Secara formal, puisi-puisi D.N. Aidit
memiliki sebuah ‘pola estetika’ yang dibangunnya dan diikutinya secara cukup
konsisten. Ia selalu mengawali puisinya dengan terlebih dahulu menyinggung dan
menghadirkan alam. Meminjam filsuf Maritain (Taum, 1997), ada semacam “Intercommunication between the inner being of things and the inner
being of the human Self”. Jadi, ada semacam interaksi antara
manusia dan hakikat alam raya. Puisi kemudian menjadi proyeksi pengalaman dan
perasaan subjektif ke dalam alam raya, dan sebaliknya alam raya bercerita
tentang perasaan manusia.
Dalam puisi “Hanya Inilah Jalannya”, Aidit
mengawali dengan mengisahkan tentang lumpur, ”sepatu setengah usang membenam
dalam lumpur/menuju teratak,/air menetes dari atap/kekayaanku yang paling
berharga”. Dalam keadaan berlumpur itulah, Aidit menghadirkan pemikiran
dan ideologi komunis sebagai hasil “pengalaman jerman, inggeris,
perancis, rusia dan tiongkok/dan banyak lagi/hasil pemikiran putera-putera
dunia yang terbaik.”
Dalam “Ziarah ke Makam Usani”, seluruh
bait pertama benar-benar hanya bercerita tentang kemuraman alam yang berduka
atas kematian Usani. “Langit seperti muram/Mentari
tertutup mendung, keabu-abuan/Angin meniup sepoi/Pohon bambu, rindang
menghijau/Burung-burung berterbangan, diam/Terasa senyap suasana alam.”
Dalam puisi “Jauhilah Imperialis AS”, Aidit pun menghadirkan keindahan alam
yang cerah di suatu pagi, tempat para aktivis melaksanakan protes terhadap
imperialis Amerika:
alangkah indahnya pemandangan pagi ini
mentari cerah mengiringi
barisan pejuang mengalun datang
sarjana, seniman, pemuda, wanita
buruh dan tani sokoguru revolusi
dan pelajar anakkandung revolusi
spanduk dan panji, warna-warni
melambai menghias angkasa lebar
teman tentang menentang
tinjupun diacungkan
mentari cerah mengiringi
barisan pejuang mengalun datang
sarjana, seniman, pemuda, wanita
buruh dan tani sokoguru revolusi
dan pelajar anakkandung revolusi
spanduk dan panji, warna-warni
melambai menghias angkasa lebar
teman tentang menentang
tinjupun diacungkan
Puisi “Tugas Partai” tidak menggemakan
suara alam tetapi langsung menggemakan perasaan aku lirik: “hatiku riang gembira/menerima tugas partai/membawa berita
bahagia/ulang tahun empat-lima PKI”. Dalam puisi “Untukmu
Pahlawan Tani”, keceriaan hati dan alam dihadirkan Aidit sebagai berikut: “di kala senja/mencari cerah/petani menggarap sawah/mencari seuli
padi/sisa pembagi/dari tuan-tanah keji”. Dalam puisi “Kidung
Dobrak Salahurus”, gambaran alam pun dihadirkan: “Kau datang dari jauh adik/dari daerah banjir dan lapar/membawa
hati lebih keras dari bencana/selamat datang dalam barisan kita.”
Dari uraian ini, tampak bahwa puisi-puisi Aidit secara sengaja dibangun
sebagai gema suara alam. Hal ini membuat puisi-puisinya menjadi karya yang
indah dan dapat dinikmati, sekalipun tak dapat dihindari bahwa puisi-puisi
tersebut mengandung muatan ideologis dan politik yang sangat kental.
Dari segi tema, puisi-puisi D. N. Aidit mengungkap tiga tema pokok, yaitu
semangat anti-imperialis, nyanyian dan pujian untuk pahlawan, serta gagasan
mengenai tugas dan kewajiban partai.
Puisi-puisi Anti-imperialis
Sikap anti-imperealis ditunjukkan dengan sangat gamblang dalam puisi
“Jauhilah Imperialis AS” dan “Yang Mati Hidup Kembali”. Dalam “Jauhilah
Imperialis AS”, Aidit bermaksud mengobarkan kebencian terhadap AS yang
telah melakukan agresi ke Vietnam agar “hentikan agresi AS di Vietnam.”
Jauhilah Imperialis AS
alangkah indahnya pemandangan pagi ini
mentari cerah mengiringi
barisan pejuang mengalun datang
sarjana, seniman, pemuda, wanita
buruh dan tani sokoguru revolusi
dan pelajar anakkandung revolusi
spanduk dan panji, warna-warni
melambai menghias angkasa lebar
teman tentang menentang
tinju pun diacungkan
… marahan Green
hentikan agresi AS di Vietnam
sita modal anak sekolah
sorak-sorai membadai
barisan bergerak maju
menembaki tank …
tari dan nyanyi memecah sunyi
seruling ditiup nyaring
dendang bertalu, mengiringi,
laki-laki berjingkrak, laksana burung jalang
membunuh … Malang
… benci imperialis AS
berkobar tinggi
cinta merdeka meresap setiap dada
manusia juang, pembela masa datang
… pasti muara
… pasti datang
mentari cerah mengiringi
barisan pejuang mengalun datang
sarjana, seniman, pemuda, wanita
buruh dan tani sokoguru revolusi
dan pelajar anakkandung revolusi
spanduk dan panji, warna-warni
melambai menghias angkasa lebar
teman tentang menentang
tinju pun diacungkan
… marahan Green
hentikan agresi AS di Vietnam
sita modal anak sekolah
sorak-sorai membadai
barisan bergerak maju
menembaki tank …
tari dan nyanyi memecah sunyi
seruling ditiup nyaring
dendang bertalu, mengiringi,
laki-laki berjingkrak, laksana burung jalang
membunuh … Malang
… benci imperialis AS
berkobar tinggi
cinta merdeka meresap setiap dada
manusia juang, pembela masa datang
… pasti muara
… pasti datang
Jakarta, 20-07-65
Vietnam merupakan salah satu negara yang pada tahun 1950-an berada di bawah
kekuasaan komunis. Perang AS di Vietnam berkaitan erat dengan persoalan perang
dingin yang telah membagi dunia atas dua kubu, yaitu kubu AS dan Inggris yang
kapitalis dan imperialis sera kubu Rusia dan Cina yang komunis. Aidit sebagai
seorang ketua Partai Komunis, melihat AS sebagai sebuah ancaman dalam upayanya
membangun sistem komunis di Indonesia.
Kepentingan melawan imperialisme global merupakan sebuah semangat zaman
yang memiliki kaitan dan relevansi dengan kepentingan nasional. Semangat
anti-imperialisme dan kolonialisme (yang berarti anti-Barat dan AS),
selain kabir (kapitalis-birokrat), tujuh setan desa, dan lima setan kota. Puisi
”Yang Mati Hidup Kembali” karya D.N. Aidit mengungkapkan semangat
antikolonialisme dan anti-imperialisme. Puisi itu bertutur tentang pembunuhan
Perdana Menteri Kongo, Patrice Emery Lumumba (2 Juli 1925—17 Januari 1961) yang
diduga didalangi oleh kolonialis Belgia dan agen-agen Central Intteligence
Agency (CIA) AS. Pembunuhan Lumumba menjadi pelajaran berharga bagi para
pejuang revolusioner dalam mengusir kaum kolonialis dan imperialis.
Yang Mati Hidup Kembali
Lama nian aku tak menangis.
tidak karena mata sudah mengering
atau hati membeku dingin,
tapi kali ini dengan tak sadar
hati kepala penuh tak tertahan
butir-butir air mata membasahi koran pagi
orang hitam berhati putih itu
dibunuh si putih berhati hitam!
tidak karena mata sudah mengering
atau hati membeku dingin,
tapi kali ini dengan tak sadar
hati kepala penuh tak tertahan
butir-butir air mata membasahi koran pagi
orang hitam berhati putih itu
dibunuh si putih berhati hitam!
Tapi bukankah pembunuh terbunuh?
Lumumba sendiri hidup selama-lamanya
Lumumba mati hidup abadi!
Kini dunia tidak untuk si putih yang hitam
tapi untuk semua
putih, kuning, sawomatang, hitam…
Kini udara penuh Lumumba
karena Lumumba berarti merdeka.
Lumumba sendiri hidup selama-lamanya
Lumumba mati hidup abadi!
Kini dunia tidak untuk si putih yang hitam
tapi untuk semua
putih, kuning, sawomatang, hitam…
Kini udara penuh Lumumba
karena Lumumba berarti merdeka.
14-2-1961
Semangat untuk merdeka dan melawan setiap intervensi dan penindasan kaum
imperialis merupakan semangat perjuangan Aidit sejak dia masih sangat muda dan
belum menjadi pemimpin PKI. Ketika menyaksikan kematian Lumumba akibat ulah
kolonialis Belgia dan CIA Amerika, Aidit meradang. Sekalipun demikian, puisi di
atas benar-benar terlihat bening dan menyentuh dengan penggunaan gaya bahasa
seperti ironi dan antonimi.
Pujian untuk Pahlawan Petani
Tema pemujaan untuk pahlawan,
diperlihatkan Aidit dalam dua puisi, yaitu “Ziarah ke Makam Usani” (Harian Rakjat, 25 Juli 1965) dan “Untukmu Pahlawan
Tani”. Pahlawan dalam konsep Aidit bukanlah para prajurit yang gugur di medan
pertempuran. Pahlawan, seperti dalam konsep perjuangan PKI, tak lain adalah
para petani dan rakyat kecil yang terpinggirkan.
Puisi “Untukmu Pahlawan Tani” merupakan
puisi yang ditulis untuk mengenang pembantaian petani di Boyolali. Peristiwa di
Boyolali dikenal sebagai sebuah peristiwa perjuangan rakyat melawan tuan tanah.
Pihak tuan tanah dengan dibantu tentara mengepung dan membunuh para petani dari
organisasi Barisan Tani Indonesia (BTI) yang menuntut pembagian hasil yang
lebih adil. Mereka pun gugur dan di mata Aidit, mereka adalah pahlawan: “kutundukkan kepala/untukmu pahlawan/pahlawan tani boyolali.”
Untukmu Pahlawan Tani
dikala senja
mencari cerah
petani menggarap sawah
mencari seuli padi
sisa pembagi
dari tuan-tanah keji
dikala senja
mencari cerah
petani menggarap sawah
mencari seuli padi
sisa pembagi
dari tuan-tanah keji
bagi hasil sungguh adil
tuan-tanah kerdil
merampok seluruh hasil
tuan-tanah kerdil
merampok seluruh hasil
rongga dada meronta
bangun tegakkan kepala
kiprah menggarap sawah
butir-butir padi di teliti
panen raja mengetam padi
hasil dibagi adil!
bangun tegakkan kepala
kiprah menggarap sawah
butir-butir padi di teliti
panen raja mengetam padi
hasil dibagi adil!
muka muram durja
tuan-tanah murka
mengepung dengan senjata
peluru menembus disawah
darah tertumpah merah
tuan-tanah murka
mengepung dengan senjata
peluru menembus disawah
darah tertumpah merah
kutundukkan kepala
untukmu pahlawan
pahlawan tani boyolali
untukmu pahlawan
pahlawan tani boyolali
Jakarta, Desember 1964
Dalam “Ziarah ke Makam Usani”, penyair memuji Usani, seorang wanita pejuang
komunis yang mati dalam perjuangannya membela kepentingan kaum buruh dan tani.
Kematian Usani memberi inspirasi bagi sahabat-sahabatnya yang masih hidup untuk
berjuang melawan ‘lima jahat’, yaitu Malaysia, kabir, tujuh setan desa,
imperialis AS, dan kaum Revisionis. Puisi ini tampaknya mewakili pandangan D.
N. Aidit tentang puisi, baik dari aspek formal maupun tematis. Puisi itu
dikemukakan secara lengkap berikut ini.
Ziarah ke Makam Usani
Langit seperti muram
Mentari tertutup mendung, keabu-abuan
Angin meniup sepoi
Pohon bambu, rindang menghijau
Burung-burung berterbangan, diam
Terasa senyap suasana alam
Langit seperti muram
Mentari tertutup mendung, keabu-abuan
Angin meniup sepoi
Pohon bambu, rindang menghijau
Burung-burung berterbangan, diam
Terasa senyap suasana alam
Kawan demi kawan datang
Menziarahi makam
Usani, wanita pejuang komunis
Pembela setia buruh dan tani;
Ia mati dalam mengabdi
Proletariat kesayangan sejati
Menziarahi makam
Usani, wanita pejuang komunis
Pembela setia buruh dan tani;
Ia mati dalam mengabdi
Proletariat kesayangan sejati
Tanah merah pekuburan dicacaki
Nisan bambu tegak-tegak
Laksana tekad hati usani
Mengibarkan tinggi-tinggi, panji PKI
Nisan bambu tegak-tegak
Laksana tekad hati usani
Mengibarkan tinggi-tinggi, panji PKI
Semua kawan tunduk berdiri
Duka cita menyayat hati
Airmata mengalir, butir demi butir;
Dan semua berjanji
Akan nyalakan api-juang usani
Mengganyang si-lima jahat
“Malaysia”, kabir, 7 setan desa, imperialis AS dan
Revisionis
Duka cita menyayat hati
Airmata mengalir, butir demi butir;
Dan semua berjanji
Akan nyalakan api-juang usani
Mengganyang si-lima jahat
“Malaysia”, kabir, 7 setan desa, imperialis AS dan
Revisionis
Usani pergi, api-juangnya nyala abadi
PKI mekar harum mewangi
PKI mekar harum mewangi
Jakarta, 18 Juli 1965
Harian Rakjat, 25 Juli 1965
Harian Rakjat, 25 Juli 1965
Tugas Partai Komunis
Tema yang berkaitan dengan tugas dan
kewajiban partai terungkap dalam puisi “Tugas Partai” (Harian Rakjat, 4 Juli 1965), “Sepeda Butut”, “Sekarang
Ia Sudah Dewasa” (Harian Rakjat, 22 Mei 1955),
“Kidung Salahurus”, dan “Hanya Inilah Jalannya” (Harian Rakjat, 12
Februari 1955).
Puisi “Tugas Partai” ditulis untuk
memperingati ulang tahun ke-45 PKI. Dalam puisi ini, Aidit mengungkapkan
komitmennya menerima tugas dari partai: “ku-emban erat/ku-pegang
ketat/ku’kan sampaikan sepenuh jiwa/kepada rakyat pekerja, di desa dan
kota”. Dalam puisi ini, terlihat dua komitmen Aidit: dua panji berdampingan/merah putih dan PKI, melambai menghias
angkasa/” tetapi juga komitmen bahwa “Marxisme-Leninisme api abadi.” Dalam puisi ini,
terlihat keinginan penyair untuk menanamkan kecintaan masyarakat pada PKI dan
ideologinya.
Tugas Partai
hatiku riang gembira
menerima tugas partai
membawa berita bahagia
ulang tahun empat-lima PKI
hatiku riang gembira
menerima tugas partai
membawa berita bahagia
ulang tahun empat-lima PKI
ku-emban erat
ku-pegang ketat
ku’kan sampaikan sepenuh jiwa
kepada rakyat pekerja, didesa dan kota
tugas dirimu partai
ku-pegang ketat
ku’kan sampaikan sepenuh jiwa
kepada rakyat pekerja, didesa dan kota
tugas dirimu partai
segala cuaca melanda
terik matahari, gelap gulita malam, dan…
embun pagi membasah tubuh
aku datangi desa demi desa,
gubuk demi gubuk,
kawan demi kawan,
rombongan demi rombongan
ku-sampaikan undangan partai
ku-ceritakan berita acara
terik matahari, gelap gulita malam, dan…
embun pagi membasah tubuh
aku datangi desa demi desa,
gubuk demi gubuk,
kawan demi kawan,
rombongan demi rombongan
ku-sampaikan undangan partai
ku-ceritakan berita acara
semua kawan senyum tawa
tekad bulat penuh semangat
jarak jauh ‘kan ditempuh
semua jalan menuju senayan
setan-setan penghalang ‘kan diganyang
untuk partai dan revolusi
tekad bulat penuh semangat
jarak jauh ‘kan ditempuh
semua jalan menuju senayan
setan-setan penghalang ‘kan diganyang
untuk partai dan revolusi
pria dan wanita, berbaris tegap menatap
dua panji berdampingan
merah putih dan PKI, melambai menghias angkasa
derap langkah bersuka ria
maju, maju, maju terus, menuju rapat perkasa PKI
PKI anak zaman melahirkan zaman
Marxisme-Leninisme api abadi
dua panji berdampingan
merah putih dan PKI, melambai menghias angkasa
derap langkah bersuka ria
maju, maju, maju terus, menuju rapat perkasa PKI
PKI anak zaman melahirkan zaman
Marxisme-Leninisme api abadi
Jakarta, Mei 1965
Harian Rakjat, 4 Juli 1965
Harian Rakjat, 4 Juli 1965
Puisi “Sepeda Butut” merekam perjalanan
dan perjuangan Aidit yang setiap hari selalu ditemani sepeda bututnya “Sepeda bututku/tiap hari membantu/mengabdi cita mulia/kebebasan
rakyat pekerja”. Sekalipun hanya dengan sepeda bututnya yang setia,
Aidit yakin bahwa upayanya akan berhasil: “kuyakin sepenuh hati/Rakyat
pekerja bebas pasti/PKI pemimpin sejati/sepeda bututku turut berbakti.”
Sepeda Butut
Sepeda bututku
tiap hari membantu
mengabdi cita mulia
kebebasan rakyat pekerja
Sepeda bututku
tiap hari membantu
mengabdi cita mulia
kebebasan rakyat pekerja
semua derita ku-terima
dengan senyum gembira
hidup sekali mengabdi
bukan menanti mati
panji merah menjiwai
dengan senyum gembira
hidup sekali mengabdi
bukan menanti mati
panji merah menjiwai
ku-yakin sepenuh hati
Rakyat pekerja bebas pasti
PKI pemimpin sejati
sepeda bututku turut berbakti
Rakyat pekerja bebas pasti
PKI pemimpin sejati
sepeda bututku turut berbakti
Jakarta, Oktober 1964
Sama seperti dalam puisi “Tugas Partai”, puisi “Kidung Dobrak Salahurus”
juga bertujuan menanamkan kecintaan masyarakat terhadap PKI.
Kidung Dobrak Salah Urus
Kau datang dari jauh adik
dari daerah banjir dan lapar
membawa hati lebih keras dari bencana
selamat datang dalam barisan kita.
Kau datang dari jauh adik
dari daerah banjir dan lapar
membawa hati lebih keras dari bencana
selamat datang dalam barisan kita.
Di kala kidung itu kau tembangkan
bertambah indah tanah Priangan
sesubur seindah Priangan manis
itulah kini Partai Komunis.
bertambah indah tanah Priangan
sesubur seindah Priangan manis
itulah kini Partai Komunis.
Tarik, tarik lebih tinggi suaramu
biar tukang-tukang salahurus mengerti
benci Rakyat dibawa mati
cinta Rakyat pada PKI
biar tukang-tukang salahurus mengerti
benci Rakyat dibawa mati
cinta Rakyat pada PKI
Rakyat yang menderita akibat banjir dan bencana kelaparan memercayakan
nasibnya pada Partai Komunis Indonesia karena birokrasi pemerintahan yang
berjalan hanyalah “tukang-tukang salah-urus” yang “benci Rakyat dibawa
mati.” Sebaliknya, PKI digambarkan “sesubur seindah Priangan manis.”
Puisi “Hanya Inilah Jalannya” merupakan
sebuah ekspresi keyakinan penyair akan kebenaran jalan perjuangan politik yang
dipilihnya melalui PKI. PKI merupakan “hasil pemikiran putera-putera
dunia yang terbaik,” sehingga “aku akan sumpah setia pada
ajarannya.” Penyair begitu yakin, “kita pasti akan sampai ke ujung jalan ini/di mana tak ada sepatu
usang/di mana tak ada lumpur membenam/di mana tak ada teratak bocor/tapi hanya
inilah jalannya.” Kesejahteraan yang akan dicapai di masa depan
hanya bisa dicapai melalui jalan partai yang dianutnya, yaitu PKI. Keyakinan
seorang pemimpin yang seperti inilah yang telah membawanya menjadi seorang
pemimpin yang berhasil membawa partainya menjadi salah satu partai terbesar
pada zamannya.
Hanya Inilah Jalannya
sepatu setengah usang membenam dalam lumpur
menuju teratak,
air menetes dari atap
membasahi kekayaanku yang paling berharga,
pengalaman jerman, inggeris, perancis, rusia dan tiongkok
dan banyak lagi
hasil pemikiran putera-putera dunia yang terbaik.
*
temanku nyenyak kembali sesudah membuka pintu,
kesunyian diluar membantuku
makin dulu makin jauh tenggelam,
ingat aku akan sumpah tetap setia pada ajarannya
kokok ayam jantan tak mengagetkan,
siang dan malam sama saja,
jalan yang ditunjukkannya selamanya terang.
*
kita pasti akan sampai ke ujung jalan ini
di mana tak ada sepatu usang,
di mana tak ada lumpur membenam,
di mana tak ada teratak bocor,
tapi hanya inilah jalannya.
sepatu setengah usang membenam dalam lumpur
menuju teratak,
air menetes dari atap
membasahi kekayaanku yang paling berharga,
pengalaman jerman, inggeris, perancis, rusia dan tiongkok
dan banyak lagi
hasil pemikiran putera-putera dunia yang terbaik.
*
temanku nyenyak kembali sesudah membuka pintu,
kesunyian diluar membantuku
makin dulu makin jauh tenggelam,
ingat aku akan sumpah tetap setia pada ajarannya
kokok ayam jantan tak mengagetkan,
siang dan malam sama saja,
jalan yang ditunjukkannya selamanya terang.
*
kita pasti akan sampai ke ujung jalan ini
di mana tak ada sepatu usang,
di mana tak ada lumpur membenam,
di mana tak ada teratak bocor,
tapi hanya inilah jalannya.
Malam, 27 Januari 1955
Harian Rakjat, 12 Februari 1955
Harian Rakjat, 12 Februari 1955
Antaeus dan Ramalan Kejatuhan PKI
Puisi “Sekarang Ia Sudah Dewasa” ditulis
untuk menjambut ulang tahun ke-35 PKI. Dalam puisi
ini, penyair mengisahkan bahwa PKI lahir “dengan kesaktian klas termaju” yang “tahan taufan/dan tak tidur karena sepoi/”. Setelah 35
tahun, PKI “menyusup di hati Rakyat/lebih dalam dari laut Banda/”.
Yang menarik dari puisi ini adalah Aidit mengibaratkan PKI sebagai “Antaeus, anak Poseidon, yang setia pada bumi”.
Sekarang Ia Sudah Dewasa
menjambut ulang tahun ke-35 PKI
menjambut ulang tahun ke-35 PKI
35 tahun yang lalu
Ia lahir
dengan kesaktian
klas termaju,
sebagai anak zaman
yang akan melahirkan zaman.
Ia tahan taufan
dan tak tidur karena sepoi.
Ia menyusup dihati Rakyat
lebih dalam dari laut Banda.
Ia menghias hidup
lebih indah dari sunting cempaka.
Ia dihidupkan oleh hidup,
tahun teror dan provokasi
Dulu, sekarang dan nanti.
Ia Antaeus, anak Poseidon
yang setia pada bumi.
Ia anak zaman yang akan melahirkan zaman
Sekarang ia sudah dewasa.
Ia lahir
dengan kesaktian
klas termaju,
sebagai anak zaman
yang akan melahirkan zaman.
Ia tahan taufan
dan tak tidur karena sepoi.
Ia menyusup dihati Rakyat
lebih dalam dari laut Banda.
Ia menghias hidup
lebih indah dari sunting cempaka.
Ia dihidupkan oleh hidup,
tahun teror dan provokasi
Dulu, sekarang dan nanti.
Ia Antaeus, anak Poseidon
yang setia pada bumi.
Ia anak zaman yang akan melahirkan zaman
Sekarang ia sudah dewasa.
Jakarta, 21 Mei 1955
Harian Rakjat, 22 Mei 1955
Harian Rakjat, 22 Mei 1955
Dalam mitologi Yunani, ada seorang tokoh legendaris bernama Antaeus,
seorang raksasa kesatria yang tak terkalahkan. Jika kalah dalam berperang, ia
justru bertambah kuat. Ayahnya Poseidon adalah Dewa Laut, ibunya, Gaea adalah
Dewi Bumi. Antaeus memiliki satu kelebihan yang tak dimiliki oleh para kesatria
Yunani lain. Selama ia setia dan tetap menginjak bumi, maka bumi akan
memberinya kekuatan. Suatu ketika Antaeus bertemu dengan musuh yang kekuatannya
sepadan yang bernama Heracles atau yang lebih dikenal sebagai Hercules. Ia
putra Zeus, Dewa Langit dan Petir, sedangkan ibunya adalah Alcmene. Karakter
Hercules digambarkan sebagai seorang pahlawan dengan kekuatan yang besar dan
juga tak terkalahkan. Hercules mengetahui kekuatan sekaligus kelemahan lawannya.
Kekuatannya Antaeus datang dari tanah dan bumi. Kelemahannya ketika terpisah
dari tanah dan bumi. Maka ketika dua jagoan dalam mitologi Yunani ini bertemu,
terjadilah pertarungan terakhir bagi Antaeus. Jurus terakhir yang digunakan
oleh Hercules adalah mengangkat Antaeus di atas dua pundaknya dan tak
diturunkan lagi. Perlahan tetapi pasti, Antaeus kehilangan kekuatannya.
Perlahan tetapi pasti, Antaeus menjadi tak berdaya, ia hanyalah seonggok
raksasa besar yang tak mampu berbuat apa-apa. Sebabnya, Antaeus terpisah dari
tanah yang selama ini memberinya kekuatan. Ketika terjadi pertarungan gulat
yang sangat hebat antara Antaeus dan Hercules, dengan strategi itu, pertarungan
diakhiri dengan kekalahan Antaeus.
D. N. Aidit mengagumi tokoh Antaeus, terutama karena kesetiaan tokoh ini
pada bumi yang dipijaknya. Aidit menginginkan PKI benar-benar membumi sehingga
dicintai oleh semua kalangan. Pilihan Aidit pada Antaeus di tahun 1955
sepertinya meramalkan pula kejatuhan PKI dari kesatria lainnya, Hercules. Di tahun
1965, Hercules (tentara Angkatan Darat yang dipimpin oleh Soeharto), dengan
siasatnya yang jitu mengalahkan dan mengenyahkan Anteus (PKI). PKI
dipropagandakan sebagai pengkhianat, pelaku penculikan tujuh jendral dan
membantainya dengan kejam dan pengecut di Lubang Buaya. PKI pun lenyap dari
muka bumi Indonesia. Anak cucu dan keluarga orang-orang PKI yang tidak bersalah
pun harus menerima hukuman: menerima tanda selar (stigma) “Organisasi
Terlarang” (OT).
Anteus, sebagaimana juga partai PKI yang
dipimpin Aidit, akhirnya mengalami nasib yang sama: jatuh dan tamatlah
riwayatnya secara sangat tragis dari bumi Indonesia. Hal itu, tanpa disadari,
telah diramalkan sendiri oleh Aidit melalui puisinya “Sekarang Ia Sudah Dewasa” yang
ditulis Aidit untuk menjambut ulang tahun ke-35 PKI.
Kesimpulan
Karya-karya sastra, khususnya puisi, dalam
kurun waktu sepuluh tahun menjelang terjadinya Tragedi 1965, yaitu 1955—1965,
menunjukkan salah satu ciri yang jelas, yaitu keterlibatan sosial serta
identifikasi dengan kaum yang miskin dan menderita. Kemiskinan dan penderitaan
memang begitu menyolok mata. Tanggapan terhadap kemiskinan dan penderitaan itu
dilakukan, baik oleh penyair-penyair Lekra maupun yang bukan Lekra.[vii] Karya-karya sastrawan Lekra lebih
dominan dalam periode ini.
Sesuai dengan keyakinan seniman-seniman
Lekra seperti yang tertuang dalam Mukadimah Lekra (1950), seni bagi kelompok
ini merupakan sarana perjuangan ideologi.[viii] Seniman—tak berbeda dari politisi,
ilmuwan, pekerja—terlibat dalam perjuangan untuk membebaskan rakyat dari
penindasan kelas yang berkuasa.
Dalam konteks bersastra seperti inilah penilaian
kaum liberal (Barat) yang menuntut adanya ‘nilai estetika’ menemukan jalan
buntu. Dengan kacamata estetika liberal, seperti dilakukan Teeuw (1989: 30—6),
maka puisi-puisi Aidit adalah cerita-cerita atau sajak-sajak sederhana, yang
ditulis dengan bahasa yang gampang dipahami, dan melukiskan gambaran yang
mengibakan ‘korban’ apa saja yang sebagian besar klise. Misalnya, petani
miskin, buruh tani, atau gadis tak berdosa yang dengan keji diperdayakan dan
dikhianati oleh bos yang kapitalis, atau perempuan pekerja yang miskin dan
buruh kasar yang tertindas dan dibayar rendah. Getaran tertinggi yang dapat
dirasakan dari puisi-puisi Aidit adalah perasaan ‘simpati’, semangat berjuang,
dan keyakinan utopis tentang masa depan yang lebih baik. Puisi-puisinya juga
mengagungkan tindakan partai dan habis-habisan bermadah tentang kehebatan
negara-negara komunis (bdk. Teeuw, 1989: 30—6). Dengan motivasi dan latar
belakang yang seperti ini, Teeuw menilai bahwa “ideologi Marxisme kehilangan
sisa kredibilitas atau kepercayaan yang masih ada sebagai suatu asas artistik(artistic
creed)”.
Saya berpandangan, puisi-puisi Aidit dan
sastrawan Lekra lainnya perlu dipandang sebagai karya yang menjadi saksi
sejarah yang khusus, yang memiliki kaitan dengan masalah-masalah sosial, ataupun
dipengaruhi oleh fenomena-fenomena sosial (bdk. Foulcher, 1986: 3—4). Dengan
kata lain, karya-karya itu merupakan formasi diskursif dalam kaitannya dengan
formasi-formasi diskursif zamannya dan membentukepisteme tersendiri.
Dalam konteks inilah terbaca dengan jelas ideologi realisme sosialis yang
menuntut karya-karya sastra menjadi alat (ideologi) yang berguna bagi manusia.
Meminjam pandangan Horatius, karya-karya Aidit lebih menekankan kegunaan (utile) daripada keindahannya (dulce). Membaca karya-karya Aidit, kita mendengarkan
dengan jelas geliat zamannya.
D. N. Aidit menciptakan puisi-puisinya sebagai seorang pemimpin partai
besar (PKI) dengan konsep berpuisi yang jelas (politik sebagai panglima).
Lingkungan sosial-budaya pada periode 1955—1965 diwarnai oleh pertentangan
ideologi antara kelompok yang pro-Barat dan pro-Timur, yang diwarisi dari
polemik kebudayaan pada tahun-tahun sebelum kemerdekaan. Kegagalan diplomasi
Indonesia melalui KMB membuat beberapa politisi dan seniman mendirikan Lekra.
Periode 1950—1965 merupakan sebuah periode yang secara ekonomi dan politik
terdapat kontradiksi yang intens dalam jantung kehidupan budaya Indonesia
(Foulcher, 1986: 1—3). Dalam bidang kebudayaan, terjadi perdebatan tajam dan
panjang antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) (1950—1965) dengan kelompok
Manifest Kebudayaan (Manikebu) (1963) yang mengusung paham ‘humanisme
universal’. Dalam perkembangannya, lingkungan sosial-budaya sangat didominasi
oleh kekuatan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) (1950—1965) dengan ideologi
‘politik sebagai panglima’ dan menganut paham ‘realisme sosialis’.
D. N. Aidit tidak hanya seorang tokoh kiri, melainkan lebih dari itu dia
merupakan pimpinan tertinggi PKI, sebuah partai yang kemudian menjadi partai
terlarang di Indonesia. Karena itu, hampir semua informasi, berita, ataupun
kontribusi orang-orang kiri itu dianggap tidak berguna dan acapkali tidak
dibicarakan secara terbuka, termasuk Aidit. PKI, yang sejak awal ikut
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia pun selalu dicurigai sebagai ‘pengkhianat
bangsa’ yang hendak membangun sebuah negara tersendiri dengan asas dan tujuan
yang berbeda.
D.N. Aidit memiliki dua wajah (Zulkifli, 2011), wajah politik yang garang
dan wajah sastra yang humanis. Puisi-puisi Aidit, selain menjadi alat
menyampaikan visi dan perjuangan politiknya, mengandung pula elemen-eleman
estetis kemanusiaan yang dapat dinikmati oleh para pencinta sastra. Visi
kerakyatan, antikolonialisme, imperialisme, feodalisme mewarnai karya-karya
tokoh politik tersebut.
Wajah humanis D. N. Aidit terlihat jelas dalam beberapa puisinya yang
menggugah pemikiran dan menyentuh perasaan. Aidit sangat tersiksa menyaksikan
kematian Lumumba. Dalam “Kidung Dobrak Salah Urus”, Aidit menaruh perhatian
yang sangat intens terhadap rakyat dari daerah bencana banjir dan lapar. Aidit
tidak bisa menerima dan memahami mengapa rakyat dari sebuah daerah yang seindah
dan sesubur Priangan dapat menderita banjir dan lapar. Karena itu, ia
menyerukan “dobrak salah urus”. Logika di balik puisi itu adalah bahwa bencana
yang dialami rakyat disebabkan karena pemerintahnya salah mengurus kepentingan
rakyatnya. Sebagai ketua CC-PKI yang bergerak dalam bidang politik, kenyataan
itu memberi alasan baginya untuk mengajar rakyat mencintai dan mendukung PKI.
Bacaannya yang luas terhadap mitologi Yunani membuat Aidit memahami betul
tokoh-tokoh yang sangat dikenal dalam mitologi tersebut. Ia pun memilih Dewa
Antheus, dewa yang kemudian dikalahkan Hercules. Aidit, dengan naluri
humanistiknya, tanpa sadar telah meramalkan kejatuhan Antheus (PKI) oleh
Hercules (TNI). Pasca-tragedi 1965, Dipa Nusantara Aidit bersama PKI-nya
menghilang untuk selama-lamanya dari bumi Nusantara ini.***
Daftar Pustaka
Barker, Chris, Cultural Studies, Theory and Practice. London:
Sage Publication, 2000.
Foucault, Michel, The Archeology of Knowledge. New York: Pantheon
Books, 1972.
____________, Pengetahuan dan Metode: Karya-karya Penting Foucault.
Diterjemahkan dari Aesthetic, Method, and Epistemology: Esential Works ofFoucault
1954—1984 karya Paul Robinow. Yogyakarta: Jalasutra, 2011.
Foulcher, Keith, Social Commitment in Literature and the Arts: The Indonesian
“Institute of Peoples Culture” 1950 – 1965. Victoria: Monash
University Press, 1986.
___________, “Menciptakan Sejarah: Kesusastraan
Indonesia Kontemporer dan Peristiwa-peristiwa 1965” dalam Robert Cribb The Indonesian Killings: Pembantaian di Jawa dan Bali 1965-1966. Yogyakarta:
MataBangsa bekerja sama dengan Syarikat Indonesia, 2004.
Hindley, Donald, “Review 41 The Communist
Uprisings of 1926—1927 in Indonesia: Key Documents” dalam The Journal of Asian Studies (pre-1986); May 1962;
21, 3; ABI/INFORM Research, 1962.
Piliang, Yasraf Amir, “Antara Minimalisme
dan Pluralisme: Manusia Indonesia dalam Serangan Postmodernisme” dalam Menggeledah Hasrat: Sebuah Pendekatan Multi Perspektif (ed.
Alfathri Aldin). Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra, 2006.
Ricklefs, M.C., A History of Modern Indonesia Since c.1300, Second Edition.
London: MacMillan, 1993.
Razif, “Bacaan Liar: Budaya dan Politik
pada Zaman Pergerakan”. Diunduh darihttp://www.fortunecity.com/millennium/oldemill/498/selectedworks/B-Liar3.htmltanggal
17 Agustus 2010, 2010.
Rosidi, Ajip, Masalah Angkatan dan Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta:
Pustaka Jaya, 1973.
Sulistyo, Hermawan, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966). Jakarta:
Gramedia bekerja sama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation,
2000.
Sumardjo, Jacob, Lintasan Sastra Indonesia Modern Jilid I. Bandung:
PT Citra Aditya Bakti, 1992.
Taum, Yoseph Yapi, “Pengarang Ambang dan Kedudukannya dalam Penelitian
Sastra” dalam Horison Nomor 11 Tahun XXVIII, Edisi November. Jakarta: Yayasan
Indonesia, 1993.
Taum, Yoseph Yapi, Pengantar Teori Sastra: Ekspresivisme, Strukturalisme, Semiotik, Resepsi, Dekonstruksi. Ende:
Nusa Indah, 1997.
Teeuw, A., Sastra
Baru Indonesia. Ende: Percetakan Arnoldus, 1978.
_______, Tergantung Pada Kata. Jakarta:
Pustaka Jaya, 1980.
_______, “Indonesia Antara Kelisanan dan
Keberaksaraan” (dua karangan) dalamBASIS No.
XXXVII-11 dan XXXVIII-12. Yogyakarta: Andi Offset, 1988a.
_______, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra.
Jakarta: Pustaka Jaya – Giri Mukti Pasaka, 1988b.
Van der Kroef , Justus M. “Interpretations
of the 1965 Indonesian Coup: A Review of the Literature” in Pacific Affairs, Vol. 43, No. 4, (Winter, 1970-1971),
pp. 557-77. Pacific Affairs, University of British Columbia, 1977.
Wikipedia, Antaeus. Dikunjungi
pada 20 Juli 2011 darihttp://en.wikipedia.org/wiki/Antaeus, 2013.
Yuliantri, Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M.
Dahlan, Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra Harian Rakjat 1950-1965. Yogyakarta:
Merakesumba, 2008.
Zulkifli, Arif, Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara. Jakarta:
Kepustakaan Kompas Gramedia (KPG) (Seri Buku Tempo Orang Kiri Indonesia), 2010.
**Keterangan: tulisan ini pernah
dipublikasikan pada Jurnal Ilmiah Kebudayaan,Sintesis, Volume 7, No.1, Maret
2013, hlm. 1-13
[i] Tulisan ini pernah dimuat dalam
Jurnal Ilmiah Kebudayaan Sintesis Volume
7 No. 1, Maret 2013. Jurnal itu milik Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas
Sastra, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Terima kasih kepada Prof. Dr. I.
Praptomo Baryadi, M.Hum yang mengizinkan penerbitannya di sini. Pengeditan
dilakukan dalam koridor yang semata teknis, disesuaikan dengan format Lembar
Kebudayaan IndoProgress (LKIP).
[ii] Tentang sisi sebagai pejuang
nasional, persahabatan, pernikahan, keluarga, dan peranan Aidit dalam bidang
politik, baca Arif Zulkifli, Aidit: Dua Wajah Dipa
Nusantara, Jakarta: Kepustakaan Kompas Gramedia (KPG) (Seri
Buku Tempo Orang Kiri Indonesia), 2010.
[iii] Buku dan serial yang ditulis Aidit
antara lain: Sedjarah Gerakan Buruh Indonesia, dari Tahun
1905 sampai Tahun 1926 (1952); Perdjuangan
dan Adjaran-adjaran Karl Marx (1952); Menempuh Djalan Rakjat:
Pidato untuk Memperingati Ulangtahun PKI jang ke-32 – 23 Mei 1952 (1954);
Tentang Tan Ling Djie-isme: Referat jang Disampaikan pada Kongres Nasional ke-V
PKI (1954); Djalan ke Demokrasi Rakjat bagi Indonesia: (Pidato sebagai laporan
Central Comite kepada Kongres Nasional ke-V PKI dalam bulan Maret 1954 (1955);
Pertahankan Republik Proklamasi 1945!: Perdjuangan untuk Mempertahankan
Kemerdekaan Nasional, Perdamaian dan Demokrasi Sesudah Pemilihan Prlemen
(1955); Menudju Indonesia baru: Pidato untuk Memperingati Ulang-tahun PKI jang
ke-33 (1955); Perjuangan dan Adjaran-adjaran Karl Marx (1955); Revolusi Oktober
dan Rakjat2 Timur (1957); 37 tahun Partai Komunis Indonesia (1957); Masjarakat
Indonesia dan Revolusi Indonesia: (Soal² Pokok Revolusi Indonesia) (1958);
Sendjata Ditangan Rakjat (1958); dan Kalahkan Konsepsi Politik Amerika Serikat
(1958). Daftar ini masih perlu dilengkapi lagi.
[iv] Dalam masa pemerintahan Presiden
Soekarno, apa yang terjadi pada tahun 1948 itu disebut sebagai “Peristiwa
Madiun 1948” tetapi oleh pemerintahan Orde Baru istilahnya diubah menjadi
“Pemberontakan Madiun 1948.”
[v] Partai Komunis Indonesia (PKI) yang
dihancurkan tetapi tidak dilarang tahun 1948, muncul kembali di tahun
1951 dengan kepemimpinan dari kalangan kaum muda: Aidit, Lukman, Nyonto, dan
Soedisman. Sejak awal, Aidit menekankan bahwa Marxisme merupakan pedoman untuk
bertindak, bukan dogma yang harus diikuti dengan kaku (Ricklefs, 2004: 478). Kepemimpinannya
membawa suatu pragmatisme baru bagi PKI yang memungkinkan partai ini segera
menjadi salah satu partai politik terbesar. Perkembangan pesat PKI itu, menurut
Van der Kroef (1965: 357), juga disebabkan karena selama tahun 1961—1962 PKI
sangat vokal mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah, khususnya kebijakan
militeristik yang sangat membatasi aktivitas politik. Partai ini bahkan menjadi
partai komunis terbesar di seluruh dunia, di luar RRC dan Uni Soviet.
[vi] The Three Musketeers adalah
judul novel tenar tentang petualangan tiga orang pemuda di tengah-tengah
pergolakan politik Prancis pada abad pertengahan. Tiga pemuda itu bernama
Athos, Porthos, dan Aramis.
[vii] Menurut Teeuw (1989: 11),
sajak-sajak tanggapan terhadap masalah kemiskinan dari penyair non-Lekra
berbeda dengan sajak-sajak Lekra yang mengusung ideologi ‘realisme-sosialis’.
Sajak-sajak non-Lekra lebih mendalam, mengendap, dan ditulis dengan kesadaran bahwa
penderitaan manusia bukan saja disebabkan oleh tindakan-tindakan buruk kaum
politikus jahat, kaum kapitalis, dan kaum imperialis, tetapi bahwa kemiskinan
tak terlepas dari peri hidup umat manusia, dan sebaliknya bahwa kebahagiaan pun
tidak bergantung pada terwujudnya cita-cita tertentu belaka.
[viii] Hal ini berbeda dari perkembangan
sastra sebelumnya, yang dikuasai oleh Kantor Bacaan Rakyat dari Pemerintah
Hindia Belanda atau Balai Pustaka, yang dalam penerbitan-penerbitannya
menabukan ideologi, agama, dan politik (lihat Teeuw, 1989: 31).
* Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum., dosen Prodi
Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Alamat
surat elektronik: yoseph.yapi2010@gmail.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar