Kemana amang, huta dan hauma
Menangislah, ito. Tak usah malu.
Ceritakanlah.
Mereka paksa, inang dan adik-adik menyaksikan.
Mereka ikat amang dipohon tumbang ditepi bondar. Lalu dipukuli.
Katanya amang dan kawan-kawannya pemberontak,
anti Pancasila.
Dua bulan amang mereka kurung dimarkas tentara
dikecamatan. Sesudah itu. Amang, kata mereka dipindahkan. Kepembuangan. Inang
mencarinya kemana-kemana. Kesemua markas tentara.
Akhirnya kami mendapat khabar dari seorang kawan
amang. Yang selamat dari pembantaian. Amang sudah mati mereka bunuh, dibawah
jembatan Pulo Raja.
Tahun-tahun berikutnya, huta dan hauma dijadikan
kebun sawit. Sebab kata mereka, tanah itu dulunya milik Negara. Diserobot amang
dan kawan-kawannya, dijadikan huta dan hauma.
Tapi mengapa? Yang dia saksikan sekarang,
perkebunan itu milik Swasta. Milik orang asing..
Dia tengadah, seperti menantang langit.
Menghentakkan kaki, seperti membangunkan bumi. Berteriak. Meraung. “Yang kuasa
atas bumi dan langit, inikah yang Kau sebut keadilan”.
Labuhan Batu, Agustus 1978.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar