Kamis, 01 Agustus 2013

Yang Bertanah Air Tak Bertanah

Yang Bertanah Air Tak Bertanah

REP | 20 June 2011 | 05:05 Dibaca: 367    Komentar: 0    0

yang bertanah air tak bertanah
Yang Bertanah Air, Yang Mewariskan
Melihat sejarah konflik sebagai sejarah kontestasi ide, dimana akar kontestasi tersebut ada sebelum Indonesia Raya dikumandangkan. Bahkan seniman sekelas W.R Soepratman-pun mencukil kata-kata dalam buku Aksi Massa Tan Malaka pada baris lagunya,”Indonesia Tanah Airku, Tanah Tumpah Darahku…”. Sejarah pada masa sebelum kemerdekaan adalah sejarah perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme.
Ide apa yang dikontestasikan? Ide tentang bagaimana mensejahterakan rakyat–John Roosa dalam film ini menyatakan “…Indonesia di tahun-tahun ini adalah sebuah impian, bukan sesuatu yang sudah ada…, bangsa Indonesia yang masih belia di tahun-tahun akhir 1940-an dan 1950-an masih berkutat pada integrasi ke-Indonesiaan, membangun karakter nasional, semangat Revolusi Agustus masih kental.
Jakarta, pada waktu itu dianggap tempat yang kosmopolit (setidaknya lewat pengakuan Iwan Simatupang), yang memandang Jakarta sebagai tempat yang baik untuk seniman untuk mempelajari nasionalisme sekaligus kosmopolitanisme yang baru berkembang. Maka ramai-ramai seniman dan budayawan bertarung di Jakarta. Kutub kebudayaan di tahun itu sudah terbelah menjadi dua—berjuluk (cap pada saat itu) ‘humanisme universal’ diwakili oleh H.B. Jassin, Aoh K. Hadimadja, Asrul Sani. Dan ‘realisme sosial’ diwakili oleh D.N. Aidit, M.S Ashar, A.S . Dharta, dan Njoto (dimulai dengan berdirinya Lekra-Lembaga Kebudayaan Rakyat, 1951).
Sikap mereka dalam mengkonstruksi identitas bangsa dapat dilihat dalam Surat Kepercayaan Gelanggang, pertama adalah kubu ‘humanisme universal’ yang menulis di rubrik Gelanggang asuhan Asrul Sani, pada majalah Siasat, pada tanggal 23 Oktober 1950, sebagai berikut.
Surat Kepercayaan Gelanggang
Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.
KeIndonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam, atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud peryataan hati dan pikiran kami. Kami tidak akan memberikan suatu kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai rangsang suara yang disebabkan oleh suara-suara yang dilontarkan dari segala sudut dunia dan yang kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang setiap usaha-usaha mempersempit dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran nilai.
Revolusi bagi kami adalah penemuan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan. Demikianlah kami berpendapat bahwa revolusi di tanah air kami belum selesai.
Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli, yang pokok ditemui itu adalah manusia. Dalam cara mencari, membahas, dan menelaah kami membawa sifat sendiri.
Penghargaan kami terhadap keadaan sekeliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman.
Jakarta, 18 Februari 1950
Kedua adalah pernyataan dari kubu ‘realisme sosial’ yang tertuang dalam Konsepsi Kebudayaan Rakyat, dikeluarkan Lekra pada sambutan Kongres Kebudayaan Kedua di Bandung, tanggal 6-8 Oktober 1951 sebagai berikut.
“Perjuangan Kebudayaan Rakyat adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjuangan rakyat pada umumnya. Ia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan terutama dari perjuangan kelas Buruh dan Tani yaitu kelas yang menjadi pemimpin dan tenaga terpenting dan pokok dalam perjuangan Rakyat.
Fungsi Kebudayaan Rakyat (Kultur Rakyat) sekarang ialah menjadi senjata perjuangan untuk menghancurkan imperialisme dan feodalisme. Ia harus menjadi stimulator dari Massa, menjadi sumber yang senantiasa mengalirkanbegeestering (kesegaran jiwa) dan Api Revolusi, yang tak kunjung padam.Ia harus menjanjikan, memuja, mencatat perjuangan kerakyatan, dan menghantam, membongkar, menggulingkan dan mengalahkan imperialisme dan feodalisme. Kebudayaan Rakyat berkewajiban mengajar dan mendidik Rakyat untuk menjadi pahlawan dalam perjuangan.”
Dari dua kutipan di atas terlihat suasana revolusi yang dibangun. Yang satu berbasis pada semangat intelektualitas (yang dimiliki oleh seniman, budayawan, dan intelektual dan teknokrat)-yang mengganggap Indonesia adalah pewaris sah kebudayaan dunia.Sedangkan yang satu mengambil elan vital: Massa Rakyat dalam menerjemahkan arah revolusi (strategi kebudayaan-gerakan kebudayaan). Mengapa pilihan pada Rakyat, karena kebudayaan sesungguhnya hidup dan dihidupi oleh Rakyat, dan ‘kebudayaan dunia’ bukan sesuatu yang mudah ditunjuk. Dalam suasana inilah kegentingan, kontestasi, ide-ide dibentuk. Sebenarnya yang terjadi adalah ‘membentuk ide tentang (budaya) Indonesia’.
Di film ini, salah satu orang narasumber S. Anantaguna (eks anggota Pimpinan Pusat Lekra) menegaskan bahwa Lekra mendorong seni kebudayaan rakyat, sebagai pilihan bahwa sesungguhnya rakyat memiliki kepribadian budaya. Lekra dibangun untuk memajukan rakyat, ia bukan hanya lembaga kebudayaan, tapi turun langsung untuk memahami penderitaaan sekaligus harapan rakyat.
Jejak seni realisme sosial dimulai sejak S. Soedjojono, Affandi, Darso, Hendra,mendirikan persatuan seni rupa yang menentang Mooi Indie dimana Indonesia digambarkan eksotis (pilihan kata bagi Orientalis yang melihat ‘yang lain’ (liyan) di luar kebudayaan mereka), dengan gadis-gadis cantik, bertelanjang dada dan alam yang indah, S. Soedjojono dan rekan tidak bersepakat dengan ungkapan seni yang diungkapkan oleh kaum penjajah-termasuk kategori keindahan yang dibuat oleh penjajah. Indonesia memang indah, baik budaya dan alamnya, namun Indonesia adalah bangsa kuli, bangsa yang dijajah dan bermental jajahan. Yang mayoritas penduduknya kelaparan. S. Soedjojono dan rekan melukis keadaan Indonesia yang miskin dan kelaparan, Indonesia dari kacamata orang Indonesia, bukan dari kacamata kolonialis.
Dari hasil turun ke bawah inilah seniman Lekra bersama rakyat melakukan kolaborasi, termasuk pada penampilan/ pertunjukkan (performance). Sebab inilah yang membuat Lekra dekat dengan rakyat, karena pendekatannya yang tidak menggurui, tanpa batas, dan menghargai lokalitas. Dalam versi Lekra adalah menghantam, membongkar, menggulingkan dan mengalahkan imperialisme dan feodalisme.
Pramoedya dalam Sekali Peristiwa di Banten Selatan, 1958 dalam Atmajamencontohkan apa yang dimaksud turba (turun ke bawah) dengan melibatkan diri pada aktivitas pertanian di masyarakat yang menjadi subjek kajian untuk novelnya. Dalam naskah Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, Pramoedya menetapkan pedoman-pedoman menetapkan pedoman-pedoman realisme sosialis bagi seniman Lekra. Salah satu pedoman menyatakan keharusan karya sastra harus bersifat sloganistis. Ini dimaksud sebagai proses penyadaran bagi masyarakat (yang saat itu masih banyak yang bodoh, buta politik, dan buta huruf). Pedoman lainnya antara lain keharusan seniman untuk terlibat langsung dalam (turba) di masyarakat.
Pikiran yang Hidup dan Mengembara
Film dokumenter ini merupakan narasi personal dari para pelakunya. Dengan film ini kita dihadapkan pada suatu wacana tentang pihak yang di jaman sebelumnya (hampir empat dekade-bahkan di detik ini) didemonisasi. Melalui film ini kita dapat melihat bahwa konteks sosial selalu ‘melampaui’ individual seniman. Bahwa mereka (Lekra) menjadi ‘penterjemah’ dari ide Soekarno tentang ‘berkepribadian dalam budaya’ adalah satu pernyataan yang penting digaris-bawah, mengingat hal tersebut merupakan penjelas hubungan-hubungan yang dibangun oleh seniman Lekra dengan ide tentang revolusi yang belum selesai, benang penghubungnya adalah kemerdekaan, bebas dari penjajahan.
Dalam melihat hubungan, ketegangan, antara diri seniman dan keberpihakannya, baik secara ideologis maupun politis hendaklah dilihat dalam bingkai ‘peristiwa’ atau ‘melihatnya dalam bingkai ‘kesementaraan’. Karena setiap individu dan setiap kelompok memiliki ‘ingatan’ tertentu dan ‘ingatan’ individu/rakyat tersebut menurut kaum Marxian kebanyakan dibangun bukan dalam kondisi keberdayaan, namun karena represi struktur. Artinya kebanyakan sejarah dibuat oleh pihak yang berkuasa, sejarah inilah yang kemudian mengendap menjadi ingatan publik.
Dokumentasi narasi personal seperti ini harus ditempatkan dalam konteks narasi historis yang melingkupinya. Cara bekerjanya sebagai berikut; narator menubuhkan atau mempekerjakan konteks sosial-narasi historis (setting) dalam narasi personalnya (bisa juga dibaca sebagai life story). Narasi personal tersebut dapat mendukung atau sebaliknya menentang narasi sejarah yang selama ini sudah mengendap dalam ingatan publik.
Saya mencoba memperlihatkan bagaimana narasi personal dibangun untuk melihat konteks sejarah menjelang penangkapan para aktivis Lekra. Narasi ini saya kutipkan dari buku Kesaksian Tapol Orde Baru: Guru, Seniman, dan Parjurit Tjakra (2003). Kesaksian ini dibuat oleh Astaman Hasibuan, pimpinan LEKRA Cabang Medan.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, menjelang bulan Agustus 1965, sejak bulan Juni, semua organisasi massa mengadakan kegiatan untuk menyambut hari kemerdekaan. Tidak terkecuali, dimana aku ikut sebagai salah satu pimpinannya, yaitu Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) Cabang Medan/…/Seluruh pimpinan cabang mempersiapkan sebuah paduan suara untuk ikut dalam kompetisi paduan suara di Jakarta, dalam rangka ulang tahun pertama Konperensi Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR)
/…/ Pada bulan Agustus itu pula, aku mendapatkan informasi adanya Dewan Jenderal yang akan melakukan perebutan kekuasaan pada peringatan Hari Angkatan Bersenjata, 5 Oktober 1965. Kepadaku pula disampaikan bahwa akan ada perwira-perwira muda berpikiran revolusioner yang akan menggagalkan kudeta tersebut
/…/Pada tanggal 30 Agustus kompetisi kompetisi paduan suara digelar. Semua propinsi ikut ambil bagian/…/Berikutnya di Gedung Pemuda diadakan diskusi sastra. dari CC-PKI hadir Wakil Ketua I CC PKI Lukman. Wakil Ketua II CC-PKI juga hadir, Nyoto namun kehadiran Nyoto tidak mewakili CC-PKI karena ia juga seorang sastrawan. Sementara HR Bandaharo hadir sebagai Kepala Bagian Kebudayaan CC-PKI.
/…/ Pada seluruh kegiatan ini aku ikut ambil bagian. Namun aku masih menyempatkan diri memperhatikan situasi sekitar. Terutama aku merasakan ada sesuatu yang berbeda dari biasanya. Benar, beberapa orang diantara kami berkunjung ke rumah kawan-kawan yang pernah tinggal dan tugas di Medan, kemudian menetap di Jakarta/…/ Kawan tersebut bercerita tentang situasi menjelang bulan Oktober atau tepatnya 5 Oktober, menurutnya situasi Jakarta sudah memanas. Waktu itu aku yakin, bila Dewan Jenderal akan melakukan perebutan kekuasaan, mereka pasti bisa dilumpuhkan. Bukan hanya oleh perwira-perwira yang loyal pada Bung Karno, namun Dewan Jenderal juga akan berhadapan dengan kekuatan rakyat Indonesia.
/…/ Hingga pada tanggal 1 Oktober 1965, aku mendengar dari radio di kantor redaksi Harian Harapan, adanya gerakan yang disebut Gerakan Tiga Puluh September, diumumkan pemimpinnya Letkol Inf Untung. Gerakan ini katanya sudah menangkap para pimpinan Dewan Jenderal
/…/ Sampai saat ini terjadi, masih tidak ada secuilpun kekhawatiran bahwa petaka akan terjadi/…/ Biasa disebut kamar pemeriksaan, pertama ditanyakan nama, nama orangtua, alamat, pekerjaan dan fungsi terakhir di organisasi. Baru kemudian pertanyaan lain-lain. Ketika kujawab yang lain-lain ini, untuk pertama kalinya aku mendapatkan ‘hadiah’. ” Sejak kapan menjadi anggota PKI?” Kujawab aku bukan anggota PKI, aku hanya salah seorang pimpinan Lekra Cabang Medan. Pundakku terasa ditimpa balok tiang penyangga, kedua engsel tanganku kiri dan kanan dipukul dari belakang. Sampai aku diseret ke kamar lagi aku tetap bersikukuh tidak pernah menjadi anggota PKI.
/…/”Tahukah saudara mengapa saudara diperiksa?” itu pertanyaan seterusnya. “Tidak” jawabku. “Bah, bodoh kali kau, masak tidak tahu apa sebabnya kau diperiksa? Kau kan PKI. Jangan macam-macam kau, biarpun kau Hasibuan, aku ini bukan beremu, beremu parboho jolo.
Rangkaian kutipan di atas. Menggambarkan bagaimana konteks politik menjelang dan paska G30S atau sekarang juga disebut Gerakan Satu Oktober (Gestok), sebagai frasa tandingan G30S yang kadung dikonotasikan dengan PKI, apalagi secara resmi Orde Baru mengkonstruksi peristiwa tersebut dengan G 30 S-PKI.
Anantaguna dalam film ini menyatakan bahwa politik Lekra adalah berpihak pada rakyat. Dan anggota Lekra memang diajarkan politik, agar tidak menjadi korban pembodohan. Lekra tidak pernah berafiliasi pada partai politik tertentu. Dalam sebuah gerakan sangat dimungkinkan titik temu dari berbagai unsur gerakan. Misalnya Lekra dengan LKN, sebab LKN juga menjalankan prinsip-prinsip Bung Karno.
Saya kutipkan, narasi lain tentang ‘pertengkaran kubu ‘humanisme universal’ dengan ‘realisme sosial’ dari kacamata Iwan Simatupang, sebagai pembanding, dimana setelah 15 tahun ‘kontestasi ide strategi kebudayaan’ berjalan dalam pembentukkan karakter bangsa, secara politik Lekra di tahun-tahun awal 1960-an ‘menang’. Iwan Simatupang sebagai saksi dari kemelut ini menyatakan pada sahabatnya B. Soelarto (lihat catatan kaki no. 4).
“…tugas sejarah bagi generasi kita ini memang runyam, Larto! Kitalah yang disebut in between-generation itu: sudah kepalang tanggung semua. Mau jadi revolusioner menurut logat Peking-Moskow-Havana-Hanoi-Leopolville kita sudah kasip (terlanjur)… sudah sempat kena racun dari apa yang disebut sebagai kebudayaan borjuis dan liberal(istis). Kita sudah terlanjur pernah jadi pengagum Dostojevski, Tsjaikovski, Goethe, Poe, Kandisky, Klee, Matisse, Miro, Raoul-Fufy, Lautrec, Modigliani, Picasso, Chagall, Braque, Pollock, David Oistrach, Jehudi Menuhin, Pablo Casals, dan lain-lain…dan lain-lain…dan lain-lain. Dan oleh karena itu cita rasa, pribadi, temperamen, wawasan, dan falsafah hidup kita sudah ikut sedikit banyaknya ditentukan oleh unsur-unsur itu, maka kita sudah dapat sulit menerima, bahwa memaki-maki, memfitnah, membenci, merusak, mendendam, adalah apa yang dimaksud dengan pengertian-pengertian revolusioner, dan oleh sebab itu pula kita harus turut mewujudkannya. Tidak, kita malah dalam pada itu, dan secara berangsur-angsur, membiarkan kelenjar-kelenjar dalam tubuh kita membersitkan unsur-unsur yang menolak paham-paham tadi…” (Bogor, 4 Februari 1964)
“…Yah,-apa kabar? Aku sudah lama hanya sibuk dengan usahaku mempertahankan keutuhan diriku, secara biologis dan sesedikit secara ideologis!/ Orang-orang yang lebih banyak bicara dari beberapa brosur resmi tetap kuhindari/Biarlah kita selesaikan dulu segala-galanya antara kita dengan diri kita sendiri, tanpa melalui seorang ‘petugas’. Ini bukan berarti lalu kitamenjadi penonton di pinggir jalan saja. Bahkan, posisi dan status kita ini mengimperatifkan kepada kita, agar kita lebih menyatukan diri dengan segala jalannya peristiwa. KITALAH MATANYA PERISTIWA! Horas (Bogor, 3 November 1964)
” /…/ Bung Karno memuji-muji PKI setinggi langit, dan secara gamblang berkata, bahwa tanpa kaum komunis, revolusi TAK AKAN BISA SELESAI!
Lantas teringatlah aku akan pidato radio beliau yang juga sangat berapi-api. Pilihlah Bung Karno atau Muso!/…” (Bogor, 28 Mei 1965)
Larto, Dimanakah letak patriotisme di dalam seluruh kancah kekacauan dan kesengsaraan berlarut-larut yang berlangsung kini ini di tanah air kita? Dua puluh tahun hampir kita telah merebut kemerdekaan kita secara heroik, dan dengan sedihnya kita melihat betapa heroisme itu semakin menghilang dibuat oleh perhatian kita yang terlalu dirobek-robek dan secara mendetail diminta untuk memperhatikan hal yang tetek-bengek, seperti: bagaimana bangun besok pagi dengan perasaan nyaman bahwa sarapan pagi itu pasti ada dan bisa disediakan/…/Revolusi yang berlangsung selama puluhan tahun, apakah masih revolusi namanya/…/Darwin, Rousseau, (Dr. HC) Roeslan Abdulgani, ah! Ini semuanya satuan-satuan arti yang saling pacu-memacu dalam benak si tukang jual obat, dan rakyat kita dengan segala senang hati “membeli” segala deritanya dengan sekian puluh rupiah (dengan kurs sekarang!), obat dalam botol kecil berwarna hitam dimasukkan ke dalam saku celananya untuk nanti…di tikungan sana, apabila tidak ada orang lain melihatnya, melemparkannya jauh-jauh dengan ucapan dalam hatinya: SOMPRET! (Bogor 13 Agustus 1965)
Dijelaskan dalam film oleh Baskara T. Wardaya, sejahrawan, bahwa politik pada masa itu masih bermakna luas, yaitu untuk memihak pada rakyat-kerakyatan. Sebuah perjuangan untuk kepentingan bersama. Sementara di kepala generasi sekarang politik adalah ‘kepentingan’ untuk mensejahterakan golongan dan kepentingan kelompok.
Dari dua narasi di atas dapat dilihat pemosisian orang-orang yang bergelut dalam kemelut kebudayaan pada masa itu. Dan ‘politik’ seperti dijelaskan menjadi ‘di antara’ mereka dan ‘menelikung’. Dua strategi kebudayaan tersebut sesungguhnya hadir–kontestasinya masih tetap berjalan, selama imperialisme dan kolonialisme, dogmatisme, diskriminasi, eksklusi berlangsung. Karena analisa Marxisme memberikan varian–juga berevolusi sejalan dengan kondisi objektif masyarakat.
Baik Iwan Simatupang maupun Astaman Hasibuan memiliki subjektivitas sendiri yang dapat dilihat distingsinya, Iwan ada pada posisi reflektif melihat politik ‘menunggangi’ lembaga-lembaga kebudayaan. Perang ini sampai puncaknya pada Manifesto Kebudayaan–di antara penanda-tangannya adalah Goenawan Mohammad. Dan Iwan melihat pertentangan ini sebagai sebuah absurditas.
Sementara Astaman di sisi lain, sebagai gambaran seniman yang mengabdi pada sebuah lembaga kebudayaan yang saat itu ‘berkuasa’ atas wacana (revolusioner) dalam hitungan hari, menjadi seseorang yang ‘buta’ terhadap apa yang sedang berlangsung. Ia menjadi korban yang langsung dari sebuah peristiwa yang kemudian perlahan-lahan terkuak, dan ditulis kembali oleh yang bersangkutan sebagai pelaku: bahwa apa yang terjadi tidak diduga sama sekali–sekali lagi ada kekuasaan lain yang sedang mempermainkan Iwan dan Astaman, kali ini saya melihat sebagai politics beyond humanity. Politik yang diletakkan di atas kemanusiaan. Iwan kemudian juga menjadi ‘buta’ dengan keadaan dan menyebut pasca G30S adalah suasana yang penuh konspirasi–komplotan gelap ada dimana-mana, mata-mata memandang curiga. Suara orang tidak lagi bernada penuh-setengah bergumam-setengah berbisik. Dimana-mana penangkapan. Orang mulai memilih diam.

Isyarat
Angin gemuruh di hutan
Memukul ranting
Yang lama juga.
Tak terhitung jumlahnya
Mobil di jalan
Dari ujung ke ujung.
Aku ingin menekan tombol
Hingga lampu merah itu
Abadi
Angin, mobil, dan para pejalan
Pikirkanlah, ke mana engkau pergi.
(Isyarat, Kuntowijoyo)
Sejarah seperti yang ingin disampaikan dalam film ini butuh dikenali, ditulis ulang, dimaknai ulang, sehingga tidak menjadi monumen monolitik. Saya ingin memberikan catatan dalam membaca teks narasi personal seperti dalam film dokumenter atau artifak lain. Bukti-bukti yang ditawarkan dalam narasi personal tidaklah komplit, masih terbuka (open-ended), bersambung dan saling terhubung. Dalam narasi personal ini kita dapat melihat bahwa terdapat hubungan yang erat antara subyek dan tindakan mereka dalam suatu peristiwa tertentu. Subjek sebagai agen memiliki pengalaman yang berbeda dalam melihat fenomena sosial.
Orang-orang memilih diam pada masa itu mengalami trauma. Bukan cuma orang seperti Astaman, lebih banyak lagi orang yang sama sekali tidak tahu–menjadi korban. Bahkan anak dan cucu mereka, tetap menjadi korban dengan stigma eks tapol, tidak bersih lingkungan, organisasi tanpa bentuk, dan komunis gaya baru, dialamatkan pada mereka yang berseberangan dengan rezim orde baru. Eksplanasi dalam narasi seperti ini diharapkan dapat memperbaiki ingatan, bahwa totalitarian bisa mengambil berbagai bentuk dari berbagai kuasa. Adapun permasalahan Marxisme tetap menjadi asing bagi pelajar kita, karena ia terlanjur digadang sebagai satanic, infidel. Padahal sejarah perjuangan nasionalisme dan perjuangan kemerdekaan kita ‘tercerahkan’ berkat analisis kelas sosial–dan hampir setiap intelektual pada jaman itu tuntas mempelajari Marxisme, walaupun akhirnya menyetujui maupun menentangnya.
” Sebagaimana akan diingat banyak orang dari generasi saya, Marxisme ketika itu menjadi bacaan yang diwajibkan dalam rangkaian re-edukasi ideologi dibawah Demokrasi Terpimpin Soekarno, yang secara resmi disebut Tujuh Bahan Dasar Indoktrinasi. Sekalipun begitu ia (Marxisme) memiliki daya tarik tersendiri. Saya percaya demikian halnya karena Marxisme-dengan godaan totalitarian dan kerentanannya kepada dogmatisme-selalu merupakan bagian penting dalam pencarian Indonesia akan modernitas. Marxisme yangmenjelaskan kejahatan-kejahatan kolonialisme dari suatu perspektif baru: Marxismelah yang menunjukkan bahwa keadaan massa Indonesia yang menyedihkan bukan karena cap etnik atau rasial mereka yang tertentu, melainkan karena kedudukan mereka di dalam sejarah sosial dunia-suatu kedudukan yang dibangun oleh kekuasaan tertentu dari alat-alat produksi. Singkatnya, kondisi kolonial pada akhirnya adalah tentang kelas, tidak tentang ras (Goenawan Mohamad, 2008)
Seperti isyarat yang disampaikan oleh Kuntowijoyo, angin yang gemuruh memukul ranting yang sama di hutan yang sama pula, Indonesia sebagai tempat dan ruang yang dibayangkan seperti mobil yang menunggu lampu hijau, walaupun kita lelah dengan semburan informasi, tetek-bengek yang merecoki keseharian, ingatan yang terdistorsi. Mungkin kita butuh jeda. Untuk berpikir arah tujuan. Itu yang tetap menjadi pertanyaan, kemana strategi kebudayaan kita diarahkan? Kita sudah membutuhkan gagasan baru. Seperti Sumpah Pemuda yang melahirkan berbagai wacana dan polemik kebudayaan, maka satu dekade peralihan (demokratis) ini seharusnya menyegarkan semangat kebangsaan, menuju otonomi kultural dan sosial tahap berikutnya.


Catatan diskusi film ‘yang bertanah air, tak bertanah’, Perpustakaan Kota Malang, Sabtu 4 Juni 2011: oleh Widhyanto Muttaqien, Kedai Sinau.
Seni adalah salah satu unsur/media yang tidak netral politik, bahkan untuk propaganda, seperti lukisan Bung, Ayo Bung! (lukisan Affandi, (ide-Soedjojono, kata-kata dari Chairil Anwar, Ayo Bung!).
Senada dengannya, Ben Anderson dalam Imagined Communities (1984) berargumentasi bahwa memahami ruang Indonesia berimplikasi pada konsep negara tradisional, bukan negara bangsa modern. Secara kualitatif menurutnya Indonesia masih kental dengan aspek politik lokal dan sejarah lokal masyarakat. Tambiah (1976), Wolters (1982), Errington (1989) dalam Carsten (1998) menyatakan bahwa sejarahkebijakan pembentukkan negara ditentukan dari Pusat bukan dari daerah. Sehingga ‘relasi kekuasaan (power) dalam ruang Indonesia (dan Asia Selatan pada umumnya) adalah relasi ideologis ‘ dibandingkan sebuah bentuk ‘negara bangsa modern’. Belakangan orang Indonesia akrab pada terma halaman belakang, Pusat-Daerah, ini adalah sebuah tanda-transisi dimana ide kekuasaan imperialisme-kolonialisme tersentralisasi–panotipcon. Hal ini disebabkan konsekuensi ‘ideologi kekuasaan’ menyebabkan pendekatan pembangunan diarahkan lewat pendekatan keamanan (yang mengamankan Pusat) bukan kesejahteraan (bagi seluruh rakyat geo-politik Indonesia). Padahal simbol-simbol kekuasaan sangat rapuh jika dihubungkan dengan sejarah berdirinya negara bangsa Indonesia (dibuktikan dengan permasalahan pemberontakan atau isu separatisme).
Frans M. Parera (penyunting). 1986. Surat-surat Politik Iwan Simatupang 1964-1965. Penerbit LP3ES. hal xxiii.
Menurut tuturan Hersri S. akar dari pemikiran ‘pewaris sah dari kebudayaan dunia’ adalah hasil dari Konferensi Meja Bundar, dimana Indonesia dianggap mewakili kebudayaan bekas negara jajahan, dimana terjadi pertemuan antara kebudayaan tinggi Eropa (diwakili oleh penjajah Belanda) dengan kebudayaan pribumi Indonesia. Sejarah kolonialisme ini menurut Hersri tetap berlangsung paska KMB dimana dominasi kusir (Belanda) atas kuda (Indonesia) dalam ranah kebudayaan nampak nyata. Hubungan yang tidak setara inilah yang ditentang, karena kategori dalam berbagai bidang kehidupanpun didasarkan pada alam pikiran kolonialisme, tidak terkecuali seni. Sehingga Bung Karno menegaskan tiga hal, (1) berdaulat dalam politik, (2) berdikari secara ekonomi, (3) berkepribadian dalam budaya.
Seni sebagai bentuk penyadaran memiliki fungsi di tiap tahapannya, mulai dari diskusi dalam pra produksi, produksi (penampilan/pertunjukkan),sampai pada refleksi paska produksi. Seni seperti ini masih hidup dalam keseharian masyarakat Indonesia, misalnya dalam tarian topeng Wonosobo (di daerah Dieng), yang terus-menerus dilestarikan dari generasi ke generasi lewat latihan mingguan yang intens. Dalam latihan itulah para pemain tarian topeng Wonosobo yang hampir seluruhnya berprofesi sebagai petani melakukan proses pendidikan. Lukascs melihat ini sebagai proses transformatif seni realis, dimana pengalaman estetika itu menjangkau proses kesadaran pecinta seni, sebelum-selama-dan sesudah orang itu mengalami keindahan seni. Hal ini yang kemudian menjadikan seni sebagai media yang mampu mengatasi keterpecahan hidup sehari-hari. Bagi orang Wonosobo, seni yang demikian yang mereka sebut tradisi-dan sama pentingnya dengan bertani, berjualan, sekolah karena keduanya menghidupi kehidupan.
Hersri menjelaskan posisi ‘politik’ dalam wayang di jaman ia memimpin Lekra, hanya sebagai samparan bukan hal pokok. Sebab jika politik dengan telanjang dibicarakan langsung maka tidak menggugah orang untuk berfantasi. Esensi seni adalah pada kemampuan imajinasi. Dalam Orde baru semua seni memiliki kecenderungan propaganda-termasuk dalam seni wayang.
Atmaja, Jiwa. 2009. Kritik Sastra Kiri. Udayana University Press-Pustaka Larasan.
Santoso, Aris (editor). 2003. Kesaksian Tapol Orde Baru: Guru, Seniman, dan Parjurit Tjakra. Pustaka Utan Kayu.
Garis miring dalam rangkaian kutipan dibuat oleh penulis.
Kuntowijoyo. 1974. Isyarat. Pustaka Jaya
Dulu zaman pengganyangan PKI dimulai dari pusat–sentrifugal. Bagian terdekat dengan kekuasaan–CC-PKI sampai simpatisan, dari yang dapat dibuktikan sebagai anggota Partai sampai yang disuruh mengaku, terduga–semuanya bisa dibinasakan, hilang atau dibunuh tanpa pengadilan.
dikutip dari pengantar Goenawan Mohammad pada buku Wim F. Wertheim, Jalan Sosialisme Dunia Ketiga. Penerbit ISAI, PDAT, De Wertheim S

Tidak ada komentar:

Posting Komentar