Akar Korupsi
dalam Perspektif Marxis
Oleh: Ismantoro Dwi Yuwono
Definisi dan Pemetaan Sebab-Akibat Korupsi
Untuk memahami dan kemudian memberikan solusi terhadap
permasalahan korupsi hal yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah melakukan
pemetaan antara sebab dan akibat. Tanpa dilakukannya pemetaan terhadap
permasalahan korupsi, maka yang akan terjadi adalah kekacauan dalam memahami
dan memberikan solusi terhadap permasalahan korupsi.
Sebelum aku memetakan sebab dan akibat permasalahan
korupsi, terlebih dahulu aku akan berusaha mendefinisikan apa itu korupsi dalam
perspektif Marxis?
Korupsi ditinjau dari asal-usul katanya berasal dari
kata bahasa Inggris “corrupt” yang
artinya merusak atau bertindak jahat. Berangkat dari asal-usul katanya, maka
dapatlah dipahami bahwa yang namanya korupsi itu adalah suatu perbuatan jahat,
sedangkan perbuatan jahat itu dilihat dari macamnya sangat heterogen (beragam),
namun keheterogenan tersebut dapat direduksi menjadi satu bentuk perbuatan:
MENINDAS. Yah, korupsi dalam perspektif Marxis didefinisikan sebagai sebentuk
perbuatan menindas. Definisi ini berbeda halnya dengan definisi yang diberikan
oleh orang-orang borjuis, yang mendefinisikan korupsi sebagai bentuk perbuatan
penyimpangan, perbuatan tidak bermoral atau tidak beretika.
Definisi dari kubu borjuis tersebut alih-alih berusaha
membongkar apa itu yang dinamakan dengan korupsi, justru dengan definisi yang
diberikan itu mengaburkan pengertian tentang korupsi itu sendiri. Koq
dikaburkan apa maksudnya? Begini, jika korupsi didefinisikan sebagai bentuk
dari penyimpangan, peyimpangan yang dimaksud ukurannya apa? Ukurannya sudah
tentu kelas borjuislah yang merumuskan, misalnya orang tidak boleh mengambil
sesuatu yang bukan haknya. Hak yang dimaksud di sini, sudah tentu, bukan hak
dari kelas pekerja untuk menikmati hasil kerjanya secara utuh, tetapi hak yang
dimaksud adalah hak diluar itu, padahal perampasan hasil kerja kelas buruh
(berapapun kecil prosentasenya) adalah merupakan tindak mengambil sesuatu yang
bukan haknya dan sudah tentu tindakan ini adalah tindak penindasan. Dari sini
terlihat bahwa penyimpangan yang dimaksud adalah penyimpangan dalam batas-batas
yang dirumuskan oleh kelas borjuis, diluar rumusan tersebut penyimpangan
bukanlah penyimpangan bahkan suatu tindakan yang benarkan secara moral dan
hukum. Dengan demikian apabila korupsi didefinisikan sebagai bentuk
penyimpangan, penyimpangan yang dimaksud dikaburkan penjelasan batas-batasnya.
Selain didefinisikan sebagai bentuk penyimpangan, di
kubu borjuis korupsi juga didefinisikan sebagai sebentuk tindakan tidak
bermoral atau tidak beretika. Definisi ini juga merupakan definisi yang
berusaha mengaburkan prilaku menindas (korupsi) dari kelas borjuis. Jika orang
bicara moral dan etika tentunya orang berbicara tentang isi hati manusia,
sedangkan isi hati (baca: hati nurani) manusia itu dapat rusak ketika
kepribadian dan paradigma berpikirnya telah mengalami kapitalisasi finansial.
Jika manusia paradigma dan cara berpikirnya sudah terkapitalisasi, diceramahin
tentang moral dan etika sampai mencret pun orang tersebut tidak akan bertobat.
Justru dengan didefinisikannya korupsi sebagai bentuk dari penyimpangan moral
dan etika adalah definisi yang berhenti pada formalitas belaka dan mandul untuk
mengatasi permasalahan korupsi. Orang Indonesia tentu sudah menyaksikan dengan
mata telanjang bulat betapa korupsi telah banyak dilakukan oleh para “pemuja”
moral dengan panji-panji ajaran agama (misalnya korupsi ditubuh partai Islam,
PKS (Partai Keadilan Sejahtera) atau korupsi dalam pengadaan Al-Quran, dan
masih banyak lagi contohnya di Negara Indonesia ini, Negara para bajingan)
sedangkan agama digembar-gemborkan sebagai alat yang ampuh untuk membangun moral
manusia.
Jika dalam perpektif Marxis korupsi didefinisikan
sebagai tindakan menindas, tindakan menindas yang dimaksud itu dalam bentuk
apa? Sebelum mengulas tentang hal ini, sebagaimana di muka telah aku janjikan,
aku akan memetakan terlebih dahulu sebab dan akibat perilaku korup.
Untuk memetakan sebab dan akibat prilaku korup, aku
akan meminjam perkataan yang pernah dilontarkan oleh seorang Mahatma Gandhi.
Orang ini pernah berkata bahwa “bumi (kekayaan alam) ini sebenarnya cukup untuk
memenuhi kebutuhan seluruh umat manusia di atas kerak bumi ini, tapi bumi tidak
akan pernah cukup untuk memenuhi kerakusan manusia.”
Aku sepakati bahwa kerakusan manusia adalah hal yang
mendorong orang melakukan tindakan korupsi. Namun yang menjadi pertanyaan
kemudian adalah? Kerakusan manusia ini sebab atau akibat? Kalau Adam Smith
mengatakan bahwa kerakusan adalah fitrah (baca: sebab) dasar manusia dan karena
kerakusan manusialah dia didorong untuk bersaing dengan sesamanya. Itu kata si
Adam Smith, kalau menurutku ga begito kale…!!! Kalau menurutku sih fitrah
manusia itu terletak pada kemampuannya untuk bekerja dan dengan bekerja dia
memiliki naluri untuk membangun kehidupan yang memberikan manfaat kepada
sesamanya, diluar ini, adalah akibat dari bagaimana kerja manusia dikondisikan
dalam sebuah sistem dan kerakusan manusia adalah akibat dari sebuah sistem yang
mengkondisikannya.
Ya, menurutku kerakusan manusia adalah akibat dari
suatu sistem yang menindas. Yoi… Pak dhe dan Bu dhe, kerakusan manusia bukan
merupakan sebab tetapi merupakan akibat! Dalam bahasa Marxis, kerakusan manusia
adalah suprastruktur yang merupakan refleksi (akibat) dari infrasturktur
(kekuatan dan hubungan produksi) yang melahirkannya.
Jika orang melakukan penyimpangan dalam menjalankan
suatu amanat itu juga merupakan akibat dari suatu sistem, sistem yang menindas!
Jika orang moral dan etikanya rusak, dan oleh
karenanya dia melakukan korupsi itu juga merupakan akibat dari suatu sistem,
sistem yang menindas!
Jika orang kalau janjian datangnya selalu moloooooooooooor
kayak karet kolor, dan karena itu dia dituduh telah melakukan korupsi waktu itu
juga merupakan akibat dari suatu sistem, sistem yang menindas! (selingan,
Bro/Sist: Mensana Kompore Kasno, di balik kolor yang kuat terdapat otot yang
kuat. Kalau kolor-nya kuat makenya juga ga kedodoran, ga molor-molor, otot ga
kendor tapi luas biasa super kuat).
Terus yang menjadi pertanyaan kemudian adalah: “sistem
yang menindas itu sistem yang seperti apa sih, sistem yang kayak gimane….?”
Setelah aku berusaha memetakan mana sebab dan mana
akibat, ulasan berikutnya adalah ulasan yang akan menjawab tentang pertanyaan
tersebut: “sistem yang menindas itu sistem yang seperti apa..????????”
Aksi Pencurian Nilai Lebih (Bahasa
Gaulnya: Surplus Value)
Berbicara tentang pencurian nilai lebih berarti
menggiring orang untuk berbicara tentang paradigma (kerangka berpikir) dasar
kapitalisme.
Dalam paradigma dasar kapitalisme dikenal adanya
investasi atau penanaman modal. Kapitalis yang ingin mendapatkan keuntungan,
dia harus membeli alat produksi. Dan, dengan alat produksi yang dimilikinya
tersebut kapitalis mempekerjakan (membeli) tenaga kerja buruh untuk dihisap
(dicuri) hasil kerjanya. Berangkat dari sini, dapat terlihat bahwa rezim hak
milik terhadap alat produksi adalah pangkal dari mekanisme penghisapan hasil
kerja buruh demi mendapatkan keuntungan bagi pemilik modal (kapitalis).
Menghisap (mencuri) hasil kerja pihak lain inilah, yang aku maksud dengan
penindasan atau dengan kata lain: KORUPSI.
Pengusaha (istilah sopan untuk kapitalis) apabila dia
ingin memperkaya dirinya, membuat gemuk-tambun pundi-pundi uangnya sudah jelas
dia harus memiliki modal (kapital) untuk diinvestasikan guna melakukan
penghisapan terhadap buruh-buruh yang dipekerjakannya. Ketika dia telah berhasil
menyedot nilai lebih (surplus value) hasil kerja buruh, nilai lebih
tersebut akan dia investasikan kembali untuk mendapatkan keuntungan yang
semakin menggunung. Nah, inilah mekanisme kerja dari para kapitalis dalam
melancarkan aksi korupsi, menindas kelas pekerja.
Berangkat dari sini, mari mengajukan pertanyaan lebih
jauh lagi, sebagai berikut: Jika pengusaha dalam memperkaya dirinya sendiri
melakukannya dengan cara mengakumulasi kapital (penumpukan
keuntungan/penimbungan surplus value)
secara finansial, lalu bagaimana caranya para aparat dan pejabat Negara dari
tingkat kroco sampai kakap memperkaya diri mereka sendiri? Pertanyaan ini
membawa aku untuk memperluas pengertian tentang kepemilikan modal sebagai
kekuatan investasi untuk mendapatkan keuntungan (surplus value) yang
sebesar-besarnya.
Kapital finansial dalam paradigma kapitalisme adalah
suatu sistem penghisapan yang ketika dia beroperasi dalam kehidupan masyarakat
memiliki kemampuan untuk melakukan simulacrumisasi atau replikasi (penduplikan
atau membentuk tiruan). Replikasi ini dapat menyebar ke dalam berbagai bentuk,
diantaranya adalah jabatan, posisi dan kesempatan.
Bagi orang yang paradigma berpikirnya dan
kepribadiannya telah mengalami kapitalisasi, orang akan menilai segala
sesuatunya adalah obyek (kapital/modal) yang dapat dimanfaatkannya untuk
memperoleh keuntungan (surplus value), misalnya seseorang yang menjabat
sebagai pegawai negeri yang tugasnya memberikan pelayanan pembuatan KTP (Kartu
Tanda Penduduk) atau sebagai Polisi yang bertugas melayani pembuatan SIM (Surat
Izin Mengemudi) atau pegawai pajak yang bertugas menyelesaikan perselisihan
pajak atau Jaksa/Hakim Pengadilan Negara yang berugas menerima, memeriksa, dan
memutuskan suatu perkara hukum atau bahkan Presiden sekali pun yang bertugas
memimpin suatu Negara, dia akan benar-benar memanfaatkan jabatannya tersebut
untuk memperkaya diri sendiri (melakukan akumulasi modal/keuntungan) dengan
cara menyelewengkan jabatannya, menerima suap, melakukan pemerasan/pungutan
liar (pungli) atau menerima gratifikasi. Jabatan bagi orang model seperti ini
dianggap sebagai modal (kapital) yang dapat diinvestasikan untuk merogoh isi
kantong orang yang sedang berurusan dengannya.
Pejabat Negara atau pegawai negeri sesungguhnya adalah
pelayan/abdi masyarakat, namun ketika paradigma berpikir dan kepribadiannya
telah terreplikasi oleh logika kapital yang rakus akan keuntungan pribadi an sich, pelayanan yang
diberikan sudah pasti akan diubah oleh orang model seperti ini menjadi sebuah
komoditi yang harus dibeli oleh orang yang dilayaninya. Orang yang dilayaninya
inilah yang kemudian diposisikan sebagai konsumen yang dianggap sebagai pihak
yang harus dihisap/ditindas.
Untuk menyederhanakan pemahaman tentang bentuk
penindasan pejabat negara/pegawai negeri terhadap rakyat yang dilayaninya,
berikut ini penulis tunjukkan dalam bentuk skema tentang terjadinya
transformasi dari ranah publik (non-kapital) menjadi ranah kepentingan pribadi
(kapital):
Jabatan (modal) ¾ Pelayanan (komoditi) ¾ Masyarakat (konsumen/sumber surplus value).
Posisi (modal) ¾ Wibawa/Kebijakan (komoditi) ¾ orang lain yang berada dalam pengaruh posisinya
(konsumen/sumber surplus value).
Kesempatan (modal) ¾ Amanat (sumber surplus
value).
Antara Dramaturgi dan Kerakusan (Greedy)
dan Sebuah Solusi
Seorang sosiolog bernama Erving Goofman dalam teorinya
merumuskan bahwa ketika orang saling berinteraksi antara satu sama lain (baca:
tatap muka) mereka saling berusaha untuk memberikan pengaruh antara satu sama
lain, dan pengaruh yang mereka lancarkan dilatar belakangi oleh masyarakat
sosial yang telah membentuk kepribadian meraka masing-masing. Goofman
mengatakan, karena latar belakang itulah kemudian manusia dalam berinteraksi
sebenarnya hanya menggunakan kedok/topeng semata, topeng yang merepresentasikan
kehendak sosial yang membentuk kepribadiannya. Jadi, setiap interaksi, menurut
Goofman, adalah panggung teatrikal. Berangkat dari sinilah, maka teori
interaksi sosial yang dirumuskan oleh Goofman tersebut dinamakan dengan teori:
Dramaturgi.
Meminjam teori yang dirumuskan oleh Erving Goofman,
maka dapatlah dipahami bahwa paradigma dan kepribadian manusia dalam
pembentukannya dapat diintervensi oleh sebuah kepentingan. Celakanya
kepentingan yang mengintervensi tersebut adalah kepentingan yang merusak
fitrahnya sebagai manusia pekerja-kolektif yang memanusiakan sesamanya.
Kepentingan merusak yang aku maksud tidak lain adalah kepentingan dalam
melakukan akumulasi kapital yang menyeret orang untuk menciptakan dan membangun
sifat rakus (greedy) dalam struktur berpikir dan kepribadiannya. Replika brutal
dari logika kapitalisme!
Karena permasalahan korupsi bersifat struktural, maka
solusinya pun harus bersifat struktural. Berikut ini aku berusaha untuk
memberikan solusi terhadap permasalahan korupsi:
Agar orang tidak memiliki pikiran untuk merampok
(mengkorupsi) hasil kerja orang lain, maka setiap orang harus bekerja apabila
ia ingin menghidupi dirinya. Orang yang tidak bekerja tetapi memiliki modal dan
alat produksi, cenderung akan memanfaatkannya untuk merampok hasil kerja orang
lain dengan cara memanfaatkan modalnya dan alat produksinya tersebut untuk
mempekerjakan orang yang tidak memiliki modal dan alat produksi tetapi hanya
memiliki kemampuan bekerja tetapi dia sendiri tidak bekerja atau ikut bekerja tetapi
hasil yang diperoleh bukan hanya yang dia kerjakan saja tetapi juga dia
menghisap hasil kerja orang-orang yang dipekerjakannya. Praktis solusi ini
memaklumkan adanya revolusi sosial, karena tanpa revolusi sosial tidak mungkin
dengan sukarela para kapitalis melepaskan modal dan alat produksinya untuk
dimiliki secara kolektif. Mimpi yang bersifat halusinatif kalau mengharapkan
para kapitalis berela hati untuk melepaskan kemampanannya dalam menindas.
Dengan revolusi sosial yang kemudian menciptakan
sistem dimana alat produksi dimiliki secara kolektif, hal ini akan merembet
pada terbentuknya simulacrumisasi (replikasi) terhadap paradigma dan
kepribadian militansi dalam bekerja dan semangat bekerja sama dan berbagi.
“Rasionalisasinya begini: Kalau orang kepengen makan, dia harus bekerja. Dan
tidak ada alasan untuk tidak bekerja karena tidak dimilikinya modal dan alat
produksi, karena modal dan alat produksi sudah dimiliki bersama dan dia tinggal
mencurahkan kemampuan kerjanya dan mendapatkan imbalan sesuai dengan jerih
payahnya dalam bekerja. Terus, karena dia tidak mungkin untuk bekerja sendiri
tanpa bantuan orang lain, dan juga tidak mungkin mencukupi kebutuhannya sendiri
tanpa orang lain, maka mau kagak mau dia didorong untuk bekerja sama dan
berbagi dengan sesamanya. Jadi, dari sistem ini dicegah dan direpresi
terjadinya kemunculan paradigma dan kepribadian yang eksploitatatif dalam
pengertian menindas sesamanya.
Sebagaimana telah aku sampaikan bahwa orang yang mau
makan harus bekerja dan ga boleh mempekerjakan orang lain untuk melayani
kebutuhan hidupnya. Berangkat dari apa yang aku sampaikan ini, maka menyeruak
pertanyaan seperti ini: bagaimana halnya dengan anak-anak kecil, orang yang
sakit-sakitan, dan orang lanjut usia yang sudah tidak mampu lagi bekerja,
apakah mereka tidak berhak untuk mencukupi kebutuhan hidupnya? Naaaaaah, di
sini ini kelebihan dari sistem kepemilikan alat produksi secara kolektif.
Karena alat produksi dimiliki secara kolektif, maka tanggung jawab sosial
(menafkahi anak-anak, orang sakit-sakitan, orang lanjut usia) adalah tanggung
jawab secara kolektif. Setiap kelas pekerja memiliki kewajiban memotong gajinya
sekian persen (sesuai dengan kesepakatan secara kolektif) untuk menghidupi
orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk bekerja karena belum cukup
usia, lumpuh, sakit-sakitan atau lanjut usia.
Sudah tentu dalam masa transisi dari sosialisme menuju
komunisme, masyarakat (kelas pekerja) masih membutuhkan negara untuk meneruskan
revolusi sosial di tataran dunia, maka pejabat-pejabat yang mengurusi negara
harus digaji tidak lebih dari gaji seorang buruh. Kalau dia merasa masih kurang
dengan gajinya tersebut, ga usah jadi pejabat jadi buruh aja (“begitu aja koq
repot,” kata mendiang Gus Dur).
Akhirnya sistem yang memanusiakan manusia, sistem yang
mengharamkan alat produksi dimiliki secara pribadi (individu) pada gilirannya
pasti akan membentuk watak: “hidup yang bermakna adalah ketika dihati kita ada
keperdulian terhadap sesama.”
Yogyakarta, Selasa 18 Juni 2013
*) Penulis
tinggal di Yogyakarta.
This
Post Has 4 Comments
1.
Ismantoro Dwi Yuwono

Untuk memahami
akar korupsi memang harus dipelajari pemikiran Marxis secara komprehensif
2.
Wiji Tukul

KORUPSI TIDAK
AKAN MATI JIKA KAPITALISME TIDAK MATI
o
Ismantoro Dwi Yuwono

Maka oleh
karena itulah, untuk menyapu bersih penyakit korupsi harus ada kondisi yang
kondusif, yakni, terbangunnya masyarakat tanpa kelas di seluruh dunia… dan ini
harus diperjuangkan melalui gerakan revolusioner kiri-komunis secara militan,
tanpa kenal menyerah atau loyo di tengah jalan…
3.
Ismantoro Dwi Yuwono

KEPENTINGAN
KAPITALIS-IMPERIALISME TERHADAP KORUPSI DI TINGKAT NASIONAL
(artikel ini
ditulis oleh Isman pada 4 Juni 2012)–disisipkan untuk melengkapi artikel di
atas–
Selama ini
orang menyoroti korupsi dari berbagai sudut pandang. Ada yang menyorotinya dari
sudut pandang bobroknya moral, agama, hukum, kebudayaan, dan lain sebagainya….
Tapi, sepanjang pengamatanku, belum ada yang menyorotinya dari sudut pandang
Marxisme. Nah, untuk itulah dalam kesempatan ini aku ingin mengisi kekosongan
itu dan sebagai pengisi kesempatanku tentang apa yang aku pikirkan belakangan
ini.
Berangkat dari
ulasanku tentang korupsi dalam kacamata Marxisme ini dapatlah ditarik sebentuk
garis pemahaman bahwa proyek pengganyangan terhadap korupsi bukan saja proyek
dari rakyat Indonesia yang menginginkan para koruptor itu dibersihkan, tetapi
juga proyek dari para imperialis yang beroperasi di Indonesia. Dengan demikian,
akan sangat lucu apabila gerakan anti korupsi ini tidak dibarengi dengan
gerakan mengusir para imperialis-imperialis yang tengah beroperasi di
Indonesia.
Mereka itu,
para imperialis itu, kata Soekarno adalah tidak lebih dari sosok Rahwana
Dasmuka Bermulut Sepuluh dimana kelakuannya ibarat ular naga nyai blorong, mulutnya
dengan rakus mencari makan di Indonesia tetapi perutnya ada di luar negeri.
Dalam literatur
Marxisme dikenal istilah AKUMULASI PRIMITIF (dalam bahasa David Harvey di sebut
dengan AKUMULASI MELALUI PENJARAHAN). Apa itu akumulasi primitif? Secara sederhana
akumulasi primitif itu memiliki pengertian PROSES PEMISAHAN PEKERJA DENGAN ALAT
PRODUKSINYA. Itu pengertian sederhananya, tetapi dalam pengertian yang luas,
akumulasi primitif, menurut David Harvey, menjelma dalam bentuk-bentuk
privatisasi, proses hegemoni dan penciptaan ruang.
Mari kita ulas
tentang penciptaan ruang dalam tradisi kapitalisme: Penciptaan ruang yang
dimaksud di sini adalah aktivitas para kapitalisme mencari tempat-tempat yang
strategis untuk melakukan penetrasi modalnya dan kemudian melakukan akumulasi
kapital (penumpukan keuntungan). Munculnya berbagai kota-kota di negara, dalam
perspektif Marxisme, sebenarnya ulah dari para pemilik modal besar
(kapitalisme) dalam menciptakan ruang demi untuk menjalankan bisnis-nya yang
bercorak kapital.
Dalam hal
menciptakan ruang (akumulasi primitif) demi untuk akumulasi kapital, para
kapitalis tidak saja mendorong terbangunnya berbagai kota-kota di suatu negara,
tetapi juga para kapitalis itu juga berusaha untuk mendorong terciptanya
ruang-ruang abstrak dalam bentuk prilaku manusia-manusia yang memegang jabatan
di suatu negara. Bentuk konkrit dari penciptaan ruang abstrak tersebut adalah
mendorong para pejabat atau para pemimpin disuatu negara untuk menumbuh
kembangkan penyakit korup atau rakus akan kekayaan materiil.
Pertanyaannya
adalah: Mengapa para kapitalis itu (kapitalis yang aku maksud di sini adalah
kapitalis-multinasional/imperialis) mendorong agar para pejabat itu menumbuh
kembangkan penyakit korup? Jawabannya sederhana: Bahwa dengan dimilikinya
penyakit korup tersebut, maka para kapitalis tersebut dapat dengan mudah
membeli mereka. Bukti yang paling nyata yang terjadi di Indonesia adalah, telah
terbelinya pejabat-pejabat Indonesia oleh asing yang ditandai dengan
menggilanya produk-produk hukum (kebijakan pemerintah) yang terlahir atas dasar
seruan atau perintah dari asing, undang-undang dasar 1945 amandemen misalnya,
atau undang-undang nomor 22 Tahun 2002 tentang Minyak dan Gas Bumi misalnya,
atau undang-undang tentang ketenagakerjaan yang melegalkan tentang kerja
kontrak (outsourching).
Jadi, MENTAL
KORUP dari para pejabat tersebut sebenarnya sangat dibutuhkan oleh para
kapitalis dalam tataran akumulasi primitif atau akumulasi melalui penjarahan.
Mungkin
kawan-kawan ada yang bertanya, bukankah kelakuan korup tersebut akan merugikan
para kapitalis dalam mengakumulasi kapitalnya (penumpukan keuntungan)? Itu
benar sekali kawan, tapi dalam tataran ketika akumulasi primitif itu telah
tercipta.
Perlu selalu
diingat watak dari kapitalisme adalah PENGORBANAN SEDIKIT, DEMI UNTUK MENGERUK
KEUNTUNGAN SEBESAR-BESARNYA! Pada tataran penciptaan ruang abstrak, para
kapitalis itu telah berhitung untung dan ruginya mendorong para pejabat-pejabat
negara itu memiliki sifat rakus atau korup. Mereka tentunya berpikir,
pengeluaran kita para kapitalis luar biasa sangat kecil untuk mendorong
tumbuhnya sifat rakus, ketimbang keuntungan yang kita peroleh dengan mengeruk
kekayaan di suatu negeri, di Indonesia salah satunya.
Yang
menggeletik adalah kenapa para korporasi asing yang tahu betul bahwa Soeharto
dan kaki tangannya itu adalah para pejabat KORUP bersedia untuk menyuntikan
dana segarnya melalui IMF? Sudah jelas apabila dipakai analisis Marxisme dalam
landscap penciptaan ruang, justru prilaku korup tersebutlah yang akan
memberikan peluang besar bagi para kapitalis untuk melakukan penetrasi modalnya
di Indonesia demi untuk kepentingan akumulasi modalnya lebih lanjut.
Naaaaah, ketika
ruang-ruang tersebut telah tercipta, dan kapitalis-kapitalis multinasional itu
telah mapan dalam berbisnis di suatu negeri (baca: Indonesia) pada saat itulah
para kapitalis ini menyerukan: GANYANG PARA KORUPTOR! GANTUNG PARA KORUPTOR!
BANTAI PARA KORUPTOR! Seruan ini jelas, dilakukan oleh para kapitalis tersebut
untuk mengamankan aktivitasnya dalam mengakumulasi modal-nya. TERKUTUKLAH PARA
KAPITALIS ITU!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar