memperoleh air” . Coba bandingkan ucapan Oejeng di Amerika
terhadap Oltmans pada tahun 1964 dengan kejadian karantina politik Sukarno
1967-1970 dimana hidup Sukarno bagai seorang tawanan tanpa martabat. Jadi
konspirasi pemberontakan itu sendiri sudah didengar Sukarno namun bentuknya
seperti apa tidak jelas sampai ada muncul bahwa Sukarno akan di Ben Bella-kan
karena pada saat itu timbul kudeta Jenderal Boumedienne terhadap Presiden
Aljazair Ben Bella. Dan dokumen-dokumen CIA lainnya banyak yang menyebutkan
akan ada peristiwa pada 5 Oktober 1965. Ini juga di dapat oleh dokumen-dokumen
rilisan BPI. Namun ketebalan dokumen apapun akan menjadi jelas pada ucapan Kol.
Latief yang menemui Suharto dan dicatat dalam Kesaksian Kol. Latief dalam
Pledoinya di tahun 1978 :
“Dua hari sebelum
peristiwa tanggal l Oktober l965, saya beserta keluarga mendatangi ke rumah
keluarga Bapak Jendral Soeharto di Jalan Haji Agus Salim, yang waktu itu beliau
masih menjabat sebagai panglima Pangkostrad. Di samping acara kekeluargaan saya
juga bermaksud: “Menanyakan dengan adanya info Dewan Jendral, sekaligus
malaporkan kepada beliau”. Beliau sendiri justru memberitahukan kepada
saya:”Bahwa sehari sebelum datang ke rumah beliau, ada seorang bekas anak
buahnya berasal dari Yogyakarta bernama Subagiyo, memberitahukan tentang adanya
info Dewan Jendral, yan akan mengadakan Coup d’etat terhadap kekuasaan
pemerintahan presiden Soekarno...”Yang sebenarnya, bahwa saya pada malam itu di
samping memang menengok putranya yang sedang terkena musibah, sekaligus untuk
saya laporkan akan adanya gerakan pada besok agi harinya, untuk menggagalkan
rencana Coup D’etat dari Dewan Jendral, di mana beliau sudah tahu sebelumnya.”
Dengan menyimak
pernyataan dari Kol. Latief tadi bahwa isu Dewan Djenderal bukan lagi
merupakan isu yang sangat rahasia bahkan berita terhadap akan adanya aksi
penculikan ini sudah beredar di kalangan petinggi tapi ada yang lebih penting
bahwa Suharto sendiri sudah mengetahui di luar sepengetahuan Latief pada titik
ini perlu dibangun ruang investigatif koridor apa yang digunakan Suharto guna
memanfaatkan informasi ini.
Menilik dari pidato
Sukarno di depan Pimpinan Angkatan Darat kelak dikemudian hari terbukti dengan
serangkaian peristiwa.. Yani dibunuh, Sukarno digulingkan dan Subandrio
dipenjara baru keluar tiga puluh tahun kemudian tahun 1995.
Selain intrik
internal yang berkembang dalam interior konstelasi politik Indonesia, perlu
juga diperhatikan kerja anggota komplotan anti Sukarno di luar negeri yang juga
banyak bersarang di Malaysia dan Singapura. Menjadi tugas sejarawan untuk
mencari tahu apakah mereka telah membangun koridor Indonesia-Malaysia untuk
melemahkan Sukarno? Apakah yang dilakukan LB Moerdani pada proyek normalisasi
hubungan dengan Malaysia dibawah komando Ali Moertopo merupakan proyek out of
the blue sky tanpa proloog?
Menilik dari pidato
Sukarno di depan Pimpinan Angkatan Darat kelak dikemudian hari terbukti dengan
serangkaian peristiwa Yani dibunuh, Sukarno digulingkan dan Subandrio dipenjara
baru keluar tiga puluh tahun kemudian tahun 1995.
Tulisan Sdr.
Johannes Sulaiman memang menarik dari narasinya dan dalam kisah prolog
sebelum G 30 S tidak ada yang salah bila J Sulaeman mendasarkan pada
teori-teori Mainstream G 30 S. Namun pemaknaannya bisa membuat orang salah
tafsir bahwa bentuk kemarahan Indonesia terhadap Malaysia kemudian direalisir
menjadi bentuk ‘Politik Pengganyangan Malaysia’ merupakan proyek pribadi Bung
Karno (-yang di masa Orde Baru oleh pelacur intelektual sering disebutkan
sebagai virtual enemy Sukarno- )bahkan dalam tulisan ini seakan-akan menyeret
masalah Malaysia hanya semata karena donder-nya Bung Karno karena fotonya dan
lambang Burung Garuda diinjak-injak membuat interpretasi emosional jangka
pendek. Padahal politik Ganyang Malaysia merupakan puncak dari karir Sukarno
sebagai pembebas dan pencetus ideologi Kemerdekaan. Alam pikiran politik
Sukarno sudah mencapai tahap pengertian lebih lanjut tentang makna Imperialisme
itu sendiri jauh dari pengertian Imperialisme Vulgar yang masih berbentuk
Kolonialisme khas abad 19. Sukarno sudah berteriak “Go To Hell IMF!!!” jauh
sebelum dunia mengerti dampak politik ketergantungan yang diterapkan IMF dan
menjebak negara-negara dunia ketiga ke dalam lembah hutang. Alam pikiran
politik Sukarno sudah sampai pada tahap pengertian bahwa akan ada bentuk
Imperialisme baru yang dikomandoi Amerika dimana Amerika sudah mendesak Inggris
pada tahun 1940-1945 ketika Churchill tiap kali menghubungi Washington untuk
turut campur dalam teater perang di Eropa. Pada saat hubungan itu Amerika masih
berdiam diri karena Hitler-pun mengirim lobby-lobby politik untuk memperoleh
dukungan Amerika namun akhirnya Amerika lebih memilih Churchill dan Stalin
sebagai sekutu di Eropa ketimbang Hitler. Itu kenapa : Karena Hitler masih
menerapkan Kolonialisme Vulgar dan tidak sejalan dengan tendensi
Kapitalis-Liberal ala Amerika Serikat. Daripada memusuhi Stalin dengan kekuatan
Komunisnya yang besar, lebih baik mengikat Stalin di ruang Eropa Timur
ketimbang bersekutu dengan Nazi Jerman yang selain buas juga masih lekat otak
kolonialisme khas abad 19. Salah satu syarat yang mendasari Amerika untuk turun
pada perang dunia kedua adalah Inggris harus melepaskan semua negara koloni-nya
karena bila tidak hal ini akan memicu kecemburuan dari negara-negara maju
lainnya seperti : Jerman dan Jepang dimana mereka merasa terpinggirkan dalam
perebutan wilayah yang oleh Hitler disebut sebagai :Lebensraum-Ruang Hidup- .
Untuk itu kemudian dibentuklah IMF, World Bank, GATT dan segala bentuk
hub/central financial untuk membiayai imperialisme jenis baru ini. Musuh mereka
sendiri adalah Uni Sovyet namun Amerika yakin Sovyet tidak akan menghajar
Amerika karena bagaimanapun orang-orang Rusia berterima kasih atas bantuan
Amerika membebaskan Eropa dari serbuan Hitler. Jasa dan kekaguman inilah yang
kerap dijadikan landasan untuk tidak melakukan politik konfrontasi secara
terbuka. Perang yang dilakukan adalah Proxy War.
Ini terbukti ketika
akhirnya Sovyet menerapkan politik diplomasi dengan Amerika ko-eksistensi, yang
artinya saling mengakui eksistensi masing-masing negara.
Jadi Imperialisme
pertengahan dekade 1940-an ada dua : Imperialisme barat dengan Amerika sebagai
boss-nya dan Imperialisme Sovyet dimana Moskow jadi Patriakhnya. Disini Sukarno
ingin menghindari dua-duanya maka untuk itu pada tahun-tahun perang bersenjata
1945-1949 ia harus mempermainkan kedua kekuatan itu di Indonesia hasilnya
adalah : Peristiwa Madiun 1948 dan KMB 1949. Namun setelah ko-eksistensi
Sovyet-AS maka tendensi Kapitalisme Liberal berubah dari permusuhan total
dengan komunisme beralih menjadi permusuhan terhadap negara-negara yang
memiliki semangat nasionalisme tapi mempunyai sumber daya alam seperti :
Vietnam dan Indonesia setelah itu Amerika juga memburu negara-negara Arab yang
kaya minyak dengan menempatkan Israel sebagai central agent-nya. Sukarno sudah
membaca ini karena itu dia menjauh dan mendekat pada Cina yang kemungkinan bisa
bekerjasama apabila memang benar-benar Amerika menyerbu Indonesia atau meledak
perang Malaysia-Indonesia.
Jadi untuk
menjadikan basis penelitian pada G 30 S adalah tujuan utama Amerika untuk
menguras kekayaan negara yang diincarnya. Terbukti dibawah rezim Kapitalis
Kroni Indonesia, negara kita nyaris bangkrut (atau mungkin sudah bangkrut?)
Bukan cuman mendasari pada proloog injek-injek foto dan lambang negara Garuda.
Ada makna substansial yang lebih penting kenapa Bung Karno berkata dalam pidato
yang ditujukan pada Tunku Abdurrahman :
“Kamu mau
apa..Konfrontasi ekonomi...kita balas dengan konfrontasi ekonomi...Konfrontasi
politik kita balas dengan konfrontasi politik...Konfrontasi militer....kita
balas dengan konfrontasi militer...Iki Dadaku, Endi Dadamu!!!!.....
Pernyataan Bung
Karno itu menunjukkan bahwa Indonesia sedang dalam kepungan kekuatan militer
Inggris-Amerika sementara Australia dibawah dan Singapura diatas akan jadi
penopang pangkalan militer barat. Politik pengganyangan Malaysia merupakan
realisasi tindakan Bung Karno untuk melawan gejala Imperialisme di depan
matanya, realisasi ini merupakan dialektika sejarah perkembangan politik dunia
dimana kapital yang menjadi pusat silang sengketa. Apa yang ditakutkan pada
Imperialisme di Kalimantan Utara malah terjadi di bumi Indonesia dengan agen
Imperialisme-nya Bapak Pembangungan Indonesia, Jenderal Besar Suharto. Yang
oleh pelukis Djoko Pekik dilukiskan seperti celeng dengan tulisan : Pengkhianat
Revolusi.
Dalam sejarah yang
saling bertubrukan keterkaitan antar teori-teori yang saling bertentangan
menjadi sangat penting sebelum kita masuk ke dalam ruang kesimpulan. Namun
untuk kasus G 30 S nampaknya benar apa yang dikatakan Bung
Ikranegara...bertengkar terus sampai tua. Kenapa sebabnya? Ya, karena seret
Suharto-pun kita nggak berani jangankan untuk mencari fakta G 30 S, untuk
mendukung PBB mengungkap kebenaran saja kita masih takut pakai alasan
Nasionalisme dibawa-bawa seperti tulisan aneh (untuk ukuran koran secerdas
Kompas) Suryopratomo di editorialKompas tentang Suharto dan PBB.
ANTON
TANGGAPAN YS
TERHADAP IKRANEGARA DAN ANTON
> Tanggapan
Saudara Anton memang benar-benar menarik, walaupun
> kelihatannya
ditulis dalam kondisi yang emosional dan terlalu
> bersemangat
1945, padahal keinginan untuk saling belajar dan
berkepala
> dingin paling
penting dalam sebuah diskusi apalagi tentang masalah
> G30S/PKI yang
kontroversial ini. Sebelum Saudara Anton membaca
> tanggapan
saya, pertama-tama, saya lampirkan dulu tanggapan saya
> terhadap
tulisan Bapak Ikranegara:
>
> Tulisan
sanggahan Pak Ikranegara memang menarik, namun sayangnya ia
> tidak melihat
konteks politis Indonesia pada masa itu. Dalam tulisan
> ini, saya akan
membahas sanggahan-sanggahan yang ia kemukakan dan
> mencoba
menempatkan para pembaca dalam konteks situasi waktu itu.
>
> Sanggahan
pertama Pak Ikranegara terhadap tulisan saya terletak pada
> peran PKI. Pak
Ikranegara melihat peran PKI adalah sebagai serdadu
> sipil, namun
Sukarno membutuhkan PKI bukan untuk sebagai serdadu.
> Sukarno
menguatirkan kepopuleran PKI dikalangan masyarakat, di mana
> pada pemilu
1955 PKI mendapatkan 16.4% suara dan pada pemilu daerah
> tahun 1957,
perolehan suara PKI meningkat sebesar tujuh juta, dan ini
> hanya di Jawa.
Pada tahun 1963, tak ada lagi partai politik yang bisa
> menyaingi PKI:
Masyumi sudah dibredel tahun 1959, PNI tak terlalu
> berguna,
sementara NU hanya kuat di kalangan kaum tradisionalis di
> Jawa Tengah
dan Jawa Timur.
>
> Selain itu,
tak bisa dilupakan bahwa PKI adalah partai komunis
> terbesar
ketiga di dunia, dibelakang Uni Soviet dan China Beijing!
> Posisi PKI
begitu ditakutinya di dunia, sampai Uni Soviet dan China
> Beijing
berusaha mendekati PKI. Apalagi, setelah China Beijing
> berhasil
meledakkan bom nuklir dan Sukarno ingin mendekatkan
Indonesia
> ke China
Beijing, PKI menjadi sulit dipisahkan. Sebetulnya masih ada
> juga satu
alasan kenapa Sukarno betul-betul mau membentuk poros
>
Jakarta-Beijing-Pyongyang-Phnom Pehn, namun saya tak akan bongkar
> sekarang,
karena saya ingin kalau disertasi saya diterbitkan juga
> masih ada
kejutan yang belum saya buka. Saya hanya beri petunjuk
saja,
> bahwa ada
hubungannya dengan Amerika Serikat.
>
> Sanggahan
kedua Pak Ikranegara terletak pada posisi Sukarno sebagai
> Panglima
Tertinggi Angkatan Perang RI dan Pemimpin Besar Revolusi.
> Perlu diingat
bahwa tentara Indonesia itu mungkin paling unik di
> dunia, bahwa
hampir semua divisi (bahkan batalyon!) memiliki
kebebasan
> sendiri,
akibat minimnya dana yang bisa curahkan pemerintah untuk
> memenuhi
kebutuhan angkatan bersenjata. Kebebasan tentara pun
> diperkuat atas
bisnis tentara sendiri, di mana untuk memenuhi
> kebutuhan dana
militernya, mereka harus bergantung kepada
> penyelundupan
dan usaha-usaha bekas milik Belanda yang
>
dinasionalisasi. Jadi, walaupun Sukarno memiliki banyak gelar, ia tak
> berkuasa
sepenuhnya kepada angkatan bersenjata. Karena itu, sulit
> untuk Sukarno
untuk seenak perutnya memecat jendral-jendral yang ia
> tidak sukai.
>
> Ketiga adalah
pribadi Sukarno sendiri. Pak Ikranegara menolak melihat
> Sukarno sebagai
seorang yang emosional, penuh dendam, dan emosional.
> Mari saya
kutipkan tulisan Sukarno sendiri melalui autobiografinya
> yang terkenal
(kecuali kalau anda rasa itu tulisan CIA juga):
"Sukarno
> adalah seorang
individualis. Manusia jang tjongkak dengan suara-batin
> yang
menjala-njala, manusia jang mengakui bahwa ia mentjintai dirinja
> sendiri tidak
mungkin mendjadi satelit jang melekat pada bangsa lain.
> Sukarno tidak
mungkin menghambakan diri pada dominasi kekuasaan
> manapun djuga.
Dia tidak mungkin menjadi boneka."
>
> Orang macam
apa yang berani menulis seperti ini, kecuali Sukarno
> dengan harga
dirinya yang memang sangat tinggi itu, di mana ia ingin
> Indonesia juga
memiliki harga diri tinggi di mata dunia? Saya tadinya
> juga tidak
percaya waktu membaca dokumen CIA tersebut, tapi dari
> membaca
biografi Sukarno serta melihat tindakan-tindakannya sejak
> tahun 1945lah
maka akhirnya saya percaya bahwa Sukarno BISA melakukan
> hal ini, yakni
melempar Indonesia ke Konfrontasi karena ia
> dipermalukan
Malaysia. Masih banyak lagi bahan yang bisa saya gunakan
> untuk
mendukung argumen saya ini, tapi saya tak mau memanjang-
> manjangkan
tulisan yang memang sudah cukup panjang ini.
>
> Dari sanggahan
Pak Ikranegara, ada satu yang saya setuju, yakni G30S/
> PKI itu
bertujuan untuk mengadili para jendral. Tapi saya menekankan
> satu hal dalam
disertasi saya, yakni G30S/PKI itu adalah sebuah
> kecelakaan.
Namun saya tak tuliskan dalam tulisan di Kompas berhubung
> keterbatasan
tempat dan di luar topik. Mungkin anda tak percaya, tapi
> pada tanggal
Oktober 6, 1965, CIA sendiri menyatakan kepada Presiden
> Johnson bahwa
tak mungkin PKI merencanakan pembunuhan atas keenam
> jendral
tersebut karena situasi politis di Indonesia sangat
> menguntungkan
PKI, suatu laporan yang agak sulit diterima kalau kita
> berpendapat
bahwa AS/CIA itu adalah dalang dari G30S/PKI.
>
> Keempat, Pak
Ikranegara sayang sekali sangat berpandangan naïf
tentang
> Sukarno,
sehingga ia tak bisa menghargai dan mengagumi kehebatan dan
> kelihaian
Sukarno dalam berpolitik. Walaupun disertasi saya ini
> mungkin
dianggap menyerang Sukarno, tapi semakin lama saya
mempelajari
> Sukarno,
semakin kagum saya, kok bisa ada orang selihai ini, tak
> seperti yang
biasa dituliskan dalam buku-buku biografi tentang dia.
>
> Terakhir, saya
menolak kalau saya dianggap ikut-ikutan pandangan guru
> besar saya
yang dianggap berpandangan "American Uber Alles" itu.
> Soalnya, saya
lebih berpandangan "American Uber Alles" daripada dia!
> (yang ini
bergurau, tolong jangan dianggap serius).
>
> YS
>
---------------
>
> Saya rasa saya
sudah menjawab sebagian besar tulisan Saudara Anton.
> Sekarang untuk
menjawab tanggapan Saudara Anton yang belum dibahas
> dalam
tanggapan saya kepada Pak Ikranegara:
>
> Pertama-tama
saya akan membahas tanggapannya mengenai bahan-bahan
dari
> CIA. Semua
dokumen yang saya gunakan ditulis persis pada saat
> terjadinya
sebuah peristiwa, kecuali satu buku investigasi dari CIA
> tentang
G30S/PKI yang diterbikan tahun 1969 dengan menggunakan bukti-
> bukti dari
pengadilan orang-orang yang terlibat dalam G30S/PKI dan
> satu artikel
untuk publikasi internal CIA yang mengulas peran Amerika
> Serikat dalam
kejatuhan Sukarno. Semua dokumen tersebut adalah untuk
> konsumsi
internal yang baru saja dilepaskan untuk umum beberapa tahun
> yang lalu,
sehingga tak ada inisiatif bagi para penyusun dokumen itu
> untuk
memain-mainkan apa yang mereka tulis untuk umum. Semuanya hanya
> untuk para
pengambil keputusan di Washington. Mungkin Saudara Anton
> ini sudah
cenderung terbuai semua rumor tentang propaganda CIA akibat
> paham kirinya
yang menggembar-gemborkan dialektika sehingga ia tak
> bisa
membedakan mana dokumen yang diperuntukkan untuk konsumsi umum
> dan mana yang
diperuntukkan untuk konsumsi internal di Washington.
> Begitu pula
dengan Sukarno: ada yang Sukarno katakan untuk konsumsi
> umum dan ada
juga yang untuk konsumsi kalangan tertentu, dan lucu
> bahwa pidato
Sukarno yang jelas-jelas untuk konsumsi umum dianggap
> lebih berbobot
daripada dokumen-dokumen CIA yang ditulis untuk
> konsumsi elit
di Washington. Keduanya sama pentingnya sebagai bukti
> sejarah,
pertanyaannya adalah bagaimana kita, sebagai orang yang
> mempelajari
sejarah, berusaha untuk menganalisanya.
>
> Kedua, mungkin
saya memang sudah lama tidak di Indonesia akibat
> bergumul
dengan pelajaran di sini karena itu saya sudah ketinggalan
> tentang
perkembangan literature G30S/PKI di Indonesia. Tapi sejauh
> yang saya
lihat, dari tulisan-tulisan yang muncul di berbagai media,
> ditambah lagi
beberapa buku baru yang baru diterbitkan seperti buku
> John Roosa
yang menarik, yang membahas tentang G30S/PKI, tak ada dari
> mereka yang
betul-betul mencoba melihat korelasi antara Malaysia
> dengan
tentara-tentara yang terlibat G30S/PKI. Berbuhung dari itu,
hal
> ini tak bisa
saya bantah, tapi di sisi lain juga, Saudara Anton perlu
> memberikan
bukti kepada saya bahwa banyak sejarahwan di Indonesia
> sudah
memperhatikan hubungan antara Konfrontasi dengan G30S/PKI. Di
> sini, saya
dengan senang hati menunggunya.
>
> Ketiga, cukup
banyak tulisan Saudara Anton ini yang sulit dibantah,
> bukan karena
tak terbantahkan, tapi karena ia melakukan orasi di sana
> sini, tanpa
data-data yang kuat. Jika waktu itu Kalimantan memang
> sudah dipenuhi
pasukan Indonesia dan Sukarno yakin bahwa Indonesia
> menang,
mengapa tak ada penyerbuan kepada Malaysia saat itu juga?
> Dipikir-pikir
Inggris sendiri waktu itu juga sebal, karena biaya
> mereka setiap
hari itu mencapai satu juta poundsterling dan alasan
> mereka untuk
membentuk Malaysia sendiri agar mereka bisa cepat-cepat
> meninggalkan
Asia Tenggara dan mendapatkan Federasi Malaysia yang
> terdiri dari
Malaya, Singapura, Sabah, dan Serawak yang anti komunis.
>
> Keempat, soal
Tan Malaka, mungkin anda tak tahu, tapi Tan Malaka
> pernah meminta
dukungan Sjahrir untuk mengangkat dirinya sebagai
> presiden
menggantikan Sukarno. Sjahrir menjawab pendek: kalau kamu
> hanya sepuluh
persen saja sepopuler Sukarno, kita akan
>
mempertimbangkan untuk mengangkatmu senagai presiden. Ini bukan dari
> CIA, ini
adalah tulisan Rosihan Anwar, kecuali kalau anda juga
> menganggap
Rosihan Anwar dipengaruhi CIA.
>
> Kelima: Saya
tak pernah berpendapat Ahmad Yani itu pengecut. Ada
> perbedaan
besar antara orang yang tahu kekuatan dirinya sendiri
> sehingga
menolak untuk berkelahi dengan orang yang tak mau berkelahi
> karena
pengecut. Contoh yang pertama adalah Ahmad Yani. Saya tak
> pernah melihat
tindakan Ahmad Yani sebagai sebuah kepengecutan.
>
> Keenam,
tulisan anda itu sudah terlalu panjangnya dan meleber kemana-
> mana seperti
nila didalam susu saja, sampai saya terus terang bingung
> mau balas
bagian mananya, soalnya pusing. Tujuan tulisan saya di
> Kompas kan
hanya untuk mencoba membawa isu Malaysia ke perdebatan
> tentang
G30S/PKI dan memperlihatkan bahwa Sukarno sendiri bukannya
> pendukung PKI
100% karena tindakan Sukarno yang berpihak kepada PKI
> sejak tahun
1963-5 didasarkan oleh kalkulasinya tentang Malaysia.
>
> Satu nasihat
saya: kalau menulis sejarah, tak perlu bawa-bawa
> dialektika.
Dialektika imperialisme/kolonialisme yang senangnya
>
digembar-gemborkan Aidit dan pemimpin-pemimpin komunis di Beijing dan
> Moskow sana
membuat tulisan jadi panjangnya enggak karu-karuan dan
> meleber
kemana-mana, tak terlalu bisa memberikan kontribusi yang
> berarti kepada
perdebatan, dan membuat anda menjadi "bias" dan
menolak
> mengevaluasi
fakta-fakta yang ada secara objektif.
>
> YS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar