Senin, 19 Agustus 2013

Pembantaian Massal 1965-1966


Pembantaian Massal 1965-1966 Pernah Terjadi
Penulis : Donny Andhika
http://www.mediaindonesia.com/read/2012/10/10/352566/284/1/Pembantaian_Massal_196
5-1966 , dari exlibris
Senin, 01 Oktober 2012 20:34 WIB
DOK PRIBADI

JAKARTA--MICOM: Film The Act of Killing, meski mendapat rating 8,6 di situs IMDB dan
menarik perhatian dalam Festival Film Toronto 2012, tetap menuai kontroversi, khususnya
di wilayah Sumatra Utara.
Film dokumenter garapan warga negara Amerika Serikat Joshua Oppenheimer tersebut
mengisahkan tentang pembantaian massal anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) oleh
para pemuda di Medan termasuk dari unsur Pemuda Pancasila pada tahun 1965.
Pemeran utama film tersebut adalah Anwar Congo, mantan anggota Pemuda Pancasila
yang memang mengaku ikut terlibat pembantaian dan terpaksa melakukan pembunuhan
karena tidak ingin dibunuh.
Berikut Wawancara Media Indonesia dengan sutradara muda tersebut yang dikirim via
surat elektronik, Minggu (30/1).

1. Apa tujuan dari pembuatan film The Act of Killing?
Seperti sastrawan atau seniman pada umumnya, saya ingin menyampaikan sebuah ide
melalui karya yang saya rasa perlu direnungkan oleh banyak orang untuk mengasah budi
pekerti kita, agar kita bisa hidup bersama dengan lebih baik.
Melalui film The Act of Killing saya ingin mengajukan pertanyaan kemanusiaan yang
universal, apakah artinya menjadi orang baik itu? Apa bedanya kita dengan para pelaku
pembunuhan massal, jika kita semua adalah manusia yang sanggung berimajinasi? Apa
peran imajinasi dalam kekerasan ekstrem? Mengapa manusia masih saja melakukan
kekerasan ekstrem?
Dengan film ini pula saya ingin mengungkap salah satu babak tergelap dalam sejarah
kemanusiaan yang selama ini ditutup-tutupi, padahal penting untuk diketahui dan dipelajari
bukan hanya oleh orang Indonesia, tetapi juga bagi seluruh warga dunia. Saya berharap
film ini membuka ruang-ruang diskusi yang lebih luas dan bisa memulai sebuah proses
penyembuhan luka sejarah ini.
2. Banyak orang mempertanyakan kebenaran dari sejarah yang diceritakan dalam
film, apakah anda melakukan studi sejarah dan lapangan sebelum membuatnya?
Sebetulnya, saya malah ingin balik bertanya, siapa sajakah yang Anda maksud sebagai
"banyak orang" dan bagian mana dari kebenaran sejarah yang diceritakan dalam film itu
yang dipertanyakan.
Dua sejarawan, Asvi Warman Adam dari LIPI dan Budi Agustono dari USU, juga Ariel
Heryanto menyambut positif film ini dari aspek sejarah.
Sekalipun banyak orang Indonesia-- terutama generasi muda--tidak mengetahui bahwa
pembantaian massal 1965-1966 pernah terjadi, tidak berarti bahwa pembantaian itu tidak
pernah terjadi.
Saya mempelajari banyak sekali sumber literatur sejarah Indonesia pada periode sekitar
1965 baik dari dokumen-dokumen (termasuk dokumen rahasia pemerintah Amerika Serikat
yang telah dibuka) maupun hasil penelitian yang ditulis oleh orang Indonesia serta peneliti
dari luar Indonesia.
Selain itu, saya juga berkonsultasi dengan sejarawan dan peneliti lain yang telah lebih dulu
mendalami babak sejarah tersebut, misalnya John Roosa dan Ben Anderson, dan juga
beberapa sejarawan atau peneliti dari Indonesia.
Selain studi literatur dan konsultasi dengan para pakar, saya juga mewawancarai banyak
sekali orang di Sumatra Utara sejak 2001, meliputi para penyintas (survivor) dan keluarga
korban pembantaian massal, juga para pelaku pembantaiannya sendiri, komandannya,
algojonya, serta teman-teman, keluarga, dan orang di sekitarnya.
Selain itu sebelum setiap kali saya mempertemukan dua orang nara sumber, saya
mewawancarainya secara terpisah, sehingga saya bisa mendapatkan gambaran mengenai
apa yang sebetulnya terjadi, apa yang dilebih-lebihkan atau apa yang ditutup-tutupi.
3. Dari mana awalnya anda mendapatkan cerita tentang film itu?
Pada tahun 2001 saya diundang untuk memfasilitasi sekelompok buruh perkebunan
membuat film yang mengangkat masalah yang mereka hadapi. Di sini saya menemukan
bahwa salah satu persoalan mereka adalah kesulitan untuk membangun sebuah serikat
buruh yang berdaya. Kesulitan ini disebabkan oleh sejarah penindasan yang panjang dan
penghancuran serikat-serikat yang kuat membela kepentingan buruh dan tani pada tahun

1965. Para buruh, hari ini, masih takut berorganisasi dan menyuarakan pendapatnya,
karena para pembunuh massal dari tahun 1965, yang membunuh para pemimpin buruh di
masa itu, masih hidup di sekitar mereka.
Saya lalu mendekati dan mewawancarai salah satu algojo itu. Saya merekamnya bercerita
dengan rinci dan memberikan peragaan sederhana mengenai pembunuhan yang
dilakukannya dengan gaya sesumbar. Saya melihatnya ia lebih dari sekadar bercerita, ia
melakukannya sebagai sebuah pergelaran (performance).
Saya jadi mulai bertanya-tanya, kepada siapa (dalam bayangannya) ia melakukan
pergelaran ini? Untuk apa ia mempergelarkan ceritanya itu? Dipikirnya saya ini siapa? Apa
yang dia bayangkan mengenai penilaian saya terhadap dirinya? Bagaimana dia
memandang dirinya sendiri? Bagaimana dia memandang korban-korbannya? Keluarga
korban-korbannya, yang adalah tetangganya?
Saya mulai mencari jawabannya satu persatu dengan lebih banyak melakukan interview
dari satu pembunuh ke pembunuh yang lain, mencari atasannya, terus dari satu desa ke
desa yang lain, sampai akhirnya saya menemui pimpinan tingkat kabupaten, dan juga ke
Medan untuk mencari anggota pasukan pembunuh yang paling terkenal kejam di kota itu.
Dari situ saya bertemu dengan Anwar Congo. Ia orang yang terbuka, dan akrab sekali
dengan media film karena ia mantan preman bioskop yang hdiup dari mencatut karcis di
masa mudanya.
Saya mewawancarainya dan juga memintanya melakukan peragaan ulang (re-enactment)
pembunuhan yang dia lakukan persis di tempat dulu ia melakukan aksi pembunuhannya di
sebuah ruko di seberang bekas bioskop tempat ia biasa mencatut karcis.
Saya lalu memutarkan hasil rekaman kepada Anwar, dan komentarnya mengagetkan saya.
Anwar menilai, seperti seorang sutradara atau kritikus film, bahwa pakaiannya salah,
gerakan dan aktingnya kurang bagus, dan ia seharusnya terlihat lebih muda, ia merasa
perlu mengecat hitam rambutnya yang telah memutih seluruhnya.
Anwar telah membayangkan dirinya dalam sebuah film, lengkap dengan kostum dan make
up-nya. Dan saya segera saja menyambut kesempatan ini dengan menawarinya membuat
sebuah film fiksi agar ia bisa mendramatisasi pengalaman dan ingatannya.
Ini adalah cara yang saya rasa lebih baik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan saya.
Daripada mewawancarainya, dan berusaha masuk ke dalam pikiran dan bayangannya,
lebih baik saya minta ia mengeluarkan dan mewujudkan bayangannya di atas sebuah set
film, dan saya merekamnya.
Inilah awal berkembangnya metode pembuatan film yang kemudian menjadi alat bertutur
cerita film The Act of Killing.
4. Apa sebenarnya tujuan dan target dari pembuatan film tersebut?
Tujuan bisa lihat jawaban atas pertanyaan nomor 1. Dalam waktu dekat, sesudah kami
menyelesaikan proses 7 tahun ini, target kami sebetulnya sesederhana membuat film ini
ditonton sebanyak-banyaknya orang di Indonesia dan di seluruh dunia.
Selanjutnya kami berharap gagasan dan persoalan yang kami sampaikan melalui film
diapresiasi dan dibicarakan secara meluas, melalui media atau dalam kelompok
masyarakat.
Kami sadar bahwa film ini sendirian tidak bisa berbuat banyak untuk Indonesia, tapi
harapan bahwa akan terjadi perubahan perimbangan kekuasaan, proses peradilan HAM

dan rekonsiliasi, permintaan maaf resmi, restitusi kepada keluarga korban dan penyintas,
pelajaran sejarah yang lebih jujur, serta terbentuknya masyarakat yang menolak impunitas
serta kekerasan selalu menjadi inspirasi kami sepanjang proses pembuatan film ini.
5. Bagaimana anda melihat peluang film ini di Festival Toronto?
Di Festival Film Internasional Toronto, film ini mendapatkan sambutan yang luar biasa
hangat, apresiatif, dan penuh pujian. Kami tahu bahwa film kami ini bukan film yang bisa
diremehkan, tapi sambutan sehebat itu tidak kami duga.
Berbagai media menyebut film The Act of Killing sebagai satu dari 10 film terbaik di Festival
Toronto, bahkan ada yang menyebutnya sebagai film terbaik--sekaligus yang paling
menyeramkan--dari ratusan film yang terpilih ikut dalam festival tersebut. Karena The Act of
Killing diluncurkan secara resmi di Toronto, dan sambutannya begitu meriah, gaungnya
sampai ke Eropa, dan di Inggris sebuah koran besar menulis tentang film ini, "Setiap
frame-nya menakjubkan!" (OX/X-13)
6. Apa keunggulan dan kelemahan film ini?
Keunggulannya, bila pantas disebutkan, salah satunya, adalah film ini boleh dibilang dibuat
dengan metode pembuatan yang orisinal, dan metode tersebut berkembang bersama
cerita film yang ditangkap oleh metode ini.
Jadi, metode dan cerita yang ditangkapnya saling mengembangkan dan melengkapi,
sehingga semakin lama kami berproses dengan film ini, bukan hanya metodenya semakin
baik, tetapi ceritanya pun semakin kuat.
Keunggulan lain, dari segi tema, boleh jadi ini film pertama yang mengangkat babak
sejarah kelam Indonesia ini dari sudut pandang pelaku, dan berhasil membongkar serta
menunjukkan kebudayaan seperti apa yang sekarang hidup di Indonesia ketika para
pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, bukan hanya menikmati impunitas, tetapi juga
diperlakukan layaknya pahlawan, dan mereka bisa tetap mengumbar sesumbar mengenai
kejahatannya--bahkan sesudah film ini rama dibicarakan di Indonesia.
Kelemahan film ini, nah itu sebetulnya harus ditanyakan kepada kritikus film atau penonton.
Sebagai film, bagi saya, ini sudah yang terbaik.
Dengan segala sumber daya yang kami miliki, baik metodenya, rekaman sepanjang
seribuan jam, maupun sumber daya manusia yang terlibat dalam proses pembuatan film,
ini sudah paling baik yang bisa kami usahakan. Juga dalam editing, kami sudah mencoba
banyak sekali kombinasi gabungan berbagai adegan, dan The Act of Killing yang kita
saksikan sekarang adalah yang terbaik.
Penambahan atau pengurangan bagian dari film ini tidak akan membuatnya jadi lebih baik.
Itu yang saya rasakan, tentu saja, pendapat saya sangat subyektif.
Tapi dari segi teknis, metode yang dipakai untuk membuat film ini, termasuk riset dan
pendekatan kepada tokoh yang difilmkan, memerlukan waktu yang sangat panjang
dibandingkan rata-rata waktu pembuatan film pada umumnya. Pembuatan film ini
memerlukan kesabaran ekstra, dan juga pada akhirnya menghasilkan seribuan jam
rekaman yang membuat proses editing menjadi sangat rumit (dan lama).
7. Apakah film anda layak menjadi film dokumenter?
Sebetulnya ini tergantung bagaimana mendefinisikan dokumenter--dan membedakannya
dengan fiksi. Kalau yang dimaksud dengan dokumenter adalah film yang berupaya

mendokumentasikan realitas sebagaimana seolah tidak ada kamera, maka The Act of
Killing bukanlah film jenis dokumenter seperti itu.
Sebaliknya, film ini menangkap realitas dengan kesadaran bahwa ada kamera di depan
para narasumbernya. Yang ingin kita tangkap justru adalah apa yang sengaja ingin
ditampilkan kepada dunia melalui kamera. Film ini bukan ingin mendokumentasikan realitas
yang lazimnya terjadi tanpa kehadiran kamera, film ini ingin mendokumentasikan imajinasi
para narasumbernya.
Kesulitan lain dalam penggolongan genre film, adalah pertanyaan saya di dalam film ini,
apakah kita tahu bedanya fiksi dan realitas?
Realitas sebagaimana sesuatu peristiwa atau perbuatan dipergelarkan (performed) itu
masih realitas atau sudah terkontaminasi fiksi? Sejarah resmi Indonesia, misalnya, taruhlah
tentang G30S dan pembantaian jutaan orang yang menyusul kemudian, sebagaimana
ditulis dalam buku teks pelajaran sejarah, apakah itu realitas--senyatanya begitu--atau
fiksi? Atau sebagiannya fiksi dan sebagiannya realitas? Berapa persen realitasnya berapa
persen fiksinya?
Contoh lain, film "Pengkhianatan G30S PKI", misalnya, betulkah itu masuk golongan
dokudrama (dokumenter yang didramatisasi)? Bagian penyiksaan perwira tinggi AD di film
itu dokudrama atau fiksi? Bukankah justru dokumen visum pemeriksaan dokter forensik
menyatakan tidak ada tanda-tanda penyiksaan? Lantas, doku(menter) apa yang mendasari
drama(tisasi) adegan penyiksaan dalam film tersebut?
Dalam film ini para narasumber memang berakting, memainkan perannya, sebagai diri
sendiri sebagaimana ia ingin dilihat oleh penonton. Film ini melibatkan sebuah fiksi yang
dibangun sebagai alat bagi narasumber untuk mengekspresikan imajinasi, ingatan, dan
pengalamannya. Tapi hanya karena ada 'akting' di situ, dan ada film fiksi sebagai 'bahasa',
tidak berarti bahwa film ini keseluruhannya adalah film fiksi. Walaupun begitu, betul, The
Act of Killing, bukan sebuah dokumenter biasa sebagaimana lazimnya dipahami orang.
Kerumitan menggolongkan The Act of Killing dalam kategori dokumenter, dokudrama, atau
fiksi, semakin bertambah ketika, misalnya, Anwar memeragakan ulang pembunuhan yang
dilakukannya dahulu. Kami menemukan bahwa dulu sekalipun (ketika Anwar sedang
melakukan pembunuhan terhadap orang yang dianggap komunis) Anwar sudah
melakukannya sebagai sebuah pergelaran (performance). Ia meniru tokoh dalam film yang
baru saja ditontonnya. Ia menjelma menjadi seseorang yang lain untuk sekejap dirinya lari
dari pembunuhan yang dilakukan oleh tubuhnya itu.
Dahulupun ia berakting ketika melakukan pembunuhan. Dan ketika kami memintanya
melakukan peragaan ulang (re-enactment), dan dia kembali berakting, peragaan tersebut
menjadi sebuah dramatisasi dari peristiwa yang terjadi, tetapi juga sebuah dokumenter,
karena pembunuhan yang sebenarnya sekalipun juga sudah merupakan sebuah
dramatisasi.
8. Ada yang bilang anda menipu aktor dalam film The Act of Killing. Aktor dan aktris
tidak tahu seperti apa angle dari film dan untuk apa film tersebut. Bagaimana
pendapat anda?
Kalau ada narasumber yang tidak tahu seperti apa angle dari film The Act of Killing, itu bisa
macam-macam penyebabnya, tapi yang pasti itu bukan karena saya menipunya. Saya
selalu menjelaskan kepada semua partisipan apa yang akan kita lakukan, dan untuk apa.
Tokoh utama dalam film ini, Anwar Congo, misalnya, terlibat dalam proses pembuatan film
ini sejak awal, jadi tujuh tahun lamanya saya sudah bekerja sama, sangat tidak masuk akal
jika ia mau terus membuat film yang tidak mereka pahami angle atau tujuannya. Tanpa

kesediaan dan pemahaman semua partisipan, film ini tidak akan jadi, film ini akan berhenti
di tengah jalan.
Kontroversi remeh dan tak produktif soal apakah film ini untuk umum atau untuk tesis
sungguh aneh, memangnya tesis dibuat untuk disembunyikan dan dirahasiakan? Anwar
sendiri di acara televisi yang disiarkan luas menyatakan bagaimana teknik membunuhnya
terilhami oleh film, dan bagaimana ia kemudian di malam hari membuang mayat. Rahasia
apakah yang ada di dalam film ini dan harus ditutupi?
Atau komplain bahwa film yang disyuting selama ini sebetulnya film fiksi berjudul Arsan dan
Aminah juga aneh. Anwar tahu bahwa Arsan dan Aminah hanyalah sebuah 'ruang' baginya
untuk mengangkat ingatan dan bayangannya, juga mimpi buruknya, ke dalam bentuk fiksi
yang didramatisasi. Setiap kali ada partisipan baru, kami menjelaskannya lagi, dan Anwar
ada di situ, sehingga Anwar entah sudah berapa kali mendengar penjelasan saya ini.
Film Arsan dan Aminah, dengan sepengetahuan Anwar, tidak pernah dimaksudkan untuk
jadi film utuh, terpisah, dan tersendiri. Ini adalah bagian integral dari dokumenter The Act of
Killing yang juga meliput bagaimana Arsan dan Aminah dibuat dan bagaimana
partisipannya bereaksi terhadap Arsan dan Aminah.
Sebagai bagian penting dalam metode pembuatan film ini adalah kami memutarkan
rekaman hasil shooting kepada para partisipan untuk mendapatkan reaksinya dan reaksi
mereka terhadap hasil syuting juga kami rekam.
Semua partisipan tahu rekaman apa saja yang kami punya, dan mereka juga sudah
menontonnya. Kami tidak pernah mengambil gambar dan merekam secara sembunyisembunyi,
kami merekam secara terbuka, meminta izin, dan baru mulai kalau sudah
mendapatkan izin tertulis.
9. Apakah anda sudah menghitung dampak dan reaksi pemerintah Indonesia
terhadap film tersebut? Dan bagaimana dengan reaksi dunia?
Kalau film ini keluar di era Orde Baru di bawah Suharto, kami tahu lebih banyak mengenai
apa yang akan terjadi dan bagaimana reaksi pemerintah terhadap film ini.
Sesudah reformasi politik tahun 1998, Indonesia menjadi negeri yang serba 'nanggung.'
Make-upnya tebal, hampir seperti topeng, pemerintah Indonesia maunya kelihatan berubah
dengan jargon "Era Reformasi"nya, wajahnya dimanis-maniskan sehingga kelihatan lebih
demokratis dan bebas, tapi sebetulnya 'jeroan'nya masih sama-sama saja. Perimbangan
kekuasaan tidak berubah di Indonesia, kelompok yang dulu kaya raya dengan
mengeksploitasi sekarang masih kaya raya dan mengeksploitasi. Partai besar dari zaman
Orde Baru, masih jadi partai besar
Film kami menunjukkan kenapa. Rezim yang dibangun di atas pembantaian massal ini
masih belum berakhir. Para pembantai (dan mereka yang menangguk keuntungan dari
pembantaian massal itu) masih menang.
Di negara Indonesia yang nanggung ini, sukar memprediksi dampak dan reaksi pemerintah
Indonesia terhadap film ini, oleh karenanya kami selalu memperhitungkan dan bersiap
untuk yang terburuk.
Sementara reaksi di dunia, saya belum bisa bicara banyak. Tetapi jika Festival Toronto
bisa jadi ukuran, mungkin akan sama di mana-mana, di Eropa atau di Amerika. Saya
berharap bahwa film ini membuka diskusi dan pembahasan yang lebih luas di segala
aspek pengetahuan dan kebudayaan, bukan hanya sejarah, HAM, dan film, tetapi juga

meluas ke masalah kesenian, kebudayaan, politik, ekonomi, etika, pendidikan, sampai
pembahasan psikologis di tingkat yang paling personal. (OX/X-13)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar