Selasa, 23 Juli 2013

EMAKKU SAYANG EMAKKU MALANG

Emakku Sayang, Emakku Malang
       ( dari catatan panjang Adi Suwardi )
              penulis:  Astaman Hasibuan


   Pengantar:                                                          


Kisah ini kudapat dari catatan-catatan panjang seorang sahabatku, Adi Suwardi; yang berharap kisah ini bisa dibaca anak cucunya. Agar mereka tahu, bahwa bapaknya, kakeknya, kakek buyutnya, pernah mengalami penggalan priode sejarah yang hitam, penuh jelaga. Jelaga kebencian.
Manusia dijadikan buruan, dibunuh, dirampas hartanya, dan di perkosa. Tak ada harga. Ditangkapi, dibui belasan tahun, dan terus dikucilkan, dilaknatkan. Anehnya semua ini dilakukan oleh bangsanya sendiri, atas nama Pancasila. Falsafah bangsa dinegeri ini.
Seakan-akan perburuan, pembantaian, perampasan, pemerkosaan pengucilan dan pelaknatan itu, adalah atas ridho dan amanah yang Maha Kuasa. Itu sebabnya laksaan anak negeri ini dieksekusi mati, dibui belasan tahun, tanpa pengadilan.
Ketika kutanyakan apakah  dia menyimpan dendam. Dijawabnya, kalau dia bilang, “tidak”. Dia berbohong. Jawabannya, ada di penggalan sajak HR Bandaharo yang bertajuk “Anak Rakyat”; “Hatinya pernah luka-luka, dan luka-luka itu sembuh sendiri. Hatinya pernah mendendam, dan dendam itu pun kering kehabisan isi”.

Penulis: Astaman Hasibuan    





Emakku Sayang, Emakku Malang
( dari catatan panjang Adi Suwardi )
penulis:  Astaman Hasibuan


NAMA nya Wardik begitu emaknya, memanggil. Baru sekitar beberapa bulan, menjadi penghuni salah satu barak, dari 20 barak yang ada disini. Belum setahun, seperti para penghuni lain yang sudah bertahun-tahun. Barak yang dikelilingi tembok tinggi itu, namanya TPU C. Menurut mereka kepanjangan dari Tempat Penampungan Umum C.
Padahal ditilik dari semua penghuninya hanya terdapat, satu kasta. Kasta “paria”. Kasta yang paling rendah yang tak kan mungkin mendapatkan kesamaan dengan kasta yang lain. Bahkan dengan bayangannya pun, kasta lain tak ada yang mau berbagi.
Entah dimana umumnya, dia tak pernah mengerti. Bukankah kalau diperuntukkan untuk umum, hunian itu, seharusnya dihuni semua kasta. Apalagi kalau ditanya apa itu C nya. Bagi dia itu membingungkan. Katanya, itu adalah petunjuk bahwa para penghuninya. Tahanan yang ada di barak-barak itu,  digolongkan kedalam golongan C. Bukankah ini membingungkan. Umum dan penggolongan. Satu kasta lagi. Hunian kasta paria. Cibiranpun berdatangan sampai pada cibiran yang menyakitkan. Cibiran disandangkan bagi orang-orang yang dinistakan, para petinggi negerinya sendiri. Sedang dia merasa tak pernah berbuat nista.
Konon pula lagi. Ada tuduhan, bahwa orang-orang yang diasingkan seperti dia, adalah orang-orang yang berbuat atau setidaknya bermuatan niat didalam sanuhbarinya akan melakukan makar terhadap pemerintahan yang syah.
Untuk itu kata para petinggi dan pengikut-pengikutnya di negeri ini. Orang-orang seperti dia harus dikucilkan, diasingkan. Dilarang bicara, dilarang segalanya, bahkan ada yang dilarang hidup. Semua serba dilarang didepan umum.
Ditempat itu ada yang disebut portir, tempat dimana beberapa orang tahanan yang ditunjuk pemegang kekuasaan. Penguasa hunian yang di pariakan. Penguasa yang menentukan segala peraturan bagi semua penghuni kurungan itu. Disana ada pengeras suara yang digunakan untuk menyampaikan maklumat bagi semua penghuninya. Juga disana ada lonceng yang berdentang, kalau tidak menunjukan waktu akan diiringi pengumuman sebuah maklumat.
Hari itupun datang juga, hari dia memulai menjalani hidupnya yang berbeda dari sebelumnya. Penguasa, dan juga para tahanan ikut-ikutan menyepakati menyebutnya; di“mandah”kan. Padahal yang sebenarnya di jadikan tenaga kerja paksa.
Dari portir terdengar suara lonceng berdentang sepuluh kali, kesibukan di TPU C KM 7, jalan Binjai itu seakan terhenti. Para tahanan, pengukir kayu, sampai pemahat patung, pelukis kre, sampai pelukis diatas kanvas, penganyam plastik, sampai perangkai bunga, serentak menghentikan pekerjaannya. Semua keluar dari baraknya masing-masing. Ada perintah yang akan diumumkan penguasa hunian ini. Dan perintah itu harus didengarkan. Maklumat penguasa adalah hukum.
Melalui pengeras suara satu persatu nama-nama dipanggil termasuk namanya. Dan yang dipanggil namanya, berkumpul didepan portir. Seorang pengawal berpangkat kopda, kopral dua Corp Polisi Militer, CPM, memerintahkan, membentuk barisan berbanjar. 60 jumlahnya. Komandan TPU, seorang perwira berpangkat letnan satu CPM berdiri didepan barisan para tahanan, menyampaikan perintah: ”Saudara-saudara, setelah bubar nanti siapkan barang-barang masing-masing, karena saudara-saudara akan di”mandah”kan ke perkebunan Blangkahan. Saudara-saudara yang diberangkatkan ini, dianggap sudah memenuhi persyaratan untuk dipekerjakan diluar. Dan kami yakin kalau saudara-saudara disana, tidak akan melarikan diri, karena siapa yang melarikan diri, akan rugi sendiri. Sebab saudara-saudara, tidak lama lagi akan dibebaskan. Paham”.  Para tahanan yang ada dibarisan serentak menyahut. Tak ada pilihan jawaban yang lain, selain “paham”. “Nah saudara-saudara, siapkan barang-barang kalian dan ingat, melarikan diri berarti rugi”. Komandan TPU, letnan satu Anwar B itu, balik kanan. Pergi meninggalkan barisan, digantikan pengawal yang berpangkat kopda tadi langsung memberi aba-aba: Bubar jalan. Kembali ke-barak masing-masing.
Dia tak tahu dimana sebenarnya perkebunan Blangkahan itu. Dan apa yang harus dikerjakan disana. Apakah membuka hutan, bertanam sawit, bertanam karet atau membersihkan parit-parit yang ada diperkebunan itu. Buat apa harus difikirkan, buat apa harus menduga-duga. Nantilah, sesampai disana, kan ketahuan.
Barang-barang yang menjadi miliknya selama menjadi orang kurungan yang satu kekurungan yang lain, cuma sedikit. Tak ada kesulitan, dan tak lama dia sudah siapkan semua, sampai-sampai tak ada yang tertinggal.
Ada juga yang ikut dibarisan tadi mendatangi portir, mencoba membatalkan diikutkan. Mereka punya alasan masing-masing. Karenanya berkuranglah jumlah dari 60 yang namanya disebutkan tadi.Entah berapa jadinya tak menjadi hal yang harus dihitungnya. Dia tak punya alasan untuk tidak ikut. Itu sebabnya dia harus ikut. Dari mereka yang tidak diikutkan itu, dia mengetahui mereka akan diberangkatkan pada pukul 18.00 WIB nanti.

Mbak San, begitu dia memanggil kakaknya ini, datang. Dia lagi duduk dibangku panjang  yang dibawah pohon buah roda didepan baraknya. Barak XVII. Duduk bersandar menunggu waktu keberangkatan. Mbak San nya, adalah kakaknya yang tertua, penghuni barak XIII. Ditangkap petugas Korem 021 Pantai Timur, dibulan Agustus 1968. Mbak San nya lebih dulu menjadi penghuni di TPU C itu.
Selain kakaknya yang tertua. Mbak Yus nya, kakaknya nomor dua, dengan suaminya juga  lebih dulu menjadi penghuni TPU ini. Mbak Yus nya di barak XIV. Sedangkan mas Bandi, suami mbak Yus nya di barak XVII se-barak dengan dia. Mas Bandi, iparnya itu dipekerjakan di Teperda, Team Pemeriksa Daerah, sebagai juru ketik. Mereka berdua suami isteri ditangkap di tahun 1967, waktu mereka sedang melangsungkan hari perkawinannya. Dari atas pelaminan mereka digelandang petugas Sudam I, dan langsung dibawa ke jalan Gandhi di bekas gedung sekolah, yang disulap menjadi tempat tahanan. Kurungan. Seperti mbak Yusnya, dia, mbak San nya juga pernah menjadi penghuni kurungan itu.
Mbak San nya duduk disebelahnya. Matanya berkaca-kaca. Ketika mata mereka beradu mbak San nya menunduk. “Kita berpisah lagi, dik. Rasanya, baru saja kita berkumpul. Entah kapan lagi kita bisa jumpa”. Dia hampir ikut larut. Tidak, dia harus lebih kuat, dia anak laki-laki. “Kita tak tahu keadaan ditempat barumu itu, kita juga tak tahu sampai kapan kita didalam tahanan ini. Jaga kesehatanmu. Kalau kita panjang umur, kita pasti jumpa lagi”. Mbak San nya tetap menunduk.  “Jangan menangis, mbak. Yang sudah kita lalui lebih berat dari sekarang ini. Mbak juga jaga kesehatan, kita harus bisa bertahan hidup”. Butiran air mata mbak San nya, sudah mengalir dipipi. “Mbak kalau duluan bebas, salamku buat emak. Katakan aku sehat-sehat. Jangan mbak ceritakan yang membuat dia sedih. Aku tak percaya yang dikatakan mereka. Mereka semua sama-sama penipu. Omongan mereka semuanya bohong. Perjalanan ini masih panjang, kita harus bisa bertahan hidup”.
Daun pohon buah roda itu bergoyang diterpa angin, sinar matahari tak mampu menembus lebat daunnya. “Dik, mbak ambilkan nasi, kau kan belum makan”. Dia mengiakan, dia memang sudah lapar. Perempuan itu bangkit berdiri, melangkah pergi ke baraknya. Tak lama, kakaknya yang tertua ini datang lagi membawa rantang. Dibukanya rantang, ada nasi jagung, dirantang paling bawah, diatasnya tumis kacang panjang, paling atas ikan asin yang digoreng. Sayang mbak nya. tak ada duanya.   

TERAKHIR dia jumpa dengan mbak San nya dua tahun yang lalu, sama-sama diperiksa di Seksi I Korem 021 Pantai Timur, di Siantar. Dia dan mbak Sannya ditahan terpisah. Mbak San nya ditahan di markas Korem, sedangkan dia di penjara jalan Sutomo. Sudah berbulan-bulan Wardik menjadi penghuninya. Sangat kurus. Kurus, hingga lebih besar lututnya dari pahanya. Wardik  diperiksa atas tuduhan akan melakukan makar, mengumpulkan dan menyembunyikan senjata dengan jumlah yang banyak. Sementara menurut mereka, juru periksa itu, hanya mbak San nya lah yang tahu dimana dia sembunyikan.
Ketika Wardik diambil petugas dari penjara, yang terbayang dibenaknya hanyalah, penyiksaan, hingga kematian. Dia tak ingat lagi sudah berapa kali diperiksa. Pertanyaannya yang itu-itu juga. Pertanyaan yang harus dijawab, memang dia tidak tahu. Jawabnya pun memang tidak tahu. Sengatan-sengatan arus listrik, tiga empat kali, lain lagi libasan rotan sebesar ibu jari kaki, rata  keseluruh badannya. Ekor ikan pari, sengaja didatangkan dari Kodim Tanjung Balai, ikut membuat guratan-guratan panjang warna merah dipunggungnya. Setiap diperiksa akhirnya akan berhenti, bila dia sudah tak sadarkan diri.
Waktu masuk keruangan seksi I itu, terlihat mbak San nya tergeletak dilantai. Sekitar matanya biru-lebam, darah mengalir dari mulutnya. Rambutnya yang panjang, digunting habis. Entah apa yang salah dalam pengelihatan mereka dengan rambut panjang seorang perempuan.
Dia diperintahkan duduk, borgol ditangannya dilepas. Pembantu Letnan Satu, Meta Ginting duduk berseberangan. Berhadap-hadapan dengannya, dibatasi meja kerja juru periksa itu. Setiap diperiksa dia teringat masa kanak-kanaknya, prihal yang menakutkan tentang setan yang jahat. Disini, ditempat ini, setan itu bertengger utuh didepannya. Setan memang bertengger. Karena menurut cerita yang didengarnya setan itu bisa terbang, tentu punya sayap seperti burung. Burung, bila hinggap diranting kayu, bukankah itu bertengger namanya.
Sudah lebih dua puluh kali diperiksa, ditanyai.Yang benarnya, disiksa. Disiksa setan berpangkat Peltu itu.
“Bagaimana masih tidak mau mengaku. Lihat kakakmu, apa kau tak kasihan melihatnya. Itu semua terserah kau”. Pembantu Letnan Satu itu memulai. Diam sebentar, lagaknya berfikir. Setan perlu berfikir. Sekarang, Wardik yang benar-benar berfikir. Apa serdadu ini tahu, apa itu rasa kasihan. “Kalau kau mengaku, kau, kakakmu akan dibebaskan. Dan kau akan mendapat bintang penghargaan dari Negara. Sebab kau sudah membongkar jaringan pemberontakan”. Lagi Wardik berfikir. Apa menurut juru periksa yang berbaju hijau ini, dia dungu.  Uh, setan pembohong. Setan memang pembohong. Mana bisa dipercaya. Dia memaki dalam hati. “Tapi, kalau kau tetap keras kepala, akan tahu sendiri akibatnya. Sekarang jelaskan dimana kau sembunyikan senjata-senjata itu?”. Suara Pembantu Letnan Satu itu, pelan, tapi sorot matanya mengancam. Mata setan menjijikkan. “Saya tidak tahu, pak. Dan saya, tak ada menyimpan senjata”, jawab Wardik. Puluhan kali pertanyaan seperti itu, puluhan kali jawabanya sama. “Semua kau tidak tahu, jadi apa yang kau tahu, bangsat”. Dan, tentara itu berdiri, menghajar mukanya beberapa kali. Kepalan tangan yang sebesar kelapa puyuh menghujani dada dan perutnya. Dia  terjatuh dari tempat duduk. Seperti orang kesurupan, kesetanan, juru periksa itu menendang perutnya. Dia menggeliat menahan sakit. Mencoba berdiri, tapi tangannya ditarik. Lagi tendangan mendarat kepunggungnya. Wardik kembali tersungkur, dua meter. Hampir didekat kakaknya. Darah mengalir dari hidung dan mulut. Pandangannya mulai kabur. Samar terlihat mbak San nya mencoba meraih tangannya.


UDARA dingin malam, menerobos sel lewat terali besi tempatnya tergeletak. Entah berapa lama dia pingsan. Seluruh badannya, terasa sakit sekali. Di cobanya bangun. Tak bisa. Tertidur atau dia pingsan. Wardik terbangun, siuman, ketika pintu selnya terbuka. Dua orang kawannya sepenjara memapahnya keluar sel. Keduanya mendapat perintah membersihkan badan Wardik.
Disudut blok ada bak yang airnya mengalir dari leding. Dia dibawa ke bak itu. Dia haus, minta minum. Ponidi, salah seorang kawan yang memapahnya keluar sel, mengambil tempurung kelapa dipinggir bak. Mengisinya dengan air bak. Satu, dua, tiga tempurung sudah air bak itu lewat ditenggorokannya. Tapi hausnya belum mau pergi. “Sudah dulu, dik”, tegur Ponidi. sekalian membersihkan darah kering yang lengket di rambutnya. Dia dipapah lagi ke sel. Bersih sudah darah-darah yang mengering dimuka, dimulut, hidung dan keningnya. Terasa lapar, tapi tak ada yang bisa dimakan. Sendiri memikirkan kakaknya, mbak San nya. Entah bagaimana.
Sebulan kemudian dia mendengar, kakaknya dibawa ke Medan. Terakhir baru dia tahu. Waktu diperiksa bersamanya, mbak San nya dua hari tak sadarkan diri.
Dua bulan kemudian dia diperiksa lagi. Wajah-wajah setan itu kembali dihadapinya. Uh, setan yang berpangkat Letnan Satu itu, menampakkan senyum setannya. VP Situmeang, atasan dari setan yang menyiksanya dua bulan yang lewat. Dikepala setan-setan ini pasti sudah siap menghabisinya. Lagi, pertanyaan yang itu-itu juga. Rasanya dia sudah tak sanggup lagi. Minta agar dia dibunuh saja, ditembak mati, dihabisi. Setan-setan berbaju hijau itu, malah mentertawakannya. Jawabannya yang “tidak” akan serentak bersamaan dengan pukulan rotan se ibu jari kaki itu mendarat dibahu dan kakinya. Atau sengatan arus listrik, membuat Wardik menjerit. Tak lagi meminta ampun. Tak lagi merasakan apa-apa.
Wardik yang duduk dibangku, diperintahkan agar meluruskan kakinya diatas bangku yang lain, yang  ada didepannya. Setan berpangkat Peltu itu memakai sepatu larsa, memijak kakinya. Kreepak, ada suara dari tulang pahanya. Wardik menjerit sekeras-kerasnya. “Allahuakbar”. Cuma itu yang keluar dari mulutnya, akhirnya dia tak sadarkan diri. 
DIA mendengar suara seorang perempuan. “Dia sudah sadar, Dokter”. Tak salah dia dirumah sakit. Kaki tergantung diatas rusbang. “Abang dibawa kemari, dalam keadaan pingsan”, salah seorang dari perawat itu menerangkan. Namanya Sundari, disebelah kanan seragam putihnya, tepat didadanya terbaca begitu. Ada temannya yang lain, Kartini Sebayang. Kartini juga perawat. Dokter itu bermarga Siagian, berseragam tentara, pangkatnya mayor. Sudah pasti, saat ini Wardik menjadi penghuni Rumah Sakit Tentara.
Di rumah sakit ini Wardik diperlakukan, seperti pasien-pasien lainnya. Meski dokter dan perawat-perawat itu tahu, bahwa dia adalah tahanan Korem. Malah para perawat terkadang melebihkan jatah makan untuknya. Perawat-perawat itu, Ginem, Kartini br Sebayang, Kartini br Sinaga, Malijarwati dan Sundari. Doanya, mudah-mudahan mereka panjang umur rendah rezeki.
Enam bulan kemudian dia telah dinyatakan sembuh. Wardik mulai melatih kakinya berjalan. Kaki kanannya masih terasa nyeri. “Baiknya memang pakai tongkat dulu”. Perawat Malijarwati, bermurah hati memberinya tongkat bekas gagang sapu. Malijarwati siswa perawat, asalnya dari Belawan, dia anak Belawan, lahir di Belawan. Dicobanya menggunakan tongkat itu, ternyata terasa nyaman.
Tak ada lagi rasa nyeri dikaki kanan. Tulang pahanya sudah pulih. Begitu kata Malijarwati, ketika dia membuka gips itu di kaki Wardik. Gips yang enam bulan ini menyelamatkan kaki kanannya. Sekali Malijarwati datang, Wardik lagi duduk ditepi rusbang, letih melatih kaki berjalan. Tak sengaja dipanggilnya Malijarwati, Nawang Wulan. Tentu saja Malijarwati heran mengapa dipanggil dengan nama itu. Nawang Wulan.
“Ada tujuh bidadari yang turun kebumi, begitu  legenda rakyat di Pulau Jawa. Legenda “Jaka Tarup”. Diantara bidadari itu ada yang  bernama Nawang Wulan. Suster Malijarwati lah, Nawang Wulan itu. Kalian begitu baik padaku, baik seperti bidadari”. Itulah jawabannya ketika Malijarwati menanyakan mengapa  dirinya dipanggil dengan nama, Nawang Wulan.
“Ah, abang ini bisa saja. Kami ini berusaha  menjadi perawat yang baik. Kerja kami, adalah kerja kemanusiaan. Kalau bisa, kami harus menyelamatkan nyawa manusia. Waktu abang dibawa kemari, abang seperti tengkorak hidup. Maaf, ya bang.  Mulanya saya tak yakin, kalau abang bisa bertahan. Kiranya Tuhan masih melindungi abang”. “Juga berkat para bidadari yang baik hati. Kalian”, Wardik menyambungnya.
“Kami fikir dulu abang, sudah tua”. Ginem perawat dari Sidamanik itu, rupanya mendengarkan ujung bincang-bincang keduanya. Langsung ikutan. Ditangannya ceret almunium. Pasti berisi susu. “Eeee, tahunya masih muda”. Tawa  ketiganya, lepas. “Sebenarnya abang umur berapa?”. Tanya perawat Ginem, memilih duduk dibangku, disamping rusbang. “Ini tanggal berapa?” dia menanyanya balik. “Tanggal 15, hari Sabtu, bulan Februari, 1969”, jawab perawat Ginem, melihat jam tangannya.  “Kalau begitu umurku sudah 20 tahun”.
Emaknya bilang dia lahir tanggal 10, bulan Februari, 1949. Minggu wage.
“Sebenarnya abang ini dari mana, dan apa kesalahan abang hingga sampai begini?”. Sudah diduganya pasti akan ada pertanyaan itu. Tapi seenaknya  saja dijawab berseloroh. “Suster Ginem apa mau jadi juru periksa. Sudah bosan jadi perawat”. Wardik melihat keluar kamar. “Cerita dong, bang, biar kami tahu tentang abang”, desak mereka berdua serentak. “Tapi kalau itu rahasia, tak apa, bang. Yang itu jangan diceritakan”. Perawat Malijarwati seolah-olah mengerti.
“Apakah bersalah bila seseorang itu berusaha menyelamatkan jiwa orang lain? Tidakkan? Tadi suster Malijar membicarakan tentang kemanusiaan, tentang menyelamatkan nyawa manusia. Begitu menyentuh, begitu agung. Tetapi aku menyelamatkan nyawa manusia yang hampir dihabisi, malah ditangkap, dimasukkan ke kurungan. Dijadikan penghuni hotel prodeo, dibui, dan disiksa, sampai-sampai membuat aku berada disini. Dan kalian rawat”. Dia menarik nafas. Ketiganya terdiam sebentar. “Lho, mengapa bisa begitu, bang?” Terlihat betul, bahwa perawat Malijar keheranan. Begitu juga perawat Ginem, ikut mengangguk, seakan dia juga akan menanyakan itu. “Itulah yang aku sendiri tak mengerti”. Jawabnya tak ada beban.
“Sebenarnya kami ingin tahu banyak bang, tentang abang. Tapi, sayangnya kami masih dinas. Begini saja, bang. Besok kami dinas malam, jadi besok siang kami datang. Tapi abang harus janji. Janji cerita tentang mengapa abang ditangkap, dimasukkan ke kurungan, disiksa, dan sampai disini. Seperti cerita abang tadi”. Dia janji besok, dia akan ceritakan semuanya pada mereka. Lagi pula besok hari Minggu. Rumah sakit biasanya pagi agak lengang dari kesibukan. Kedua perawat itu mohon diri, hilang dibalik pintu. Dua insan yang baik hati. Itu kata hati Wardik.

REBAHAN badan dirusbang, fikirannya menerawang kepenjara. Mungkin besok atau lusa akan dikembalikan kesana. Akan menjumpai orang-orang yang seperti tengkorak hidup. Manusia yang dianggap bukan manusia lagi. Manusia yang kehilangan segalanya, juga akal sehatnya. Jantung tak pernah berdetak normal, menunggu namanya dipanggil ke markas Korem. Diperiksa, yang sejatinya disiksa sepuas mereka para setan-setan berbaju hijau itu. Siapa saja yang dipanggil ke markas Korem, kembalinya ke penjara sudah dapat dipastikan akan dipapah  atau digotong . Singo, Minto, Darto mati setelah dibawa ketempat penyiksaan. Dan entah berapa banyak lagi mati kelaparan. Dan penjara terus dijejali dengan bertambahnya orang yang terus ditangkapi.
Dia ingat drama, “Sinandang” cerita rakyat Asahan, yang pernah disaksikannya di Gedung Nasional Rantau Prapat. Dimainkan para seniman-seniman rakyat, Lekra. “Sinandang” tulisan Emha, bercerita tentang, raja yang lalim. Sinandang, para nelayan, dan Ulong Jantan ayah Sinandang, bertekad padu melakukan perlawanan: “Raja alim raja disembah, raja lalim raja dibantah”. Tekad itulah yang menyebabkan raja murka, semurka-murkanya serta memaklumatkan dan mengumumkannya sendiri dibalairung istana. Perintahnya pada para hulubalang kerajaan: “Tangkap Sinandang, juga ayahnya Ulong Jantan dan semua nelayan, penjarakan!”. Hulubalang yang menghadap raja di balairung istana menghaturkan sembahnya: “Penjara sudah penuh, tuanku”. Mendengar laporan para hulubalangnya, raja menurunkan perintah lanjutan: “Bangun penjara baru”.
Sekarang dialah salah seorang penghuni penjara, sang raja yang lalim.
Di penjara itu, sudah sembilan bulan dia tak merasakan manisnya gula. Minum hanya air panas tanpa daun teh atau bubuk kopi, apalagi gula. Yang penting perutnya terasa hangat. Ada dua kaleng bekas susu bubuk kemasan 1 kilogram yang disimpannya. Satu kaleng bekas susu kental manis, dan sendok dari tempurung yang dibuatnya sendiri. Paku lima inci, yang didapatnya dibawah pagar pembatas blok.
Sudah lama dikumpulkannya plastik-plastik bekas bungkus kiriman, para keluarga yang datang berkunjung. Plastik yang dikumpulkannya cukup banyak. Orang-orang yang sama dengan dia se bui itu, heran. Menanyakan untuk apanya plastik-plastik itu dikumpulkan. Selalu dijawabnya hanya dengan senyum. Mereka mengira Wardik sudah gila. Setidaknya mulai. Atau tanda-tanda, akan. 
Malam itu hujan turun dengan lebat. Seperti biasa pintu blok pembatas antara tahanan Korem dengan tahanan militer, dikunci, setelah usai solat Isa berjemaah. Dia masuk kekamar mandi, membawa tiga kaleng susu punyanya. Juga plastik-plastik yang sudah digulung kecil-kecil. Dibakarnya plastik-plastik tadi, tetesannya ditampung dikaleng, yang sudah dilobanginya tadi siang dengan paku. Api pun menyala dikompor barunya. Ditampangkannya kaleng yang satu lagi, yang berisi air bak. Bila apinya sudah mulai mengecil, ditambahinya plastik. Paku digunakan juga untuk mencoker-coker api. Kira-kira duapuluh menit mendidihlah air yang direbus dengan kompor canggih miliknya.
Kawan-kawan yang punya simpanan gula, bubuk kopi atau teh, saling berbagi dengan Wardik. Sejak itu dia minum kopi manis setiap malam.

DIA masih di Rumkit. Senyum sendiri. Untung tak ada yang memperhatikan. Baru  saja istirahat, melatih kakinya disepanjang lorong rumah sakit. Tongkat bekas gagang sapu, pemberian perawat Malijarwati, kemana dia melangkah, tak lekang dari tangannya. Pagi itu langit diselubungi kabut putih. Para siswa perawat yang lalu lalang bertugas, berpapasan dengannya mengangguk. Dibalasnya, juga dengan anggukan dan ucapan selamat pagi.
Dari ujung lorong terlihat perawat Ginem menuju arahnya. Perawat itu menjinjing bungkusan. Pagi ini perawat Ginem, tidak mengenakan seragam putihnya. Disapanya dengan dengan ucapan selamat pagi. Perawat itu membalas, tersenyum. Senyum bidadari, terucap dihatinya. Ginem bilang, mereka mau menagih janji. Ceritanya. Cerita tentang dia. Cerita anak laki-laki orang kurungan, orang yang berasal jauh dari kota tempat bangunan Rumah Sakit ini’ “Ini saya belikan lontong untuk sarapan, abang. Saya taruh dikamar. Sebentar lagi kami datang”. Ginem masuk kekamar dan keluar. Pamit.
Kamar-kamar di sal C ini dulunya di khususkan untuk orang-orang sakit kusta. Ukurannya tiga kali empat meter. Isinya; satu rusbang, satu lemari kecil dan dua bangku. Sudah 6 bulan menjadi huniannya dengan cuma-cuma. Gratis.
Selain perawat yang baik-baik itu, ada sahabat kecilnya, Supriadi. Rumah sahabat kecilnya itu, tak jauh dari komplek Rumkit ini. Selepas sekolah, Supriadi berjualan utri keliling rumah sakit dan tiap sore datang menemaninya. Di hari Minggu atau hari libur sekolah, sahabatnya ini dengan rajin berjualan sejak pagi hari. Usianya dekat duabelas tahun. Tahun depan lima bulan lagi dia akan tammatkan Sekolah Dasar nya. Mudah-mudahan nilai ujian akhirnya baik, agar bisa melanjutkannya ke Sekolah Menengah Pertama Negeri. Wardik bilang, dia ikut mendoakannya. Siapa yang tak mengagumi anak ini. Membantu beban orangtuanya patut mendapat acungan jempol.
Perawat Malijar dan perawat Ginem datang menagih janji, Wardik. Membawa susu dibotol, menyilahkannya diminum, setelah perawat Malijar menuangkannya kegelas. “Biar lekas sehat”, katanya. Selain jatahnya. Setiap hari, dia juga dapat tambahan susu dari bidadari-bidadari ini. Sahabat kecilnya juga selalu membawa gula buatnya. Berat badannya naik menjadi 60 KG. Dia benar-benar merasa sehat, hanya nyeri dikaki kanannya masih agak mengganggu bila melangkah. Heran tinggi badannya juga bertambah. Tadinya 1,57 Meter, menjadi 1,63 Meter. Bertambah 6 CM. Kata perawat Ginem tinggi manusia masih bisa bertambah sampai usia 25 tahun.
Ini ceritanya pada bidadari-bidadari itu.
Memang tak semuanya diceritakannya. Sebab perawat Malijar bertanya, apa yang diperbuatnya tentang rasa kemanusiaan, tentang menyelamatkan nyawa seorang manusia. Yang diceritakannya hanya masalah disekitar itu. Ceritanya dimulai dari bagaimana dia menyembunyikan seorang pelarian tahanan Kodim, Komando Distrik Militer 0206 Labuhan Batu, pada 21 Maret, tahun 1967 . Muso Susilo. Tetangganya, kawan ayahnya. Dia memanggilnya cak Muso. Cak Muso nekad kabur dari tahanan, karena mendapat berita, bahwa dia akan di”ambil” dan dihabisi. Bagaimana Wardik tidak menyelamatkan cak Muso, dan menyembunyikannya. Cak Muso tetangga keluarga mereka, kawan ayahnya. Dia bersamaan dengan ayahnya ditangkap dan disekap di markas Kodim. Ayahnya, dan beberapa kawan-kawan ayahnya, 27 Februari 1966 sudah lebih dulu di”ambil” dan dihabisi. Mereka. Tentara itu, membawa ayahnya keluar dari tempat penyekapannya di markas Kodim, dibawa ke bekas gudang getah di Aek Tapa. Dari tempat itu, mereka habisi dipembantaian, mereka bunuh. Mengapa dia tidak menyelamatkan, kawan ayahnya, yang juga tetangga keluarga mereka. Dia tak bisa menyelamatkan hidup ayahnya, setidak-tidaknya menyelamatkan kawan ayahnya. Persembunyian cak Muso, hanya dia dan seorang kawanya yang tahu.
Semua sanak keluarga cak Muso beranggapan kalau cak Muso sudah mati. Kirim doa pun sudah dilakukan. Dari hari ke-Tujuh, Empatpuluh hari, Seratus hari, begitu tradisi didesanya. Dan setiap hajatan kirim doa, dia tetap diundang. Tujuh bulan cak Muso bertahan dipersembunyiannya, walau akhirnya cak Muso harus menyerahkan diri kembali.
Setelah itu terjadi lagi penangkapan-penangkapan. Kawannya yang mengetahui dimana persembunyian cak Muso dan kawan-kawan cak Muso yang  lain ditangkapi. Bulannya dia tak ingat, tapi sebelum bulan Mei, ditahun 1967. Seandainya waktu itu cak Muso tidak mereka sembunyikan, pastilah dia sudah tinggal nama.
Pada akhir bulan Mei 1967, Wardik ditangkap, disiksa, juga hampir mati. Dan hingga hari ini dia masih dijadikan penghuni penjara dan berada di rumah sakit itu. “Itulah hal yang nyata, tentang hati nurani kemanusiaan yang pernah aku lakukan. Bukankah aku juga menyelamatkan nyawa manusia?” Dia diam sesaat. memandangi kedua perawat itu seolah minta jawaban. Lalu diteruskannya. “Aku dibawa kemari seperti tengkorak hidup, begitu cerita kalian. Tulang pahaku patah. Kalian merawatku agar hidup. Kalian obati agar sehat. Mengapa yang hidup harus dibunuh. Besok atau lusa aku diambil lagi. Ke penjara lagi. Kemudian aku diperiksa lagi. Disiksa lagi. Dijejali dengan pertanyaan. Dipaksa mengakui yang tak pernah aku lakukan. Yang pernah aku lakukan tak pernah mereka tanyakan. Kadang-kadang aku lebih baik memilih mati dari pada disiksa terus menerus”. Sampai disitu ceritanya putus. Terdengar suara merdu Titiek Sandora dari radio pasien sebelah kamarnya.
“Aku sudah menepati janji, sekarang apa lagi. Dalam hati kalian, pasti terucap kata-kata, berupa kasihan. Tak apa, kalian sudah menyelamatkan hidupku. Telah membuat aku ingin bertahan hidup. Terimakasih dan terimakasih, tak ada yang bisa aku sampaikan lebih dari itu”. Sebelum mereka pamit, Malijar berpesan: “Kami tak tahu entah kapan abang dijemput  kembali ke penjara, tapi kalau abang bebas nanti, jangan lupa kami”. “Tentu Suster, kalian begitu baik, kalian bidadari, tak kan pernah aku lupa. Kalau ada kesempatan, pasti”. Kedua perawat itu berlalu keluar dari kamar. Dia pun ditinggal sendiri.
Tidak juga. Sahabat kecilnya sudah berdiri diambang pintu. Keranjang kue utri bergantung ditangan kanannya. Sahabat kecilnya mendengarkan dari luar kamar percakapan mereka tadi. “Om, kapan om kembali ke penjara?” tanyanya. Dijawabnya, mungkin besok mungkin juga lusa. “Bila om bebas, om akan kemana”, sahabat kecilnya bertanya lagi.  “Aku akan pulang ke desaku”. Jawabnya. Dikatakannya lagi pada sahabat kecilnya, bahwa emaknya sudah tua dan adik-adiknya masih kecil-kecil.

BESOKnya dia dijemput, kembali kepenjara, kembali lagi keneraka. Ada yang masih dia kenal. Kawan-kawannya yang menjadi penghuni lama. Banyak juga yang baru.
Dua bulan kembali menjadi penghuni penjara, akhirnya langkahnya berjalan, sudah pulih seperti biasa. Tak menggunakan tongkat lagi. Sumardi, Syaiful Achir dan Amir Hamzah Pohan penghuni baru, kawan barunya. Ketiganya diambil dari rumahnya, dikota itu. Pak Amir dan pak Sumardi, begitu dia memanggil kedua orang itu, sebaya ayahnya, empat bulan kemudian dipindahkan ke Medan. Sementara dia dan Syaiful yang dipanggilnya abang, dipekerjakan di markas Korem. Pagi menyapu seluruh ruangan, siang harinya menyuci mobil. Terkadang menjemput kawan-kawan sesama tahanan yang dipekerjakan di perkebunan Simarito, juga mengunjungi mereka yang di rawat nginap di Rumkit. Kesempatan itu digunaknnya jumpa dengan  para perawat, para bidadari itu. Sempat dia menyaksikan sesama tahanan juga, Saidam Husni meninggal di Rumkit. Sudah lama nama Saidam dia kenal. Saidam Husni adalah seorang penulis cerita pendek, cerpennya selalu terbit di “Harian Harapan” Medan, juga “Harian Rakyat” terbitan Jakarta, kedua koran ini menjadi koran langganan ayahnya. Saidam anggota Lekra. Kata Syaiful, Saidam juga adalah guru ilmu pasti di Taman Madya, SMA, Perguruan Taman Siswa Pematang Siantar. Setammat SMA dia menjadi guru di SMA. Luar biasa, kagumnya. Hari itu mereka berdua, dia dan Syaiful ditugasi berkunjung ke Rumah Sakit. Setelah melihat keadaan Mariam Margolang, yang dipanggilnya kakak. Juga adalah tahanan Korem. Sebaya mbak San nya.  Pukul 4 sore mereka mengunjungi Saidam Husni. Mereka dapati Saidam sedang berjuang melawan maut, ditunggui ibundanya. Melihat Syaiful yang datang, ibunda Saidam menangis dan merangkul Syaiful. Wardik meletakkan kepala Saidam dipangkuannya, membaca doa sebisanya. Dipangkuannya, Saidam Husni pergi untuk selama-lamanya, Innalillahi wa innailaihi rojiun.

BULAN Agustus 1969, sore hari kota Siantar terus diguyur hujan. Dia lagi minum kopi di kantin diseberang markas Korem. Ada beberapa orang nongkrong menikmati kopi dan gorengan. Ada seseorang yang menegurnya. Tak percaya, anak tetangganya, Suratman mendekatinya. “Bang, aku Suratman” , katanya. Wardi heran mengapa Suratman ada di kota itu. Dia bilang bahwa dia ikut pakciknya. “Desa kita, digusur oleh perkebunan. Siapa yang tidak mau meninggalkan desa, ditangkap. Ada juga yang dipukuli sampai mati”. Wardik menanyakan siapa yang memukuli. Dia berbisik, “tentara”. “Jadi emakku pindah kemana, Man”. ”Ke Patok Besi, bang”. “Apakah mereka sehat-sehat”?. Suratman bilang dia tak tahu pasti, “entahlah bang, tapi adik abang Urianti meninggal. Masuk kedalam sumur waktu mengambil air wuduk. Adik abang diambil bik Juminem, maksudnya agar mengurangi beban Wak Jonah. Magrib petang itu, dia menimba air sendiri dan terpeleset. Pukul delapan malam baru ketahuan, karena telekung nya ada dipinggir sumur dan selop jepit nya terapung”.
 Jalan Kartini lengang, cairan hangat meleleh terasa hangat dipipinya. Laki-laki muda itu menangis. Lagi penderitaan ini bertambah. Lagi dia kehilangan saudaranya. Dia mengucapkan terimakasih pada Suratman, “kalau kau pulang kampung tolong sampaikan salam pada emakku, katakan aku masih hidup”. Anak itu mengangguk. Sejak itu dia tak pernah jumpa Suratman lagi.

SANG waktu terus berpacu tanpa menanti seseorang, juga mengejar seseorang. Hari itu pukul delapan pagi, Wardik, laki-laki muda itu dipanggil ke kantor bersama beberapa kawan-kawannya setahanan yang lain. Jumlahnya sepuluh orang, diantaranya seorang perempuan. Mbak Rohana, begitu dia memanggilnya. Mbak Rohana anggota Pemuda Rakyat dari Bah Gunung. Suaminya juga ditahan, Suarno namanya. Sudah lama ditahan di TPU Tanjung Kasau. Wardik tahu semua itu dari cerita kawan-kawannya dipenjara, yang berasal dari Bah Gunung.  Kesepuluh mereka diperintahkan bersiap-siap diberangkatkan ke Medan. Pamit dengan kawan lain yang tinggal. “Selamat jalan, Wardik. Mudah-mudahan cepat bebas”. Memang itu harapan semua orang yang dihilangkan kebebasannya.
Bus tentara itu, meluncur meninggalkan kota Pematang Siantar. Membawa sepuluh tahanan yang dituduh makar terhadap Negara. Melewati toko-toko di jalan Merdeka, becak mesin khasnya Siantar, sado, dan para pedagang kaki lima. Selamat tinggal Siantar.
***
Terbayang, waktu berputar kebelakang. Dia diambil tanggal 30 Mei 1967, dari rumahnya. Dia sedang “Lagan”. Membantu warga yang melaksanakan hajatan. Sudah lumrah menjadi suatu kewajiban bagi anak-anak muda desa dengan ringan tangan membantu orang sedesanya yang sedang melaksanakan hajatan. Hiburan wayang kulit digelar semalaman. Siangnya Wardik sempat pulang kerumah, memetik buah kelapa yang akan dijual emaknya. Adik-adik nya dan kemenakan nya sedang makan siang dengan lauk ikan asin bakar. Kemenakan-kemenakannya ini sudah tak punya ayah lagi. Abangnya yang tertua diculik pada malam hari dibulan Nopember 1965 dan mereka tak tahu bagaimana nasibnya. Semuanya, jadi tanggungan emaknya.  Kabar yang terdengar, abangnya dibunuh di Pinang Lombang. Ayahnya hilang diambil dari tahanan Kodim, di markas Puterpra,  Perwira Urusan Teritorial Pertahanan Rakyat, Aek Tapa, pada bulan Januari 1966.
Pernah seseorang datang menemui emaknya, kata orang yang datang itu, dia mau menunjukkan kuburan ayah Wardik. Kata dia. Dia yang diperintahkan tentara  menggali lubang. Galian lubang tempat mengubur enam orang satu lubang, termasuk ayah Wardik. Emaknya menolak ajakan orang itu. Emaknya bilang, itu hanya akan menambah luka. “Biarlah mereka terkubur didadaku”, kata emaknya.
Penderitaan emaknya tak sampai disitu saja. Pada hari itu para tentara itu datang  menangkap Wardik dengan todongan senjata. Lalu Wardik tangannya diikat kebelakang didepan emaknya. Wardik didorong ke mobil jeep buatan Rusia. Sempat dilihatnya, emaknya jatuh  pingsan. Di markas Puterpra, Marbau. Para tentara yang membawanya itu mendorong Wardik kedalam ruangan kamar kerja komandannya. Kedua tangan Wardik masih terikat kebelakang. Komandannya berdiri, dibaju hijaunya, disebelah kanan terpangpang nama Kadir, Letda, Letnan Dua Kadir. Langsung membentaknya. “Kamu tahanan baru ya?”. dijawabnya, “ya, pak”. “Kurang ajar kamu berani menjawab, iya”. Tanpa tanya lagi kayu kopi sebesar ibu jari kaki dihantamkan. Wardik kesakitan minta ampun, menanyakan apa salahnya.“Apa kau bilang, apa salahmu. Ini salahmu,” dan kayu kopi tadi kembali menghajar kedua kakinya. Dia berteriak-teriak lagi meminta ampun.
Letda Kadir memang berhenti menyiksanya, tapi dua orang anggotanya datang langsung menendang perut dan kepala Wardik. Dia terguling-guling, sementara kedua tangannya masih terikat kebelakang. Darah mengalir dari mulut, hidung dan telinga. Kayu kopi yang digunakan Letda Kadir kembali menghajar kakinya. Kayu itu pecah-pecah serpihannya masuk kedalam daging. Puas menyiksa, salah seorang dari mereka mengencingi muka Wardik. Wardik merintih menahan sakit, perutnya terasa mual. Ingin duduk tak bisa, tak sanggup bergerak.”Mak, maafkan aku, aku tak bisa lagi membantu, mungkin aku akan menyusul ayah dan abang”. Diapun tak sadarkan diri.
Wardik siuman, ketika beberapa anggota Puterpra itu menyeretnya keluar dan melemparkannya ke atas truk. Dia yang terakhir menjadi muatan truk itu. Truk tanpa tenda itu bergerak laju, berguncang-guncang di hujan lebat. Semua kuyub, kecuali para pengawal yang bersenjata itu.  Mereka memakai mantel. Darah yang sempat kering dikepalanya, meleleh kemulut. Terasa asin.

DIJEMBATAN Pulo Raja truk berhenti, rupanya ada dua truk yang membawa para tahanan malam itu. Kedua truk berhenti ditengah jembatan. Hujan lebat, sesekali ditingkah petir dan guntur. Satu persatu tahanan yang tangannya masih terikat kebelakang, dikedua truk itu diturunkan. Dengan jelas dia melihat satu demi satu para tahanan yang di truk depan diberondong dan jatuh ke sungai dibawah jembatan Pulo Raja.
Para tahanan yang di truk depan sudah dihabisi, tentu giliran mereka berikutnya. Itulah yang terbayang dibenak Wardik. Celana dalamnya basah, terasa air mengalir ke kaki. “Ya, Allah lindungilah hambamu ini”.
Jumlah yang empat puluh orang itu tinggal sebelas orang. Tapi, tiba-tiba seorang dari tentara itu berteriak. “Peluru habis, pak”. “Pakai golok” teriak yang lain. “Tak ada yang bawa golok”. “Berapa orang lagi?”. “Sebelas”. “Sudah untuk bukti”. Mereka saling berteriak mengalahkan suara derasnya hujan.
Hujan terus mengiringi sunyinya malam. Tak sesososkpun ada yang melewati jembatan. Baik kenderaan umum, maupun pribadi, apa lagi pejalan kaki. Di gelap malam, truk bergerak kembali melaju menuju Siantar. Baru darah ditubuhnya  terasa mengalir, jantungnya berdenyut. Digerobak truk tak ada terdengar suara. Meski dingin dan sakitnya luar biasa. Eranganpun tak terdengar. “Ya, Allah apa salah mereka. Mungkinkah ayahku dan kawan-kawannya, juga abangku, dibunuh dengan cara seperti tadi?” Dia tanyakan dirinya. Juga tak dijawabnya.

PADA penghujung tahun 1965 dan diawal 1966, banyak orang yang dibunuh, mayatnya terapung di sungai-sungai, juga ada yang bergeletakan dibawah pohon-pohon kelapa sawit. Sugeng, warga desa Simpang Ampat, Marbau, dibunuh dengan mengikatnya ditiang telephon dan kepalanya dibor dengan bor kayu. Sugeng menjerit menahan sakit, suaranya terdengar sampai kedesa lain.
Di bulan-bulan, Oktober sampai Desember, hujan terus turun mengguyur bumi Labuhan Batu. Padang Halaban yang tadinya damai, kini berubah menjadi resah. Malam hari, semua warga tak ada yang berani keluar rumah, takut diculik dan dibunuh komando aksi. Kocik Dalimunte, ketua komando aksi dan Tukiman sekretarisnya. Mereka ini adalah pengurus partai yang katanya berfaham nasionalis, marhaenis ajaran Bung Karno, semaunya memberi perintah atau dengan tangannya sendiri membunuh manusia-manusia yang tidak berdosa. Setiap hari para algojo ini berkeliling desa, mengintimidasi warga. Kasan dan Sumardi dengan bangga berjalan membawa tombak yang bergelepotan darah, bangga menyebutkan bahwa baru saja membunuh Saut.
Ramut, remaja yang tak berdosa lari dari rumahnya, karena rumahnya akan dibakar. Tersuruk dibawah kandang ayam perutnya terburai di celurit gerombolan komando aksi. Saru, Karsan, Mahmun dan beberapa orang lainnya, lehernya hampir putus dan terapung di titi panjang antara Panigoran dengan kampung Selamat. Sementara Said, Tumadi, dan Saring algojo komando aksi itu, berteriak lantang, bahwa mereka baru saja manghabisi Lasiman, Selamat P, Rachman, dan Jali. Mereka sebelum mati menggelupur seperti ayam dipotong. Babi Hok Seng yang melihatnya, mendadak menjadi gila.
90-an orang dibunuh tanpa tahu kesalahannya. Selamat P, yang sudah mereka bunuh, isterinya mereka usir dari pondok perkebunan Padang Halaban. Kemis, salah seorang algojo komando aksi itu, mengusirnya. Dengan hanya membawa pakaian yang melekat dibadan. Dalam hujan lebat bersama keempat anaknya yang  masih kecil-kecil meninggalkan Pondok tanpa arah entah kemana. Menangis. 
Masih berlaksa, cerita duka dari desanya. Juga masih berlaksa pertanyaan yang belum dapat terjawab. Apa salah mereka?

BUS TENTARA, yang membawa ke sepuluh mereka, melaju meninggalkan Siantar menuju Medan. Semua dalam diam, hanyut dalam fikiran masing-masing. Marolop Hutapea berucap pelan. “Kira-kira akan dibawa kemana kita ini ya, dik”. Mana mungkin Wardik tahu, dia diam, Marolop mengerti, meski pertanyaannya tak terjawab. “Aku dengar-dengar, kalau kita dibawa ke TPU C, kita akan segera dibebaskan. Tapi, kalau ke jalan Gandhi, lain ceritanya. Ceritanya akan panjang”. “Panjang bagaimana, Pea?” Sebelum menjawab Marolop melihat keluar jendela. Sawah dikiri kanan jalan raya, padinya sedang menguning, menunggu panen. “Jelasnya kita akan lama lagi dikurung”. Dia menjawab, sedikitpun tak berpaling kearah Wardik.
Marolop Hutapea, dan Wardik usianya sebaya. Marolop pernah cerita, amangnya dibunuh dan mayatnya dibuang ke sungai Bahbolon, yang membelah kota Siantar. Dia ditangkap, karena dituduh melarikan diri ke Jakarta. Padahal yang sebenarnya Marolop ke Jakarta, membantu tulangnya di bengkel mobil. Tulangnya punya bengkel mobil di Jakarta. Tiga tahun di Jakarta dia pulang ke Siantar rindu inangnya. Baru dua malam dirumah, ditangkap informan seksi I Korem.
“Dik, kalau kau bebas, kau mau kemana?”. Belum sempat Wardik menjawab, dia malah mengusul. “Kalau kita sama-sama bebas nanti, kau ikut aku lah ke Jakarta. Tulangku pasti mau menerima kau. Kita sama-sama bekerja dibengkel tulangku”. Dengan khas logat bataknya Marolop cerita tentang bengkel tulangnya, tentang Jakarta yang dia amati tiga tahun itu. “Pea, aku pulanglah, kalau aku bebas. Emakku sudah tua, tak ada yang membantu dia. Tinggal aku yang sudah bisa cari makan, adik-adikku masih belum sanggup. Inipun entah macam mana nasib mereka, Begitupun terimakasihlah, Pea. Kau baik kali, kau mau mengajak aku”. Wardik  senyum, ikut-ikutan logat Marolop.
Sersan Tambunan yang ditugaskan membawa kesepuluh orang para tahanan itu ke Medan, mengulurkan rokoknya. Wardik mengambil sebatang rokok, dan mengucapkan, terima kasih. Dipantiknya korek api keujung rokok, langsung menyulutnya.  Asap rokokpun mengepul hilang dibawa angin.
Kota Medan. Perjalanan ini berakhir juga disini, teka-teki juga berakhir, TPU C jalan Binjai atau jalan Gandhi. Bus mengarah kekanan, Jalan Gandhi. Bus tak melaju lagi, persimpangan menghalangi. Dipangkal jalan dipersimpangan terbaca: Jalan Gandhi. “Pea, kita ke Jalan Gandhi”, tak tertahan jantungnya berdebar kencang. Berarti cerita masih panjang. Penyiksaan lagi.
Mengapa cuma itu yang didapat disetiap persinggahan. Persinggahan, yang dituju ini apa? “Tenanglah, dik, serahkan semua pada Tuhan. Berdoalah agar disini, tidak seperti di Siantar”. Didepan salah satu gedung, bus berhenti. Perintah semua turun. Seregu pengawal menyambut. Barang-barang bawaan pun semua diperiksa.
Gedung ini cukup luas, fikirnya, ketika sudah masuk ke gedung itu. Ada pentas dan  hall. Dia ingat sebuah sekolah di Rantau Prapat. Sekolah itu Sin Min School namanya. Gedung sekolah itu sama dengan bentuk gedung ini. Disebelah kiri lewat pintu besar ruangan hall ini terlihat kamar-kamar tertutup menyerupai ruangan klas. Pasti ini dulunya juga sebuah sekolah. Sebuah sekolah yang disulap menjadi tempat penyekapan para tahanan, kurungan bagi para tahanan.
Wardik membanding-bandingkan keadaan disini dengan di penjara Siantar, kelihatannya agak lebih baik. Tahanan diizinkan membawa kompor atau membuat kompor untuk menanak nasi, atau merebus air. Jatah makan hanya sekali sehari itupun setempurung kelapa. Nasi, campur gerontol jagung. Rebusan kangkung yang kuahnya berwarna air comberan, secuil potongan ikan asin bulu ayam goreng. Meskipun begitu, keluarga diperbolehkan datang berkunjung, mengirim bahan mentah, dua kali seminggu. Solidaritas kesetiakawanan jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan para tahanan di penjara Siantar.
Tapi, menurut kawan-kawan yang sudah lama menjadi penghuni gedung ini, keringanan ini berlaku, baru menjalani waktu enam bulan belakangan. Sebelumnya, banyak penghuni kurungan itu yang mati kelaparan atau mati karena disiksa. Bahkan ada yang mati bunuh diri karena tak tahan lapar dan siksaan.
Hendrik Napitupulu, menjadi penghuni gedung ini bersama isterinya, Supriati. Keduanya aktifis CGMI, Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia, disalah satu universitas di Yokyakarta . Hendrik Napitupulu dan isterinya Supri ditangkap di Medan. Putri kecilnya Niken terpaksa ikut bersama mereka. Niken sikecil yang lincah. Semua menyukai, semua menyayanginya. Hendrik lah yang mengabari, bahwa kedua kakak Wardik masih hidup dan berada di TPU C KM 7 jalan Binjai. Wardik merindukan mereka. Lewat seorang pengawal, dikabarinya mereka, bahwa dia sudah di Gandhi. Seminggu kedepannya, Wardik dikirimi sayuran lewat bus Teperda. Bus yang setiap hari kerja, membawa, serta memulangkan para tahanan yang akan diperiksa dari TPU C dan jalan Gandhi ke markas POMDAM II di jalan Sena, dikota itu.
Mahatma Gandhi, seluruh hidupnya diberikannya untuk bangsanya. Bangsa yang dia cintai. Bangsa Hindia. Dialah penggagas Swadesi. Berdiri diatas kaki sendiri. Bangsa Hindia harus mandiri, bila ingin membebaskan diri dari penjajahan kolonial Inggeris. Dia dicintai rakyatnya, dia dicintai bangsanya. Menjadi tauladan bagi para pejuang dinegeri-negeri jajahan.
Mengingat tokoh ini, diterakanlah pada sebuah jalan di Medan. Jalan Gandhi. Tak disangka jalan Gandhi yang di Medan ini, sampai nanti menjadi momok yang ditakuti. Siapa saja yang pernah menjadi penghuni gedung ini, menjadi orang kurungan, merupakan bencana baginya.
Di jalan Gandhi, di bekas sekolah itu, pada akhir tahun 1966 dijadikan markas “Operasi Triple Five”. Nama sandi yang menjadi momok baik bagi sosok sipil dan militer di Sumatera Utara. Operasi ini langsung dipimpin Asisten I Kodam II Bukit Barisan.
Setiap hari kerja, ada saja yang dipanggil untuk diperiksa, siang, malam, pagi, sore, tengah malam, bahkan sampai pagi lagi. Dan jantung akan jadi tak normal berdetak, mendengar jeritan-jeritan kesakitan. Teriakan dan makian, memaksa pengakuan dari orang-orang yang sedang diperiksa. Jhon Martin adalah salah seorang juru periksa. Dia bekas anggota Brimob, yang dipecat dari kesatuannya, karena merampok. Dia menangani hampir semua kasus. Ruangannya, dilantai dua. Yang akan diperiksanya harus menaiki tangga, melangkah kearah kanan. Diatas pintu diluar ruangan tertulis, “Kamar Investigasi”. Dimata Jhon Martin, semua tahanan adalah musuh yang harus dihabisi. Bila meraung, menjerit menahan sakit, dan melihat darah mengalir dari tubuh yang diperiksanya, dia akan tersenyum puas. Para orang kurungan yang ditempatkan di hall, akan menyaksikan setiap waktu. Yang keluar dari ruangan “kamar investigasi” menuruni tangga, pasti dipapah atau digotong.
Para tahanan tak berani bicara agak keras. Bila seorang tahanan berbuat salah, para pengawal akan menghukum semua tahanan yang ada diruangan itu. Ada delapan kamar, ditambah hall dan pentas menjadi kurungan. Tujuh kamar bekas ruangan kelas diperuntukkan untuk kurungan bagi mereka-mereka yang dianggap berbahaya. Satu Kamar paling belakang gedung itu untuk tahanan-tahanan perempuan. Hall dan pentas, untuk para tahanan kurang berbahaya. Tapi, tidak berarti untuk selamanya. Bisa saja sesewaktu dipindahkan ke salah satu kamar bekas ruangan kelas itu. Wardik ditempatkan diruangan itu, di hall.
Ada gudang, ruangan dibawah pentas. Dulunya diperuntukkan untuk menyimpan peralatan gedung yang rusak, sebelum diperbaiki. Ruangan ini juga sewaktu-waktu digunakan untuk para tahanan yang tak mau mengakui, apa yang menjadi kemauan juru periksa. Ruangan yang beralih fungsi ini, gelap, pengap dan lembab.
Pak Marto,  pensiunan Pelda, seorang serdadu dari masa-masa mempertahankan kemerdekaan di Pangkalan Brandan, terakhir bertugas di Koanda, Komando Antar Daerah Sumatera. Dia memilih untuk pensiun dini. Pak Marto, pernah menjadi penghuni ruangan itu. 21 hari, ceritanya. Diruangan ini dia ditemani tikus sebesar anak kucing, kecoa dan cecak. Dia dikeluarkan dari ruangan itu, hampir-hampir tak mampu berjalan, badannya kurus, lemah.
Pak Marto, sebelum dimasukkan keruangan bekas gudang itu, adalah penghuni bekas ruangan kelas, kamar tujuh. Ruangan yang luasnya tiga setengah meter kali tiga setengah meter ini, dijejali empatbelas tahanan. Para tahanan yang diruangan ini tak pernah kena sinar matahari. Didepan pintu kamar VII itulah, ruangan bekas gudang yang disulap menjadi ruangan tahanan.
Ada seorang tentara, teman pak Marto. Sama jurit ’45. Pak Mansyur,  masih aktif ketika dia digelandang kekurungan ini, Lettu pangkatnya. Tugas terakhirnya juga di Koanda, Komando Antar Daerah Sumatera. Pak Mansyur juga pernah menjadi penghuni di kamar IV, kamar yang terus tertutup pintunya itu. Pintu kamar-kamar itu hanya dibuka bila salah seorang penghuninya akan diperiksa atau semua penghuninya mendapat giliran mandi.  Pak Mansyur menyarankan bila Wardik diperiksa nanti, agar mengurangi jumlah umurnya. Katanya, karena umur juga dapat pertimbangan dari juru periksa. Entah iya entah tidak, diturutinya saja. Kan tak ada ruginya.
Para pengawal, tak semuanya berlaku kasar, terhadap tahanan. Tapi, tidak juga. Mungkin mereka berlaku baik, melihat orangnya. Kopral Sujati misalnya, kerap memberinya gula, kopi, nasi bungkus jatah nya, bahkan sampai pakaian bekas. Kopral Sujati bilang, melihat Wardik dia teringat adiknya di Jawa.
Pagi itu, tahanan yang ditunjuk menjadi kepala ruangan memanggil Wardik. Dia bilang bersiap-siap untuk diperiksa. Melihat Wardik gelisah, Hendrik, senyum dikulum. “Naiklah hadapi saja, Dik. Akan kusiapkan beras kencur”. Seorang pengawal menjeputnya, berjalan disampingnya kearah tangga, ya keruangan itu. “Hati-hati, dik, yang kau hadapi ini bukan manusia, lebih cocok dinamakan binatang, jangan sampai kau terjebak dengan pertanyaannya”. Wardik heran, merasa aneh, tak menyangka kok diingatkan pengawal itu fikirnya. “Setelah kau selesai diperiksa, kami akan meminta Urtah, Urusan Tahanan, agar kau membantu membersihkan kamar-kamar kami”. Wardik mengucapkan terima kasih kepada pengawal itu.
Didepan pintu, yang tertempel papan bertuliskan “Kamar Investigasi” tepat ditengah disebelah atas pintu, pengawal yang menjemputnya mengetuk pintu. “Masuk”, perintah dari dalam. Wardik diserahkan. Pengawal itu balik kanan. Juru periksa itu menyuruh Wardik duduk. Wardik duduk di kursi yang berseberangan dengan juru periksa itu, berhadap-hadapan dibatasi meja. Diatas mejanya ada papan nama: “Jhon Martin”, dibawah namanya tertulis “Letda Lokal”. Dia menatap Wardik. Pertanyaan-pertanyaan pun diajukan, harus dijawab. Dan pertanyaan-pertanyaan itu adalah tentang keterangan-keterangan yang ditanda tangani Wardik pada proses pemeriksaan di markas Korem di Siantar. Wardik mengatakan bahwa semua tuduhan yang ada diproses pemeriksaan di Siantar, tidak ada yang benar.
“Kalau proses pemeriksaan ini tak benar, mengapa kau tanda tangani hasil pemeriksaannya ?”. “Saya dipaksa, pak”, jawabnya pelan. “Jadi, hasil pemeriksaan semua tidak benar, begitu. Coba kau beri alasan”. “Di Siantar, saya disiksa, pak” , sembarangan dijawabnya. Jhon Martin, berdiri. “O, kau fikir disini tidak disiksa?”. “Bukan begitu, pak, karena saya….”, dan, tamparan bertubi-tubi ke mukanya . Tak puas dengan menampar, bekas anggota Brimob itu mengambil potongan beroti ukuran, dua kali dua, kali satu meter, yang tersandar didinding. Letda lokal itu menyuruhnya berdiri. Sesukanyalah menghajar. Mulai badan, tangan, dan kaki, rata dihujani pukulan-pukulan. Dia terjatuh, menjerit minta ampun. Meminta ampun malah membuat juru periksa yang berpakaian preman itu bertambah ganas. Hingga akhirnya pukulan-pukulan itu tak dirasakan Wardik lagi. Wardik merintih minta ampun. Darah keluar dari mulut, hidung dan kepalanya. Letda lokal itu menghentikan pukulannya, melangkah keluar ruangan. Wardik berusaha duduk. Duduk dilantai.  “Sekarang, duduk disana” Jhon Martin menunjuk tempat Wardik duduk tadi. Menahan sakit dia berdiri melangkah kearah tempat duduknya yang semula. Kakinya yang pernah patah, terasa nyeri kembali. Jhon Martin menyuruhnya  minum, segelas air putih disodorkannya. Laki-laki muda, anak desa, dari Padang Halaban itu meminumnya. Segelas air putih itu terasa sejuk membasahi kerongkongannya. Dia memang haus, ingin rasanya dia meminta lagi. Tapi, itu tak mungkin.
“Kau tahu apa salahmu? Mulai lagi, “tidak pak” jawabnya. “Itu karena bapakmu, mamakmu, kakak-kakakmu PKI, maka kau harus PKI”. “Saya bukan PKI, pak”. Sahutnya pelan, takut. “Jadi menurutmu apa salahmu, maka kau sampai disini?”. “Saya tidak bersalah, pak. Saya pulang mengaji di Surau, tiba-tiba ditangkap petugas ditengah jalan” . jawabnya berbohong. ”Mau mengaji di Surau, di Masjid, aku tidak perduli. Kalau sudah sampai disini harus bersalah. Walau kau bukan PKI, kalau sudah disini harus PKI. Paham”. Wardik dibentak, gugup. “Saya jadi tambah bingung, pak”. Jawabnya. “Mengapa mesti bingung, pokoknya yang sudah ada disini itu berarti sudah PKI, titik”.
Masih dilanjutkan, berputar-putar balik kesitu-situ juga. Terus dielakkannya. Pengalaman di Siantar cukup untuk  panda-pandai mengelak. Yang didapatnya. Yang tak bisa, yang dia tak pandai mengelakkannya, pukulan-pukulan dan tendangan. Pukul satu tengah hari pemeriksaan pertama selesai. Dua pengawal mengapitnya, dipapah menuruni anak tangga, dia sudah tak bisa melangkah sempurna. Wardik tergeletak disamping Hendrik. “Jangan takut, sudah kusediakan obat yang paling mujarab di Gandhi ini”. Senyum Hendrik melebar, menyapukan beras kencurnya keseluruh badan Wardik. “Cukimai”, maki Wardik.
Hendrik berkulit hitam, berkumis tebal, kalau ketawa sederetan gigi putihnya menghiasi kehitamannya. Mulanya Wardik mengira dia orang Ambon. Isterinya, mbak Supri memanggilnya, mas. Mas Hendrik. Orang batak, kok dipanggil, mas, fikirnya. Sejak semula dia memanggil Wardik, paklek. Paklek dari anaknya, si Niken.
Dia dipanggil lagi, sesudah dua hari lewat dari panggilan pertama. Pertanyaannya seputar gerakan bawah tanah Partai Komunis Indonesia. Memang sama sekali dia tak tahu. Malah apakah dia anak dari seorang anggota PKI pun, dia tak tahu pasti. Apalagi yang ditanyakan tentang gerakan dibawah tanahnya. Anehnya, dia tak pernah ditanya tentang bagaimana dan mengapa dia menyembunyikan cak Muso. Ini aneh atau kemujuran. Dia hanya tinggal mengelak tuduhan-tuduhan lain, apa lagi gerakan dibawah tanah Partai Komunis Indonesia.
Kali ini diperiksa sampai ke pukul empat sore. Kembali dia harus dipapah, keluar dari ruangan, tambahan lagi untuk menuruni anak tangga. Tidak dibawa ketempatnya semula, dia ditempatkan kesalah satu kamar bercampur dengan para tahanan yang dianggap berbahaya. Begitu dia dimasukkan keruangan itu, pintu kamar lalu dikunci dari luar. Semua menjadi gelap, tak kelihatan siapa saja yang ada dikamar barunya itu. Dia jongkok meraba-raba kelantai, duduk. Baru samar-samar mulai melihat ada beberapa orang, dan beberapa orang lagi. Ada yang memberinya minum, dia tak tahu siapa. Merebahkan diri dilantai, tak beralas. Dan dia tertidur.
Baru esok paginya terbangun ketika pintu kamar dibuka. Penghuni kamar-kamar keluar untuk mandi dan buang air. Dia ingin keluar kamar, seluruh badannya terasa sakit semua. Darioto memapahnya ke kamar mandi. Mereka berdua sudah saling kenal, Darioto tahanan yang ditempatkan di pentas. Dipercaya untuk membuka dan menutup pintu kamar. Dengan sabar Darioto melap badannya dari darah yang mengering hingga bersih. “Terima kasih, bang”. Katanya lirih.
Tak sampai setengah jam semua harus masuk ke kamar lagi. Penghuni di kamar-kamar keluar bergilir. Tadi sebelum mereka diperbolehkan keluar, kamar I lebih dulu pertama giliran, kemudian giliran mereka, kamar II, berikutnya kamar III dan seterusnya sampai kamar VII. Darioto memberinya secangkir kopi titipan mbak Supri.
Setengah bulan berada dikamar II, yang terkunci itu. Hanya sedikit yang diketahuinya tentang siapa-siapa mereka yang sekamar dengannya. Ada seorang yang berumur sekitar 50-an, kepalanya botak, berkacamata putih. Namanya Makmun Duana. Orang tua itu mengatakan, bahwa dia tak mengerti, apa maunya mereka membawanya kemari. Dia selama ini di kurung di penjara Sukamulia. Beberapa waktu lalu dia sudah menjadi saksi, di persidangan Mahmilub, Mahkamah Militer Luar Biasa, ketika Gubernur Sumatera Utara, Brigjen Ulung Sitepu disidangkan. Brigjen Ulung Sitepu dijatuhi hukuman mati. Entah, kapan-kapan dia juga akan disidangkan. Dia sudah siap dengan pembelaannya. Tapi, dia tak yakin bahwa pembelaanya  itu akan didengarkan para Hakim. Apalagi, para Hakim itu adalah Hakim tentara. Yang jelas, semua yang sudah pernah diadili baik di Mahmilub atau yang di Mahmilti, jatah putusan sudah ditetapkan jauh sebelum pengadilan dilaksanakan. Dia juga cerita, banyak kerabatnya yang ditahan, dengan tuduhan macam-macam yang menyangkut pada keterkaitannya dengan organisasi terlarang PKI. Makmun Duana sebelum ditangkap adalah kepala rumah tangga Gubernur Sumatera Utara.
Pagi itu, usai giliran keluar kamar untuk mandi dan buang air, seorang pengawal memanggilnya. Dia ikuti langkah pengawal itu, menuju tangga. Berpapasan dengan mbak Supri, senyum menegurnya. “Diperiksa lagi, dik?” “Ya, mbak, entah sampai kapan”, jawabnya, sambil mendongak keatas tangga.
Biasanya mereka tak boleh saling tegur. Bila ketahuan, hukuman pasti mereka terima. Mereka mencurigai, tegur menegur itu, sandi. Tapi kali ini lain. Barangkali mbak Supri tahu, yang mengawalnya kopral Pagilala. Pengawal yang satu ini tak pernah peduli dengan semua urusan terhadap tahanan. Yang penting baginya dagangannya laris. Temon tahanan juga, di jadikannya kaki. Lewat Temon, para tahanan bisa memesan singkong atau apa saja yang diperlukan. Usia kopral Pagilala jauh lebih tua, dari kopral-kopral yang lain. Cerita kawan-kawan tahanan yang berasal dari tentara, Kopral Pagilala sewaktu masuk Catam, calon tamtama, mengurangi jumlah umurnya.
Ada cerita tentang sandi. Diantara para tahanan beberapa orang ditangkap fasalnya karena dipecinya terselip jarum pentol. Jarum pentol yang diselipkan dipeci itu dianggap sandi tanda kepangkatan. Beda dengan tanda pangkat tentara. Satu jarum pentol dianggap sandi dari sipemakai kopral, dua jarum pentol sandi dari sersan, tiga jarum pentol yang terselip dia dipastikan seorang perwira.
Wardik dan kopral Pagilala pengawal itu, sudah berada diruangan investigasi.
Jhon Martin duduk dibelakang meja kerjanya. Pengawal itu menyerahkan Wardik, lalu balik kanan jalan. Perintah duduk. Latah dia ucapkan: terimakasih. Pertanyaan rutin. Apakah dalam keadaan sehat? Jawab saja sehat walau dalam keadaan sakit.  Tapi pertanyaan ini tidak  rutin. “Sudah makan?” dia menjawab seadanya, “belum”. Pertanyaan aneh lagi, “mengapa belum makan?”. Lagi jawaban Wardik seadanya,”tak ada yang akan dimakan, pak”. Ini lagi yang bukan rutin, “Kalau begitu kamu harus makan dan minum kopi dulu”. Jhon Martin memanggil seorang pengawal, Serda, Sersan Dua, Harun, agar memesan sebungkus nasi dan secangkir kopi.
Serda Harun, dia tahanan juga. Serda Harun ditahan karena menyembunyikan abangnya. Abangnya bernama Mujiman, yang selamat dari pembantaian di sungai Bah Bolon, Simalungun. pada pertengahan tahun 1966. Leher Mujiman ditusuk besi, kemudian ketika lehernya akan ditebas, ditepi sungai Bah Bolon, kakinya terpeleset jatuh kesungai. Dengan tangan terikat, hanyut ditolong penduduk dihilir. Tangannya yang terikat dilepas. Namun, penduduk yang menolong takut, kalau-kalau dia akan terseret bencana. Setelah jumpa dengan adiknya Serda Harun dan disembunyikan, Mujiman akhirnya tertangkap juga, bersama dengan ditangkapnya Serda Harun.
Serda Harun masuk membawa sebungkus nasi dan segelas kopi. Wardik disuruh makan, sementara itu Jhon Martin membalik-balik tumpukan kertas yang ada dimejanya. Gila mimpi apa Wardik semalam? Diselesaikannya makannya, minum kopi. Disodori rokok, dipantiknya korek api langsung rokok itu dihisapnya. ”Bagaimana? Sudah kenyang?” dijawabnya sudah. Ditanya lagi apakah dia sudah siap menjawab pertanyaan. Jawabnya, tergantung pertanyaannya. Ditanyakan apakah akan tetap menyangkal semua pertanyaan-pertanyaan yang lalu. Dijawabnya tetap, karena semua pertanyaan itu, tak satupun yang dia mengerti. “Kalau kutembak kepalamu, apakah kau juga akan menjawab tidak tahu?” Jhon Martin mengeluarkan pistol dari laci meja dan diarahkan kekepala Wardik. Dia takut, takut sekali. Melintas bayangan, kejadian di jembatan Pulo Raja.
Diruangan itu dimeja lain, ada juru periksa lain yang sedang memeriksa tahanan lainnya. Berbadan tegap, gagah, tapi tangan kanannya kecil. Dia tahanan juga, penghuni pentas sama dengan Dariono. Dariono pernah bilang pada Wardik, namanya, Muchtar Efendi Sirait, orang memanggilnya Mesir. Pak Mesir. Wardik tak tahu apa yang membuat dia dipercaya memeriksa kawannya sendiri, sesama tahanan Sepertinya Wardik tak perduli.
Jhon Martin mendekati Muchtar Efendi Sirait, berucap pelan hampir berbisik. Entah apa yang mereka percakapkan. Jhon Martin mengangguk-nganggukkan kepalanya, lalu memasukkan pistolnya kedalam laci mejanya kembali. Mengambil beberapa lembar kertas lalu diberikannya kepada Wardik. Dia tanyakan apakah Wardik bisa mengetik, dijawab bisa. “Kau buat saja riwayat hidupmu, dari mulai lahir sehingga kau sampai kemari, kalau sudah selesai berikan sama pak Sirait. Dan jangan lupa pula membuat alasan, mengapa kau mau menanda tangani  proses pemeriksaanmu di Korem Siantar. Tulis dengan jelas, jangan salah-salah. Kalau tidak mengerti, tanya sama bapak ini. Dia tunjuk ME Sirait. Diambilnya lagi pistolnya dari laci, lalu pistol itu disarungkan disabuk dibawah ketiaknya. Terus keluar.
ME Sirait menyerahkan mesin ketik merek Remington dan menyuruh Wardik mulai membuat riwayat hidup. Diapun mulai mengetik. Baris demi baris diselesaikannya. Tapi, tidak mata rantai persoalan yang sebenarnya. Diserahkannya hasilnya kepada ME Sirait. ME Sirait membacanya lalu menyuruh Wardik menandatangani. Muchtar Sirait, memanggil Harun, lalu Wardik dibawa pulang ketempatnya semula. Kumpul dengan tahanan yang di hall. Hendrik memegang bahunya berbisik “Kau lepas dari neraka didalam neraka, dik, mungkin neraka yang lain masih menunggu”. Wardik duduk diatas tikar dan meluruskan kakinya. Darioto datang lalu duduk disampingnya. Darioto menanyakan, apakah dia sudah selesai. “Entahlah, bang. Aku tak tahu apa masih akan diperiksa lagi atau tidak”, jawabnya. “Sudah kau tanda tangani”. Dijawabnya, sudah. “Biasanya, kalau sudah ditanda tangani, itu berarti sudah selesai”. “Syukurlah, bang”, katanya lagi. “Kalau proses pemeriksaan sudah selesai kan tinggal menunggu pengadilan. Kalau diadili aku pasti bebas, karena aku tidak bersalah”. Wardik seperti berharap.
“Jangan mimpi dengan pengadilan, lek”. Hendrik menyela, menyodorkan kopi secangkir. “Bagi kita ini tak pernah ada pengadilan. Suka-suka mereka saja. Mau dibebaskan atau mau ditahan sampai mati, terserah mereka. Malah ada yang sudah dibebaskan ditangkap lagi”. Dan kau jangan berfikir bahwa kau saja yang tidak bersalah. Kita ini semuanya tidak pernah bersalah pada Negara ini. Cuma mereka yang menganggap kita bersalah. Buktinya, mengapa mereka tidak mengadili kita. Saat seperti ini, tak usahlah kita bicara pengadilan. Salah atau tidak, yang penting bagaimana kita bisa bertahan hidup”. Hendrik ingin menyudahi percakapan itu. Tapi ada yang nimbrung lagi, Syafri Sarwo, rupanya dia mendengarkan percakapan mereka bertiga, meski dengan volume rendah. “Dan kau, lek, jangan berhayal bebas, saat ini kawan-kawan yang diluar terus diburu, ditangkapi. Tadi baru saja tiga orang tahanan, masuk kemari”.
“Bila mereka, mau menangkap kita, salah seorang dari kita mereka bawa. Seolah-olah kawan kita itulah yang mengkhianati kita. Akibatnya kita tidak lagi percaya pada kawan itu”.
Percakapan itu berhenti, seorang pengawal membuka pintu samping. Perintah, sudah waktunya mandi.
Sejak Wardik menandatangani proses pemeriksaan terakhir, baru pagi ini dia dipanggil lagi. Mungkinkah dia diperiksa lagi. Atau mungkin mereka tak percaya pengakuannya. Lagi keraguannya, dipatahkannya. Mengapa mesti difikirkan. Apa yang akan terjadi, terjadilah. Harus dia hadapi. Dia melangkah sendiri tanpa pengawal. Menaiki tangga, didepan pintu berhenti. Mengetuk pintu. Suara dari dalam memerintahkan, masuk. Dia masuk. Perintah duduk. Dia duduk, mengucapkan terimasih, tetap berhadap-hadapan dengan Letda Lokal yang berpakaian preman itu. Tetap dibatasi mejanya.
Uluran sebatang rokok, diterimanya, menyalakan nya.  Pertanyaan mana lebih baik disini atau di Siantar. Dijawab lebih baik disini. Dia diberi pilihan, dipindah kan ke TPU C KM 7, jalan Binjai atau tetap disini. Kalau dia tetap disini, dia diperbolehkan keluar atau kemana saja, asalkan sorenya harus kembali. Dia memilih dipindahkan ke TPU C. “Kalau begitu bersiaplah nanti pukul dua, kau dan yang lain akan dijemput bus Teperda. Tapi ingat, di TPU C kau jangan sekali-kali cerita, bahwa kau kami bantu dalam proses pemeriksaan. Karena, kami tahu kau tak mengerti apa-apa. Jangan cerita tentang keadaan disini”. Jhon Martin berpesan, atau ini ancaman fikirnya. Dia ucapkan terimakasih, tapi dihatinya berucap, “gila itu Jhon Martin, dulu galaknya melebihi Herder”. Dia berteriak senang dihati, Cuma dalam hati. “Aku akan keluar dari neraka yang satu ini”.

PUKUL dua siang tepat, bus Teperda datang menjeput.Yang dipanggil namanya langsung naik ke bus, termasuk namanya. Bus bergerak meninggalkan jalan Gandhi menuju KM 7 jalan Binjai. Dia belum makan, tapi tak terasa lapar. Ingin cepat-cepat sampai, ingin cepat-cepat jumpa dengan kedua mbak nya. Bagaimana keadaannya? Gemukkah mereka? Atau kuruskah mereka? Dua puluh menit, bus memasuki jalan Binjai didepan Mayestik. Kurang sepuluh menit, bus menyeberang berbelok kekanan, berhenti didepan bangunan bertingkat dua. Dikiri kanannya hingga kebelakang terbentang tembok setinggi tiga meter membentengi.
Satu persatu mereka turun langsung masuk ke portir. Semua barang bawaan diperiksa satu persatu. Setelah dibagi dan ditentukan, masing-masing para kepala barak menjemput mereka, menurut nama dan pembagian barak masing-masing. Wardik dan seorang kawannya dibawa kepala barak, ke barak huniannya, barak XVII.
Dari jauh mbak San nya berlari kearah Wardik, dipeluknya, adiknya itu. Menangis, “kau masih hidup, dik? Katakan, dik, kalau mbak tidak bermimpi”. Wardik tetap memeluknya, “tidak mbak. Mbak tidak bermimpi. Aku masih hidup mbak”. Kepala barak yang baik hati itu membawa barang-barang Wardik, mbak San nya masih merangkulnya, berjalan menuju barak. Di barak,  duduk dibalai-balai panjang. Barak, yang masih asing, yang akan menjadi huniannya.  Mbak San nya menawari nasi, baru terasa perutnya lapar.“Selamat datang, dik, inilah rumah kita sekarang”, seseorang mengulurkan tangan mengenalkan diri. Basiran Sutrisno, dia menyebutkan namanya, “kakakmu banyak cerita tentang kau. Dia kira kalau kau sudah mati di Siantar”. Basiran Sutrisno, dia berasal dari Medan Krio, kecamatan Sunggal, Deli Serdang. Sebelum ditahan dia seorang guru. Pengelihatan Wardik orangnya ramah, suka bercanda. Usianya lebih tua dari Wardik 6 atau 7 tahunan. Dari dia Wardik tahu, kalau penghuni TPU C ini jumlahnya 2000-an orang. Diantaranya, tahanan perempuan 300-an orang.
Mbak San nya datang dengan nasi campur jagung, dirantang. Sayur kangkung dan ikan asin goreng. Wardik menghabiskan semua apa yang dibawa mbaknya. Mbaknya senyum, walau air mata masih mengambang dipelupuk mata. Kawan-kawan Wardik yang dulu pernah bersama di Siantar dan jalan Gandhi berdatangan menyalaminya, menanyakan apa kabarnya.
Ada yang tak pernah dia bayangkan selama ini. Dia masih bisa jumpa dengan mereka. Orang-orang sekampungnya. Mereka ada disini, cak Muso, Kenyos, Ngapin, Begut, lek Kido, Geger. Padahal dia mendengar, mereka sudah mati, sebaliknya mereka mendengar Wardik sudah mati. Kalaupun mereka mendengar dia di jalan Gandhi, mereka belum mau percaya sebelum melihat sendiri.
Wardik kaget bukan main, mbak Yus nya datang bersama seorang perempuan. Perempuan yang sangat dikenalnya, yang dipanggilnya kakak. Perempuan itu, Nurhaida Lintang. Kak Nurhaida, Pimpinan Gerwani Labuhan Batu yang sudah diberitahukan mati, sudah dihadapannya. Segar bugar. Suaminya Haidar Nur adalah pimpinan Lekra Labuhan Batu, dibunuh dibulan November 1965. Kedua mereka suami isteri adalah anggota DPRD GR Labuhan Batu.
Wardik menyalami mbak Yus nya, mencium pipinya. Airmata. Tangisan lagi. Dia salami kak Ida nya. Ada haru, membuat perempuan yang dikenalnya tegar ini, tak mampu menahan airmata. “Kita bersama sekarang, dik, disini di jalan Binjai. Disini kau boleh berjalan sampai kakimu penat. Takkan ada yang melarangmu. Bernyanyi, bernyanyilah sepuasmu. Sekarang kau katakanlah, selamat tinggal jalan Gandhi”. Kak Ida nya tersenyum, meski pelupuk matanya masih basah.
Lahan seluas sepuluh hektar ini, dikelilingi tembok setinggi tiga meter dan diatasnya membentang kawat duri setinggi satu meter. Pada setiap sudut tembok, ada bangunan pos penjagaan diatasnya. Pengawalan diluar dilakukan satuan Brimob, Brigade Mobil, sedangkan pengawalan didalam dilakukan kesatuan CPM, Corp Polisi Militer.
Banyak yang dilakukan para tahanan disini, untuk menyambung hidupnya. Ada yang mengukir dari bahan kayu, ada yang menganyam plastik membuat tas, kampil tempat sirih, ada yang membuat tabungan dari tempurung, melukis, juga mematung. Sebagian tahanan yang asal petani, menanam palawija, ubi jalar, singkong, pepaya, juga memelihara ternak, ayam dan bebek. Para tahanan perempuan kalau tak menganyam plastik, membuka warung kopi mini. Menyediakan makanan- makanan ringan, sampai sarapan pagi, lontong, nasi rames dan goreng-gorengan. Hasil kerja yang bisa dijual keluar, ada yang memasarkannya.
Penghuni barak-barak di TPU C ini, bukan hanya para tahanan, banyak juga anak-anak mereka. Anak-anak itu terpaksa tinggal disini, diluar mereka tak punya siapa-siapa lagi. Ada rumahnya yang dirampas, dijadikan markas komando aksi. Ada ayahnya yang dibunuh. Ada juga yang ayah dan ibunya mendekam ditempat-tempat seperti TPU C ini, di Tanjung Kasau, di penjara Sukamulia, di penjara jalan Listerik, bahkan di Jalan Gandhi. Anak-anak itu mungkin punya famili, mungkin mampu menanggung beban secara materi. Tapi siapa yang mampu bertahan, bila terus-terusan diintimidasi, ditakut-takuti, dituduh segala macam. Itulah alasan mereka, mengapa mereka lebih baik memilih ikut menjadi penghuni barak-barak di TPU C ini. Mereka bisa membantu orang tuanya dengan memasarkan keluar hasil-hasil kerja para tahanan. Kue-kue yang dibuat para ibu-ibunya, mereka edarkan diwarung-warung disekitar TPU. Bagaimana sekolah mereka? Ada yang masih bisa, masih jadi murid dibeberapa sekolah, tapi ada yang tidak lagi. Yang tidak lagi ini, belajar kepada kawan-kawan para tahanan, banyak guru disini, ditempat ini, dikurungan ini.
Diantara semua kerja-kerja yang ada, Wardik tertarik dengan kerja melukis diatas kanvas. Waktu didesa dulu, dia pernah belajar melukis dengan seorang anggota Lekra, di Lembaga Seni Rupa Indonesia, Labuhan Batu. Pelukis itu bernama Jono. Bang Jono begitu Wardik memanggilnya. Menurutnya  Wardik berbakat menjadi pelukis natural. Melukis natural membuat Wardik  dekat dengan alam, ciptaan Tuhan. Hari-hari berikutnya Wardik mulai belajar melukis pada Puji Tarigan.
Puji sebelum ditahan, adalah pegawai Kantor Jawatan Kebudayaan Sumatera Utara, sarjana seni rupa lulusan Asri, Akademi Seni Rupa Indonesia Yoyakarta. Pada lukisan-lukisannya, dia memakai nama, Pawang Ternalem. Puji juga adalah anggota Lekra dan salah seorang pimpinan Lembaga Seni Rupa Indonesia daerah Sumatera Utara. Setiap hari Puji melukis, dan ini menjadi kegiatan rutinnya. Sarannya, Wardik bila ingin menjadi pelukis, dia harus mendalami komposisi warna.
Sudah sepuluh lukisan yang diselesaikannya. Uang yang dikumpulkan dari jalan Gandhi hasil upah kerja, menyetrika, membersihkan kamar-kamar para pengawal, sudah habis untuk membeli cat, kuas dan kanvas. Sampai hari ini belum ada selembar lukisannya yang terjual. Jangankan untuk membeli cat dan lain-lain, untuk membeli rokok pun dia sudah tak punya uang. Akhirnya dia terpaksa mengambil pekerjaan lain, melukis kre. Lumayan. Di dasar kre, dia memilih melukis perempuan penjual jamu, jamu gendong, dia menyukai motif lukisan itu.
Setiap jam, lonceng portir berdentang menunjukkan waktu, dari pagi, siang, sore, malam dan pagi lagi. Apel pagi, senam, doktrin Panca Sila, ceramah agama, apel malam, dan juga jaga malam.

USAI apel malam, Juari, tahanan yang pernah bersamanya di Siantar dulu, datang kebaraknya. membawa dua bungkus rokok merek Soor dan gula seperempat kilo. Dia mengajak Wardik besok bekerja diluar. “Selagi ada kesempatan, kita kerja keluar. Kita gunakan kesempatan itu. Kita membayar sama pengawal seratus rupiah per kepala”. Mendengar harus membayar seratus rupiah perkepala, Wardik  agak berat. “Wah, dari mana aku punya uang sebanyak itu. Sedangkan upah melukis kre hanya dua puluh lima rupiah tiap lembarnya. Aku tak punya uang, bang”. Gelengan kepala Juari, membuat Wardik sadar. Seharusnya mendengarkan keterangan Juari dulu.
Dia bilang, bahwa mereka tidak harus membayar dimuka, tapi bayarannya sesudah pulang kerja.  Sesudah mendapat uang upah kerja mereka. “Kalau begitu aku ikut, tapi kerja apa?”.“Begini”, katanya menggeser duduknya lebih dekat, padahal dia sudah hampir merapat kebadan Wardik. “Tadi pagi aku keluar mencari kerja. Kebetulan aku jumpa pak Naspirin, dia menawari aku ikut membongkar kuburan di Petisah. Sudah kulihat lokasinya. Jadi tadi, sudah kubicarakan pada pengawal kawan pak Naspirin itu. Kami membuat kesepakatan kalau yang kerja keluar harus membayar uang kawalan seratus rupiah perkepala”.Wardik menanyakan untuk apa kuburan itu dibongkar. “Kuburan itu, bukan kuburan Muslim, tapi kuburan orang Tionghoa. Dilokasi  pekuburan itu akan dibangun tempat hiburan, “Taman Ria”. Pak Naspirin memborong pembongkaran kuburan itu, mendapat bayaran seribu limaratus rupiah tiap kuburan. Kemudian tiap kuburan diberikan ke kita yang mengerjakan pembongkaran seribu rupiah. Nah, barulah kita berikan seratus rupiah tiap perkepala ke pengawal”. Wardik mengangguk, tanda dia menyetujunya. Lumayan. Juari juga bilang bahwa semua peralatan sudah disediakan. Mereka tinggal kerja.
“Kita coba dulu bertiga, aku, bang Sumakir, dan kau. Kalau memang lumayan, kita ajak lagi kawan yang lain, terutama kawan-kawan yang tak pernah mendapat kiriman”. Wardik memutuskan, besok dia akan ikut.
Sehabis apel pagi, mereka bertiga keluar dari TPU C, tentu setelah dapat surat izin bekerja diluar. Juari memberhentikan Bemo yang menuju Petisah. Selama hidup, baru itulah Wardik naik kenderaan yang namanya Bemo. Di pekuburan, Tionghoa itu Juari langsung menjumpai Naspirin. Dia sudah menunggu mereka. Menunjukkan kuburan yang akan dibongkar. Dikuburan itu, sudah menunggu keluarga pemilik kuburan. Makan dan minum sudah disediakan para sanak familinya. Orang-orang Tionghoa itu ramah-ramah, membuat ketiga orang kurungan itu senang. Apalagi tak disangka, mereka diberi uang tambahan. Hari pertama bekerja mereka selesaikan membongkar tiga kuburan.
Juari, sebelum ditahan adalah anggota Pemuda Rakyat dari Bah Lias, Simalungun. Orangnya rajin, ciri orang desa, anak petani. Salahnya Wardik tak pernah menanyakan marganya. Dia anak Simalungun, arif dan jujur.
Lebihan, pembayar ongkos Bemo, tiga orang, dan uang untuk pengawal, masing-masing mereka mengantongi 1.300 rupiah. Naspirin anggota CPM pangkatnya koptu, kopral satu, dia juga bertugas di TPU C. Dia tak mepersoalkan uang tambahan yang mereka dapatkan. Katanya, lahan pengganti kuburan Tionghoa itu sudah disediakan di Deli Tua.
Selain mereka banyak juga orang-orang yang bekerja menggali kuburan itu. Orang-orang itu berasal dari luar kota Medan. Ada yang dari Marelan, Tembung dan Sunggal. Pukul lima sore mereka kembali ke TPU C.
Jarak Petisah dan TPU C hanya sekitar lima kilometer. Tak sampai sepuluh menit naik Bemo sudah sampai.  Ongkosnya cuma 10 rupiah. Wardik bilang ke Juari agar besok mereka naik Bemo lagi. Juari hanya senyum, memalingkan pandangannya kekebun jagung didepan tembok yang mengarah ke jalan besar, Medan-Binjai. Hunian orang-orang kurungan yang entah kapan berakhir.
Melapor ke pengawalan, juga ke portir. Wardik jumpa mbak San nya didepan portir. Menanyakan dari mana saja dia. Wardik bilang bahwa dia kerja keluar, ikut Juari dan Sumakir. “Kau makan dimana, dari siang mbak kecarian. Besok kalau mau keluar lagi, bilang sama mbak, jadi mbak tak mencari kesana kemari”. Wardik menyesal, lupa tak memberitahukan mbak San nya.
Melangkah ke barak XVII, diserahkannya uang 1.000 rupiah pada mbak San nya. Mbak San nya senang ada secercah senyum. Wardik bilang uang itu  hasil keringatnya. “Aku dapat upah 1.300 rupiah, yang 300 rupiah, untuk jaga kantong, Aku siang ini makan enak, nasi bungkus dari warung Padang”. Mendengar laporan Wardik, mbak San nya pura-pura cemberut, “mbak kok tidak dibeliin”. “Besok”, katanya lagi, “kalau kau kerja dan dapat uang lagi, mbak harus kau beliin nasi bungkus, lauknya rendang”. Senyum cerah, senyum sayang buat adiknya. “Kalau kerjanya bisa panjang, kita bisa mengirim uang buat, emak”. Kakaknya, meletakkan tangannya dikepala Wardik. “Iyalah, dik. Uang ini mbak simpan, bila kau perlu, ambil”.
Malamnya, di barak, sesudah apel malam. Juari datang lagi, bilang bahwa besok yang kerja keluar bersama mereka bertambah tiga orang lagi, “kawan-kawan kita dulu yang di Siantar. Mereka tak pernah mendapat kiriman”. Juari cuma mau menyampaikan itu, lalu dia pamit kembali ke baraknya.
Besoknya, sesudah apel pagi, mereka berenam keluar dari TPU C, ke komplek pekuburan Tionghoa di Petisah. Naik Bemo lagi. Setelah diarahkan, mereka pun mulai membongkar kuburan yang sudah ditunggui sanak familinya. Kerangka-kerangka itu langsung di bawa sanak familinya ke Deli Tua untuk dikuburkan kembali.
Terik matahari siang itu sungguh luar biasa. Peluh, membasahi baju hingga bisa diperas. Namun semangat untuk mendapat uang, mengalahkan segalanya. Dia berharap pekerjaan ini bisa agak panjang. Dia ingin mengirim uang hasil kerjanya ke kampung untuk emaknya. Mbak San nya pernah pulang dengan pengawal selama tiga hari. Cerita mbak San nya, emaknya sangat menderita.

TAHUN 1969, desanya punah digusur perkebunan. Seperti cerita Suratman tetangganya, di Siantar di kantin, depan markas Korem. Warga desa dipaksa meninggalkan desanya. Bagi siapa yang tidak mau pergi, ditangkap dibawa ke Kodim atau dipukuli tentara sampai mati. Lek Tamsir dipukuli, karena tak mau menyerahkansurat-surat tanahnya. Dua hari kemudian, lek Tamsir meninggal. Warga desa berserak mencari tempat masing-masing. Kaki-tangan perkebunan yang dibelakangnya tentara, mengintimidasi warga.Siapa saja yang tidak segera meninggalkan desa, akan ditindak. Dengan rasa berat, ditindih rasa takut, warga menyelamatkan diri masing-masing.
Panutan warga, seperti Samiran, Sumardi Syam, Sijan, Ponidi Tambeng, ditangkap dibawa ke Markas Korem 021 Pantai Timur. Sebenarnya jangankan ditangkap petugas Korem, mendengar namanya saja warga bisa mati berdiri. Trauma yang disebabkan pembantaian, dan teror diakhir tahun 1965, belum lagi sembuh. Kemudian mereka sudah dihadapkan dengan pembumi-rataan, desanya. Tak ada yang berani melawan, tak ada yang berani bicara, semua hanya pasrah. Pasrah pada nasib. Tak ada lagi nurani para penguasa, tak ada lagi nurani para pengusaha. Yang ada, ketamakan para penguasa, ketamakan para pengusaha. Desa Sidomulyo, Karang Anyar, Suka Dame, Purwo Rejo, Aek Korsik, Taman Sari, Karto Sentono, blok M, semua rata dengan tanah. Desa-desa yang tadinya menghasilkan berbagai tanaman yang bisa menghidupi warganya, kini tinggal puing-puing. Tak ada ganti rugi tak ada penampungan.
Emaknya terpaksa pindah keperladangan dekat hutan. Waktu Wardik belum ditangkap, ladang itu dia yang mengerjakan. Tentunya ladang itu sudah menjadi semak belukar. Tak ada sebatang tanamanpun. Sopir jender yang membawa bongkaran rumah mereka, meletakkan sembarangan seenak hatinya. Itupun dia minta bayaran yang tak masuk akal.
Selama tiga bulan emak dan adik-adiknya tak pernah makan ubi apalagi nasi. Mereka hanya makan rebus kangkung, pakis dan pisang hutan. Tak ada garam. Tak ada sanak famili yang membantu. Emak dan adik-adiknya bertahan hidup, karena kodrat Nya. Emaknya yang pernah jadi kepala dapur umum di tahun-tahun membela dan mempertahankan kemerdekaan. Dan entah berapa banyak laskar pejuang yang diberinya makan. Saat dia dalam keadaan lapar, tak seorangpun mau membantu.  Dia hanya bisa menjual pakis dan kangkung yang dipetiknya dengan anak-anaknya, adik-adik Wardik. Mereka jual ke pondok perkebunan. Ada yang membeli, tapi ada juga yang menghina. Cibiran dan ejekan. Seolah-olah, kesengsaraan ini adalah balasan bagi isteri dan keluarga orang-orang PKI.
Juari, datang membawa kopi buat mereka berenam. Waktunya istirahat diterik matahari siang.
Setengah bulan bekerja dikomplek pekuburan Tionghoa,  di Petisah itu. Upah yang mereka dapat tak menentu. Terkadang banyak, terkadang sedikit. Wardik hanya menyimpan seribu rupiah selebihnya dia titipkan pada mbak San nya, supaya dikirim ke emaknya. Hari selanjutnya, dia kembali melukis kanvas atau kre. 
Ada berita yang menggembirakan, bahwa Mbak San nya akan dibebaskan bulan Agustus1972 yang akan datang.

WARDIK duduk dibangku panjang dibawah pohon buah roda, menunggu keberangkatan ke mandahan. Kuryono datang memberinya dua bungkus rokok dan Selamat Riyadi memberi satu ons tembakau untuk sangu ke mandahan. Nasi jagung yang dibawa mbak San nya sudah ludes dimakannya. Mbak San nya terlihat sedih. Mbak Paenah yang asalnya dari Harjo Sari Medan, memberi empat ratus rupiah, Muliati dan Muliani, anak mbak Paenah setiap malam belajar dengannya, tampak menangis.
Bila siang hari anak-anak yang ikut ibunya di TPU C, bersekolah diluar, malamnya mereka belajar di barak. Wardik dan kawan-kawan bergantian menjadi guru. Kepada mereka anak-anak penghuni kurungan itu, Wardik meyakinkan bahwa suatu saat nanti mereka akan jumpa lagi. Disini, selama disini, bila dia rindu adik-adiknya,  dicurahkannya kerinduan itu pada mereka. Kadang anak-anak itu berkumpul hanya ingin mendengarkan dongeng Wardik. Semua anak-anak ini memanggilnya, Lelek. Sebentar lagi mereka akan berpisah dengan leleknya. Mereka, anak-anak ini, seperti apa nanti hari depannya? Mereka yang akan menjawabnya sendiri.
Langit diufuk Barat berwarna merah jingga. Sinar matahari menerobos awan gelap disekitarnya. Sang surya yang sedari pagi menyinari bumi, akan pergi keperaduannya. Sejenak dia menoleh mengucapkan salam pada seisi mayapada. Saat itu ada babakan baru bagi kehidupan anak manusia. Kehidupan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Pahit, getir, tapi harus ditelan
Di azan magrib. Yang menunggu. Yang sedari tadi bersiap-siap, dipanggil satu-persatu ke portir. Truk yang akan membawa tahanan pemandah ini, sudah menunggu. Mereka bergerak bersama barang-barang bawaan masing-masing menuju truk. Di apelkan dulu, baru naik keatas truk dan Wardik memilih tempat paling belakang. Selamat jalan. Selamat tinggal. Jamaknya berakhir cuma lambaian tangan. Mungkin juga sayonara, ingat semasih sekolah.
Truk bergerak, dimulai perlahan, membelok kearah Barat. TPU C pun, tak terlihat lagi. Truk itu lalu melaju diaspal hitam. Kota Binjai sudah lewat. Truk terus melaju menerobos kegelapan malam. Kanan dan kiri jalan, lewat cahaya sorotan lampu depan truk, yang kelihatan hanya pohon-pohon sawit. Sesekali berpapasan dengan kenderaan lain. Jalan itu begitu lurus. Kawan-kawannya yang pernah lewat jalan ini atau tempat tinggalnya melalui jalan ini, bilang, bahwa ini perkebunan Padang Belarang. Sesudah satu jam truk melaju dijalanan barulah kelihatan cahaya lampu dari rumah-rumah penduduk. Tiba di kota Kwala, truk membelok kekiri, jalan mulai mendaki. Truk terguncang-guncang, bergerak terus, memasuki perkebunan karet.
Ribuan kunang-kunang menari diantara pohon-pohon karet. Kunang-kunang itu lebih bahagia, dibandingkan dengan mereka seisi truk itu. Kunang-kunang itu bisa terbang berkelana kemana mereka mau, kemana mereka suka. Juga karena mereka mau, juga karena mereka suka. Tetapi manusia yang menjadi isi truk itu, berkelana karena keterpaksaan. Sementara belenggu masih tetap menjadi gelang kakinya. Tak tampak dimata, terasa berat terbawa kemana pergi.
Udara dingin mulai terasa. Ini udara pegunungan, kata kepala rombongan mereka, mas Suratijo. Seolah-olah dia tahu. Padahal dia berasal dari Hesa, kabupaten Asahan, mereka sekarang sudah berada di daerah kabupaten Langkat. Memang menurut kawan-kawan yang kenal dengan dia, Wardik mendengar Suratijo pernah dikerja paksakan ke proyek Kodam di Rawang Meranti. Disana Suratijo dan kawan-kawannya harus bekerja menebang hutan rawa, untuk dijadikan sawah. Di Rawang Meranti, masih cerita mas Suratijo, bila kawan-kawan yang bekerja berbuat kesalahan, hukumannya dibenam kedalam kolam yang penuh dengan lintahnya. 
Udara kian bertambah dingin, “Sebentar lagi kita akan sampai”, kata mas Suratijo, sepertinya dia sudah pernah ke perkebunan Blangkahan ini. Nyatanya dia benar. Setengah jam kemudian, truk berhenti di emplasmen Perkebunan, PT Telaga Sari Indah Perkebunan Blangkahan, Kecamatan Kwala, Kabupaten Langkat. Disebelah kanan emplasmen ada pajak perkebunan. Pajak yang dimaksud bukan seperti pajak yang ada dikota. Pajak ini bentuknya seperti Balai Desa. Seperti aula.Ramai sekali. Ada hiburan rakyat yang sedang tampil. Kebetulan malam itu, malam Minggu. Siang tadi, buruh perkebunan itu menerima upahnya. Gajian.
Kepala rombongan, Suratijo turun lebih dulu. Sebentar bercakap-cakap dengan pengawal. Tahanan mandahan itu diperbolehkan turun. “Kawan-kawan”, kita diperbolehkan turun dan nonton ketoprak. Tapi, satu jam lagi kita meneruskan perjalanan. Tempat yang kita tuju tidak jauh lagi, kira-kira empat kilo meter”. Seisi truk itu berlompatan turun.
Penonton yang menyaksikan hiburan rakyat yang sedang digelar, pada melihat kearah orang-orang yang berlompatan dari atas truk. Mereka tahu bahwa orang-orang yang berlompatan itu adalah para tahanan yang dipekerjakan. Sejak tahun 1969, sudah ada para tahanan dari TPU C yang dimandahkan ke perkebunan itu.
Berbeda memang yang dimandahkan kali ini usianya masih muda-muda. Secara kebetulan, berpakaian seragam hijau-hijau. Tentunya tanpa tanda pangkat dan embel-embel lainnya. Bukan karena disengaja, hanya itu yang ada. Diperhatikan begitu, yang berlompatan dari truk itu tak ada yang perduli, langsung saja menuju warung, memesan kopi, dan makanan lain.
Ada yang datang menyalami dan menanyakan kabar. “Namaku Ngamen kepala barak Seberang”, dia mengenalkan diri. Mereka disini berjumlah 60 orang. 30 orang dibarak Seberang dan 30 orang di barak Stal. “Barak baru untuk kawan-kawan tidak jauh dari barak kami. Sedangkan barak Stal, letaknya di Sinampur, kurang lebih satu setengah kilo meter dari tempat kawan-kawan nanti”. Semua  mandahan yang baru datang mendengar masukan dari bung Ngamen. Orangnya ramah dan menyenangkan. Suratijo sebagai kepala rombongan yang baru datang, banyak bertanya. Tentang bagaimana dan seperti apa pengalaman kawan-kawan yang lebih dulu mandah ke perkebunan itu. “Disini tak ada pengawalan. Tapi, kita betul-betul dijadikan budak, kawan-kawan jangan berharap mendapat upah. Walau satu sen. Pukul  05.30 harus berangkat dari barak. Mandor perkebunan memimpin pekerjaan, kepala barak tugasnya membagi anggota-anggotanya sesuai dengan permintaan mandor. Sementara asisten perkebunan hanya menerima laporan dari mandornya. Pengawas kita, Letda Sungkono dari Brimob, datang hanya sekali sebulan”. Suratijo menanyakan tentang, makan. “Kita hanya mendapat rangsum dua kali sehari, itupun tak mencukupi. Sarapan nol. Kalau mau mendapat sarapan, ya terserah kita bagaimana, kita harus berusaha”. Jawabnya. “Kita kan sudah melalui macam kesulitan, berbagai macam penderitaan dan siksaan. Dan sampai sekarang masih dapat bertahan hidup. Itu diberbagi kurungan. Apa lagi kita berada ditengah masyarakat. Aku yakin kawan-kawan tidak akan kelaparan ditengah-tengah masyarakat”.
Diantara rombongan Wardik ada yang mengenal, Bung Ngamen. Dia anggota Pemuda Rakyat dari Tanjung Keliling. Orangnya tenang, begitu meyakinkan, dia berbicara sambil tersenyum. Seakan tak ada masalah yang tak bisa diatasi.
Tak semuanya orang yang ada di keramaian itu datang khusus untuk menyaksikan pertunjukan. Terlihat para remaja, baik perempuan maupun lelaki cuma lalu lalang, dua, tiga orang atau sepasang.Tapi yang sepasang lebih banyak yang asyik menonton. Entah.

Satu jam beristirahat, sudah minum kopi, dan makan kue-kue, merokok, seolah-olah tak ada waktu untuk yang lain. Padahal keramaian ada disekitarnya. Disekitar orang-orang yang telah menjadi penghuni berbagai kurungan itu.
Waktu untuk segera jalan, ajak kepala rombongan. Pamit dengan yang punya warung, masing-masing membayar, minuman dan penganannya. Semua naik ke truk. Bung Ngamen turut naik ke truk.
Isi truk sudah lengkap, bergerak bergoncang, melintasi jalan berbatu. Dinginnya malam, dinginnya kaki pegunungan. Merokok saat itu memang dibutuhkan, mengurangi rasa dingin. Meski Wardik tahu, cuma sesaat. “Desa Lau Buntu sudah kita lewati”, terang bung Ngamen. Truk membelok kekanan, kearah utara. Bulan sabit bersinar kusam terbungkus kabut putih. Samar barak yang menjadi tujuan perjalanan itu sudah kelihatan. Truk berhenti, isinya berlompatan turun. Lalu mengemasi barang bawaannya. Rutinitas tentara yang dipaksakan, melekat sudah, apel, baris, berbanjar, berhitung, bubar jalan. Kamarpun dibagi. Lampu-lampu sudah dinyalakan, bawaan dari TPU C, dibawa masuk kebarak. Dalam kamar sudah ada tempat tidur dari papan, tapi tak beralas. Berbenah sebentar, lalu bergerombol keluar di dinginnya malam. Bung Ngamen menyalakan api unggun. Malam itu semua tak bisa tidur, mengobrol mengelilingi api unggun. Penghuni dari barak Seberang berdatangan. Ada yang membawa teh manis diceret, kopi, dan ubi rebus.
Ada yang Wardik baru ketahui ditempat itu; kawan-kawannya yang terdahulu, ada yang membawa keluarganya.
Dingin dipendiangan berkurang, suasana hangat keakraban sesama tahanan. Api unggun terus menyala. Dari barak Seberang kawan-kawan datang, dan kembali kebaraknya lagi, berganti. “Selamat datang, dirumah baru”, yang datang mengenalkan diri. Saling bertukar cerita, menyebutkan namanya dan dari mana asalnya. Diantara sekian banyak penghuni di dua barak itu, yang jauh tempat asalnya adalah Wardik. Bulan sabit menghilang dibalik bukit, kabut putih tak kelihatan lagi.
Besoknya, pagi dan dingin. Burung-burung murai kicaunya  bersahut-sahutan dibelakang barak. Didepan barak terbentang areal perkebunan yang akan diremajakan kembali. Pohon-pohon karet yang ditebangi bergelimpangan. Kabut putih tampak indah dikaki Bukit Barisan yang memanjang dari Utara ke Selatan.
Ada yang datang menghampirinya dari barak Seberang, Pandri. “Barak kita ini menghadap kearah Selatan”, katanya. “Bukit-bukit yang disebelah sana itu adalah tanah Karo. Dibalik bukit yang tinggi itu adalah Mardinding”. Pandri bilang, kalau dia punya sayap, saat itu juga, dia akan terbang untuk sebentar jumpa dengan isteri dan anak-anaknya disana. Wardik menahan tawanya tak bersuara, membuat Pandri sadar. “Kita ini manusia bang, kita tak punya sayap. Itu sebabnya manusia menciptakan pesawat, agar bisa terbang kemana-mana”. Tawa mereka berdua, lepas. Tapi Wardik tahu. Dia boleh saja ber-andai-andai. Itu karena rindunya. Rasa rindunya yang melintasi bukit-bukit di Selatan sana. Di Mardinding.
Mardinding. Baru ini didengarnya nama itu. Dia cuma tahu tanah Karo, dari film “Turang”. Film “Turang” dua kali pemutaran ditontonnya di bioskop di Rantau Prapat. Film itu disutradarai Bachtiar Siagian. Bachtiar juga penulisnya. Ceritanya tentang perjuangan rakyat tanah Karo, melawan kolonial Belanda. Karena bagus ceritanya, itu pulalah sebabnya dua kali Wardik menonton. Sampai-sampai dia hafal nada lagunya. Sedikit syair yang permulaan, Turang..., Turang…, Turang ku turang.
Pagi itu, disana, di perkebunan Blangkahan, Wardik jumpa seorang kawan yang berasal dari Tanah Karo Simalem. Bang Pandri. Ceritanya. Pandri dulunya seorang tentara. Kakaknya ibu Syarifah, dipanggil juga ibu Gangga, Syarifah Gangga, sesudah menjadi penghuni salah satu barak di Jalan Sena, markas Polisi Militer, Pomdam II Bukit Barisan, dipindah ke TPU C, jalan Binjai. Sekarang dia menjadi penghuni TPU C, jalan Binjai. Suaminya Pongang Pane Gangga menjadi penghuni penjara Sukamulia, sudah diadili, dijatuhi hukuman seumur hidup oleh Mahkamah Militer Tinggi, Mahmilti.
Kawan-kawan sebarak dengan Wardik, sudah mulai bergegas untuk mandi. Melintasi mereka berdua yang asyik berbincang-bincang. Bincang-bincang pun putus. Pandri pamit, mandi. Wardik masuk ke barak, mengambil handuk dan sabun, mengikuti yang lain. Menurun, membelok melewati batu-batu gunung di tepi jalan setapak ke sungai kecil. Airnya jernih. Pasir dan bebatuan, tampak jelas. Seakan sungai kecil itu sangat dangkal. Ikan-ikan kecil berenang kehilir, kehulu.
Menceburkan diri, mandi, menyegarkan, didinginnya air sungai. Sepuasnya. Sampai dia diberitahukan kepala rombongan agar sehabis mandi nanti harus mengambil peralatan kerja ke emplasmen. Keluar dari dalam sungai, Wardik bilang bukankah emplasmen itu jauh. Suratijo mengiyakan “Ya, jauh, tapi kita harus mengambilnya. Kalau tidak kita ambil, besok kita terpaksa menggunakan cangkul tanpa gagang”.
Wardik kembali kebarak. Selamat Suriadi kawan sekamarnya, baru saja selesai sarapan. Wardi disuruh nya makan, “nanti kita sama-sama mengambil peralatan kerja”, ajaknya. Selamat asalnya  dari perkebunan Bah Jambi, Simalungun. Dia pernah ditahan di penjara Siantar. Mereka pernah berendeng tempat tidur selama enam bulan. Kepala desa Bah Jambi ini ditangkap karena mengeluarkan surat jalan mandah pada salah seorang anggota Pemuda Rakyat ke Hamboko. Dia dituduh dengan sengaja membiarkan anggota-anggota Pemuda Rakyat melarikan diri dan sekaligus melindunginya.
Sebelum diberangkatkan dari TPU C, dia sudah berpesan, “dik, disana nanti kita sekamar saja, abang tak pandai masak. Jadi kau yang masak”. Wardik mengiyakan. Tak mungkin Wardik yang lebih muda, sedang orang yang dipanggilnya bang Selamat itu lebih tua harus memasak untuk mereka berdua.
Sebulan sebelum dimandahkan, bekas Kepala Desa Bah Jambi itu mendapat kiriman uang dari isterinya, hasil penjualan dua ekor lembu. Rencananya uang itu akan digunakan sebagai uang “suap”, agar dia dibebaskan. Tapi sebelum kontrak itu terjadi, dia sudah dikontrak ikut mandah ke perkebunan itu. Entah dia bersyukur, entah kecewa. Wardik tak pernah menanyakannya.
Sebenarnya mereka sudah bersiap-siap berangkat ke emplasmen. Tapi, sementara itu, truk perkebunan bersama seorang anggota Brimob muncul membawa perbekalan dan alat-alat kerja.
Mereka bagi alat-alat kerja, kemudian mereka pilih dua orang diantara mereka jadi juru masak. Dua orang yang tertua diantara rombongan mandahan yang baru itu,  Pak Jenu dan pak Narso. Pak Jenu asalnya dari Jawa Tengah, Solo dan pak Narso asalnya dari Polonia Medan. Tugas mereka memasak dua kali sehari.
Jatah yang diterima jauh dari cukup. Perbekalan diserahkan semuanya pada juru masak, pak Jenu dan pak Narso. Anggota Brimob itu meninggalkan barak bersama truk perkebunan ke emplasmen.

DESA yang terdekat dari barak, ialah desa Lembuntu. Beberapa dari mereka pergi kedesa itu mencari keperluan untuk besok. Hanya ada satu kedai disitu. Pemilik kedai itu namanya, Maiman Sitepu dan isterinya Ngarapen beru Ginting. Dua-duanya ramah, bertanya kapan mereka  datang dan lain-lain. Diantara mereka, orang-orang dari kurungan yang saat ini ditempatkan dibarak-barak itu ada yang membeli topi, gula, kopi dan keperluan lainnya, sesuai dengan isi saku masing-masing.
Cuma Suratijo, yang lain semua penghuni barak sudah kembali ke baraknya. Anggota Sarbupri dari perkebunan Sei Dadap, Hesa itu, punya segudang pengalaman di beberapa mandahan. Mencari kenalan, pendekatan pada warga. Disana tentu dengan warga desa Lembuntu. Sorenya dia, baru pulang, dengan lima gandeng kelapa dan sekeranjang ubi kayu. Dari mana dia mendapatkan ubi dan kelapa tak jadi soal bagi Wardik. Langsung saja ubi itu direbusnya. Cukup setengah jam, Wardik, Selamat dan Suratijo, ketiganya sudah menikmati ubi rebus dan hangatnya kopi.
Sempat-sempatnya Selamat menanyakan dari mana ubi dan kelapa itu didapat Suratijo. Padahal dia sedang mengunyah ubi rebus yang masih panas. Suratijo tertawa terpingkel-pingkel. “Aku ketemu dengan orang yang berasal dari desaku” jawabnya. “Ah, desamu kan Sei Dadap, bagaimana bisa kau satu desa dengan orang itu”. Selamat jelas tak percaya. Tapi Suratijo berkilah, katanya; karena desa asalnya, Yokya, jadi, bila ada orang yang berasal dari sana, itu sama dengan saudara sedesanya.
“Tapi, kalau asalnya dari Tanah Jawa. Itu bukan berarti, asalnya dari Jawa, meski ada Jawa nya. Tanah Jawa kan di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara”. “Yang mesti”, lanjut Suratijo sambil menunjuk-nunjuk arah perutnya, “untuk menyelamatkan kampung tengah, dimanapun kita berada pandai-pandailah membawa diri. Pandai-pandailah meniti buih, agar badan sampai diseberang”, katanya lagi ber- pribahasa.
Ketawa lebar mereka, sampai juga ketelinga Tukimin dan  Ribut. Ribut duduk disebelah Wardik mencomot sepotong, dan sepotong lagi. Begitu juga Tukimin. Tukimin berpenyakit maag akut. Orangnya selalu rapi dan pembersih, tinggalnya sebelum ditangkap, tak jauh dari desa Wardik. Abangnya Wagiran mati dibunuh komando aksi.
Sedangkan Ribut, Wardik tak tahu dari mana asalnya, Ribut tak pernah cerita. Kedua mereka ini lama di jalan Gandhi bersama Wardik.
Suratijo bilang, dia bertemu dengan orang tua yang bernama Cokro. Dari pak Cokrolah dia mendapat ubi dan kelapa, bahkan pak Cokro berpesan agar mereka datang kerumahnya. Rumahnya, didepan kedai tempat mereka membeli keperluan mereka tadi.
“Kita belum tahu bagaimana kita besok. Apakah kita punya waktu bergaul dengan warga atau tidak. Tapi kalau kita bisa membagi waktu, kita bisa membantu warga diladangnya. Kita lihat saja besok, mudah-mudahan tak ada hambatan dari pihak perkebunan”. Tukimin menyudahi bincang-bincang sore sebagai basa-basi, menikmati ubi rebus dan kopi manis panas. Kedua benda nikmat itupun memang sudah tak tersisa.
Malam kedua diperkebunan Blangkahan berlalu. Besok, bukan lagi hari ini.
Matahari siang itu bersinar terik. Hari pertama kerja paksa itu, terasa sangat menyiksa. Harus membongkar gelagah setinggi enam meter. Cucuran peluh menandakan, bahwa mereka sudah lama tak memegang cangkul dan parang babat. Telapak tangan habis terkelupas. Lengan tergores daun gelagah terasa pedih dan gatal. Asisten perkebunan dan mandornya terus menerus memberi arahan.
Tak seorangpun diantara mereka yang memakai sepatu. Duri-duri tajam yang terpijak, menusuk, masuk di telapak kaki. Haus mencekik kerongkongan. Baru semua teringat tak membawa bekal air minum. Wardik berusaha mencari mata air. Mandor Saidi mengatakan mata air diperkebunan itu tak ada. Yang ada hanya parit. Itupun adanya ditengah-tengah rimbunan gelagah di depan mereka.
Sudah empat hektar rimbunan gelagah mereka bongkar, parit yang dimaksud mandor Saidi belum mereka jumpai. Sial. Dibenak Wardik terbersit buruk sangka, jangan-jangan akal sang mandor. Tidak. Jangan. Jangan buruk sangka dulu.
Mantan Kepala Desa Bah Jambi itu menyuruh Wardik, menggali tanah membuat sumur. Wardik mencari tempat yang agak lembab dan mulai menggali tanah. Usahanya tak sia-sia. Baru setengah meter dalamnya tergali, sudah tampak tanda-tanda. Ribut yang mengikutinya memberi semangat, mendorongnya agar terus menggali. Wardik sudah sangat kelelahan. Sangat-sangat. Tapi, mengingat mereka semua benar-benar kehausan, lebih-lebih dia sendiri. Tak ada pilihan lain, dia harus terus menggali. Sampai akhirnya, mata air yang besar menyembur. Wardik bersorak, sorak parau. Mencari Tukimin. Dia ingat Tukimin membawa bontot dirantang. Rantangnya. Rantang bekas bontot itu diambilnya. Jadilah sumur kecil, pelepas haus semua kawan-kawannya. Asisten dan mandor perkebunan itu agaknya maklum.
Pak Senen yang tertua diantara mereka, kebanyakan minum hampir pingsan. Kerja paksa hari pertama, jadi pelajaran. Pukul 13.00, tengah hari diperbolehkan pulang ke barak. 4 kilo meter berjalan kaki. Dipondok perkebunan ada kedai milik orang Tionghoa, yang empunya kedai dipanggil para buruh-buruh disana dengan sebutan Banglae. Entah itu namanya yang sebenarnya, Wardik tak tahu. Dikedai Banglae ini mereka singgah membeli jerigen yang isi lima liter. Ada juga yang membeli isi dua liter. Besok sudah tak akan kehausan lagi.
Lima belas hari sudah, terus bekerja membongkar gelagah. Kulit Wardik yang hitam, bertambah legam. Kawan-kawannya sudah  ada yang jatuh sakit, karena sudah lama tidak bekerja berat seperti itu. Atau dulunya mereka bukan berasal dari petani. Tapi, tak ada pilihan yang lain, kerjakan dan terus kerjakan. Masih lumayan lembu penarik pedati, meski tak diberi upah, tapi diberi makan yang cukup.
Sebulan sudah di mandahan. Di desa Lembuntu ada hajatan perkawinan. Sebagai hiburan bagi tamu, diundang kumpulan kesenian rakyat “Ludruk”. Warung-warung kopi berdiri dikanan-kiri jalan. Lampu-lampu petromak dipasang disana-sini. Malam didesa itu, malam yang meriah.  Desa yang sunyi dan terpencil itu, berubah seperti Pasar Malam. Entah dari mana saja orang-orang berdatangan. Wardik datang kekeramaian itu, bukan karena ingin menyaksikan pertunjukan ludruk. Dia cuma ingin menonton yang menyaksikan pertunjukan. 
Asyik menonton orang-orang yang menonton, entah dari mana dua dara manis datang mendekatinya, menyapanya. “Nonton, Mang”. Salah seorang gadis itu menyapanya. “Oh, ya”. Wardik menjawab gugup. “Mamang ini sombong, tak pernah singgah kerumah. Itu mas Suratijo sering datang kerumah. Tapi mamang kok tak pernah ikut”. Perawan, berhidung mancung, berambut panjang, tinggi semampai. Ideallah. “Bagaimana ya, habis mas Suratijo tak pernah ngajak. Jadi saya dirumah saja”, jawab Wardik sejadinya, serba salah. “Dirumah, apa dibarak?” dia senyum, Wardik jadi gugup.
Dia kikuk, kedua gadis itu begitu ramah. Tapi mengapa mereka menyapanya dengan sebutan mamang. Sedangkan Suratijo, mereka sebut dengan mas. Suratijo kan usianya lebih tua dari dia. Itukan jelas. Sebutan mamang itukan sama dengan paklek. Niken dan anak-anak yang jadi penghuni barak-barak di TPU C itu yang pantas memanggilnya dengan sebutan mamang atau paklek. Tapi kedua gadis itu, begitu ramah. Sudah satu bulan Wardik berada ditempat itu. Juga sudah satu bulan dia melintas didesa itu, tak pernah jumpa dengan kedua dara manis itu. Mereka menyuruh Wardik datang kerumahnya. Laki-laki muda itu janji bakal datang. “Tapi rumah kalian sebelah mana?” Wardik benar-benar tak tahu. Mereka berdua tak percaya kalau dia tak tahu rumahnya. “Bukan karena aku sombong. Tapi aku kuatir kalau-kalau tidak diterima”, katanya meyakinkankan. Bukan itu saja malah Wardik bilang bahwa dia belum pernah main kesemua warga disitu. Begitu bersahabat dan menyenangkan, ada tawa, ada senda. Masa remaja Wardik hilang dikesusahan hidup. Kata orang masa kanak-kanak itu paling membahagiakan, dan orang-orang ingin kembali kesana. Tapi orang-orang bilang juga, masa remaja itu, lebih indah lagi. Wardik tak bisa kembali kesana. Meski dalam bayang-bayang, dia tak sempat merasakannya.
Paginya sebelum berangkat kerja, Wardik bertanya pada Suratijo, apa dia mengenal kedua gadis yang dijumpainya dikeramaian malam tadi. Suratijo, sudah lama mengenal mereka, sejak awal dimandahan itu. Gadis yang berhidung mancung itu anak pak Cokro, orang yang memberinya ubi dan kelapa sehari mereka di perkebunan itu. Gadis yang satu lagi rumahnya tak jauh dari dari rumah yang punya hajatan tadi malam. Sejak pertemuannya dengan kedua gadis manis itu, setiap pulang kerja matanya sering mencari-cari. Kalau-kalau, dia akan melihat salah satu dari keduanya, atau kedua-duanya. Tentu menyenangkan.
Dua bulan sesudahnya. Hari Sabtu di malam Minggu kedepan, Wardik mendengar akan ada pertunjukan wayang kulit semalam suntuk dirumah pak Timin. Hajatan mengkhitankan anaknya. Selamat bilang, pada Wardik, Suratijo dalangnya. Bagaimana bisa kejadian, Suratijo dipakai jadi dalang dihajatan itu. Apakah ini tidak akan menimbulkan masalah. Walaupun secara langsung mereka tidak mendapat pengawalan, bukan berarti mereka sudah dibebaskan untuk berbuat semaunya. Warga desa memang sudah percaya, tapi penguasa, mereka akan terus mengawasi. Menurut Wardik, Suratijo sudah kebablasan. Pernah dia ingatkan. Kawan-kawannya yang lain juga sudah, tapi jawaban Suratijo malah menyakitkan.
Ada cerita dari seorang kawannya sebarak. Malam itu dia diajak Suratijo, bertandang kerumah seorang warga di desa Lembuntu. Suratijo mengaku dia adalah asisten perkebunan Sei Dapdap. Dan banyak lagi cerita bohong yang diomongkan, hanya agar warga menjadi, lebih menyeganinya. Tapi mengapa harus seperti itu? Berbohong. Tadinya Wardik begitu simpati kepadanya, tapi sekarang berubah menjadi muak. Meski berkali-kali diingatkan. Bukan Suratijo namanya kalau mau mendengarkan.
Malam itu, Sabtu malam, Suratijo pun mendalang. Desa kecil itupun berubah menjadi pasar malam lagi. Seisi barak keluar ingin menyaksikan wayang kulit. Wardik hanya mondar mandir ditengah keramaian, sedikitpun tak ada terbetik keinginannya menyaksikan pertunjukan itu. Dia ingin minum kopi diwarung pinggir jalan itu, tapi tak punya uang. Wardik masih mujur. Melongok kesana kemari, melihat salah seorang dari dara manis yang dijumpainya pada malam dikeramaian yang lalu. Gadis itu sedang membantu ibunya berjualan kopi dan pisang goreng. Dibuangnya rasa segannya, didatanginya warung itu. “Eh, mang apa kabar”, dara itu kaget tak menyangka didatangi. “Sudah lama enggak kelihatan”, basa-basi fikir Wardik. Dijumpainya anak dara itu, “Boleh kubantu mbak”, sengaja dipanggilnya “mbak” dengan suara agak keras. Bukankah anak gadisnya, memanggil dia dengan sebutan mamang, berarti dia ini adik emaknya. Entah merasa barangkali, Wardik meliriknya. Dara itu cuma tersenyum. Tak menunggu jawaban Wardik kebelakang warung mengambil ember kosong, kesumur dan mengisinya air. Semua ember-ember kosong itu terisi penuh air. Membantu mengupas pisang. Kadang membantu menghidangkan kopi, teh, juga goreng pisang atau goreng ubi dipiring mengikuti pesanan tamu.
Gadis itu namanya Mesiam. Dari Mesiam dia mendapat nama temannya, Parsilah. Mbak Amum emak Mesiam membuatkan segelas kopi untuknya. Terasa nikmat, nikmatnya kopi. Kawan-kawannya cuma senyum melihatnya membantu mbak Amum berjualan.
Limabelas hari setelah Suratijo mendalang, dan limabelas hari sesudah keramaian di Sabtu malam itu. Dihari minggu, datang tiga orang pengawal anggota Brimob menjemput Suratijo dan beberapa orang tahanan pemandah lain.
Biasanya meski hari Minggu para tahanan penghuni barak-barak itu tetap bekerja, tapi hari Minggu, hari itu diliburkan. Menunggu pengganti tigapuluh orang yang ditarik ke penjara Sukamulia, di Medan. Pengawal-pengawal itu bilang bahwa, mereka-mereka itu akan segera dibebaskan, tapi semua tahu, yang benar adalah karena ulah Suratijo. Pukul sebelas siang truk yang akan membawa mereka datang, Selamat, Ribut, dan Tukimin ikut ditarik. Wardik mendatangi Suratijo, menjabat tangannya, mengatakan, bahwa semua yang dikhawatirkannya menjadi kenyataan. Suratijo mengakui kesalahannya. Cuma, semua sudah terjadi.
Kepala Desa Bah Jambi itu, abang sekamarnya meninggalkan uang untuknya limaratus rupiah, untuk membeli sabun dan pasta gigi. Pukul satu siang truk yang membawa mereka berangkat meninggalkan perkebunan Blangkahan. Barak huniannya itu sunyi. Wardik pun kesesepian.
Sisa penghuni barak, yang tertinggal berkumpul didapur. Kawan-kawan mereka dari barak Seberang berdatangan, menanyakan mengapa sebagian penghuni barak mereka ditarik kembali. Nasrun menjelaskan mereka itu ditarik ke Sukamulia, menunggu akan dibebaskan.
Nasrun selalu begitu. Bicaranya satu-satu dan selalu tepat dalam menyikapi masalah. Dia selalu mendapatkan kerja upahan untuk kawan-kawannya, mencangkul diladang para petani warga desa-desa disekitar barak. Tak jarang, bila dia mendapat pekerjaan tambahan, dia selalu mengajak yang lain bersama-sama mengerjakannya. Dan hasil upahan itu tetap dibaginya rata. Tentang mereka yang di tarik tadi dia bilang. Penguasa perlu uang, perkebunan perlu tenaga, mereka yang ditarik tigapuluh orang. Tak mungkin tak ada tenaga tambahan lagi, untuk menggantikan mereka.
Apa yang dikatakannya benar. Lebih kurang pukul 6 sore, truk yang membawa mereka yang ditarik tadi, kembali dengan penggantinya. Mereka yang ditarik itu dipindahkan ke penjara Sukamulia, dan yang menggantikannya didatangkan dari TPU Tanjung Kasau yang tadinya sudah ditempatkan di Sukamulia. Sebagai penggantinya, sebagian besar adalah mantan serdadu. Begitu truk berhenti mereka berlompatan turun, agaknya masih ingat waktu masih bertugas dulu.Tak ada satupun bekas serdadu ini yang dikenalnya, kecuali beberapa orang dari sipil yang dulu pernah sama menjadi penghuni jalan Gandhi. Biasa bersalam-salaman. Mereka diapelkan, Wardik ditugasi membagi-bagi kamar buat mereka, sekalian membagikan alat kerja untuk kerja besok. Tak sempat dia sendirian menjadi penghuni kamarnya dibarak itu. Mereka jadi berempat, dia, Maju Ginting, Saman Surbakti, dan Rolip Siregar.
 Pandri, datang menjumpai Rolip Siregar. Mereka dulu pernah sama-sama satu mandahan, di Suka Lue. Rolip Siregar pernah berumah tangga. Perkawinan mereka tak panjang. Isterinya minta cerai. Tak tahan menunggu terus, entah sampai kapan Rolip dibebaskan. Rolip Siregar tempat tinggalnya sebelum ditangkap di kampung Durian, Medan, anggota Pemuda Rakyat, ditahan sejak Desember 1965. Berpengalaman dihampir semua tempat mandahan di perkebunan yang ada di Deli Serdang. Rolip janji, kalau dia punya kesempatan pulang, dia akan bawa radio, untuk hiburan. Maju Ginting, juga anggota Pemuda Rakyat tinggalnya di Padang Bulan, Medan. Isterinya seorang perawat di rumah sakit Elisabet, Medan.
Beruntung, sekamar dengan mereka ini. Wardik memperoleh cerita-cerita dari seantero pelosok. Saman dan Maju banyak cerita tentang Tanah Karo, Rolip cerita tentang kota Medan. Dua hari mereka disini, Saman mengajak Wardik keluar kedesa, disekitar. Katanya dia ingin mencari anak ayam untuk dipeliharanya disini. Mencari maksudnya akan membeli, bila ada yang menjual. Sejak di Blangkahan baru kali ini Wardik ke desa Traktoran. Didesa ini Saman membeli enam ekor anak ayam, harganya sangat murah. Selepas kerja di perkebunan, Saman mengurusi ayam-ayamnya. Tak pernah mencari upahan. Di depan barak di sela-sela tanaman karet yang masih muda, Rolip menanam kacang merah. Bibitnya dia peroleh dari salah seorang petani. Maju Ginting menanam ubi dan terung disamping barak. Wardik sering mendapat pekerjaan mencangkul diladang petani, 4 kilometer jauhnya dari barak. Basiran dan Tugimin Kancil selalu bersamanya mencari upahan. Basiran berasal dari Solo, serdadu, Yon Kavaleri ini tak punya sanak saudara di provinsi ini. Tugimin Kancil juga mantan serdadu, dia orang Binjai. Kedua orang tuanya masih hidup, ayahnya pensiunan Angkatan Darat, serdadu juga. Bertiga mereka selalu bersama. Kebetulan mereka mendapat kerja yang sama. Meracun lalang.
Mereka bertiga pernah mengajukan permintaan kepada pihak perkebunan agar mereka dibelikan pakaian kerja, sebab pakaian mereka sudah compang camping. Pihak perkebunan memberikan uang itu kepada kepala rombongan, tahanan yang dipercaya perkebunan. Sofyan Junet, juga mantan serdadu. Uang yang diperuntukkan membeli dua pasang pakaian dan sepatu kerja itu ditilep. Begitulah kawan mereka sendiri.
Sekarang, di hari Minggu kedua, setiap bulan mereka diliburkan. Mereka yang rumahnya disekitar Medan, mengambil kesempatan ini untuk pulang. Sementara Wardik tetap tinggal di barak.
Sekali, di Minggu libur, Wardik keluar, ke Padas Gempal. Sudah beberapa kali dia mendapat kerja upahan disana. Kebanyakan petani-petaninya berasal dari desa Lembuntu. Letaknya di lereng-lereng perbukitan. Dia, kesana. Dibawanya parang babat, dengan harapan jumpa dengan salah seorang petani dari Lembuntu.
Jalan setapak ditepi sungai Tembuh masih berkabut. Jalan diperut bukit itu ditelusurinya, kian lama kian jauh. Tak seorangpun yang dijumpainya. Suara burung Kecrut dan Cucut Uran saling bersahutan. Deru air sungai, dan kulik elang yang sedang terbang jauh diatas pucuk-pucuk pohon menandakan bahwa area ini jauh dari keramaian.
Padas Gempal, meski Wardik sudah sering datang ke area ini, membantu pak Jumiden mengerjakan ladangnya, membabat atau mencangkul. Tapi hanya keladangnya saja, tak pernah keladang  petani yang lain. Dia mendapat upah dari tanaman hasil ladangnya. Pak Jumiden seorang bilal desa. Juga dipanggil pak Kaum.
Karena tak seorangpun yang ditemuinya, Wardik memutuskan kembali menuruni bukit Padas Gempal. Diujung jalan membelok kekanan sedikit mendaki bukit. Di bukit, dilereng sebelah selatan ada tanaman ubi kayu, kelihatan subur. Dituruninya lereng itu. Ladang itu begitu bersih. Ada tanaman jagung, pepaya, ubi jalar, jahe dan kacang panjang. Dilewatinya jarak tanaman ubi kayu, ada dangau menghadap ke sawah, padinya sudah di panen. Wardik tak tahu itu ladang siapa. Perutnya sudah mulai lapar. Dipetiknya pepaya disamping gubuk. Buahnya lebat, masak dipohon, dimakan codot atau burung.
Makan pepaya, dia juga ingin menyalakan api, ingin membakar jagung. Belum sempat. Ada seorang gadis berjalan diatas pematang, menuju kearah dangau, tempatnya duduk. Siapa dia? Dia membawa sabit dan keranjang. Apakah ladang ini milik gadis itu. Kelihatan sekali dia kaget. Cepat-cepat Wardik berdiri. “Maaf, dik. Aku tadi memetik dan makan pepaya tanpa izin.
Gadis itu memandangnya. Dia ragu. “Abang, orang dari barak, ya? Wardik mengiyakan, sekali lagi Wardik meminta maaf. Penuh penyesalan seolah-olah terpergok dia bilang, tadinya dia berencana ke Padas Gempal. Biasanya bekerja upahan diladang pak Kaum. Tapi tak ada orang yang keladang. Jadi dia balik membelok keladang ini. Wardik meminta maaf lagi, mungkin mengejutkannya dan sudah memetik pepayanya tanpa izin. “Tak apa bang, kalau abang lapar aku membawa nasi”.
Wardik teringat emaknya, sekiranya dia jumpa orang-orang seperti gadis ini. Nasib Wardik, lebih beruntung dari emak dan adik-adiknya.
Dia masih berdiri, memperhatikan gadis yang sempurna, cantik alami. “Masuklah bang, kok, berdiri diluar”. Dia jadi malu jangan-jangan dia berfikir, aku….”. “Orang-orang dari barak, sudah dikenal baik-baik”. Dia mengeluarkan bekalnya dan menyuruh Wardik makan. “Siapa yang bilang?” Kikuknya mulai hilang. “Ya, semua orang-orang desa yang bilang, orang-orang dari barak juga suka membantu”. “Makanlah, bang. Nanti kalau sudah selesai makan, kalau mau membantuku silahkan”.
Dijawabnya, bahwa dia belum lapar, apalagi tadi dia baru menghabiskan pepaya yang belum mendapat izin dari yang punya. Bukan maaf saja yang didapatnya. Senyum, ramah juga didapatnya. Sekiranya santun seperti ini didapat emaknya.
Bagaimana tidak terus memikirkan emaknya. Wardik tak bisa menerima perlakuan orang-orang terhadap emaknya. Dihina, diteror terus.
Dia tanyakan nama gadis itu, sedari tadi dia belum tahu, “Surtini, bang”, katanya, “seminggu sekali aku baru pulang kemari. Aku sekolah di SKP (Sekolah Kepandaian Putri) Binjai, tapi sekarang sudah selesai. Di Binjai aku kos ditempat famili di kampung Manggis”. Wardik mengerti sekarang, mengapa dia tak pernah jumpa Surtini selama ini. Akhirnya kikuknya hilang sama sekali. Surtini pun cerita tentang dirinya.
Sebenarnya dia tak ingin segera kembali kedesanya, dia telah membuka usaha menjahit pakaian perempuan di Binjai, dibantu familinya tempat dia kos di kampung Manggis. Tapi kedua orang tuanya mendesak terus agar dia pulang dan membuka usaha menjahit didesanya. “Aku dijodohkan sejak aku masih kanak-kanak”.
Lelaki pilihan orang tuanya itu masih famili mereka. Sebenarnya dia tak mencintainya. Tapi,  tradisi. Pernikahan yang dijodohkan, dan nikah diusia muda berlaku di desa-desa negeri ini. Sejak usia kanak-kanak, orang-orang tua mereka sudah menjodohkan anak-anak mereka. Dan begitu dewasa, masih usia dini dinikahkan, meski selalu berakhir dengan perceraian.
Wardik mengenal betul lelaki pilihan orangtua Surtini. Suwandi anak pak Kaum. Anaknya tampan, pandai dan rajin keladang. Tapi, apakah dia juga mencintai Surtini, kalau tidak. Entahlah. “Apa abang sudah beristri”. Pertanyaan anak perawan itu membuat laki-laki muda itu terperangah.Mengapa ada pertanyaan seperti ini dari dia. Wardik menggeleng menidakkan, dijawabnya belum. Lagi Wardik tak bisa menjawab nya ketika dia tanyakan kapan Wardik bebas. “Kami ini seperti layang-layang, suatu saat diulur jauh dari gulungan benangnya, tiba-tiba bisa saja ditarik lagi kembali kegulungannya”. Wardik menjawabnya, berpandai-pandai mengibaratkan. “Semuanya tergantung pada mereka-mereka yang berkuasa dinegeri ini”. Entah mengerti, entah tidak, gadis itu. Wardik berharap mudah-mudahan dia mengerti.
Sore itu laki-laki muda yang  di”mandah”kan dari kurungan itu membantu Surtini sampai Magrib, dia diajak singgah kerumah gadis itu.
Jalan pulang dari ladang melalui jalan setapak dilereng bukit, ada yang mengganggu hatinya. Hati laki-laki muda itu. Tapi yang dirasakannya, ada yang belum pernah dirasakannya selama ini. Usianya. Sudahlah pasti, terus bertambah.
Kedua orang tua Surtini menyambut ramah setelah mereka tahu Wardik dari barak. Mereka tak mengizinkannya kembali ke barak bila belum makan.
Sejak itu, Wardik sering membantu keluarga itu diladang. Pulang dari ladang Wardik membawa kayu bakar. Ayah Surtini, tak sempat mencari kayu bakar. Emak Surtini menganggap Wardik bagai anaknya, Wardik pun menganggap keluarga ini seperti keluarganya, pengganti orang tuanya, pengganti adik-adiknya. Sekiranya lagi sekiranya, emaknya juga mendapatkan keramahan dari orang-orang, seperti yang didapatkannya sekarang ini. Tuhan.
Selain ke ladang, Surtini sering mendapat tempahan menjahit pakaian perempuan. Warga di dua desa kecil itu, desa Lembutu dan desa Teraktoran tak berpayah-payah lagi menjahit pakaian-perempuan jauh-jauh ke Kwala.

NASRUN sekarang sudah berganti pekerjaan, menjadi juru masak bersama pak Jenu. Nasrun bilang minggu muka, mereka dapat izin libur selama empat hari. Wardik gembiranya bukan main. Itu artinya dia bisa pulang kampung, ke Padang Halaban menjumpai emaknya. Dikhabarinya  hal ini pada Surtini, dia kerumahnya.  “Tapi abang tak punya uang untuk ongkos, kalau kau….” belum habis cakapnya, sudah dipotong Surtini. “Abang, sudah kuanggap seperti abang sendiri, kesedihan abang, juga kesedihanku, kegembiraan abang, juga akan menjadi hal kegembiraanku. Kalau untuk ongkos pulang kampung, Insya Allah aku punya. Akan kukasi. Aku ada uang, tapi tak banyak. Kapan abang dapat izin libur”. “Tiga hari lagi”, jawab Wardik. Surtini bilang, nanti bila harinya, akan diantarkannya ke barak. Wardik mengucapkan terima kasih berkali-kali. Dalam hatinya bilang, Keluarga ini begitu baik, Surtini begitu baik, tak tahu, bagaimana dia akan membalasnya. Lagi terpikir, kalaulah emaknya mendapatkan kemurahan hati orang-orang seperti yang didapatkannya, dari orang-orang seperti para keluarga disini, seperti kemurahan hati Surtini. Emak, emak. Wardik tak mau Surtini tahu apa yang difikirkannya itu.
Malamnya Wardik susah tidur, sudah tak sabar menunggu hari Sabtu. Kata Nasrun mereka hanya diberi surat izin, jangan mengharap mendapatkan satu senpun dari perkebunan untuk  ongkos. Bagi Wardik izin pulang ini saja sudah melebihi segalanya. Sekiranya dia disuruh memilih uang puluhan ribu rupiahpun dengan izin pulang, pasti yang dipilihnya izin pulang.
Hari yang ditunggu-tunggu itu datang juga. Surtini datang ke barak, disalaminya Wardik uang empat ratus rupiah. Lagi Wardik berkali-kali berterimasih.
Pukul 12.00 tengah hari, truk perkebunan datang. Masing-masing mereka mendapatkan surat izin pulang. Dengan truk perkebunan itu mereka diantarkan ke Sukamulia. Didepan penjara Sukamulia mereka diturunkan, diberi pengarahan agar kembali ke mandahan tepat waktu. Pengarahan yang berkali-kali, menjemukan, sangat membosankan.
Wardik dan Antaran sepakat mencari tumpangan di timbangan Tanjung Morawa. Antaran sama sedesa dengan Wardik, juga tak punya ongkos cukup. Dua kali ganti bemo, baru sampai di timbangan Tanjung Morawa. Wardik memberanikan diri meminta tolong pada seorang petugas LLAJR, mencarikan tumpangan ke Simpang Padang Halaban. Dengan berterus terang, dia mengatakan bahwa mereka berdua adalah tahanan TPU C, yang dipekerjakan di perkebunan Blangkahan. Dia tunjukkan surat izin jalan dari Perwira Pengawas. Petugas LLAJR itu memperhatikan dia dari balik kacamatanya. “Jadi, kamu berdua, tahanan yang dipekerjakan di perkebunan, ya”. Padahal petugas itu sudah membacanya di surat izin Wardik. Wardik jadi ragu, jangan-jangan petugas itu tak mau membantu setelah tahu mereka berdua tahanan. Tapi Wardik menjawab juga, mengangguk, mengiakan. “Ya, pasti saya bantu, asal kalian mau naik truk yang penuh dengan muatan”. Mereka berdua senangnya bukan main. Dia dan Antaran sama-sama mengucapkan terimakasih.
Petugas LLAR itu  mengajak Wardik keruang kerjanya. Antaran, menunggu diluar duduk dibangku panjang. Wardik dipersilahkan duduk. “Kita tunggu, truk yang ke Rantau Prapat. Sudah berapa lama kamu ditahan?”, Sudah biasa dengan pertanyaan seperti itu, bahkan dari kawan-kawannya setahanan. “Sudah empat tahun” jawab Wardik. “Jadi, selama empat tahun ini, tak pernah jumpa orang tuamu?”. “Orang tuaku cuma emak, ayahku, diambil dari tahanan sampai hari ini tak pernah tahu bagaimana nasibnya atau kalau sudah mati tak tahu dimana kuburannya. Baru inilah mendapatkan izin empat hari dari perkebunan. Selama beberapa bulan ini kami dipekerjakan diperkebunan Blangkahan tanpa diberi upah satu senpun”. Mendengar jawaban Wardik, dia geleng-geleng kepala. Entah dia tak percaya jawaban Wardik, atau mungkin dia tak percaya mengapa bisa sampai begitu. “Aku sangat prihatin dengan keadaanmu. Sayangnya, aku tak bisa membantu”. Wardik bilang, membantu mendapatkan tumpangan untuk mereka berdua, sudah sangat membantu mereka. Dan lagi Wardik mengucapkan terimasihnya, ribuan terimakasih. “Ini ada uang untuk beli nasi nanti dijalan. Tapi jangan bilang siapa-siapa, kalau kau kukasih uang”, dirogohnya dompet dari kantong belakangnya, disalamkannya uang harga seribu rupiah selembar. Wardik tak percaya menerima uang seribu rupiah dari petugas LLAJR itu. Dipandangi nya wajah petugas itu, dia tersenyum.
Malaikat barangkali. Jangan, bukan, ah, tidak. Dikantonginya uang seribu itu, dikantong celananya. Sekitar pukul 18.30, sudah masuk waktu magrib. Suara azan kedengaran dari mesjid Jamik yang kelihatan disekitar lapangan rumput didepan timbangan. Truk yang menuju Rantau Prapat, singgah menimbang muatannya, Petugas LLAJR itu berbicara pada supir truk. Lalu supir truk itu menyuruh mereka berdua naik dibelakang. Truk itu isinya tepung terigu, itu yang tertulis dipermukaan karungnya.
Wardik tak pernah cerita pada Antaran, bahwa dia telah menerima uang seribu rupiah dari petugas LLAJR yang baik hati itu. Wardik cuma memikirkan, emaknya, Dia akan memberikan uang ini pada emaknya.
Truk yang mereka tumpangi terus bergerak laju. Sesekali berguncang-guncang dijalan yang rusak, berlubang atau berbatu-batu karena aspalnya aus dihabisi kenderaan berat kelebihan muatan yang lalu lalang. Sebelum masuk kekota Tebing Tinggi, truk itu membelok kekiri.  Mendapatkan kota Kisaran, lewat desa Bunut didepan rumah makan, truk itu membelok berhenti parkir. Supir dan keneknya turun. Mereka berdua disuruhnya turun, “Dari tadi kita belum istirahat, kita makan dulu”, katanya. Wardik sudah ingin turun. Dia sudah lapar.  Dia fikir uang yang disalamkan Surtini bisa membayar makan untuk mereka berdua, dia dan Antaran. Kan tak mungkin Supir dan keneknya itu minta dibayarkan. Tapi, “terimakasih, lae, kami tak lapar”, Antaran mengguit perutnya. Untungnya supir itu mendesak, agar mereka berdua ikut makan, “Ala, jangan begitu, saya tahu kalau lae berdua belum makan. Sudahlah jangan malu-malu. Saya juga tahu kalau lae berdua tak punya uang. Marilah makan, Rantau Prapat masih jauh. Jalan juga agak rusak. Hampir Subuh baru kita sampai disimpang Padang Halaban”.
Akhirnya, Wardikpun turun mengikuti Supir yang baik hati itu, kedalam rumah makan. Duduk disatu meja dengan supir dan keneknya. Antaran juga turun dan duduk. Bang supir memesan nasi dan lauk pauknya. Kebetulan di rumah makan itu, cuma dua meja yang berisi, satu meja jauh disudut sana. Sambil menunggu pesanan, bang supir mengajak bincang-bincang. Mengapa harus saling diam. Kenalanpun belum katanya. Pengemudi truk itu yang memulai “namaku, Bonar, Bonar Tambunan. Kampungku di Tarutung, tapi aku sudah lama tinggal di Rantau Prapat”. Wardik dan Antaran pun mengenalkan diri. Seperti pada petugas LLAJR tadi mereka berduapun berterus terang mengenalkan diri, bahwa mereka berdua adalah tahanan dari TPU C. Dimandahkan, dipekerjakan ke perkebunan Blangkahan. Empat hari ini mereka yang diperkerjakan di perkebunan itu mendapat izin pulang kekampung. “Kalau yang itu aku sudah tahu dari bapak petugas LLAJR tadi, bahwa lae berdua tahanan dari TPU C yang di jalan Binjai. Aku juga pernah ditahan, aku dulu anggota SBKB, Serikat Buruh Kenderaan Bermotor. Abangku hilang, diambil dari tahanan Kodim. Sampai sekarang, tak tahu dimana. Raib, entah dimana kuburannya. Jadi aku harap lae berdua jangan segan-segan makan sama-sama aku”.
Wardik jadi teringat gurunya di SMP, marganya Tambunan. “Di Rantau Prapat lae tinggal dimana?” Tanyanya ingin tahu lebih banyak. “Aku tinggal di kampung Cendana, tepatnya jalan Gajah Mada gang Bogor”. “Apakah lae kenal orang yang juga bermarga Tambunan, dulunya guru SMP swasta di Rantau Prapat”,  dia ingin tahu lagi. “Bah, itulah abangku yang hilang itu. Dari mana lae kenal dengan abangku itu? Apa lae pernah tinggal di Rantau Prapat?”. “Dia guruku waktu SMP dulu”.
Bonar menyudahi bincang-bincang ini, katanya, “makanlah kita dulu nanti baru kita sambung lagi”. Sambil makan Bonar  bilang, tiga bulan dia ditahan di Kodim Rantau Prapat. “Jangan malu-malu tambah nasinya, kalau perlu kita habisi semua ini” ajaknya, dia memang sudah dua kali menambah nasi. “Sudah lae, aku sudah kenyang”, Wardik pun cuci tangan. Selesai makan, perjalanan diteruskan.Truk yang bermuatan tepung terigu itu, melaju dikegelapan malam.
“Sudah dapat tumpangan, dibayari makan, dibeliin rokok lagi. Nasib kita sungguh baik, ya dik”. “Tapi, tadi abang malu-malu, tapi sudah itu abang malu-maluin”. Canda Wardi, bergurau. Kedua laki-laki orang kurungan itu tertawa lebar.
Sebelum Subuh truk berhenti, mereka sudah sampai di simpang Padang Halaban. Bonar Tambunan ikut turun, dia dekati kedua penumpangnya itu. “Lae, aku tak bisa mengantar lae berdua. Hanya aku berdoa semoga lae berdua, sehat-sehat dan cepat bebas”. Dijabatnya tangan mereka berdua, bergantian. Diambilnya dari saku bajunya uang tukaran seribu rupiah dua lembar diberikannya pada bekas penumpangnya, dua orang tahanan yang mendapatkan izin pulang selama 4 hari itu.
Lagi-lagi, dihati Wardik ada suara mengatakan, sekiranya, emaknya menerima perlakuan seperti yang dialaminya sejak petang tadi dan didini hari menjelang subuh itu. Tak cukup hanya ucapan terimasih. Wardik, matanya basah. dia menangis. Sesenggukan. Terisak. Bukan karena sedih. “Ambil, lae. Cuma ini yang bisa aku berikan”. Benar. Cuma itu yang bisa dia berikan. Tapi mungkin hampir itulah upahnya, hari ini semalaman tak tidur. Tak lengah dibelakang kemudi. Bagaimana Wardik tak terisak, tak menangis.
“Selamat jalan Lae Bonar. aku ingat namamu. Aku ingat murah hatimu sampai kapanpun. Aku  akan ceritakan pada emakku, bahwa aku dan bang Antaran diberi uang oleh seseorang yang bekerja dibelakang kemudi sebuah truk. Uang, sebanyak hampir jumlah upahnya semalaman bekerja. Kalau aku, Wardik , berumur panjang dan menikah dengan seorang perempuan, isteriku. Dan punya anak cucu. Kepada semuanya, juga, akan kuceritakan perjalanan malam ini. Bahwa aku menangis, sampai sesenggukan, karena aku dan bang Antaran diberi uang dua ribu rupiah oleh seorang pengemudi truk. Padahal uang itu  hampir dari semua upahnya semalam suntuk bekerja tak tidur sedetikpun. Dia lae Bonar Tambunan”.
Dan dia, Wardik, lagi-lagi mengingat emaknya
Keduanya berjalan kaki menuju rumah Antaran di Pulo Jantan. Sebagian warga desa Pulo Jantan masih lelap. Ketika mereka berdua mengucapkan salam, isteri Antaran menyahut dari dapur. Dia mengenal suara suaminya. Meski begitu, sesudah membukakan pintu terkejut juga dia melihat  suaminya dan Wardik. Isak tangis, rindu. Anak-anak Antaran bangun, ayahnya pulang sudah bertahun-tahun tak pulang.
Setelah meminum segelas kopi, Wardik diantar anak Antaran, berboncengan naik sepeda ke stasiun Kereta Api Padang Halaban. Pukul tujuh pagi keduanya sampai dirumah Ako Abi. Melihat Wardik hampir saja dia berteriak, karena terkejut. Ditariknya tangan Wardik keruang belakang, dipeluknya erat-erat, diciuminya berulang kali. Mertua Ako Abi, bik Satiem pun datang. Bik Satiem pernah mengasuh Wardik semasih bayi. Dulunya tetangga bersebelahan rumah dengan keluarga mereka. Orang tua itu menangis. Kabar pada orang-orang sedesa, bahkan pada orang-orang desa-desa tetangga, menyebutkan, Wardik  sudah mati.
 Bik Satiem juga bilang, bahwa emak Wardik sekarang tinggal di desa Patok Besi.
Anak Antaran pulang. Balik kerumahnya di Pulo Jantan. Wardik  berterimakasih, anak itu sudah memboncengnya sejauh sebelas kilo meter. Untuk ke Patok Besi Wardik meminjam sepeda Ako Abi. Dia bilang, sepedanya boleh dipakai selama Wardik di Padang Halaban. Wardik pun pamit.
Melewati setasiun kereta api dia teringat, disini dulu tempatnya bermain-main. Besar-besar di kereta api. Kalau pergi kesekolah, disempatkannya berjualan dikereta api dengan kawan-kawannya. Anak-anak sebayanya. Dulu ada kereta api sayur dari Padang Halaban ke Rantau Prapat. Kereta api ini membawa hasil bumi dari Padang Halaban sekitarnya. Berangkat dari Setasiun Padang Halaban pukul lima pagi, sampai di setasiun Rantau Prapat sebelum pukul enam. Disetasiun ini pulalah hasil bumi dari Padang Halaban itu dipasarkan. Dari mulai kelapa, ubi, bengkuang, cabai dan bermacam-macam sayuran. Hasil bumi ini mampu menghidupi warga Padang Halaban dan sekitarnya.
Kala kabupaten Labuhan Batu kesulitan gula, warga Padang Halaban menghasilkan gula tebu sendiri. Semua warga menanam tebu, dilahan pekarangannya dan dibelakang tumah. Tebu yang dibudi dayakan jenis D.1. Jenis tebu, yang dulunya berasal dari Jati Roto. Bayangan ini melintas membuat Wardik tak mampu menahan rasa harunya.
Begitu sampai di Kayu Putih, dia terpana. Dua desa yang dibelah jalan, desa Sidomulyo dan desa Karang Anyar sudah tak ada. Desa yang dulu hijau dengan berbagai macam tanaman, sudah berganti dengan tanaman kelapa sawit. Kemana warganya pindah, apa yang terjadi dengan desa itu. Berbagai pertanyaan dibenaknya. Didayungnya sepeda pinjaman dari Ako Abi, ingin cepat sampai dan jumpa emaknya.
Disimpang pabrik Padang Halaban, Wardik berpapasan dengan Margono, temannya dulu sama-sama di Pramuka. Tampak jelas, tak bersahabat. Maksud sebelumnya mau menanyakan dimana emaknya tinggal sekarang. Tak jadi. Dia urungkan, ketika ditegurnya Margono tak acuh.
Wardik terus mendayung, sampai didesa Patok Besi. Patok Besi dulunya hanyalah dusun kecil, lahan keluarganya berladang.
Dia laki-laki muda memanggil perempuan yang telah melahirkan serta membesarkannya dengan sebutan emak. Emaknya lahir di Majalaya. Menurut penuturan emaknya; emaknya dilahirkan kembar. Kembarannya diberi nama Juni. Dan dia diberi nama Jonah. Dialah yang melahirkan Wardik.
Sejak usia dubelas tahun, emaknya dibawa ke Sumatera. Bibi emaknya menjadi buruh kontrak tranmigrasi dimasa kolonial Belanda. Sejak itu emaknya tak pernah pulang, ketempat dimana dia dilahirkan.
Nek Ratnah begitu Wardik memanggil bibi emaknya itu. Pada masa itu, sangat disegani di perkebunan Padang Halaban. Dia seorang jawara-perempuan yang tak tertandingi. Perusahaan Perkebunan mengangkatnya menjadi mandor para buruh perempuan. Orang-orang di perkebunan Padang Halaban pernah menyaksikan dia mengalahkan seorang mandor laki-laki dalam suatu perkelahian. Dialah yang membesarkan emak Wardik, hingga  bertemu dengan lelaki, Langkir. Namanya Langkir, berasal dari Pono Rogo, Jawa Timur.
Jadi ayah Wardik berasal dari Jawa Timur sedang emaknya berasal dari Jawa Barat. Pada masa-masa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan, emaknya mengikuti jejak ayahnya, ikut berjuang dengan laskar rakyat, bergabung dengan lasykar Pesindo, (Pemuda Sosialis Indonesia). Setelah penyerahan kedaulatan, tahun 1949, mereka kembali ke masyarakat. Ayah Wardik menjadi Kepala Desa dan emaknya memilih menjadi petani, mengolah tanah. Menjadikan tanah sumber kehidupan. Ayah Wardik bukan saja menjadi panutan didesanya, melainkan panutan sembilan desa disekitar perkebunan. Sembilan desa yang aman dan damai.
Entah apa yang terjadi di Jakarta, pada penghujung tahun 1965, pada 1 Oktober 1965, tapi petakanya sampai kedesa mereka. 99 orang tak bersalah mati dibunuh, hilang, atau dihilangkan. Yang ditangkapi, disekap dalam tahanan tentara, dimarkas Puterpra dan markas Kodim. Disiksa sampai-sampai seolah-olah atau memang tak ada lagi nurani anak negeri ini. Dan yang tak dibunuh dan yang tak ditangkap diharuskan wajib lapor, dan setiap melapor diharuskan membayar uang lapor.
Di keluarga Wardik, hilang 4 orang tak tahu dimana rimbanya. Ayah, abang yang tertua, serta kedua abang iparnya. Lagi kedua kakaknya ditahan, anak-anaknya terpaksa menjadi tanggungan emaknya. Emaknya menggantikan tempat ayahnya mencari nafkah. Dialah emak sekali gus ayah. Tekanan dan ancaman diterima emaknya hampir setiap hari.
Pagi itu, hari Minggu, dibulan November 1965, serombongan orang yang menamakan dirinya komando aksi pengganyangan G 30 S/PKI, menyatroni rumah mereka. Entah apa yang  dicari. Emak Wardik dibentak-bentak. Emaknya ditampar berkali-kali, ditendangi. Adik-adik Wardik menjerit-jerit. Jeritan adik-adiknya didengarnya dari ladang dibelakang rumah. Wardik berlari kerumah, ingin tahu apa yang terjadi. Begitu dia masuk kerumah, Dia lihat emaknya sedang ditampar dan ditendangi Kemis. Darahnya mendidih, disambar nya celurit yang terselit didinding tepas, di babatkannya kearah Kemis. Nasib Kemis masih beruntung dia melompat kesamping, menghindar. Bagi Wardik saat itu, mati adalah soal kedua, Orang boleh memukulnya, tapi jangan memukul orang yang telah melahirkannya Siapapun pasti berfikiran seperti itu.
Kemis lari keluar rumah sambil mengancam, ditarik kawan-kawannya.  Wardik menantangnya satu lawan satu. Gerombolan komando aksi itu pergi meninggalkan rumah Wardik. Adik-adiknya masih menangis ketakutan. Diangkatnya emaknya ketempat tidur, menyuruh adiknya Suwartik mengambil air minum. Emaknya minum, bibir emaknya mengeluarkan darah, bekas tamparan. Perutnya masih sakit bekas tendangan. Wardi marah sampai kepuncaknya, dengan celurit ditangan mengayuh sepeda ke rumah Kemis. Yang dijumpainya, ayah Kemis, lek Sakiat dia kenal betul dengan keluarga ini. Ayah Kemis benar-benar terkejut didatangi Wardik dengan celurit ditangan. Wardik bilang, keluarga mereka tak pernah mengganggu keluarga siapa pun. Tapi mengapa Kemis sampai hati menampar dan menendang emaknya. Dia bilang lagi, pernahkah emaknya berlaku kasar kekeluarga Kemis. “Lek, tolong sampaikan sama Kemis, aku sudah siap menyusul ayah dan abang-abangku. Aku tidak akan tidur dirumah, mengintai Kemis sebelum dia minta maaf pada emak. Dengar, lek, kalau tidak aku, maka Kemis anak Lelek yang akan mati”. Ayah Kemis berusaha menenangkan kemarahan Wardik. Dia minta maaf tak dapat mencegah anaknya ikut-ikutan komando aksi. Dan dia janji, akan menasihati Kemis agar datang meminta maaf pada emak Wardik. Malamnya Wardik tak tidur dirumah, dia tidur dirumah neneknya, mengintip kalau-kalau Kemis lewat dirumah nek Ratnah. Besoknya Wardik kembali keladang, celurit tak pernah ditinggal.
Belum sempat Wardik membalas dendam, keadaan berubah. Satu kompi pasukan Brawijaya ditempatkan diperkebunan Padang Halaban. Sejak itu, gerombolan komando aksi tak lagi petantang-petenteng seperti selama ini. Untuk meredakan pembantaian dan kesewenang-wenangan. Tiga orang anggota komando aksi yang selama ini tangannya bergelepotan darah dan memperkosa perempuan yang mereka tuduh Gerwani dan Pemuda Rakyat, mati ditembak Brawijaya. Ketiganya, Siring-ringo, Manik dan Pasaribu. Sejak itu, sembilan desa disekitar Padang Halaban kembali tenang.
Walaupun kembali tenang, tapi duka dan luka itu masih tertoreh dalam, dihati warganya.

WARDIK tak pernah lupa jalan menuju ladangnya, walaupun sudah banyak perubahan. Makin dekat kerumah diperladangan itu, semakin tak menentu fikirannya. Dari jauh terlihat emak dan adiknya Susanto sedang mencangkul disawah. Dibelokkannya sepeda kearah rumah, bekas dangau mereka dulu. Dipanggilnya emaknya. Emak dan adiknya menoleh. Adik Wardik Susanto  memekik sekuat-kuatnya. ”Mak, abang pulang”. Cangkul yang ada ditangannya, dilemparkan. Terseok-seok emaknya berlari dilumpur sawah, menangis, meraung, “Anakku, anakku, kau pulang nak”. Tangisnya, raungannya, terdengar disekitar rumah. Badannya yang berselemak lumpur tak diperdulikannya, dirangkulnya Wardik, dipeluknya erat-erat. “Anakku, anakku, kau masih hidup anakku?” Para tetangga berdatangan ingin tahu apa yang terjadi. Nenek Ratnah dan kakek Wardik, Atmak, yang ikut pindah menyusul emak Wardik  kemari. Terkejut melihat Wardik, ada dihadapan mereka. Masih sehat. Wardik memapah emaknya masuk kedalam rumah. Emaknya terus memeluknya, seakan tak akan dilepas lagi. Dia ciumi emaknya. Wardik juga tak mengira bertemu lagi dengan Emaknya. Matanya mengitari sekitar rumah, tak ada lagi perabotan yang tersisa. Ada tikar pandan tua disudut ruangan, dibentangkannya. Pengikat sudut-sudutnya sudah terlepas, tak bersegi lagi.
Wardik duduk memperhatikan adik-adiknya. Mereka duduk mengelilinginya. Mereka menyangka dia sudah bebas. Maisih anak mbak San nya, yang nomor dua baru pulang dari bekerja mengambil upahan menanam padi disawah orang. Dipeluknya kemanakannya itu, Semua adik-adik dan kemenakannya, tak ada yang bersekolah lagi. Jangankan untuk biaya sekolah, untuk makan saja terpaksa semua ikut bekerja. Melihat emaknya, begitu kurus. Penderitaan ini, terlalu berat menindihnya. Adiknya Harmaini, baru pulang dari tempatnya bekerja, dia sudah pasti tak menyangka Wardi ada dirumah. Mulanya bengong. Dia menangis dipelukan Wardik, dia mengira abangnya sudah bebas. Wardik bilang, belum, masih menjadi orang kurungan. Kebetulan dipekerjakan di perkebunan Blangkahan. Dapat izin empat hari, disempatkan pulang. Ini sudah hari kedua, lusa sudah harus ada dimandahan lagi. “Abang rindu, abang rindu kalian semua”. Adiknya Harmaini masih dalam pelukannya,  menangis, terisak, mengadu. “Kami sering tak makan, bang”, isaknya kian menjadi. Wardik terenyuh,seharusnya Harmaini belum pantas membanting tulang seperti itu, tapi keadaan mengatakan lain.
“Lek, lelek belum makan. Sebentar, ya Lek, Maisih mau pinjam beras ditempat Maisih kerja”. Krmanakannya itu berdiri hendak beranjak pergi. “Jangan”, Wardik mencegahnya, “Lelek ada uang untuk beli beras. Hari ini dan besok, kita semua berkumpul dirumah”. Wardik memberikan uang dua ribu rupiah, pada emaknya, pemberian petugas LLAJR dan Bonar Tambunan pengemudi truk itu. Emaknya menyuruh Harmaini belanja kekedai yang ada didekat rumah.
Berita kepulangan Wardik, cepat tersiar di desa Patok Besi. Mereka berdatangan menanyakan kabar dan lain-lain, tapi yang lebih banyak menanyakan, apakah Wardik sudah bebas atau kapan dibebaskan. Mereka sangat prihatin dengan keadaan emak dan adik-adik Wardik. Tapi mereka juga serba kekurangan. Ada yang mau membantu tapi takut. Mereka selalu diancam akan ditindak bila kedapatan membantu.
Wardik masih punya waktu satu hari lagi, pagi itu dia tak jadi pergi ke desa Selenget menjumpai paklek Katno nya, seperti yang dipesankan emaknya. Dia butuh uang, bukan untuknya, tapi untuk emaknya. Dia ingat kawan-kawan akrabnya, Arpan, Ishak, Arifin, Yusuf, Wahab, Nanok. Mereka-mereka harapannya bisa membantu, mendapatkan uang. Rumah-rumah mereka, dia sudah tahu dimana, dia dapatkan  dari adik-adiknya.
Yang paling duluan dijumpainya Arpan. Wardik kerumah Arpan. Didapatinya Arpan sedang membersihkan sepeda. Arpan kaget, berdiri, tergagap, sampai-sampai ikhtifar, “Kau itu” Cuma itu. “Wardik, Pan, aku masih hidup”. Wardik mencagakkan sepeda Ako Abi. Tangan Wardik ditariknya dibawa masuk kedalam rumah. Ayah Arpan, Boimin, ketua Sarbupri, Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia, mati dibunuh. Diambil dari kurungan Kodim, seperti ayah Wardik.
Sebelum Arpan menanyakan, Wardik sudah men dahului, dia bilang dia belum bebas.  Dapat izin pulang empat hari. Sekarang sedang kerja paksa di perkebunan Blangkahan, besok pagi harus balik. Kesempatannya jumpa kawan-kawan cuma satu hari itu. Wardik butuh bantuan kawan-kawan uang untuk ongkos pulang. Wardik minta tolong agar dia diantarkan kerumah mereka. 
“Di Marbau Selatan”, katanya, “mengawasi orang-orang yang menanam rambung”. Begitu Arpan menerangkan ketika Wardik menanyakan apa kerjanya sekarang. Semula dia fikir Wardik bisa cerita banyak, tapi Wardik bilang, tak ada waktu lagi. “dijalan kita cerita. Dan kau Pan, harus nginap di Patok Besi dirumahku?” Arpan mengiyakan. Keduanya keluar mengayuh sepeda, kearah rumah Ako Abi. Memulangkan sepedanya, sekalian pamit. Karena, Wardik besok pagi harus balik lagi ke perkebunan Blangkahan, dengan Kereta Api pagi. Diucapkannya terimakasih banyak, disalaminya seisi rumah. Ako Abi memberinya uang, untuk ongkosnya pulang.
Dia dibonceng Arpan. Satu persatu kawan-kawan lama keduanya mereka datangi, semua jumpa. Wardik minta bantuan uang. Dengan senang hati mereka memberinya. Limaribu rupiah cukup banyak. Tapi Arpan nampaknya belum puas dengan uang sebanyak itu.
Arpan mengajaknya kerumah Admministratur perkebunan Padang Halaban. Wardik bilang itu ide gila. “Minta uang sama Van Satan?” , tapi, Arpan terkekeh-kekeh, “tenanglah pasti aku bisa dapat, tak atas nama kau. Biar aku sendiri yang minta. Manalah ingat tuan besar itu sama mukamu yang jelek itu”. Dia terkekeh-kekeh lagi. “Tapi sebelum kita kesana, kita singgah dulu dirumah bang Bero. Kita todong dia, pasti dia kasih uang. Masih ingat kau, dulu, kalau bang Bero mau kerumah simpanannya, kita yang mengawal”. Wardik ragu entah ingat, entah tidak lagi dia. Tapi Arpan bilang, mereka sering jumpa, “bang Bero selalu menanyakan kau dan cerita tentang kau. “Baiklah aku ikut, kemana kau suka”, Arpan terkekeh lagi. “Itu baru sahabatku”, dan sahabatnya itu menepuk-nepuk bahunya.
Kebetulan yang didatangi ada, lagi duduk dikursi diberanda rumahnya. Melihat kedatangan keduanya bersepeda. Langsung saja dia berteriak, “Sontoloyo, kaunya itu Wardik”. Isterinya juga keluar keberanda. Bero nama yang mereka panggil abang itu bekerja di Rumah Sakit perkebunan Padang Halaban, dia juga membuka klinik di rumahnya. Mengajak keduanya  masuk, tapi Wardik bilang “kita duduk diberanda saja”. Dia langsung mengajukan tujuan utama, apalagi kalau tidak minta bantuan uang. Agak lama dirumah itu, akhirnya kedua sekawan itu pamit. Menyalami yang punya rumah, suami isteri. Tentu ada salam berisi.
Benar, akhirnya keduanya menuju komplek perumahan para staf perkebunan Padang Halaban. Langsung ketempat kediaman Van Satan. Arpan masuk kedalam rumah, Wardik tinggal diluar menunggui sepedanya yang dicagakkan. Tak lama Arpan sudah keluar dengan tersenyum lebar.
“Cammana, Pan? Dapat?” Dia mendekat, suaranya dipelankan “Aku. Arpan”. Sudah kita angkat kaki dari sini dayung sepeda. Sudah lama aku melaknat komplek ini”. Dia sorong sepedanya, naik lalu mendayung. Wardik melompat, keboncengan. Keluar dari komplek. “Mengapa begitu, Pan?” Wardik keheranan. “Mana mungkin dia mau memberikan uang buat kita, kalau tak ada apa-apanya. Ayahku kan musuh besarnya dulu, maksudku ayah kitakan musuh besarnya. Malah kufikir-fikir dia yang memerintahkan agar ayah kita dihabisi”.
Dua hari yang lalu supir Van Satan datang kerumah Arpan, disuruh majikannya membeli jago Siam. Arpan menghargai jago Siam nya lima ribu rupiah. Uang yang dibawa sopir Van Satan itu kurang dua ribu lagi. Seharusnya sopir itu yang mengantarkan kerumah Arpan kekurangannya.”Tapi karena kita perlu…” “Jadi, begitu yang sebenarnya”, kali ini kekeh Wardik yang terdengar.
Sepanjang jalan menuju Patok Besi, Arpan terus cerita. Tentang orang-orang pengisi komplek yang dilaknatinya itu. “Apa lagi Letda Aritonang itu, mentang-mentang jadi perwira pengawas perkebunan, dengan seenaknya mengusir orang-orang kampung. Macam tanah itu milik nenek moyangnya, coba kalau dia pensiun nanti”.
“Orang-orang tak ada yang berani membantah. Siapa saja yang membantah akan dianggap pembangkang, mereka dikatakan PKI. Kalau sudah di cap PKI, dia sudah harus kehilangan segalanya, juga nyawanya. Aku jarang pulang kerumah. Aku lebih baik berlama-lama di Marbau Selatan, orang tak tahu siapa aku. Meski disana orang-orangnya juga seperti disini, sama jahatnya. Tapi aku bilang sama mereka, bahwa aku dari Medan dan baru beberapa bulan tinggal di Padang Halaban”.
“Aku pernah menginap dirumah kenalanku, di Janji”, cerita Arpan lagi dan terus mendayung sepeda. Wardik mendengarkan diboncengan. “Pak Samin yang sering kerumah kita, diakan pimpinan Sarbupri perkebunan Janji. Dia matinya dibakar hidup-hidup, ditontonkan ke orang banyak. Para buruh dipaksa mereka melihatnya. Dan yang memilukan, isterinya disulut oleh para isteri komando aksi, dengan potongan kayu yang masih ada baranya. Para komando aksi itu Soksi dibantu sama Pemuda Pancasila”.
Kedua sahabat itu, akhirnya memasuki desa Patok Besi. Emak Wardik gembira melihat kedua bersahabat  itu. Malam itu Arpan tidur di Patok Besi, besok pagi-pagi dia akan mengantarkan Wardik ke stasiun kereta api. Malam itu mereka, Wardik, Arpan dan adik-adik Wardik berbagi cerita. Berbagi cerita pahit yang harus ditelan. Terakhir menjelang tidur Wardik berpesan pada Arpan, Dia menitipkan emaknya dan adik-adiknya. Agar Arpan, bila kebetulan pulang dari Marbau, tolong lihat-lihat, mereka. Arpan janji. Wardik menyerahkan uang pemberian kawan-kawannya pada emaknya. Arpan manyalamkan  ketangan Wardik uang hasil menjual ayam Siam nya.
Adik ipar Wardik, suami adiknya, Suwartik, Ngatijan malam itu ikut ngobrol. Ngatidjan juga kehilangan abangnya, Rachman. Bang Rachman nya dibunuh bersama ketiga kawannya, dikubur keempat-empatnya dalam satu liang. Dan abang  Ngatidjan yang satu lagi, Wakidi yang  juga anggota Pemuda Rakyat harus menjalani kerja-paksa di proyek Kodam di Rawang Meranti.
Sesudah malam, pagi. Itu sudah hukumnya. Yang datang harus pergi lagi, entah sampai kapan. Wardik pamit diciuminya adik-adiknya, para kemanakannya, emaknya. Wardik pamit. Ke stasiun kereta api Padang Halaban, dia diantar, boncengan lagi dengan Arpan. Antaran sudah menunggu. Begitu kereta api yang dari stasiun Rantau Prapat menuju Medan berhenti di depan peron, Arpan disalaminya, saling rangkul. Wardik dan Antaran naik ke gerbong penumpang, setelah tadinya memesan tiket, diloket.
Arpan belum beranjak, sampai akhirnya jadwal kereta api harus patuh pada peluit kepala stasiun. Wardik ingat penggalan sajak panjang Banda, “Ada cacat yang tak mau hilang itulah kenangan. Ada penyakit yang tak mau sembuh itulah rindu”.-- Tapi dia harus jalani hidup ini --, yang terakhir ini bukan termasuk penggalan sajak itu. Kereta api terus meluncur berdetak-detak. Singgah disetiap stasiun yang harus disinggahi. Kemudian bergerak lagi.
Dari Stasiun Besar, setelah turun dari gerbong penumpang Kereta Api. Keduanya naik bemo kearah terminal Sei Wampu. Nasrun, pak Sareng, pak Tukul, dan pak Senen AP sudah sampai duluan. Lalu bersama-sama naik bus umum “Pembangunan Semesta”, menuju Binjai. Di sepanjang perjalanan, dari recorder bus ini mengalun lagu-lagu dari alunan pegunungan Tanah Karo. “Kujange, kujange, kuja ngena kudarami”. Sang sopir dan kondektur, tak salah lagi berasal  dari Tanah Karo.
Tak terasa mereka harus turun, didepan lapangan Merdeka Binjai. Harus ganti bus ke Kwala. Dari Kwala ke emplasmen perkebunan Blangkahan, jalan kaki sepanjang delapan kilometer. Dua jam melintasi jalan berbatu ditengah-tengah rimbun pohon karet, membuka cerita masing-masing. Diakhiri, sampai di emplasmen.
Enaknya memang singgah di warung kopi. Melepas lelah, memesan minuman. Rasa lapar mengusik. Ditanyanya kawan seperjalannya, Antaran, apa sisa nasinya masih ada. Ternyata semua kawan-kawannya membawa bekal. Sepakat akhirnya, mereka makan diwarung itu. Yang lain, yang baru datang juga singgah, ikut bergabung. Warung penuh diisi orang–orang dari barak yang baru pulang dari kampung halamannya.
Jam didinding Warung menunjukkan sudah pukul 20.00 lewat. Masing-masing membayar pesanannya.
Barak-barak kelihatan masih lengang. Rupanya pak Jenu sudah menyalakan lampu di teras barak. Dia sudah hampir satu jam menunggu sendiri. Lampu dikamar Wardik sudah terpasang. Pasti pak Jenu yang menyalakannya.
Orang-orang yang dikucilkan para petinggi penguasa negeri pada berdatangan, kembali kekandangnya. Maju Ginting dan Rolip Siregar masuk ke kamar. Maju mengeluarkan jeruk manis dari tasnya. Buah tangan, yang betul-betul buah dari gunung. Tanah Karo Simalem. Wardik bangkit dari pembaringan, balai-balai barak. Dia kedapur menjerangkan air diatas kompor buatan mereka sendiri. “Ini baju buat, kau”, Rolip melemparkan kearah nya dua potong baju. “Camana sudah jumpa mak dan adik-adik?” Wardik menjawab, sudah.
“Saman belum datang, dik?”. Belum dijawabnya, Maju Ginting sudah menjawabnya sendiri. “Kawan yang satu ini, betul-betul payah. Tak pernah sigap”.
Saman Surbakti orang Berastagi itu janji, pada Wardik, kalau dia pulang nanti kebarak membawa sayuran segar. Betul janjinya ditepati. Sudah terang terlambat, dua keranjang sayuran terpaksa dipikulnya sejauh 18 Kilometer.
Hari-hari, dimulai esok hari, rutinitas kerja-paksa itu, harus mereka jalani. Berhari-hari berminggu-minggu, berbulan-bulan. Sesekali kerja diladang para warga didesa sekitar perkebunan. Sudah tiga minggu sesudah izin pulang itu, hingga kembali lagi, belum ke Traktoran.  Barulah dia merasa sangat bersalah, ketika Suwono anak muda desa Lembuntu itu menyampaikan pesan Surtini, agar Wardik datang kerumahnya.
Suwono memang sering datang ke barak bersama teman-temannya. Terkadang mereka membawa ubi kayu atau tanaman palawija hasil ladang mereka. Anak-anak desa ini begitu kompak, bergantian mengerjakan ladang mereka. Kadang yang dari barak pun ikut membantu menginjak padi hasil panen mereka.
Besok siangnya, sesudah lepas tanggungan kerjanya, Wardi menemui Surtini kerumahnya. Didapatinya gadis yang sudah dijodohkan itu, sedang menjahit pakaian, tempahan orang sesama sedesanya. Wardik minta maaf, belum sempat kemari sepulang dari kampung. Suwarti menanyakan bagaimana keadaan, emak dan adik-adik Wardik. Wardik cerita apa adanya. Berkali-kali Wardi minta maaf.
Surtini  bilang bukan karena itu, “bukan karena abang tak datang, kutitip pesan sama Suwono, tapi aku mau minta tolong abang. Aku dapat bagian dari mengetam padi diladang si Sawon. Aku tak kuat mengangkatnya sendiri. Kalau abang ada waktu ayok kita ambil”. “Ayoklah nanti keburu sore”, ajak Wardik.
Dalam hatinya apapun yang diminta gadis ini yang harus dia kerjakan, dia akan kerjakan. Mengapa tidak. Begitu baik dia, sejak mula jumpa pertama, diladang. Begitu baik keluarganya. Sekarung padi yang belum diinjak dijunjungnya dikepala. Bawon, -- semacam upah mengetam padi diladang orang, seperberapa dari jumlah ketaman yang didapatkan -- lebih dari 50 kilo. Begitu sampai dirumah, karung berisi bawon diletakkannya diruang tengah. Padi ketaman itu dikeluarkannya dari karungnya, langsung diinjaknya agar Surtini tak berpayah-payah lagi.
 Seandainya Wardik bukan orang kurungan. Seandainya. Tidak, jangan berandai-andai. Wardik kau orang kurungan. Titik.
Sudah 2 tahun. Banyak cerita  dia alami. Entah itu duka entah itu suka, tapi para warga disini begitu baiknya. Begitu murah hatinya. Dua tahun ini, memang  dihati tak pernah lekang baik didalam mimpi, bahwa mereka yang tinggal dibarak ini, adalah orang-orang kurungan. Bahwa mereka yang tinggal dibarak-barak ini, orang-orang yang diinginkan para pemegang tampuk kekuasaan menjadi orang-orang yang harus dikucilkan. Tapi tidak kenyataanya.
Lagi, kenyataan juga. Bahwa jumpa juga, ada batas waktunya.
Fajar di Timur, mengubah kegelapan. Para orang-orang kurungan yang ada dibarak-barak itu sudah siap-siap ke tempat-tempat, dimana mereka harus terkuras tenaganya. Untuk kesenangan para penguasa dan para pengusaha.
Setiap paginya memang begitu. Lain pagi itu. Jono masuk ke kamar Wardik. Dia bilang, tampaknya, ini hari terakhir mereka disini. Memang ada deru mesin terdengar, sepertinya suara dari mesin kenderaan yang berhenti didepan barak. Wardik mengira, truk perkebunan yang mengantar perbekalan bulan itu.
Djono, bekas serdadu itu menerangkan, bahwa plat nomor Polisi dari truk itu, serinya, seri Tebing Tinggi. “Kita bakal dipindahkan ke Tanjung Kasau”. Katanya
Benar, waktu mereka keluar, kelihatan ada dua orang pengawal mengiringi seorang yang berpangkat Peltu CPM turun dari truk. Dia menanyakan siapa kepala barak. Sofyan Junet keluar menemui Peltu CPM itu. Mereka bercakap-cakap sebentar. Kemudian pemandah yang menempati barak itu diperintahkan bersiap-siap, akan diberangkatkan hari itu ke Tanjung Kasau. Keterangan kepala barak, bahwa yang datang adalah Wakil Komandan TPU Tanjung Kasau. Peltu Malanthon Napitupulu. Wardik memberanikan diri mengusulkan, agar mereka diberi waktu mengambil alat-alat kerja yang masih mereka simpan ditempat mereka kerja. Wakil Komandan itu mengizinkan, dia dan anggotanya juga ingin istirahat.
Sebenarnya itu semua akal-akalan dari mereka, tak ada yang ketinggalan. Mereka hanya ingin mengulur waktu, agar bisa pamit pada warga desa Lembuntu dan Traktoran. Yang utama buat Wardik pamit pada Surtini dan keluarganya.
Kabar tentang akan dipindahkannya  para penghuni barak hari itu ke Tanjung Kasau pun sudah tersiar kesemua warga didua desa itu. Suwono dan kawan-kawannya datang kebarak. Juga banyak warga yang lain ikut datang ke barak, sebagian menunggu dipinggir jalan perkebunan.
Semua penghuni barak sudah berkumpul, dibariskan berbanjar, kepala barak melapor ke kedua pengawal, jumlah anggotanya. Agak lama memang. Dipanggil namanya satu persatu, yang dipanggil naik keatas truk mengusung naik barang bawaannya. Perpisahan memang membawa haru, apalagi dua tahun, banyak diantara para penghuni barak sudah dianggap keluarga para warga didua desa itu. Ada tangis memang. Dia juga.
Wardikpun pamit ke warga desa yang datang ke barak. Minta maaf. Ada yang dia tunggu. Ya, ada.  Menatap kearah desa Traktoran, apakah dia cuma akan.
Ada. Dia datang. Surtini berlari datang. Datang juga akhirnya. Jumpa juga akhirnya. Kancil, Basiran dan Jono melompat turun, Diapun ikut melompat turun. Surtini menangis. Disalaminya mereka berempat. Dia ditinggalkan berdua dengan Surtini, Kancil Basiran dan Jono, kembali ke atas truk. Mereka mengerti, mengerti betul. “Abang tadi kerumah, aku sedang kerumah mak Lijah mengantarkan tempahan bajunya. Mak bilang abang akan dipindahkan hari ini. Selamat jalan bang, jangan lupakan aku”.  Cuma itu. Dia menangis. Wardik tak mau larut dan menambah beban yang tak pernah dia timbun. “Sudah, Sur. Jangan menangis, mari kita jalani masing-masing hidup ini. Jaga kesehatanmu, karena kita masih punya kesempatan jumpa lagi”. Dicubitnya pipi Surtini dibisikkannya. “Aku sayang sama kau, Sur. Kau tahu itu”. “Ya bang aku tahu. Aku juga sayang sama abang”. Diangkatnya dagu Surtini dengan tangannya, dilepaskan lagi, ”Selamat tinggal, Sur. Jangan menangis lagi”. Wardik balik kanan, ada yang tak bisa dihentikannya. Dia tak mau terlihat Surtini.
Sebulan lagi Surtini akan melangsungkan pernikahannya dengan Suwandi. Surtini berharap mereka-mereka yang dari barak itu, bisa datang pada hari pernikahannya, pernikahan yang tidak dia inginkan.
Andai Wakil Komandan TPU Tanjung Kasau itu, tidak ketiduran, sudah dipastikan, bahwa Surtini akan mendapatkan barak  sudah kosong penghuninya.
Naik ke truk Wardik tersenyum. “Selamat tinggal, terimakasih pada semua. Adios, sayonara lagi. Truk bergerak, selamat tinggal Blangkahan.

TANJUNG Kasau, itulah nama area perkebunan ini. Letaknya di kabupaten Asahan berbatasan dengan kabupaten Simalungun dan kabupaten Deli Serdang. Dari Tebing Tinggi arah ke Kisaran berjarak sekitar sembilan kilo meter.
Kolonial Belanda yang menjadikan area ini menjadi perkebunan karet. Diperkebunan ini, perusahaan perkebunan mendirikan Rumah Sakit khusus untuk para buruh-buruhnya, juga para pensiunannya. Rumah Sakit ini setelah semua perusahaan, termasuk perusahaan perkebunan Belanda diambil alih, berubah menjadi Sekolah Polisi Negara. Sekolah Polisi Negara dipindahkan ke Sampali di Medan akhirnya komplek ini dikosongkan. Pernah memang komplek ini dijadikan komplek tahanan. Tahanan para penyeludup, yang marak terjadi ditahun-tahun 1960-an.
Cerita itu didapatnya dari kawan-kawan penghuni sebelumnya yang berasal dari anggota kesatuan kepolisian. Jumlah mereka, yang dari kesatuan Angkatan Kepolisian sedikit, dibandingkan dengan tahanan yang berasal dari serdadu, terutama para jurit Angkatan Darat. Sama dengan jurit dari Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
Tempat Penampungan Umum, TPU Tanjung Kasau, begitu komplek bekas Rumah Sakit Perkebunan ini mereka sebut. Entah apa bedanya dengan TPU C jalan Binjai, jangan tanyakan dia itu. Jelas dia tak mengerti. Tanpa pemeriksaan, tentunya tanpa penjelasan, apakah  golongan yang disandangnya ikut berubah dari golongan C menjadi golongan yang lebih tinggi lagi atau menurun kegolongan yang lebih rendah. Entah itu menjadi takaran bertambah berat atau sebaliknya. “Sesuka hati para penguasalah”, itulah jawaban kawan-kawannya sekurungan bila dia tanyakan itu.
Kalau di TPU C, jalan Binjai KM 7, para penghuninya dibagi menjadi penghuni barak-barak yang diatur oleh kepala barak, disini dibagi menjadi kompi-kompi yang diatur oleh komandan kompi. Kedua  jabatan yang tugasnya mengatur itu, baik kepala barak maupun komandan kompi sama-sama disandang para tahanan juga.
Tidak seperti di TPU C jalan Binjai. Disini hampir semua penghuninya di mandahkan yang lebih pasnya di kerja-paksakan, kebeberapa perkebunan. Dijual tenaganya, untuk memakmurkan kocek para penguasa. Yang tertinggal, hanya mereka yang sakit-sakit atau yang sudah terlalu tua untuk diperkerjakan. Ada juga yang lain mereka-mereka yang membayar, semacam suap yang diberikan kepada komandan TPU.
Menunggu ikut dikerja-paksakan, kawan sebarak nya, Jimanto, mengajak membantunya mengukir. Dari pada menganggur dan sering lompat pagar mencari tambahan makan.
Lompat pagar besar resikonya akan mendapat hukuman yang tak setimpal dengan hasil yang diperoleh. Dan dia sudah lakukan itu, selama ini. Entah sudah berapa goni ubi kayu yang diangkatnya baik dengan izin maupun yang tidak dengan izin yang empunya kebun. Yang tidak dengan izin pasti bukan ubi kayu milik warga desa. Tapi milik para penguasa TPU. Mereka memiliki ladang masing-masing disekitar kawasan TPU.
Ubi kayu itu bukan untuk Wardik sendiri, tapi untuk dibagi-bagi pada para penghuni yang tak mujur. Yang tak pernah mendapat kiriman dari keluarganya. Ada beberapa kawan Wardik yang bijak, menyamarkan sindirannya agar dia menghentikan cara-cara seperti itu. Bukan salah, tak ada salahnya memang, kata mereka. Cuma bukan masanya lagi. Masa seperti itu sudah lewat. Di lebih tengah abad, abad kedua puluh ini, bukan masanya berperilaku seperti Robin Hood lagi. 
Ajakan Jimanto diturutinya, tak lagi lompat pagar dimalam hari. Begitu juga  ajakannya untuk mengisi waktu yang lowong untuk belajar apa saja. Wardik ingin belajar bahasa Inggeris. Belajar bersama dimalam hari, dibawah temaramnya lampu teplok.
Akhirnya waktunyapun datang juga, dikerja-paksakan. Dua ratus orang dibariskan berbanjar. Diantaranya ada yang baru kemarin dikembalikan dari mandahan diberbagai perkebunan. Tengah hari 6 truk datang menjemput. Ke-200 para tahanan yang akan dimandahkan itu, dibariskan didepan portir. Satu persatu namanya dipanggil dan naik keatas truk. Ke-6 truk yang berisi 200 para tahanan itu bergerak, membelok kekiri kearah Tebing Tinggi. Mereka menuju area kerja paksa di perkebunan Deli Muda.
Sudah banyak cerita yang didapatnya tentang berbagai tempat kerja paksa yang dinamakan mandahan itu. Salah satunya adalah, perkebunan Deli Muda. Cerita bagaimana mereka diperlakukan. Cerita bagaimana para tahanan dipekerjakan agar membuat mereka para penguasa itu makmur hidupnya, cerita tentang  para tahanan yang diperlakukan seperti layaknya bukan manusia. Akankah cerita-cerita itu harus dialaminya.
Perkebunan Suka Luwei, dikecamatan Bangun Purba, kabupaten Deli Serdang. Udaranya dingin, menandakan letak perkebunan ini sudah berada di kawasan lereng Bukit Barisan. Perkebunan karet yang sudah masanya di replanting ini masih saja terus disadap getahnya. Tapi dibagian lain, pohon-pohon karetnya sudah ditebang duabelas tahun yang lalu. Jadi tempat yang diberi nama Balua itu sudah menjadi hutan liar.
Pukul empat sore, ke-6 truk yang mengangkut dua ratus para tahanan pekerja paksa ini parkir diperkebunan Suka Luwei. Dua barak panjang sudah menanti isinya. Ada pembagian kupon untuk mendapatkan jatah beras dari kantin yang disediakan perkebunan. Dapur tempat memasak juga disediakan diantara barak I dan barak II. Mereka menunjuk Amran Tambat Sitepu sebagai mandor sekaligus mengatur pengambilan bon dikantin. Bon ini akan disesuaikan dengan hasil kerja tiap orang perorang para tahanan.
Malamnya, diapelkan. Seorang pengawal yang bertugas sebagai pengawas para tahanan, mengatur kelompok kerja. Semua para tahanan ditanyakan keahklian masing-masing. Seperti Maju Ginting mendapat kerja dibengkel perkebunan, karena dia ahkli tentang mesin diesel dan pandai membubut. Ada beberapa orang yang dikerjakan dipembibitan, dulunya mereka memang akhli mengokulasi tanaman. Ada juga yang dipekerjakan digudang asap. Sisanya besok akan dikirim ke Balua. Wardik termasuk sisanya, ikut ke Balua besok.
Apa yang akan dikerjakan, di Balua tak ada yang tahu pasti. Malamnya dilalui dengan hati was-was. Pukul empat subuh sudah dibangunkan pengawal. Seisi barak serentak bangun memasak, sekaligus membuat sarapan. Dua truk sudah siap menjemput. Berdiri padat, berdesakan, tak ada sisi yang kosong. Balua. Jaraknya dari barak sekitar 8 kilo meter.
Di lokasi diberikan masing-masing cangkul dan parang babat. Pekerjaannya, membabat semak dan mencangkul. Seorang harus menyelesaikan empat gawang. Satu gawang berukuran empat kali enam meter. Berarti satu orang harus menyelesaikan sembilan puluh enam meter. Dan setelah itu selesai, barulah mendapat upah duapuluh lima rupiah pergawang. Kalau hanya mendapat babatan dan cangkulan yang wajib, para tahanan hanya diberi pinjaman beras 2 ons perorang. Dengan demikian para tahanan harus bekerja keras untuk mendapatkan hasil lebih babatan dan cangkulan dari yang wajib.
6 hari sudah dilalui, rasa lapar berbaur dengan letih. Tak ada tumbuh-tumbuhan yang bisa dimakan di hutan itu.
Untungnya ada lipan, juga kala jengking yang besarnya setelapak tangan menjadi santapan lezat. Rasanya persis udang bakar, bila dipanggang diperapian. Beras bisa mereka dapatkan dengan paksaan bekerja ektra keras. Tapi untuk lauk benar-benar tak kuat. Suatu kali akhirnya Wardik punya akal. Akal yang sedikit mengelabui. Tapi tak seimbang dari pemerasan yang mereka lakukan. Maksud dia, terlalu kecil. Sebenarnya tak berarti. Setiap pagi, patok yang dipacakkan pihak perkebunan digesernya kebelakang sejauh empat gawang. Jadi kalau nantinya jumlah babatan dan cangkulan didapat delapan gawang, berarti sudah mendapatkan dua belas gawang. Yang enam gawang pekerjaan wajib, dari yang enam gawang lagi mendapatkan upah seratus lima puluh rupiah perhari. Maka bisalah minum kopi yang ada gulanya. Dia teringat dan sambil senyum sendiri, ungkapan Suratijo; yang penting selamatkan “kampung tengah”.
Tikus ladang dan ular jadi santapan penambah penyelamat “kampung tengah”. Biasanya, keroyokan bisa didapat empat sampai delapan ekor tikus ladang. Kalau sudah dikelebet kulitnya, lalu kepala dan kakinya dibuang, bentuk dan besarnya persis burung merpati.
Tak semua para pekerja paksa kawan-kawannya mau ikut mengelabui seperti yang dia lakukan. Mereka takut kalau ketahuan pasti sangat berat hukumannya. Pernah seorang kawannya, karena tak kuat mengerjakan jatah wajibnya, semua para pekerja paksa diperintah pulang ke Suka Luwei berlari dengan cangkul dan parang babat dipundak. Padahal jarak yang harus ditempuh 8 kilo meter.
Pak Saring usianya sudah lima puluh enam tahun terpaksa ditandu karena pingsan di tengah jalan. Ada seorang kawan agak jahil berteriak seirama dengan lari yang dipaksakan itu. Teriakannya membuat yang lain tertarik ikut berteriak: “lari-lari, anjing”…… “lari-lari, anjing” ……  Anjingnya lebih keras, jiiing nya agak panjang diteriakkan.
Hampir setiap hari ada saja diantara mereka yang mendapat hukuman, Walau kesalahan itu sekecil apapun. Sekali ada yang kedapatan sedang merebus air diwaktu jam-jam kerja, dia dihukum push up 100 kali.
2 bulan sudah, kerja paksa yang seharusnya dikerjakan traktor itu dilalui, tapi ratusan hektar lagi belum tersentuh. Sudah empat kali penggantian pengawal. Ada yang baik ada yang kurang baik, ada yang kejam. Itu menurut penilaian para tahanan, tentu lain penilaian, pihak yang berseberangan.
Untuk bisa bertahan hidup, apa saja yang bisa dimakan harus dimakan. Ubi racun, ular sawah, tikus ladang, bahkan monyet. Ubi racun sebelum direbus atau dibakar. Dikuliti dulu dan berdirikan lurus menjemurnya.
Monyet yang berwarna abu-abu itu mereka namakan jekong. Pengawal pengganti yang baru bermarga Sembiring mengajak Amran Tambat Sitepu berburu monyet. Ya, yang namanya jekong itu. Limabelas ekor dibagi-bagi. Sembiring  bilang, kali ini gratis. Tapi, besok atau lusa, mereka harus mengganti pelurunya. Seekor jekong harus dibayar 100 rupiah.
Cerita jekong berakhir cuma setengah bulan, pengawal Sembiring digantikan pengawal Rusli yang berpangkat kopral. Jangankan jekong didapat, melihat ada yang membakar lipanpun dia marah bukan main. Dan anehnya lagi, langsung menampar.
Seperti biasa, walau badan begitu letih, apel malam tetap jadi kewajiban. Malam itu sebelum ada perintah bubar jalan, Wardik dan 5 orang lagi yang sebaya dengan dia yang usianya lebih muda diantara yang lain, diperintahkan kedepan barisan. Mereka berenam selesai apel, mendapat perintah agar menghadap sang kopral.
Pondokan para pengawal tak jauh dari barak. Mereka berenam, dengan hati yang bertanya-tanya menemui sang kopral. Cemas, apa kesalahan mereka tadi siang. Laporan, menghadap khas serdadu. Terperangah diberi sebungkus rokok seorang, satu persatu diamati. Ditanyai asal masing-masing, dan siapa diantara mereka pernah bekerja menebang balok. Mereka berenam saling pandang. Wardik bilang, dia pernah ikut menebang balok dikampungnya. Poniman bilang, menebang balok belum pernah, tapi dia pernah menebang rambung.
Menurut kopral Rusli itu sama saja. Bedanya, balok-balok itu dipotong dengan ukuran panjang, kalau kayu rambung hanya kurang dari satu meter. Wardik menanyakan kayu apa yang akan ditebang.
“Ini baru pertanyaan orang yang berpengalaman. Yang akan ditebang jenis maranti. Menurut ADM jumlah kayu itu sekitar dua ratus pohon. Rata-rata berdiameter 12 inci. Bagaimana menurut kamu, apa kira-kira kalian sanggup menebang balok-balok itu”. Wardik menjawab, sebenarnya kalau ada pilihan lain mereka lebih baik yang lain. Tapi kopral itu bilang, malah pekerjaan ini yang membuatnya memilih mereka berenam. “Kalian jangan takut tentang makan kalian. Kalau, kantin tak mau memberi beras sama kalian, laporkan, biar kutembak kepala pemilik kantin itu”. Sombong. Kelihatan lagi bengis serigalanya. Anjingkan galak. Serigala dan anjing kan serumpun.
Ada tawar menawar memang, sesudah ditanyakan alat-alat apa yang dibutuhkan. Seperti gergaji selendang, dua, kampak potong, tiga, serta kikir gergaji dan kunci pembuka mata gergaji. Jatah yang harus diselesaikan, masing-masing harus mendapat dua potong balok barulah selebihnya dihitung menjadi jatah mereka berenam. Setiap incinya, mendapatkan dua puluh rupiah. “Kalau balok yang jatah kalian dapatkan besarnya dua belas inci, maka tiap potong balok kalian mendapat imbalan 140 rupiah”. Itu hitung-hitungan dia, dipelaksanaanya nanti. Lain lagi.  Wardik mengusulkan jatah untuk mereka dinaikkan upahnya, ditambah 5 rupiah perincinya. Dia sepakat. Mereka kerjakan dulu, nanti dia akan bicarakan hal itu pada ADM.
Mereka berenam diantarkan ke kantin mengambil perbekalan yang diperlukan. Apa saja kata kopral itu. Berjalan menuju kantin Saidi mendekati Wardik, bilang agar mengambil perbekalan yang banyak. Bila nanti tak memenuhi jatah wajib, paling-paling akan dipulangkan ke Tanjung Kasau. Wardik mengangguk setuju. “Kontrak” malam itupun diamini. Masing-masing mendapat hutangan belanja 10 kilo gram beras, ikan asin, cabe, bawang, garam, gula, kopi dan sabun cuci.
Pohon-pohon meranti itu tumbuh dilembah. Penebangannya tak ada masalah. Menaikkan balok-balok itu, ini yang menjadi masalah. Balok-balok itu harus dinaikkan sampai kepinggir jalan. Agar balok-balok itu mudah diangkat keatas truk. Kemerengan dari lembah keatas tak lebih dari empat puluh lima derajat.
Dikampungnya, Wardik biasa mencari rotan atau balok dihutan. Tetapi hutan dikampungnya, hutan rawa. Menarik balok dihutan rawa, jauh lebih mudah dibandingkan dihutan darat. Hari kedua menebang kayu di sepanjang lembah tak menemui kesulitan. Ternyata dibohongi, besaran diameter balok. Menurut kopral Rusli diameternya duabelas inci, ternyata rata-rata duapuluh lima inci.
Sudah diperhitungkannya, mereka bisa menumbangkan pohon meranti itu dua puluh batang sekali gus. Pohon-pohon meranti yang berdekatan dipotong dua pertiga dari besaran batang. Kemudian ditebang pohon yang dipilih, pohon meranti yang agak besar. Begitu pohon yang besar itu tumbang, maka pohon-pohon yang lain sebagian akan ikut tumbang tertimpa pohon yang besar.
Hari kedua mereka hanya melakukan pemotongan dengan gergaji selendang, menjadikan balok-balok meranti itu gelondongan empat meter delapan puluh senti. Ukuran tiap keping papan. Sampai hari keenam jumlah yang mereka hasilkan mencapai 50 potong. Hari ketujuh membuat mereka berenam berfikir keras. Tak ada yang punya gagasan bagaimana caranya menaikkan potongan-potongan gelondongan tadi keatas.
Sesekali ADM perkebunan dan pengawal datang memeriksa kerja mereka. ADM dan pengawal itu, dipastikan tak akan pernah memikirkan seperti apa sulitnya pekerjaan ini. Yang ada dibenak mereka berdua, bagaimana balok-balok itu segera bisa dijual. Mereka tak perlu mengeluarkan modal untuk penebangan pohon meranti yang sangat menjanjikan itu. Seandainya diantara para tahanan itu ada yang mati tertimpa balok, tak ada masalah bagi keduanya. Mereka berenam tahanan, bukanlah manusia bagi keduanya. Lebih berharga sapi perahan, karena sapi perahan punya harga.
Sampai hari kesembilan, baru sepuluh potong balok yang bisa ditarik sampai kepinggir jalan. Kopral Rusli mulai kelihatan belangnya, dia berang. Mereka berenam bekerja dianggap lamban. Walaupun kopral itu menyaksikan langsung bagaimana mereka berenam bersusah payah menaikkan balok-balok itu, mana dia perduli. Sudah 3 kali truk pengangkut balok-balok itu mengangkut balok-balok dari lokasi penebangan, itupun kopral itu belum puas. Pernah sekali balok yang Wardik dan kawan-kawannya naikkan, berguling kembali kebawah, talinya putus. Kalaulah mereka tak cepat melompat menghindar, pastilah tergilas balok yang berukuran dua puluh lima inci itu.
Juah Sembiring kebetulan lewat, dia melihat kejadian. Dia sarankan agar Wardik merubah cara menaikkan balok-balok itu. Kiatnya harus dirubah dari yang sudah-sudah, karena akan sangat berbahaya dan menyusahkan. Balok-balok yang akan ditarik sebaiknya diberi ganjal kayu sebesar lengan, posisinya jangan melintang, tapi membujur. Kayu-kayu sebesar lengan itu sebagai pengganti roda.
Sejak itu Wardik berenam bisa menaikkan 10 sampai 12 batang balok setiap hari. Cukup 2 bulan habislah pohon-pohon meranti dilembah itu menjadi balok-balok gelondongan. Tak seperti biasanya penggantian pengawal seharusnya dua minggu sekali, kecuali kopral Rusli. Selesai kerja para tahanan yang berenam itu melakukan penebangan, barulah dia diganti. 2 bulan.
Tiga setengah bulan jadi budak pekerja paksa di Suka Luwei. Wardik rasanya sudah mulai tak sanggup. Didekatinya pengawal pengganti. Memintanya agar dia dikembalikan ke Tanjung Kasau. Pengawal pengganti itu bilang dia harus punya alasan memulangkan setiap tahanan. Cari alasannya.  Wardik tak punya jawaban untuk itu, malah balik bertanya. Saran pengawal itu, besok Wardik harus melawan asisten perkebunan yang ikut mengawasi kerja mereka. “Kalau perlu kau hajar Mesin Tarigan. Pasti dia mengadu. Sudah pasti juga kau akan kuhukum. Barulah kau bisa dipulangkan ke Tanjung Kasau, karena melawan asisten”. Begitu kata pengawal itu, yang menggantikan pengawal kopral Rusli.
Besoknya sekitar pukul 12, Mesin Tarigan, asisten itu datang memeriksa pekerjaan para tahanan. Wardik sedang menanam bibit-bibit rambung yang sudah diokulasi. Begitu sampai ditempatnya, asisten itu marah-marah. Membentak-bentak, bilang pekerjaannya tak beres. Wardik disuruh membongkar lagi tanaman yang sudah ditanaminya. Tentu saja Wardik tak mau. Dia dikatakan asisten itu, melawan. Asisten itu mengancam akan melaporkan hal ini ke Tanjung Kasau, bisa-bisa Wardik akan dinaikkan golongan dan karenanya pasti akan dipindahkan ke Suka Mulia.
Pertengkaran bertambah sengit. Kawan-kawan Wardik jadi keheranan. Tak biasanya si Wardik itu melawan, biasanya dia sangat penurut. Sebenarnya sudah lama Wardik ingin menampar asisten yang congkak ini. Ini kesempatan, dapat saran dari pengawal lagi. “Anjing geladak. Kau fikir aku takut dipindahkan ke Suka Mulia. Disana juga kawan-kawanku. Bagiku dimana saja sama. Mau dibuang, memang aku orang buangan. Mau dikurung, memang aku orang kurungan. Jadi terserah kau. Sekarang silahkan kau melapor sama pengawal. Aku tak takut dengan hukuman apa saja. Nanti kalau aku bisa bebas, kucari kau”. Wardik mendorong pundak asisten itu, agar asisten itu memukulnya. Ternyata benar, asisten itu melayangkan tinjunya kearah muka Wardik. Wardik memang sudah siap. Dia mengelak, membalas bertubi-tubi. Tak menyangka, asisten itu jelas tak siap. Kawan-kawan Wardik datang memisah. Asisten itu akhirnya pergi dengan muka lebam, melapor ke pengawal yang sengaja menjauhi tempat itu. Dia mengadukan, bahwa para tahanan mengeroyoknya. Malu bila muka lebam, hanya melawan seorang tahanan.
20 orang dipanggil, mendapat hukuman. Ditampari dan merayap sejauh seratus meter, disuruh kembali kebarak berjalan kaki. Asisten itu puas menyaksikan para tahanan mendapat hukuman. Padahal bagi mereka  para tahanan itu, hukuman seperti itu tak ada apa-apanya. Hukuman seperti itu sudah biasa, tak seorangpun yang kaki ataupun tangannya cedera.
Diperjalanan pulang ke barak semua menanyakan, mengapa Wardik melawan, malah memukul Mesin Tarigan asisten perkebunan itu. Wardik sambil senyum bilang, besok mereka yang dikatakan mengeroyok asisten itu akan dipulangkan ke markas besar Tanjung Kasau.
Paino mendapat penjelasan seperti itu, sebab senangnya memeluk Wardik. “Betul-betul kancil, banyak saja akalmu. Akupun sudah lama ingin lari dari tempat ini, terima kasih Lek. Besok “hari baru” buat kita”.

KEMBALI ke Tanjung Kasau, besok atau lusa layang-layang itu akan dilepaskan terbang lagi, diulur, tapi juga bisa ditarik kegulungan benangnya lagi. Baru dua hari, tigapuluh orang diantaranya dia, terdaftar dimandahkan lagi. Hanya sebagai tenaga sisipan, begitu keterangan yang didapatnya dari wakil komandan TPU. Ke perkebunan Naga Timbul.
Perkebunan Naga Timbul masih di kabupaten Deli Serdang. Kota terdekatnya Tanjung Morawa. Jarak perkebunan ini lebih kurang 15 kilo meter dari Tanjung Morawa.
Di perkebunan ini tahanan pemandah itu akan mendapat upah seratus rupiah perhari, membersihkan parit-parit perkebunan.  Paritnya sudah 8 tahun tak pernah dibersihkan. Tak ada barak, seperti biasa tempat hunian mereka. Para tahanan pemandah itu ditempatkan di tiga pondok kosong.
Malamnya diapelkan pengawal yang ditugaskan mengawasi. Seperti biasa ada arahan. Pengawal itu bilang, baginya, yang penting mereka jangan melarikan diri dan borongan yang dipatokkan harus diselesaikan. “Saya bisa mengatur, kalau kalian ingin mengunjungi keluarga”. Dia bilang juga kalau dia akan jarang  disana. “Jadi saya berharap kalian jaga nama baik saya”. Begitu arahannya, dan arahan ini adalah maklumat. Dan bukan saja agar mereka tahanan-tahanan itu memahaminya, tapi juga harus dipatuhi. Pelanggaran ada ganjarannya.
Anemer Menghong, dia yang membeli tenaga mereka dari penguasa. Tenaga yang sangat murah, melebihi murahnya tenaga budak. Tenaga yang dipaksa menerima apa saja. Seratus rupiah perhari, hanya cukup setengah kilo gram beras. Dia, Amran Tambat Sitepu dan Paino menjadi satu grup makan. Paino yang mengatur belanja mereka bertiga. Dengan uang tiga ratus rupiah, mereka bertiga harus bisa bertahan hidup. Sudah terbiasa di Suka Luwei, tak begitu terasa kesulitan yang akan mereka hadapi ditempat baru itu. Pakis, kangkung, genjer dan banyak lagi yang tumbuh dibawah kelapa sawit yang dapat dimakan. Apa lagi parit yang akan dibersihkan sudah 8 tahun tak pernah dijamah orang. Segala macam ikan parit, dari ikan gabus, lele, paitan, belut sampai labi-labi, bisa menjadi santapan lezat didapatkan.
Sebenarnya, waktu dikampung dulu, sekalipun dia tak pernah memakan makanan yang tidak-tidak. Tapi setelah hidup menjadi orang kurungan yang dikerja paksakan, untuk bertahan hidup segala yang bisa dimakan; dimakan. Disini, diperkebunan Naga Timbul, dia merasakan daging labi-labi. Enak.
Setiap hari menempuh perjalanan tidak kurang dari lima kilo meter. Tak ada sarana pengangkutan disediakan. Pukul setengah enam pagi sudah harus berangkat dan pukul setengah enam sore baru selesai. Tak ada alasan hujan atau sakit. Harus kerja, seperti ketentuan yang dibuat anemer.
Ada satu desa didekat perkebunan itu. Desa itu namanya Naga Rejo. Desa Naga Rejo dulunya sangat luas. Tetapi, pada tahun 1969 desa ini separuhnya dirampas perkebunan, ditanami kelapa sawit. Menurut warganya, mereka tak pernah mendapatkan ganti rugi. Nasib desa Naga Rejo sama dengan kampungnya di Padang Halaban. Wardik sering menukarkan ikan yang ditangkapnya, dengan ubi atau kelapa. Hampir setiap sore bila melewati desa itu, ada saja yang memberi pisang, ubi kayu atau sayuran. Pernah sekali mereka bekerja didekat rumah penduduk yang berdekatan dengan lahan perkebunan. Tiba-tiba hujan turun sangat lebat. Semua berlari, menumpang berteduh kerumah itu. Pukul dua belas siang hujan belum juga reda. Pemilik rumah mengajak mereka masuk, mempersilahkan mereka makan. Jumlah mereka sepuluh orang. Semula pemandah orang kurungan itu menolak, dengan mengucapkan terimakasih. Juga bilang bahwa mereka membawa bekal. Namun mereka tetap diajak ikut makan bersama. Selesai makan, si empunya rumah cerita kalau dirinya juga sama senasib.
Di apel malam, ada perintah; besok lebih pagi mereka akan dijemput, berangkat kedaerah Galang. Pagi masih berkabut. Truk yang akan membawa mereka sudah siap. Truk bergerak melewati perkebunan Batu Lokong menuju Petumbukan. Melewati Rumah Sakit Petumbukan truk membelok kearah Galang. Tak berapa lama truk melewati jembatan yang agak lumayan panjangnya. Beberapa orang diantara mereka berteriak agar pak supir memperlambat truknya.  Usulan mereka di turuti pak supir. Begitu truk berada ditengah-tengah jembatan, Legimin merapat mendekatinya. “Disini ratusan orang kawan-kawan terkubur didasarnya. Inilah Sungai Ular, abangku dihabisi di sungai ini. Diseberang sana, desa Pulau Gambar, kawan-kawan dari Pulau Gambar semua dihabisi di sungai ini”.
Laksaan bahkan ratusan ribu anak bangsa yang tak berdosa dibunuh demi sebuah kekuasaan. Semua cerita duka sudah pernah didengarnya disetiap tempat. Para orang-orang yang di PKI kan disekap. Waktu dipenjara Siantar, Junaidi, kawan sekurungan dengannya bercerita. Diperkebunan Bandar Betsy ada tugu yang diberi nama Tugu Sujono. Bukan karena cantik dan megahnya yang selalu diingatnya, tetapi disekitar tugu itu ratusan manusia yang di PKI kan, yang tak berdosa dipenggal dan ditanam disekelilingnya. Juga dia mendengar cerita di perkebunan Hamboko hampir sama. Disini ada kuburan massal ditengah-tengah perkebunan karet. Entah dari mana saja orang-orang dibawa ketempat ini, lalu dihabisi disungai kecil yang dalamnya sampai sebelas meter baru dijumpai airnya.
Truk terus bergerak menuju tempat kerja yang dia belum pernah tahu. Di pukul 7 pagi itu, truk berhenti. Anemer Menghong terlihat sudah menanti berkecak pinggang. Mereka diberi petunjuk, apa-apa yang harus dikerjakan. Membuka jalan tembus keperkebunan Rambung Sialang. Tak kurang tujuh hari jalan tembus itu sudah selesai.
Mereka kerap dipekerjakan diperkebunan-perkebunan lain yang ada di sekitar kabupaten Deli Serdang. Mengerjakan borongan yang menjadi borongan anemer Menghong. Meski dipekerjakan diperkebunan lain sorenya, mereka tetap dipulangkan ke perkebunan Naga Timbul.
Bila diperkebunan Blangkahan ada sungai Tembuh, di Naga Timbul ada sungai Tawang. Gemercik sungai Tawang mengulang ingatannya, pada perkebunan Blangkahan. Disana ada seorang gadis yang ingin lepas dari tradisi kawin dijodohkan. Surtini. Apakah dia bahagia bersama Suwandi. Entah kapan bisa jumpa.
Besoknya bekerja lagi diterik matahari. Membongkar tunggul-tunggul kayu disela-sela tanaman sawit yang masih berumur tiga bulan. Lalang kering yang sudah disemprot racun, dibersihkan.
Jauh kearah Baratdaya, Bukit Barisan seperti punggung naga menggeliat.“Itu Bandar Baru”, Cio Sembiring kepala rombongan, sekaligus mandor menghampirinya. Cio cerita bahwa disana di Bandar Baru kawan-kawan yang dari jalan Binjai KM 7 dipekerjakan. Mereka sedang membangun monumen “Patung Pramuka” dikawasan kampung Pramuka. “Kau kenal Puji Tarigan”, katanya. Wardik bilang bahwa dia kenal Puji Tarigan. Di TPU C jalan Binjai. Puji pernah mengajari dia bagaimana melukis dengan komposisi warna yang baik. Puji Tarigan lah yang sekarang memimpin mengerjakan Patung Pramuka itu, kata Cio. Dalam hati Wardik, kalau dia bebas nanti, dia akan ke Bandar Baru, melihat patung buatan Puji itu.
Tiba-tiba Pamunar Manik berteriak melihat asap di arah Timur. Serempak mereka berlari kearah api yang membakar kelapa sawit muda itu. Ilalang kering yang terkena racun cepat sekali dilahap api. Sudah lima puluhan pohon yang terbakar. Tak kurang dari setengah jam api bisa di jinakkan. Tak berapa lama asisten perkebunan datang, mengucapkan terima kasih. “Kalau tak ada bapak-bapak, entah bagaimana tanaman ini jadinya”. Dia pamit dan berjanji akan datang lagi.
“Cuma terimakasih, padahal korekku entah terjatuh dimana. Jangan ditanya harganya, tapi kerugiannya ini. Coba kalau beli koreknya di Parapat, ongkosnya kesana berapa”. Pamunar ngomel tak terarah. Wardik geli mendengarnya. Tapi Simprah malah menimpali “Kebetulan beli koreknya di Jakarta, ya Nik”. Ketawa semuanya, malah Pamunar ikutan. Mereka kembali kerja lagi.
Tak lama asisten perkebunan dan pengawal datang dengan empat orang Hansip. Mereka, para orang-orang kurungan itu diperinyahkan berkumpul. Ditanya, siapa diantara mereka yang mula melihat api. Pamunar Manik menjawab dia yang melihat api pertama. Pengawal bilang, ada tuduhan dari pihak perkebunan pada mereka, kebakaran itu sengaja dilakukan. Kemudian, mereka padamkan agar mereka mendapat imbalan. Inilah fitnah yang menyakitkan. Orang-orang kurungan itu membantah, melakukan itu. Asisten perkebunan itu, minta saksi. Yang dibudakkan, menyarankan agar Asisten perkebunan itu, menanyakan pada orang-orang pekerja harian lepas itu. Karena, mereka juga ikut berteriak-teriak. Alhasil tuduhan itu tak mengena. Asisten perkebunan itu mengajak pengawal agar ikut kekantornya. Niat yang baik dari Manik, berbalik jadi fitnah. Semua orang tahanan yang dipekerjakan itu terdiam, lesu.Angin yang berhembus, kering. Musim kemarau. Hukuman apa yang akan mereka terima dari imbalan berbuat baik. Api yang akan melahap pohon-pohon sawit itu sudah mereka padamkan. Tapi, mereka yang dituduh membakarnya.
Satu jam setelah mereka melanjutkan kerjanya, pengawal datang lagi menunggang sepeda motornya. Mereka diperintahkan lagi berkumpul. Pengawal itu mengatakan, sebenarnya asisten O.O Sobi merasa sangat bersalah. Akan tetapi tak ada jalan lain untuk menyelamatkan dirinya dari sanksi yang akan dijatuhkan oleh administrator, atasannya atas kelalaiannya. Tuduhan terbakarnya pohon-pohon sawit tetap kepada para pemandah, orang-orang yang dikurung yang tak punya hak sama sekali atas dirinya sendiri.
Dilunakkan. Begitu, kata pengawal itu. Untuk tidak dituduhkan melakukan pembakaran. Mereka dipersalahkan, tidak berhati-hati telah membuang puntung rokok dilalang kering. Pengawal itu menambahkan lagi. Itu artinya diantara mereka, telah dengan tidak sengaja mengakibatkan kebakaran. Administrator, penguasa tertinggi perkebunan itu, katanya, mengatakan. Karena kebakaran itu, perkebunan menderita kerugian 5 jutaan rupiah. Yang meringankan, begitu hakim alias Administrator perkebunan itu menyebutkan, bahwa pemandah-pemandah dari tahanan G 30 S/PKI Tanjung Kasau itu telah berusaha memadamkan kebakaran itu. Dan harus menerima kesepakatan ini. Sebenarnya yang tepatnya dipaksakan menerima kesepakatan ini. Penjelasan lain. Sudah ada kesepakatan antara sang asisten dengan pengawal. Dipastikan kocek pengawal akan menebal dengan uang haram. Suap. Dan ini, dimaklumi yang dikorbankan, para tahanan G 30 S/PKI. 
Karena kesalahan-kesalahan itu, maka bentuk hukuman dan eksekusinya diserahkan kepada pengawal. Sekalian menjadi eksekutornya. Push Up seratus kali, jalan jongkok sejauh dua ratus meter dan masing menerima tamparan dua kali. Sampai disitu. Belum. Mereka masih harus terpanggang diterik matahari, selama pengawal itu berada didalam kantor OO Sobi. Akhirnya diperbolehkan bubar, setelah pengawal itu keluar dari kantor bersama asisten. Diteras kantor pengawal Umar dan asisten OO Sobi bersalaman. Bubar, tapi bukan untuk pulang kepondok. Bubar, kepekerjaan masing-masing. Pengawal itu menunggang sepeda motornya, hengkang kearah Tanjung Morawa. Wardik mendatangi asisten itu. “Selamat siang, pak. Sudah puaskah bapak menfitnah kami? Kalau bapak belum puas, besok buat lagi fitnahan baru agar kami ditembak mati. Ingat pak, Tuhan itu Maha Adil. Besok atau lusa bapak pasti menerima balasan. Bukan terimakasih yang kami peroleh, tapi hukuman yang kami dapatkan. Hukuman atas kesalahan yang tak kami perbuat”. Asisten itu terdiam. Walaupun ada penyesalan, penyesalan itu tak ada artinya lagi.
Seminggu sekali mereka menerima upahnya. Kali ini anemer Menghong sendiri yang datang. Menghong menanyakan tentang kebakaran tanaman sawit muda itu. Dia sudah tahu bahwa mereka mendapat hukuman. Dia bilang, kalau benar mereka yang bersalah, dia bersedia mengganti tanaman yang terbakar itu. Tapi, kalau tidak, dia akan menuntut asisten yang memfitnah. Katanya, dia mendengar juga, sebenarnya mereka yang memadamkan api. Cio Sembiring yang menjadi kepala rombongan diminta anemer Menghong memberikan penjelasan. “Kamilah yang berusaha memadamkan kebakaran. Tetapi sebaliknya, kamilah yang mendapat hukuman. Kalau pak Menghong mau mencari kebenaran untuk kami, rasanya sia-sia. Tidak pernah ada kebenaran yang memihak kami. Walaupun yang berbuat bukan kami, tetap kamilah yang salah. Jadi tak usahlah bapak susah-susah menuntut atau membela kami. Bisa-bisa bapak dijebloskan ketahanan seperti kami”. Menghong tertunduk, dia menyadari itu.
Besoknya, kerja lagi seperti biasa. Seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu.
Seminggu sesudah pohon-pohon sawit itu terbakar, pengawal yang memberi hukuman pada mereka diganti. Penggantinya kopral Rusek. Mereka pemandah itu sudah tak mudah lagi percaya. Seberapa baiknya pun para pengawal. Pengawal tetap pengawal.

EMPAT tahun sudah, dari perkebunan satu ke-perkebunan lain, menjalani kerja paksa. Bulan Oktober tahun 1974, semua tahanan yang dipekerjakan diperkebunan-perkebunan tidak dibenarkan lagi.
TPU Tanjung Kasau sudah bertukar nama, ketika para pemandah yang di paria kan itu dikembalikan kekurungannya, menjadi Instalasi Rehabilitasi, Inrehab Tanjung Kasau.
Bangunan yang direhabilitasi, adalah bangunan yang sudah rusak atau tak bisa dipergunakan lagi.. Apakah Wardik dan yang menjadi orang-orang kurungan yang dituduhkan ikut atau setidaknya akan melakukan makar terhadap Negara yang syah itu, benar sudah rusak atau tak bisa dipergunakan lagi. Nyatanya mereka selama ini digunakan sebagai budak disetiap perkebunan-perkebunan dan proyek-proyek militer. Yang mendatangkan kemakmuran bagi mereka yang berkuasa dan bagi mereka pengusaha, bahkan bagi devisa Negara.  Untuk itu kah  Wardik dan yang lain  harus menghadapi rehabilitasi. Atau dia harus direhabilitasi. Apa lagi ini.
Ada yang bilang, semua tahanan yang menjadi urusan dan tanggung jawab tentara di gantikan gelarnya menjadi Inrehab. Termasuk RTM, Rumah Tahanan Militer. Yang jelas di RTM, Rumah Tahanan Militer yang berganti nama Inrehab itu, adalah tempat kurungan bagi anggota  militer yang rusak yang tak bisa dipergunakan lagi, mereka bukan saja harus di-rehabilitasi, tapi sudah seharusnya diganti.
Tak sama dengan Wardik dan orang-orang ditahanan, yang dituduhkan, apa yang tak pernah mereka lakukan. Malah apa yang terjadi di Jakarta pada 1 Oktober 1965, tak seorang dari mereka yang tahu, juga tak seorangpun dari mereka yang me-mahaminya. Untuk apa mereka melakukan makar dan dengan apa. Wardik yang dituduh menyembunyikan banyak senjata, dari mana dia dapat senjata. Dan ternyata tak terbukti. Dan Wardik yakin semua mereka yang bersamanya ditahan sampai bertahun-tahun tak pernah terbukti berniat merebut kekuasaan apalagi melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan yang syah.

DUA ribu empat ratusan orang tahanan di-kumpulkan menjadi satu. Banyak ragam asal mereka, banyak pula ragam tingkah laku mereka. Baik sebelum dijadikan orang kurungan, maupun sesudah dijadikan orang kurungan oleh penguasa. Ada yang sebelum menjadi orang kurungan, mereka pernah menjadi cecunguk penguasa. Ikut menangkapi. Entah apa sebabnya menjadi orang kurungan bersama dengan orang-orang yang pernah disakitinya. Atau ketika dipenghujung tahun 1965 itu ikut bersama melakukan pembantaian atau menjadi algojo, entah apa sebabnya ikut dikurung bersama para sanak famili dan kawan-kawan dari yang pernah mereka bunuh. Ada yang menjadi penjilat ketika diangkat menjadi mandor dibeberapa mandahan. Berbuat sewenang-wenang terhadap kawannya sendiri. Pemilik tingkah seperti ini. Pemilik cacat dan dosa ini akan bisa jadi sasaran balas dendam.
Tak sedikit mereka yang digotong dimasukkan kedalam sumur, setelah setengah malam baru dinaikkan kembali. Kelihatan brutal, tapi tidak juga. Seperti Samiran, berasal dari kampung Wardik, dia anggota yang dinamakan komando aksi pengganyangan G 30 S/PKI. Juga menjadi Kepala Desa menggantikan Kepala Desa yang ditangkap dan dibunuh karena dituduh anggota PKI. Entah apa sebabnya dia menjadi orang kurungan seperti Wardik. Dia tak tahu. Atau memang inilah karma. Wardik tak percaya karma, seperti itu. Yang membuat Samiran menjadi orang kurunganlah yang tahu. Tak terbuktikan memang bahwa dia ikut membunuh. Tapi, laporannya membuat orang-orang diculik, dibunuh atau ditangkap dan ditahan di markas Kodim Labuhan Batu di Rantau Prapat. Selama dia menjadi Kepala Desa, hampir setiap malam berkeliling kampung, memperkosa para perempuan yang dituduhnya menjadi anggota Gerwani. Perempuan-perempuan itu diancam. Kalau tak mau melayaninya, akan dibunuh atau dilaporkan ke Kodim. Nyawa, jelas lebih utama. Menyelamatkannya terpaksa melayani sang Kepala Desa durjana, Samiran.
Samiran dihajar 4 orang tahanan dari Tanah Karo. Sesudah babak belur dibenam kedalam sumur.
Hampir setiap malam ada saja yang mendapat giliran. Daftar dendam sudah ada ditangan “Klinik”, sebelum mereka ditarik dari mandahan. Daftar dendam harus mempunyai indikasi, begitu istilah yang didapat Wardik dari kawan-kawannya sekurungan yang tuaan dari dia.
Daftar itu harus terindikasi: Pertama, mereka yang menjadi komando aksi pengganyangan G 30 S/PKI. Indikasi ini juga harus jelas, bahwa yang bersangkutan tidak karena dipaksa, atau terpaksa. Yang terpaksa itu juga harus dengan jelas, apakah tidak bisa dielakkannya lagi keterpaksaan itu.
Dan kedua, selama ditahan menjadi cecunguk penguasa, juga para penjilat penguasa di mandahan. Ciri-ciri orang-orang seperti itu, dijamin akan tertera namanya didaftar dendam dan akan berurusan dengan “Klinik”.
Rutinitas itu hadir lagi, apel pagi, senam pagi, apel malam, santiaji. Baik itu tentang Pancasila, UUD 45 maupun agama, Islam, Kristen Protestan dan Katholik.
Sekali seminggu ada hiburan orkes kroncong. Ada hari-hari istimewa, Tujuhbelasan, Hari Raya Idulfitri, Hari Raya Iduladha, Natal dan Tahun Baru. 
Tak ada lagi lompat pagar. Wardik mulai tekun membuat ukiran dari kayu jelutung. Belajar dari Mawardi, wartawan Koran Harian Harapan Medan itu. Lumayan bisa berpenghasilan tiga ratus rupiah sehari.

SIANG itu sekitar pukul sebelas ada panggilan dari portir. Panggilan beberapa nama, termasuk namanya, bersiap-siap, bila sudah selesai langsung menghadap ke portir. Semua yang dipanggil namanya telah siap didepan portir. Bus Teperda sudah menunggu.  Bus Teperda biasanya bila ke Inrehab Tanjung Kasau akan membawa para tahanan yang telah diperiksa di Teperda dari Inrehab Sukamulia, begitu juga sebaliknya para tahanan yang akan diperiksa dari Tanjung Kasau akan dibawa ke Sukamulia. Diantara yang menjemput selain petugas, ada seorang tahanan. Namanya Sjarifuddin. Wardik mengenalnya, pernah sama-sama di bekas sekolah yang disulap menjadi kurungan di jalan Gandhi. Wardik tak tahu apakah kurungan yang ada dijalan Gandhi itu juga berubah nama menjadi Inrehab, agaknya dia tak perlu memikirkannya.
Pukul dua siang nama-nama yang dipanggil naik ke bus. Bus itu sudah berisi penuh bermacam-macam sayuran. Ada yang dialamatkan kepada seseorang, tapi yang lebih banyak, bergoni-goni tanpa alamat. Yang tanpa alamat ini diperuntukkan buat siapa saja yang membutuhkan, penghuni penjara yang saat itu sudah berganti nama Inrehab Suka Mulia.
Setelah semua yang terdaftar lengkap, bus bergerak kearah Medan, kekurungannya yang baru Inrehab Sukamulia. Hunian Wardik entah sampai kapan.
Sjarifuddin anggota IPPI di SMA Universitas Rakyat, Unra di Jakarta. Dia tertangkap di Medan. Abangnya, Achmad Djohar pimpinan pusat Pemuda Rakyat. Kemungkinan besar itu penyebabnya dia ditangkap dan ditahan sampai hari ini. Achmad Djohar saat itu berada di pembuangan Pulau Buru. Sementara kakak iparnya Kusniwati bersama anaknya Suyudono ada di Inrehab Tanjung Kasau.
Di Inrehab Sukamulia, Sjarifuddin diperbantukan dibagian Administrasi. Kebetulan hari ini dia dipercaya mengantar dan menjemput tahanan. Kesempatan ini dia manfaatkan menjenguk kakak ipar dan kemenakannya. Dalam bus Wardik dan dia banyak saling tukar cerita tentang keadaan masing-masing.
Pukul lima sore, bus berhenti persis didepan bangunan penjara Sukamulia. Isinya, para tahanan diturunkan, juga sayuran yang bergoni-goni itu. Seumur-umurnya, baru kali ini dia memasuki gedung yang dinamakan penjara. Ketika diberi izin 4 hari mereka hanya dibariskan didepan penjara, diberi arahan. Begitu pula  di Rantau Prapat dia hanya melihat dari luar, itupun  cuma melintas.
Wardik ditempatkan di blok B. Kalau ada blok B, tentu ada blok A. Blok A disebelah kiri, bila melihatnya dari pintu masuk ke bangunan penjara itu.
Cerita tentang penjara Sukamulia, dia dapatkan dari penghuni penjara ini, yang usianya sekitar limapuluhan atau lebih.
Penjara itu dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda. Dulunya dibangun untuk para pelanggar-pelanggar hukum yang ditetapkan kerajaan Belanda dinegeri jajahannya ini, Hindia Belanda. Terutama pelaku-pelaku tindak pidana kejahatan. Tapi akhirnya juga dijadikan penjara bagi mereka para buruh perkebunan yang melanggar peraturan maskapai perkebunan kolonial. Juga  para pejuang yang mereka sebut pemberontak, aktifis politik yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda.  Di zaman pendudukan Jepang sama, menjadi bui bagi para kriminil dan yang melakukan perlawanan terhadap kerajaan Matahari Terbit itu. Malah di zaman Dai Nipon itu berkuasa, penjara itu juga diisi orang-orang yang menjadi tangkapan Kempetai menunggu dihukum pancung. Dimasa mula Penyerahan Kedaulatan penjara itu selain dijadikan bui bagi pelaku-pelaku kejahatan sebelum dijatuhi hukuman oleh pengadilan. Penjara itu juga pernah  dihuni orang-orang, pengurus PKI dan yang dianggap dekat dengan gembong PKI, dikenal dengan sebutan “razia Agustus” atau “razia Sukiman” hal ini terjadi pada bulan Agustus tahun 1951. Dimasa pemerintahan republik ini masih menganut pemerintahan parlementer, dibawah pemerintahan Kabinet Sukiman dari partai Masyumi. Baru diakhir tahun 1966 gedung penjara ini dijadikan tempat disekapnya para orang-orang PKI dan orang-orang yang di PKI kan. Tapi mulanya juga dibagi 2, blok A untuk para tapol PKI dan blok B untuk para tahanan kriminil.
Sebulan sudah dia lewati, akhirnya panggilan itu datang juga. Untuk kesekian kalinya diperiksa. Para tahanan yang akan diperiksa di jemput dengan bus yang sama dengan bus penjemput dari Inrehab Tanjung Kasau.  Pukul sembilan pagi, pemeriksaan dimulai. Puluhan pertanyaan dijawabnya, sebisanya, kemudian ditandatanganinya. Pemeriksaan yang “mulus”, mulus dengan tanda kutip. Tak ada makian, apalagi pukulan-pukulan. Latah seperti biasa dia ucapkan terimakasihnya pada juruperiksa itu. Letda CPM Depari. Pukul satu selesai. Sorenya dikembalikan ke Sukamulia dengan bus itu juga.
Sejak mula hari pertama Wardik menjadi penghuni kurungan Sukamulia ini, dia sudah ikut mengukir berbagai macam kerajinan ukiran. Dari mulai baki, tepak sirih, ukiran Mesjid Raya sampai ukiran Jesus di salib. Lumayan dia bisa memesan ke Kantin susu kaleng, susu kental manis. Atau mandi pun dia sudah memakai sabun mandi tak lagi sabun cuci.
Setiap Rabu, hari kiriman, sekalian hari bertamu. Meski dia tak pernah menerima tamu. Baginya hari-hari itu, hari-hari melongokkan pandangan keluar pagar kawat berduri blok B, menyaksikan kawan-kawannya setahanan menerima tamu. Anak-anaknya, isterinya, adik-adiknya, bisa juga kerabat jauh dan dekat. Ada saja yang didapatnya pemberian mereka, terutama rokok. 
Seperti di Tanjung Kasau hari-hari besar khusus diperingati.  Kebetulan keramaian Hari Raya Idul Adha dia masih menjadi penghuni Inrehab Sukamulia. Ada syolat Idul Adha, Khatib dan Imamnya seorang perwira dari Rohisdam II Bukit Barisan, Kapten Agus Salim Lubis. Pada hari-hari khusus seperti itu, tamu-tamu bisa penuh sesak sampai ke aula blok A dan blok B, sedang blok C  dipergunakan untuk sebagian tamu dan hiburan. Orkes Kroncong  yang dipimpin Mas Sumarto pensiunan Pelda, jurit ‘45 itu, penggesek biola. Ada Sumardi mantan pegawai PDAM Medan di Key Board, ada Ir. M. Sipahutar mantan Kepala PU Sumatera Utara di Seaxofhon, ada Minggu di Drum, ada Syarifuddin di Bass, Udin di Gitar melodi, ada Sakirman memetik jokulele.
Siapa saja boleh menyumbangkan lantunan senandungnya. Ada beberapa orang anak-anak mereka yang menyumbangkan senandungnya, kebetulan anak-anak mereka memang penyanyi. Nani Haryono penyanyi di TVRI Medan, putri Raden Mas Haryono mantan Direktur Hotel Dirga Surya, Atik David, penyanyi Dang Dut yang ketika itu paling asyik digemari, dia adalah putri Kapten David, Sudjasmi penyanyi keroncong RRI Medan juga penyanyi keroncong di TVRI Medan, mengunjungi mantan Lurah Sukaramai, Lurah Satar.
Bila ada penggantian tahanan yang dipindahkan ke Inrehab Tanjung Kasau atau sebaliknya, Wardik berharap namanya dipanggil. Namun harapan itu, tinggal harapan. Dia masih menjadi penghuni Inrehab Sukamulia ini.
Sampailah di Natal di tahun itu. Natal di Sukamulia diperingati dengan penuh hikmat. Perwakilan dari beberapa gereja datang membawa buah tangan. Di hari Minggu pertama dibulan Desember itu, perwakilan gereja sudah berdatangan merayakan Natal bersama para tahanan, baik dia Protestan maupun Katholik. Terkadang dirombongan tersebut ikut orang-orang dari Eropah atau Amerika. Perwakilan Katholik biasanya datang tepat pada 25 Desember, langsung dipimpin Uskup Agung. 24 Desember aula blok A sudah dihias berbagai hiasan Natal, tentu tak lupa pohon natal. Natal tahun itu, pohon natalnya sumbangan dari keluarga Ir. M. Sipahutar. Tak ada yang membedakan agamanya masing-masing, yang ada persaudaraan. Buah tangan yang mereka bawa dibagi-bagikan pada yang memerlukan. Di malam kudus, ada pembacaan puisi, ada paduan suara, baik itu paduan suara dari gereja yang berkunjung maupun paduan suara para tahanan. Malam kudus itu, telah meninggalkan kenangan yang tak terlupakan bagi Wardik. Betapa indahnya kebersamaan. Esok harinya tamu-tamu berdatangan. Paginya Wardik sudah sibuk menyusun bangku-bangku panjang, bila tamu-tamu sudah datang, dia membantu memanggil mereka yang kedatangan keluarganya. Sesekali matanya mencuri pandang melihat kearah ruangan bertamu. Tak seorangpun yang dia kenal.
Tahun Baru, 1 Januari 1975. Malamnya para tahanan membuat acara menyambut tahun baru. Esoknya tamu-tamu berdatangan. Seperti juga Hari Raya Idul Adha, para tamu diperbolehkan menempati aula blok A dan blok B.
Wardi tak percaya. Bachtiar Sjahnur petugas portir memanggil namanya. Begitu juga Bachtiar Syahnur, tak menyangka. Karena, selama ini tak pernah ada tamu Wardik. Bachtiar Syahnur mendatanginya, dibelakang-nya seorang gadis menjinjing tas plastik. Ambar berdiri didepannya. ditandainya senyum itu, senyum kanak-kanaknya. “Aku datang, lek”. Wardik gugup. Tidak bukan gugup saja, ini haru. Gamang, sosok yang tak pernah didatangi tamu. Tak menyangka Ambar kecilnya dulu. Ambar kecilnya dijalan Binjai KM 7, minta disisirkan rambutnya selesai mandi. Sekarang sudah menjadi gadis remaja berada dihadapannya. Disalami nya gadis remaja itu, ditariknya tangannya agar ikut. Disilahkannya duduk. Duduk ditikar yang memang sudah  digelar paginya menutupi selebar lantai aula blok B.
Ambar cerita bahwa dia datang tak sepengetahuan abangnya. Di tahun baru ini abang dan kakak iparnya serta kemenakan-kemenakannya berlibur ke Parapat. Sengaja Ambar tak ikut, tapi dia minta balen. Dia diberi abangnya 500 rupiah. Uang itu dibelikannya nasi bungkus dan empat bungkus rokok serta korek api. Ambar cerita juga bahwa catur wulan yang lalu dia ke Tanjung Kasau menjumpai ibunya, “bang Ali bilang lelek disini”. Dia sengaja tak jajan disekolah, uang jajan yang dikumpulkannya itulah ongkosnya.
Satu jam sudah, Ambar pamit. Wardik pesan jangan memaksakan diri. Dia pasti baik-baik saja. Bagaimana-pun, secepatnya mereka akan bisa jumpa di Tanjung Kasau. Dilepasnya Ambar sampai di portir. “Aku akan merindukan, kau, adikku”. Dia bicara sendiri tak terdengar, sampai dia sendiripun tak mendengarnya.
Tujuh bulan sudah dipenjara Sukamulia, di Inrehab itu. Ditengah hiruk pikuk keramaian kota Medan. Seperti apa sesungguhnya kota Medan itu, dia tak pernah tahu. Yang jelas Sukamulia adalah kurungan, tapi juga tempat dia dididik seperti sebuah sekolah. Makmun Duana orang tua yang dipanggilnya bapak, yang pernah bersamanya di jalan Gandhi bilang, setiap apa yang terjadi pada diri kita, semua ada hikmahnya.
Pukul 9 pagi, bus Teperda datang akan membawa para tahanan ke Inrehab Tanjung Kasau. Nama-nama yang akan di Tanjung Kasau kan dan yang akan dipulangkan dipanggil. Namanya ada. Masih ada waktu berkemas. Dia pamit pada semua, baik pada mereka yang dekat dengannya, maupun agak kurang dekat. Baik yang rendahan seperti dia, maupun yang tinggian. Dia pamit pada Kolonel Baryono, dia juga pamit pada Selamat Riadi, dia pamit pada Kolonel Yusuf, dia juga pamit pada Misno, dia pamit pada kapten David, dia juga pamit pada Ngatman kopral Yon Arhanud, pamit pada Maruto orangtua Pimpinan BTI, Barisan Tani Indonesia, Sumatera Utara yang selamat dari pembantaian di Sungai Ular, dan dia pamit pada Isnanto, orang yang sering kerumahnya dulu, pamit pada Mukajit, Syarifuddin. Terakhir dia pamit pada semua kawan-kawan perempuan dan Ir. M. Sipahutar. Banyak yang memberi sangu, uang dan pakaian-pakaian bekas. Disampaikannya terimakasih dan permohonan maaf, cuma itu. Ya, cuma itu.
Waktunya sampai juga, pukul sepuluh semua tahanan yang akan dipindahkan dan yang dikembalikan ke Inrehab Tanjung Kasau, lengkap sudah berada didalam bus. Pertanda bus harus sudah bergerak. Selamat tinggal Sukamulia, dan tidak untuk berjumpa lagi.
3 jam diatas bus Teperda, bekas Rumah Sakit Perkebunan dizaman kolonial itu sudah kelihatan.
Masuk ke komplek, tepat parkir di depan portir. Didepan portir penuh dengan kawan-kawannya, penghuni barak-barak rehabilitasi. Mereka ingin tahu siapa yang datang dan akan diambil ke Sukamulia. Yang turun dari bus, dijemput komandan kompi masing-masing kebaraknya, sesudah tanda terima ditanda tangani Komandan Inrehab Tanjung Kasau.
Wardik kembali ke barak XI yang berhadapan dengan barak serdadu. Dia tak sempat tahu siapa-siapa yang diangkut ke Sukamulia. Besok paginya dia temui Mawardi. Mawardi lagi mengukir di sanggarnya. Dia ditawari mengukir tempahan orang. Mawardi bilang waktunya tak sempat lagi. Kalau masalah tempat dan alat mengukir, lapak yang ditempatinya bisa dipakai dan alat-alat mengukirnya juga. Besoknya bisa memulai kerja.
Antara barak luar dan barak dalam dibatasi dua jalur kawat berduri. Antara barak luar dan dalam ada celah melewati pos portir. Barak dalam dibenarkan hanya bagi para tahanan yang menganyam dan merajut jala. Kedua pekerjaan ini, dikerjakan mereka dibarak masing-masing. Membuat sapu ijuk, menganyam keranjang, mengukir dan kegiatan lainnya harus di barak luar.
Seperti juga ditempat-tempat penyekapan lain, segala suku yang ada dinegeri ini, ada disini. Ada Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Karo, Batak Simalungun, Jawa, Nias, Aceh, Menado, Tionghoa, Pakpak, Melayu, Padang, keturunan Pakistan, juga Arab, bahkan ada seorang yang masih warganegara Kerajaan Belanda, meski orangnya sawoh matang.
Lumrah, pergantian Komandan berganti pula peraturan yang dibuatnya. Tentunya penilaian itu untuk para tahanan, antara peraturan mendapatkan kelonggaran atau sama sekali tak ada kelonggoran. Begitulah, Lettu CPM Mahyudin pun digantikan oleh Lettu CPM Harun menjadi komandan Inrehab. Peraturan-peraturan yang diperlonggar, oleh Lettu Mahyudin, berganti diperketat oleh Lettu Harun. Entah apa sebabnya pada tahanan yang muda-muda dia selalu tak suka. Seperti, bila dia tahu diperhatikan gayanya. Pasti dia akan menghukumnya. Tamparan pipi kanan dan tamparan pipi kiri.
Untuk mengatasi peraturan yang ketat ini, ada seorang kawan perempuan berencana, dan akhirnya dilaksanakannya. Membuat sang komandan tertarik. Memang akhirnya beberapa peraturan diperlonggar. Tapi hal ini membuat tak disenangi kawan-kawan perempuan yang lain. Tak bermoral kata mereka, bahkan ada yang menyebutnya menjual diri. Persoalannya kawan tersebut kalau hanya anggota biasa salah satu organisasi taklah menjadi soal, tapi kawan tersebut adalah fungsionaris organisasi. Tak pantas, bisa-bisa dicontoh kawan-kawan yang lain.
Benarkah demikian Wardik tak yakin sepenuhnya. Tergantung pada siapa yang menilai. Dan tergantung pada siapa yang mau mengikutinya atau tidak mengikutinya. Siapapun dia, tergantung pada apa kepentingannya.
Akhirnya sang komandan mulai mengurangi peraturan ketat yang dibuatnya. Tahanan-tahanan sudah ada yang diperbolehkan permisi satu hari menjenguk keluarganya di Medan. Dengan ketentuan yang mendapat izin harus dikawal oleh seorang petugas. Pada umumnya, petugas yang diberi wewenang mengawal, hanya mengharuskan pada waktu yang telah disepakati harus sudah berkumpul disuatu tempat dan bersama-sama kembali ke Inrehab. Tak ada jasa yang gratis memang, kewajiban membayar upeti kekomandan dan pengawal, mengharuskan kocek harus berisi. Kalau tak ada itu, jangan berharap.
Lagi, hari-hari terus bertukar menjadi minggu, minggu menjadi bulan dan itulah kodratnya. Hasil pekerjaan para tahanan yang menghuni komplek bekas Sekolah Polisi Negara ini kian dikenal. Yang memasar kan berdatangan entah dari mana saja. Berarti uang yang beredar di komplek ini kian bertambah. Mereka yang mempunyai keakhlian menjahit pakaian membuka usaha menjahit. Mereka sudah rata-rata punya pakaian baru. Baju baru dan celana baru.
Pagi tadi Jasmin Purba kawan sekompi Wardik, mengajaknya membantu menyembelih kambing untuk pesta hajatan wakil komandan, Peltu CPM Malanthon Napitupulu. Anak gadisnya melangsungkan perkawinan hari itu. Dia seorang penganut Kristiani, sedang para tetangganya dan lingkungan dia tinggal sebagian besar penganut Islam. Inilah penyebabnya tempat memasak dan tempat menerima tamu di bagi dua.
Mereka bertiga, Wardik, Basiran dan Sahnen diminta membantu memasak untuk tamu yang beragama Islam. Calon suaminya, Sortali Saragih kebetulan pernah menjadi penghuni TPU Tanjung Kasau, sebelum diganti namanya menjadi Inrehab. Dia sudah bebas di Agustus 1972.
Membantu memasak, Wardik berkenalan dengan seorang ibu. Tetangga yang punya hajatan, rumahnya tak berapa jauh. Ibu itu sangat ramah, menyuruhnya singgah dirumahnya. Anak perempuannya yang tertua pernah menikah dengan seorang tahanan, seperti Sortali Saragih calon menantu yang punya hajatan itu. Tetapi rumah tangga mereka berakhir dengan perceraian. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki. Anak perempuannya yang kedua belum menikah namanya Marwani. Keduanya  turut lagan. Malamnya, mereka dari Inrehab, datang atas izin komandan. Tampak gagah, tampan dengan pakaian rapi sepadan dengan orang-orang diluar Imrehab. Sebagai pemeriah pesta ada orkes keroncong  juga  sumbangan dari Inrehab. Cukup meriah. Tapi yang membuat Wardik paling gembira dipesta itu, dia mendapatkan ibu angkat, dipanggilnya perempuan itu mamak. Sesudah pesta itu, mamak angkatnya sering datang mengunjungi Wardik, begitu juga adik-adik angkatnya. Akhirnya kunjungan-kunjungan mereka membuatnya tak pernah kesepian. Saling bertukar cerita. Dia ceritakan pada adik-adik angkatnya, bahwa dia sudah punya tambatan hati, namanya Ambar, gadis batak. “Gadis batak kok namanya Ambar, pasti cantik, ya, bang. Namanya juga cantik”. Goda mereka berdua.

EMAKKU sayang emakku malang. Hari itu pukul dua belas siang, kakaknya yang tertua Mbak Sannya datang. Dia sampaikan berita, bahwa emak mereka sakit dan sudah sangat kritis. Mbak Yus nya berusaha mendapat izin, agar dia dan Wardik bisa pulang melihat emak mereka walau hanya sehari. Komandan hanya memberi izin mbak Yus nya saja, sedangkan Wardik, tidak. Dalam hati yang berontak, Wardik teringat kalau selama ini ada seorang tahanan perempuan yang pernah berusaha mendekati komandan. Dia harus berusaha  dengan jalan apapun yang bisa dia gunakan. Wardik mendatanginya kebarak perempuan, memohon agar dia menjumpai komandan. Wardik menjelaskan apa yang terjadi. Dia bersedia menemui komandan. Entah apa yang dilakukan, entah apa yang dibicarakan nya itu dengan komandan, izin pulang untuk Wardik diberikan.
Dikawal seorang anggota CPM, dia dan mbak Yus nya bersama-sama Mbak San nya berangkat menuju Padang Halaban. Pukul dua siang dari Tanjung Kasau dan sampai di kampungnya sekitar pukul sebelas malam. Bus yang mereka tompangi hanya sampai di disimpang kampung Selamat.
Pengawal yang ditugaskan mengawal mereka, mendapat pinjaman mobil Jeep milik seorang Tionghoa, Mukiang. Seorang pengusaha di kampung Selamat. Wardik tak mau memikirkan, bagaimana caranya dia mendapatkannya. Apakah dia meminjam dengan paksa atau tidak. Dengan jeep yang dikemudikan sopir Mukiang, sampai juga mereka dirumah.
Emaknya sudah sangat lemah, terbaring diatas tikar, tinggal kulit pembalut tulang. “Emak, aku pulang. Ini aku emak, anakmu Wardik”. diciuminya emaknya.
Diterangi lampu minyak tanah, dilihatnya emaknya meneteskan air mata. Mbak Yus nya senggukan menangis. Mbak San nya begitu sampai langsung kedapur menjerangkan air. Adik-adik Wardik duduk mengelilingi emaknya yang terbaring.
Melihat Wardik, bibirnya bergerak-gerak. Wardik mengerti, mendekatkan telinganya. Emaknya minta disulangi bubur. Matanya mengarah pada mbak Yus nya. Mbak Yus nya mengerti, langsung kedapur. Dia keluar, sudah membawa sepiring bubur. Mbak Yus nya bilang adik-adik sudah menyediakannya. Setelah mbak Yus nya menyulangi emaknya bubur, emaknya minta minum air hangat. Wardik kedapur mengambilnya. Disulanginya emaknya, sendok demi sendok air hangat itu. Seperti mendapatkan tenaga baru, emaknya minta didudukkan. Mbak Yus nya yang duduk disamping emaknya berbaring, mengangkat emaknya dan menyandarkannya dibahu.
“Jangan bersedih”, suara emaknya terdengar lemah. Wardik mengangkat tangan emaknya, diletakkannya diatas kepalanya. Hanya jemarinya yang bergerak-gerak. Seperti hendak menyisir rambut Wardik dengan jari-jarinya. Rambut anak kandungnya yang sampai saat ini menjadi orang kurungan. Meski gerakan jemarinya begitu lemah, Wardik merasakan kasih sayangnya  yang tak ada ujungnya. Kasih sayang yang tak ada duanya di dunia ini. “Emak maafkan aku, emak”, Wardik berbisik ditelinga emaknya. Emaknya hanya mengangguk. Perlahan tangannya diturunkannya kepipi Wardik. Wardik memegangi punggung telapak tangan emaknya dan membiarkan lama menempel dipipinya.
“Wardik, bapakmu sudah menunggu emak”. Suara nya pelan tapi jelas Wardik mendengarnya. Wardik tak tahan menahan air matanya. Dia menangis membuat semua adik-adiknya ikut menangis. “Emak mengapa jadi begini?”. Cuma itu yang terucap dari mulutnya.
Tetangga-tetangga berdatangan.
Entah dari mana adik iparnya Ngatijan, mendapat pinjaman lampu petromak. Pengawal yang bertugas mengawal istirahat dirumah nenek wardik. Nek Ratnah nya.
Emaknya tertidur juga akhirnya, ditinggalkannya dijaga mbak San nya dan Mbak Yus nya. Wardik kedapur. Adiknya Harmaini sedang menggoreng ubi. Wardik menanyakan dari mana ubi itu didapatnya. “Entah dari mana didapat bang Ngatijan, kok pulang-pulang bawa ubi”. Wardik duduk didekat Harmaini sambil mengunyah ubi yang sudah digoreng adiknya itu. “Har, selama ini apa ada yang datang menjenguk keadaan emak?”. Harmaini diam sebentar tak menjawab. Dipandanginya  abangnya, seolah-olah tak percaya pertanyaan itu adalah pertanyaan dari abang nya. “Bang, kita tidak punya saudara lagi didunia ini”. Wardik jadi sadar, seolah-olah yang didengarnya jawaban Harmaini itu adalah; mengapa abang menanyakan itu, abang tak mungkin tak mengerti, sudah seperti apa kita ini dianggap mereka”.
Sebelum Wardik bertanya selanjutnya, adiknya sudah menjawabnya. ”Keluarga dekat kita memang masih ada, juga anak-anak angkat emak. Mereka-mereka itu masih tinggal disekitar sini. Tapi bang, jangankan datang kemari, bertemu dijalan saja mereka tak mau menegurku. Kecuali aku yang menegur duluan”. Wardik tak ingin menambah kemurungan adiknya, dia alihkan pembicaraan.
“Har, sejak kapan emak mulai sakit?”
“Sejak mengantar uang angket ke Bandar Durian. Emak diberi tahu Kepala Dusun agar mengikuti angket, bersama Kakek Atmak. Tetapi bukan hanya mengikuti angket saja, emak harus membayar uang angket sebanyak Rp. 5000.-. Terpaksa emak jual kambing 2 ekor.”
 “Mengapa harus sampai 2 ekor, kan cuma itu kambing kita yang ada, berapa harga se-ekor kambing?”
“Karena sangat terdesak, kambing itu dijual murah. Emak dan kakek Atmak berangkat pukul 5 pagi dan sampai kerumah pulang sudah pukul sebelas malam. Emak kecapean sejak itulah emak tidak bisa bangun. Sepeda kita rusak, mereka jalan kaki sejauh 40 KM. Jadi jarak yang mereka jalani kurang lebih 80 KM.”
“Kalau emak tidak mengantar uang angket itu apa akan ada hukumannya?”
“Bang, bang, setiap bulan ada saja uang kutipan dari Kepala Dusun, katanya uang binaan. Itu saja kalau terlambat memberinya, sudah digertakin. Yang katanya, kapan saja mereka bisa melakukan tindakan. Mereka bilang, diberi kesempatan hidup saja sudah syukur. Jadi, harus tahu membalas budi. Sedangkan untuk makan saja sudah sangat sulit, kambing yang seharus nya untuk beli beras kini harus diberikan untuk mereka”. Air mata adikku mengalir dipipinya sesekali terdengar isak tangisnya. Abang dikurungan cukup menderita, tapi kami lebih menderita”. “Yang namanya dialam bebas kami sering tidak makan. Jangankan, beras ubipun sangat sulit kami dapatkan. Baju yang kupakai ini, bajuku satu-satunya. Tapi, fitnah yang mereka tuduhkan, tak berkesudahan. Mereka sebarkan, bahwa aku setiap malamnya menerima laki-laki.” Armaini, adiknya yang sudah remaja itu, kembali menangis.
“Kapan abang bebas……..? Begitu pahitnya hidup ini kalau abang bersama kami, kepahitan ini pasti berkurang”. Diam tak ada jawaban dari Wardik. Kapan. Dipeluknya adiknya dan dibiarkannya dia, menangis sepuasnya”.    
  “Har, mungkin emak tak lama lagi. Sementara abang besok harus kembali ke tahanan. Kalau emak sudah sampai janjinya dan abang tak bisa menunggui laksanakan saja fardu kifayah nya. Yang pasti abang tak akan mendapatkan izin pulang lagi”.
“Yang mengalami nasib seperti kita ini, bukan hanya kita. Ribuan bahkan, laksaan. Mungkin di Padang Halaban kitalah yang paling parah. Tetapi ditempat lain,  mereka mungkin lebih parah dari kita. Abang harap kau lebih tabah lagi menghadapi segala penderitaan ini. Walaupun abang di tahanan bisa menghasilkan uang, tapi hasilnya hanya cukup untuk bisa bertahan hidup. Abang tak pernah berfikir hanya untuk diri sendiri, abang ingin sekali membantu kalian. Tapi sampai saat ini masih belum bisa”.
“Maksud abang kalau ajal emak sudah waktunya, abang tak usah dikabari? “Benar Har, sebab kalaupun kalian mengabari ke tahanan, abang pasti tak bisa pulang. Sedangkan ongkos kesana sudah berapa. Kalaulah ajal emak sudah waktunya, kalian laksanakan saja bagaimana semestinya. Sesudah itu, barulah kalian usahakan berkirim kabar. Kalau mbak Fitri isteri bang Samiran berkunjung ke Tanjung Kasau, kirimkanlah surat buat abang. Abang sudah melihat tanda-tanda pada wajah emak, tak lama lagi emak akan menyusul bapak”.
Wardik ditanya, adiknya, bagaimana dia mengetahui tanda-tanda orang yang akan kembali kepada Tuhan nya. Wardik bilang, “emak dulu mengajariku. Lihat telinganya, lihat keningnya, juga lihat hidungnya. Tanda-tanda itu sudah ada pada emak”.
“Berapa lama lagi emak bisa bertahan, bang”. “Itu rahasia Tuhan. Kapan dia akan diambil, tak seorangpun yang bisa tahu”.  “Mengapa Tuhan membiarkan kita hidup seperti ini?”. Wardik berfikir menjawabnya. dia pernah membaca cerita tentang nabi-nabi.
Nabi Ayub juga mengalami penderitaan, sangat menderita, padahal dia hamba pilihan. Pilihan sang pencipta. Tuhan. Bagaimana Wardik harus menjawab
nya. “Bukan Har, ini ulah manusia. Tuhan tak menghendaki hambanya hidup sengsara. Jadi dik, jangan buruk sangka kepada Nya. Kita tak tahu apa kesudahannya, semua yang kita alami ini pasti akan ada hikmahnya. Yang penting jaga kesehatanmu. Kalau nanti ada seorang pria yang mau memperisterimu, sementara abang masih didalam tahanan, ajaklah dia menemui abang. Dan kalau bisa janganlah pria yang tangannya sudah bergelepotan darah kawan-kawan abang. Menurut abang memang ada baiknya kalau kau cepat berumah tangga. Karena selama ini tak ada yang melindungi kau. Bersuami bukan hanya untuk bersenang-senang saja, tapi untuk bisa melindungimu”.
Kokok ayam sudah mulai terdengar bersahut-sahutan. Emak Wardik tertidur pulas. Mbak Yus nya dan mbak San nya duduk didekatnya. Adiknya, Ambran dan Subali tertidur diantara tetangga-tetangga mereka yang turut berjaga-jaga malam itu. Mereka mengobrol kesana kemari. Tak ada yang berani menanyakan keadaan Wardik di tahanan. Takut kalau-kalau salah bicara. Mereka memilih pembicaraan diseputar hutan tempat mereka bekerja.
Lagi, waktu selalu menentukan, waktu tak perduli, dia tak mau tertunda sedetikpun. Pukul sebelas siang Wardik dan mbak Yus nya, juga prajurit yang baik itu harus berkemas kembali menjalani hidup  masing-masing. Dipandanginya wajah emaknya terbaring diatas tikar lingi. Dia sangat menyadari, kalau saat itu adalah pertemuannya yang terakhir dengan orang yang melahirkan dan membesarkannya.
Jurit yang mengawal mengingatkan, sudah waktunya. Dia ciumi emaknya. Tak sampai hati meninggalkan Emaknya dalam keadaan seperti itu. Dia dekati adiknya Suwartik dan Harmaini. Pada Harmaini diingatkannya lagi pesannya. “Bukan berarti abang menghendaki emak kembali kepada Chaliknya. Tanda-tandanya sudah abang lihat pada diri emak. Tabahkan hati kalian, dik. Saat ini kita masih menjalani cerita seperti ini. Mungkin dilain waktu kita akan diperlukan orang lagi”. Kedua adiknya hanya mengangguk, airmata keduanya mengalir. “Mbak San, aku sarankan jangan bertahan di Padang Halaban. Kalau memang sudah memungkinkan, mbak harus pergi dari sini. Biar mbak menjadi tukang cuci pakaian orang sekalipun asal jangan bertahan disini. Terserah mbak, yang penting mbak harus pergi jauh. Tinggalkan Padang Halaban. Bawa Ambran dan Subali. Kalau Suwartik, Suwarni terserah, karena sudah bersuami. Dan Harmaini sementara biarlah ikut dengan Suwartik. Kalau mbak sudah meninggalkan Padang Halaban khabari aku. Mbak harus percaya. Disini mbak tak akan bisa berbuat apa-apa. Mereka-mereka itu akan terus mengawasi apa saja yang mbak perbuat. Keadaan emak saat ini tak memungkinkan mbak tinggalkan. Saatnya nanti mbak harus meninggalkan Padang Halaban ini”.
Sekali lagi pengawal itu mengingatkan. ”Sebenarnya aku tak sanggup melihat keadaan seperti ini, tapi aku hanya menjalankan tugasku, mengawal kalian. Maaf, aku ikut berduka”. Wardik mengucapkan terimakasih nya pada pengawal itu. “Kita segera akan berangkat” katanya. Lagi diingatkannya mbak Sannya. “Cepatlah kau bebas, dik. Kemanapun kau nanti, mbak akan ikut”. Kesempatan terakhir, dia pamit pada emaknya. “Mak aku harus kembali ke tahanan. Maafkan semua kesalahanku”. Emaknya hanya mengangguk pelan, pipinya basah lagi. Pipi yang kurus pucat. Diciuminya.
Empat pemuda desa itu, sudah menunggu dengan sepedanya. Siap mengantarkan mereka bertiga kejalan raya. Cukup jauh enam belas kilometer.

DENTANG lonceng portir tujuh kali, itu artinya sudah pukul tujuh malam. Wardik, mbak Yus nya melapor ke portir, bahwa mereka sudah kembali ketempat. Sedangkan prajurit pengawal itu melapor ke komandannya. Beberapa kawannya yang berasal dari Padang Halaban menanyakan bagaimana kabar emaknya. Dia ceritakan apa adanya.
Perutnya terasa lapar. Ditemuinya Ali, yang bertugas di dapur, entah masih ada nasi. Ali juga menanyakan tentang emaknya. “Entahlah bang, mungkin inilah yang terakhir aku melihat emakku”, jawabnya. Dia berharap Wardik jangan terus larut dalam kesedihan. “Sudah, makanlah kau dulu, nanti kau sakit”. Wardik pamit membawa nasi jagung pemberian Ali ke baraknya.
Paeran Koplak, kawan sebelahnya tidur, sudah memasang lampu teploknya. Dia bilang tadi emaknya datang. ”Ini ada gulai ikan kutinggali untuk lelek”. Lagi terimakasih, diterimanya dua potong gulai ikan pemberian Paeran. Sebentar saja habislah nasi dipiringnya.
Lima belas hari kemudian mbak San nya, datang membawa kabar yang sudah dia duga. Emaknya sudah tak ada. Bagaimanapun tabahnya Wardik, bagaimana pun siapnya dia menerima berita seburuk apapun. Ketegarannya tak bisa dipertahankannya. “Dua hari setelah kepulangan kalian emak pergi untuk selamanya. Dik. Ada pesan emak buatmu. Kau jangan mudah menyerah. Hanya itu. Emak sudah sangat lemah. Itupun diucapkannya putus-putus”.
Jangan mudah menyerah, dan dia tak akan menyerah dan dia akan ingat itu seumur hidupnya. Diingatkannya pada mbak San nya; ”saat ini kita dianggap manusia yang paling hina. Tetapi percayalah mbak, kalau disuatu hari nanti kita tidak akan disepelekan orang lagi. Terutama di Padang Halaban”.
Besok mbak San nya bilang, dia akan memulai hidup baru di Medan. Kalau sudah mendapat pekerjaan dan tempat tinggal barulah kemenakan-kemenakan Wardik, anak-anaknya, adik-adiknya akan dijemputnya. Malam itu mbak San nya menginap di barak perempuan.  Besok kakak sulungnya itu  akan mengadu nasib di Medan, entah siapa yang dia tuju Wardik tak tahu.
Kian hari penghuni Inrehab Tanjung Kasau terus bertambah. Hampir setengah bulan sekali ada saja tahanan dari Sukamulia yang dipindahkan, menjadi penghuni barak-barak di bekas komplek Rumah Sakit Perkebunan yang dibangun kolonial itu. Dua ribu empat ratus lebih. Apel dua kali sehari, senam pagi, masih santiaji, pembagian nasi, tamu yang datang membawa berita duka dan suka, para agen yang memasarkan hasil kerajinan para tahanan, Cuma itu? Lain-lain masih ada. Libur sekolah membuat komplek Inrehab ini ramai dipadati anak-anak. Saat mereka bisa berkumpul dengan ayah, ibu, kakak-kakaknya.
Seperti halnya diluar, didalam Inrehab Tanjung Kasau juga diadakan MTQ. Wardik dan Syamsul Siregar ditugasi menata dekor pentas, keduanya mendapat izin keluar kurungan untuk mendapatkan bambu dan apa saja untuk dijadikan bahan bakal dekorasi. Kesempatan ini mereka gunakan, melihat-lihat diluar kurungan. Dimasa Komandan Lettu Harun, jangankan untuk keluar memegang pagar kawat berduri saja, penghuni kurungan itu bisa kena hukuman. Sekitar pukul 12 tengah hari keduanya sudah kembali ke Inrehab. Tapi mereka tidak dari jalan depan tapi dari jalan belakang, karena dari arah belakang maka barak-barak itu berada seperti diatas bukit. Pagar kawat berduri itu melebar sampai kelembah, arah sebelah barat barak perempuan.
Saat itu Ambar sedang libur sekolah dan berada dibarak bersama emaknya. Dilembah itu banyak tanaman jagung dan terung milik wakil komandan. Wardik dan Syamsul Siregar mengasoh digubug yang ada ditengah kebun itu. Pelan-pelan Wardik mendekat kepagar yang tak jauh dari sumur barak perempuan. Wardik memanggil anak-anak yang sedang ada disumur, lalu meminta tolong agar dipanggilkan Ambar. Tak lama Ambar datang menuruni lembah arah dkekebun jagung menemuinya. Rindu itupun mencair walau hanya berpegangan tangan. Dan tatapan mata selaksa rindupun sirna. Dibawah, diterik mata hari siang dilembah kebun jagung, janji bertaut, diikrarkan. Selepas melepas rindu, Wardik dan Syamsul Siregar kembali ke kebarak kurungan, dengan bambu dipundak masing-masing. Dua hari kemudian MTQ dilaksanakan.
  Adik Wardik, Suwarti datang bersama adiknya yang bungsu, Subali. Suwarti dua hari kemudian pulang ke Patok Besi. Sibungsu Subali tinggal bersamanya sampai masa liburnya berakhir, tidurnya bersama Wardik di barak.
Enam bulan yang lalu mbak San nya pulang ke Patok Besi. Sewaktu akan kembali ke Medan, dia dan adiknya Ambran singgah. Ambran dan Subali di khitan kan Wardik disana, di kurungan yang dinamai Inrehab Tanjung Kasau itu, tak ada selamatan, tak ada kenduri kenduri.
Suatu malam, menjelang tidur adiknya si bungsu bilang dia  menginginkan tinggal bersamanya.
“Dikampung aku sering seharian tidak makan, disini meski nasinya nasi jagung, aku masih bisa setiap hari makan. Lagi pula disini ramai, banyak kawan. Bapak-bapak juga abang-abang semua baik terhadapku. Aku bantuin mereka mengertas pasir ukirannya saja, aku sudah dikasi makan. Kawan-kawan abang semua orang baik-baik”. Harunya menghilangkan keinginannya, mentertawakan keluguan adiknya. Si Bungsu malah mengira Wardik berada dikurungan ini, sedang menjalani pendidikan tentara. Pagi apel, senam, apalagi Wardik kerap memakai seragam tentara, pakaian bekas yang diberikan kawan-kawannya setahanan, kawan-kawanya yang dulunya  serdadu. Si bungsu tak menyadari, abang tumpuan harapannya adalah orang kurungan. Orang kurungan yang dibuat oleh tentara.
“Abang tak mau pulang bersama kami, abang sudah kaya”.
“Benar itu……abangmu sudah kaya, sebentar lagi sudah jadi Gubernur”.  Lugunya si bungsu, membuat Pamunar Manik yang tidur bersebelahan dengan Wardik, membuat yang lain ikut riuh, meski begitu sibungsu tak akan  mengerti. Sibungsu masih menerus kan percakapannya dengan abangnya Wardik.
“Waktu bang Ambran disini pernah enggak cerita sama abang?”  Wardik mengangguk
“ Abang ingat enggak, mbah Gundek, itu yang kawin sama mbah Marto. Mbah Gundek itu, pernah menuduh emak mencuri gaplek. Emak, ya, enggak terima dituduh mencuri gaplek. Jadi emak sempat berkelahi dengan mbah Gundek itu. Emak bilang, walaupun kami harus kelaparan, tidak akan pernah mau mencuri”. Masih cerita si bungsu.
“Abangkan tidak tahu, kami dikampung susah sekali, abang disini enak-enakan, buktinya abang tak mau pulang”.
“Nanti, Li, kalau abang sudah setammat dari sini, abang pasti pulang. Meski Wardik menjawab sekenanya, tapi hatinya teriris, sakit.
“Abang masih ingat enggak sama bang Seman?” Wardik mengangguk, ingat, Seman, yang dulu rumahnya pernah terbakar. “Dia dipercaya menjaga kebun babah Ahok. Sambil menunggu tanaman sawit yang belum tinggi, dia bertanam padi. Aku disuruh mengusir burung bantuin dia. Katanya aku akan dikasih makan sesudah dia selesai memasak. Aku sangat lapar, aku nurut saja apa yang dia suruh. Waktu dia datang, aku nagih janjinya. Tapi dia bilang, nanti kalau dia sudah selesai makan. Aku disuruh lagi mengusir burung. Begitu aku dating lagi, dia bilang diapun masih kurang. Aku minta sisa sayur bening kangkungnya, dia malah mengejek kalau sayurnya itu enak betul. Malah kuah sayurnya bukan dikasih aku, tapi dibuang ketanah. Sampai kapanpun aku akan ingat si Seman itu, Bang”. Sejak itu, begitu cerita si bungsu. Dia tak mau lagi disuruh-suruh Seman. Tetapi bila Seman makan Subali bertiarap dibawah rumpun pisang menunggu sisa makanan yang dibuang Seman, kelobang sampah. Walaupun tinggal rimah dan duri ikan asin, sisanya tetap dimakan si bungsu, Subali.
Adik-adik Wardik sangat menderita kelaparan, waktu mula pindah dari desa yang digusur ke Patok Besi. Jangankan nasi, ubipun belum tentu mereka dapatkan tiap harinya.
Seman, rumahnya pernah terbakar habis, Ayah Wardik yang Kepala Desa waktu itu, mengumpulkan warga desa dan bergotong royong membangun rumahnya kembali. Tapi balasannya, hinaan dan cacian.
Ada yang membuat si bungsu tak mengerti, semasa emaknya masih hidup, emaknya sering menuturkan tentang anak-anak angkatnya. Tapi, sekarang, mengapa anak-anak angkatnya itu, tak ada yang mau tahu pada mereka. “Suatu kali nanti”, begitu kata Wardik, mencoba meneguhkan hati si bungsu,”nanti disuatu saat, mereka yang pernah menghina kita , akan datang pada kita untuk minta tolong lagi. Kita tidak boleh dendam pada mereka. Suatu saat mereka yang pernah melecehkan kalian akan malu melihat kita lebih lumayan hidupnya bila dibandingkan dengan mereka. Karena tekat kita lebih kuat dari mereka, karena penderitaan ini akan menjadikan kita lebih kuat dari mereka. Disatu saat disatu ketika.
 
PERGANTIAN Komandan Inrehab, dari Lettu CPM Harun, kepada Lettu CPM J. Napitupulu selain membuat longgarnya peraturan yang terdahulu, juga membuat daftar balas dendam yang baru. Cicunguk-cicunguk Lettu Harun satu persatu mengisi daftar balas dendam untuk dieksikusi. Eksikutornya, “Klinik”. Sampai akhirnya Maju Ginting menyadarkan Wardik, memintanya agar menghentikan “Klinik” melakukan eksekusi balas dendam. “Yang harus disalahkan penguasa, kita semua korbannya. Usahakan menyadar kan kawan-kawan yang terjerumus dengan iming-iming”. Begitu kata Maju. Sejak itu juga tak ada lagi yang berani dekat-dekat dengan komandan jadi cicunguk.
Usaha kerajinan yang dipasarkan para keluarga dan warga disekitar Inrehab, membuat hasil kerajinan dari Inrehab menjadi dikenal sampai kemana-mana diseantero Sumatera Utara, bahkan ke provinsi tetangga, Aceh, Riau dan Sumbar.
Para tahanan pun ada yang sudah jadi juragan membeli dan menjual segala bentuk kerajinan. Dan ini menimbulkan keadaan yang buruk. Kesetiakawanan yang dulu berjalan baik, sekarang hampir ambruk. Yang terlihat kepermukaan adalah, egois, mementing kan diri sendiri.
Komandan Inrehab berganti lagi, Lettu CPM J. Napitupulu digantikan Lettu CPM Munir. Berbeda dipergantian yang lalu-lalu, kali ini wakil komandan juga diganti antara Peltu CPM M. Napitupulu dengan Peltu CPM Umar Chaniago. Rutinitas lagi. Tak ada pilihan yang lebih baik selain berharap. Dan harapan itu adalah segera waktunya dibebaskan. Bukan hanya hari, minggu, bulan pun berlalu dalam hitungan.
Sampai pada minggu kedua Desember tahun 1977. Para tahanan diperintahkan segera berkumpul didepan portir, mendengarkan pengumuman siapa-siapa yang akan dibebaskan. Nama-nama yang akan dibebaskan pada 20 Desember. Seribuan lebih, sampai malam belum habis terpanggil, pengumuman dihentikan. Besok pagi diteruskan lagi. Tapi, tak ada namanya dipanggil. Itu artinya, dia masih harus mendekam dikurungan itu. Di Inrehab Tanjung Kasau.
Masih sekitar enam ratus-an orang yang belum dibebaskan pada gelombang pertama. Mbak Yus nya dan mas Subandi abang iparnya turut bebas di gelombang pertama. Malam tanggal 17 Desember, abang iparnya itu menemuinya di Barak. Subandi pamit pulang duluan, Meski dia belum tahu apa usaha diluar nanti, tapi dia berharap bila Wardik bebas nanti, agar mau tinggal dengan mereka di Tanjung Mulia.
Untuk ikut tinggal bersama mbak Yus nya, itu hal yang tidak mungkin. Sedang ditahanan saja dia tak memperdulikan Wardik. Wardik sakit, mbak Yus nya tak pernah menjenguknya. Bahkan kawan-kawan setahanannya bilang, yang bersaudara dengannya itu bukanlah mbak Yus nya, tapi abang iparnya, Subandi. Begitupun, mungkin disuatu saat dia akan berkunjung kerumah mereka.
18 Desember, penghuni Inrehab Suka Mulia yang akan dibebaskan bergabung di Inrehab Tanjung Kasau. Mereka datang diangkut dengan 5 unit truk militer. Sedangkan penghuni Inrehab Tanjung Kasau sebagian dari yang belum mendapat gilirannya, diangkut dengan truk itu juga ke Medan. Sebagian lagi masih tinggal dengan mereka yang akan dibebaskan. Dengan ketentuan, dihari H harus keluar dari barak. Maksudnya seolah-olah bahwa para tahanan di Inrehab Tanjung Kasau sudah dibebaskan semua. Mendengar penjelasan seperti itu, didalam hati Wardik tertawa. Kebohongan lagi. Penguasa selalu berbohong. Untuk apa? Untuk apa lagi kalau bukan untuk kelangsungan kekuasaannya.
20 Desember tahun 1977, pagi harinya mereka yang tertinggal harus meninggalkan komplek Inrehab dan sorenya harus kembali sebagai tahanan lagi. Wardik tak kemana-mana. Dia mau menyaksikan pelepasan ribuan para tahanan yang selama ini dianggap akan membahayakan. Itulah sebabnya mereka dikurung dan dikucilkan dari masyarakat lainnya. Itulah sebabnya pula mereka dijadikan kasta yang paling hina. Kasta paria.
Pelepasan para tahanan G 30 S/PKI itu dilepas oleh penguasa tertinggi, Kopkamtib, Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban negeri ini, Jenderal (P) Sudomo. Upacara pelepasan dilakukan di Inrehab Tanjung Kasau, mengapa bukan ditempat lain dia tak mengerti apa sebabnya.  Puluhan bus sudah disiapkan untuk mengangkut mereka yang akan dilepas ketempat asalnya masing-masing. Ada juga yang dijemput sanak keluarganya. Selamat jalan.
“Ayo, Cak”, Kijo Marjoko menyadarkan Wardik. “Jangan sedih, Cak, tak lama lagi pasti giliran kita. Ayo kita cari kedai nasi, aku sudah lapar”. Wardik bilang dia tak lapar. Haru itu tak terbendung.
Kijo Marjoko juga belum mendapat giliran dibebas kan. Dia mantan serdadu dari kesatuan Arhanud. Dia ditangkap ketika sedang tugaspiket. Kijo berasal dari Jawa Timur ditugaskan ke Medan, dan menikah dengan anak Mabar. Anak dua, sayang isterinya tak sanggup menunggu, akhirnya minta cerai.
Mereka berdua pergi ke Indra Pura dengan bus trayek Tebing Tinggi-Kisaran. Aneh, kondektur tak mau menerima bayaran mereka.
Kembali kebarak, komplek ini lengang. Penghuninya yang belum mendapat giliran dilepas, yang mendapat perintah menyingkir, belum pada kembali. Baru pukul empat sore, mereka muncul satu-satu atau ber-gerombol dulu, baru bersamaan kembali ke barak. Sedangkan sebagian yang belum dilepas yang disingkirkan ke Medan entah kapan akan dikembalikan.
600 orang dari dua ribu empat ratus lebih. Terasa sepi. Apalagi mereka diperbolehkan keluar kemana saja, asal permisi dan rogoh kocek pembeli rokok untuk pengawal yang sedang bertugas. Biasanya Wardik bersama Kijo pergi keluar, kalau bukan menonton layar tancap, ke Tebing Tinggi membeli papan Jelutung untuk bahan ukiran. Tapi lebih banyak, sore selesai menyiap kan pesanan ukiran, jalan-jalan disekitar Inrehab. Singgah diwarung-warung kopi.
Sore itu, dia, Karman, Kanapi, Kijo jalan-jalan sampai ke Simpang Simujur, singgah diwarung kopi. Selagi pesanan kopi lagi diracik, jarak beberapa puluh meter agak kedalam dari jalan Wardik melihat ada bangunan baru. Rumah kecil, dinding tepas dan atapnya daun nipah. Tombak layarnya belum ada, Wardik yakin bila hujan lebat turun, apalagi bila disertai angin; tak pelak air hujan masuk kedalam rumah.
Sebelumnya rumah itu belum ada. Dia menanyakan pemilik kedai. Pemilik kedai bilang, orangnya pindahan baru, dari simpang Bandar Tinggi. Baru seminggu disini. Mereka pindah kemari karena tak tahan gunjingan orang-orang disana. Anak perempuannya sedang hamil tua, namanya Jaliah. Suaminya bekerja sebagai Hansip di kantor Bupati Asahan. Entah apa sebabnya, Jaliah tak mau lagi dengan suaminya. Orang-orang disekitar situ beranggapan si Jaliah hamil selingkuh dengan orang proyek PT Kadi.
Mendengar cerita itu, Wardik teringat sesuatu. Inur. Dia tanyai lagi nenek pemilik kedai kopi itu apa si Jaliah itu punya adik perempuan namanya Inur dan bapaknya pandai besi. Nenek pemilik warung kopi itu mengiakan. “Keluarga ini harus pindah karena orang-orang tak tahu seperti apa kebenarannya. Ceritapun bukan saja cuma sampai kemana-mana, tapi sudah ditambah-tambahi”.
Wardik mengiyakan, bahwa mereka sudah mengenal Inur. Sebab anak-anak dari simpang Bandar Tinggi, sering datang kedalam. Salah seorang si Inur. “Sebulan yang lalu kawan-kawannya kedalam, kutanya mengapa si Inur tak ikut. Saat itulah mereka bercerita kalau kakaknya tertimpa masalah. Kalau begitu nek biar kami singgah kerumah itu”.
Mereka bayar kopi yang mereka minum.
Inur kelihatan sangat kaget. Walaupun  begitu, keluarga itu menerima mereka dengan senang hati. Maknya cerita apa yang sebenarnya telah terjadi. Jaliah sebenarnya sudah berpacaran dengan Sunardi Hansip kantor Bupati Asahan. Sebelum menikah Jaliah sudah hamil dua bulan. Sunardi jarang datang ke simpang Bandar Tinggi. sementara perut Jaliah kian membesar  Orang-orangpun mulai bergunjing dan akhirnya menuding Jaliah berbuat zinah dengan orang proyek PT Kadi.
Jaliah berulangkali memesan Sunardi agar datang, namun Sunardi tak kunjung datang. Perutpun semakin besar. Rasa cinta Jaliah berubah menjadi benci. Calon bayi dalam kandungan yang tak berdosa itu berulang kali akan digugurkannya. Tetapi sang jabang bayi ingin mengabdi pada ibunya.

PULANG kekandang, mereka berenam sepakat akan patungan membelikan tepas dan lampu teplok. Lampu teplok yang ditinggalkan kawan-kawan yang sudah bebas masih banyak yang bisa digunakan. Besoknya, Wardik dan Karman datang lagi kerumah Inur, memberikan uang hasil patungan dan lima lampu teplok. Terkadang mereka  bawa sayuran dan apa saja yang bisa mereka berikan. Sesudah beberapa kali datang kerumah itu, barulah jumpa dengan Jaliah. Selama ini dia sembunyi bila mereka datang. Pada Jaliah mereka ceritakan segala penderitaan yang mereka alami, dan penderitaan kawan-kawan mereka yang perempuan. “Tapi mereka terus ingin hidup, dan bertahan hidup”. Sejak itu Jaliah berubah, terlihat mendapatkan kembali semangat hidupnya. Kedua orang tuanya sangat berterima kasih kepada orang-orang sisa dari para tahanan yang sudah dilepas itu.
Karman dan Kanapi baru saja dari rumah Jaliah. Keduanya menemui Wardik. Keduanya bilang, karena calon bayi yang didalam kandungan itu, sudah dimusuhi sejak mulai ada. Keluarga itu sepakat bila anak itu nanti lahir akan diberikan ke orang. Tapi Wardik ragu itu akan terjadi. Siapa pula yang mau menerima bayi dalam keadaan sesulit ini. “Ya mudah-mudahanlah ada yang berbaik hati menerimanya”.

SERING dia dengar orang-orang bilang, bahwa ada sesuatu yang tak bisa diduga manusia. Langkah, rezeki pertemuan, maut. Beberapa hari sesudah niat keluarga Jaliah akan menyerahkan anaknya kepada orang. Wardik dikunjungi mbak San nya. Mbak San nya pamit, dia akan menikah. Meski tak sangat kaget. Wardik kaget juga memang. Wardik menanyakan, siapa pula yang mau menikahinya. “Pak Mansyur, Dik. Apa kira-kira kau setuju apa tidak?”  Wardi bilang dia kenal pak Mansyur sejak dia dijalan Gandhi. Berlagak tua, Wardik berharap agar mbak San nya berlaku baik, jangan sampai pak Mansyur sakit hati. Sebenarnya Wardik cuma sambil lalu cerita tentang Jaliah yang mau memberikan bayinya bila lahir nanti. Tapi, mbak San nya malah menanggapinya, menanyakan sudah berapa bulan usia kehamilannya, kapan kira-kira Jaliah melahirkan. “Mungkin dua bulan lagi atau lebih. Aku tak tahu sudah berapa bulan usia kehamilannya”. Karena Wardik cuma asal-asalan. Dia alihkan cerita, menanyakan kapan dia mau menikah. Mbak San nya minta surat persetujuan Wardik, Surat pemberian kuasa perwalian pada Tuan Kadi yang menikahkan. Jawaban ini membuat dia sadar, bahwa dia sudah menjadi wali, pengganti orangtuanya. Ayah mereka. Wardik yang masih belum menikah, sudah menjadi wali. Wali dari kakaknya. Ditanyainya lagi mbak San nya, “kalau hari ini kubuatkan?”. Enak saja dia jawab. “Ya, besok”. Wardik membuat surat kuasa perwalian yang diwakilkan pada Tuan Kadi, untuk menikahkan kakak kandungnya. Ditanda tanganinya.
Waktu  menerima Surat Kuasa mbak San nya bilang; bahwa dia ingin mengangkat anak Jaliah menjadi anaknya. Wardik kurang yakin, bukankah mengurusi bayi itu merepotkan. Tapi begitupun, dia yakinkan mbak San nya, dia akan sampaikan hal ini kepada keluarga Jaliah. Mbak San kembali ke Medan. Dijumpainya Karman dan Kanapi. Sore harinya mereka kerumah Jaliah mengabarkan, apa yang menjadi keinginan mbak San nya. Wardik mengantarkan sayuran kerumah Jaliah, setelah sebulan mbak San nya mengabari tentang rencana pernikahannya dengan pak Mansyur.
Sebenarnya sekalian melihat keadaan Jaliah apakah anaknya sudah lahir.
Dijumpainya Jaliah sedang kesakitan memegangi perutnya. Wardik menanyakan orangtua dan adiknya Inur dimana. “Diladang”, jawabnya, terus merintih kesakitan. Dia bilang pinggangnya terasa sangat pegal. Wardik segera berlari kekedai kopi yang diseberang jalan, menemui nenek pemiliknya.
Diceritakannya keadaan Jaliah. Nenek itu memanggil cucunya, untuk menggantikannya menjaga kedai. Dia sendiri bergegas menuju rumah Jaliah. Melihat keadaan Jaliah nenek itu menyuruh Wardik memanggil kerabat Jaliah yang rumahnya tak begitu jauh. Sesudah mengabari Ijem, kerabat Jaliah itu, Wardik kembali ke barak mengabari Kanapi dan Karman.
Tiga hari kemudian mereka bertiga kerumah Jaliah. Anak Jaliah, perempuan. Seisi rumah, mengucapkan terimakasih, untuk bantuan orang-orang kurungan itu selama ini.
Besoknya Wardik pergi ke Medan, menjumpai mbak San nya, mengabari, bahwa bayi itu sudah lahir. Dua minggu sesudah itu mbak San nya datang membawa kain panjang, kain sarung dan semua peralatan bayi. Tak lupa kertas meterai untuk ditandatangani Jaliah, sebagai bukti menyerahkan anaknya pada mbak San nya.
Begitu mbak San nya datang, keluarga itu sudah berubah fikiran. Mereka bilang, mereka tak sampai hati melihat mata sang bayi seakan minta agar dirinya jangan diberikan kepada orang lain. Mbak San nya maklum akan hal itu. Kain panjang, kain sarung dan semua peralatan bayi yang dibawanya, ditinggalkan. Hadiah untuk kelahiran bayi Jaliah, katanya. Hari itu juga dia kembali ke Medan.
Entah berapa hari, sesudah mbak San nya datang. Sore itu Karman membawa pesan kepada Wardik dan kawan-kawannya, malam itu diundang datang kerumah Jaliah.
Malamnya mereka datang bertiga, dia, Karman dan Kanapi. Mereka bertiga kaget, seluruh keluarga dan kerabat dekat Jaliah sudah berkumpul dan menunggu. Ketiganya bingung, dalam hati menduga-duga. Entah apa yang akan dimufakatkan. Meski begitu mereka ikut duduk setelah dipersilahkan.
Menit-menit menunggu, membuat ketiga mereka kikuk, terutama Wardik. Baru setelah ada penjelasan dari ayah Jaliah, kekikukan mereka bertiga hilang.
Ayah Jaliah menjelaskan maksud pertemuan itu. Katanya, karena bayi anak Jaliah selama ini sudah dimusuhi. “Terakhir kakak nak Wardik sudah datang berniat menjadikannya anaknya. Tapi kami, tak sampai hati. Hingga akhirnya kami memutuskan, akan membesarkannya dirumah kami ini. Begitupun kami sudah berunding dan mufakat, untuk mengembalikan semangatnya. Kami mau nak Wardik mengakuinya, hanya pengakuan menjadi anak, anak nak Wardik. Apa nak Wardik tidak keberatan”.
Mereka bertiga saling pandang. Melihat Karman dan Kanapi  mengangguk. Wardik bilang dia sepakat. Untuk itu ada upacara pengakuan terhadap sang bayi.
Inur, Ijam dan seorang kawannya lagi, mengeluarkan pulut kuning yang ditaruh diatas talam, serta gemblong yang ditaruh diatas tampah, juga urap yang mereka taruh diatas piring.
“Begini nak”, ayah Jaliah menerangkan acara yang akan menjadi keharusan. “Menurut kami suku Banjar, hal ini harus diadati. Walaupun kurang sempurna, tapi ini sudah memenuhi keharusan adat. Nanti gemblong ini nak Wardik belah dengan pisau, ucapkan Dua Khalimah Sahadat. Dan Jaliah akan memberikan bayi ini dan meletakkannya dipangkuan nak Wardik. Lalu bayi, nak Wardik namai. Terserah siapa namanya. Itulah yang akan menjadi namanya, seumur hidup”.
Gemblong dihadapannya, dibelahnya, melafaskan Dua Khalimah Sahadat. Dan Jaliah memberikan bayi, meletakkannya diatas pangkuan Wardik. Begitu bayi berada dipangkuannya mereka yang hadir serentak berujar, “beri nama anak itu”. Dari semula dia tak menduga ada acara seperti itu, apalagi menyiapkan nama. Wardik teringat Yusdi, putri Minang yang pernah meminangnya menjadi suami. “Baiklah”, dengan membaca Basmalah, Wardik memberi nama bayi, “anak ini kutabalkan namanya Yuswarni, Sri Yuswarni”. Usai penabalan bayi menjadi anaknya, ada makan bersama. Berjalan menuju pulang ke kandang Wardik terkekeh, “Ini baru aneh, aku belum pernah nikah, sudah jadi ayah”. Karman bilang dia yakin, ayah Yuswarni bila mendengar hal ini, pasti dia akan datang.

BENAR kata Karman entah dari mana Sunardi dapat berita, dia langsung datang dan membawa pakaian bayi. Tapi hati Jaliah sudah tertutup. Menammatkan kisah kasih mereka berdua.
Pertengahan April, 1978. Marjoko mengabari Wardik, katanya Komandan bilang, bahwa bulan depan akan ada lagi yang akan dibebaskan, gelombang kedua. Dan komandan juga menyebutkan kalau gelombang kedua ini, semua tahanan yang disangkut pautkan dengan G 30 S/PKI di seluruh Sumatera Utara akan dibebaskan semua, kecuali yang sudah diadili.
Tapi kalau Wardik bebas, bingung mau pulang kemana. Yang pasti, dia tak akan pulang, untuk menetap kekampungnya lagi.
Marjoko menyarankan agar dia kerumah Subandi dulu. Setelah itu katanya, bersama-sama mengontrak rumah. “Cak, aku punya sedikit modal. Nanti kita buka usaha bersama”. Wardik manggut-manggut saja, entah dia kira barangkali Wardik setuju, padahal Wardik cuma paham maksud baiknya. Ketika dia bilang, dia nikah dulu. Wardik terkekeh-kekeh, sambil memaki “cukimai, kalau cak Kijo menikah dulu, itu artinya aku ngawulo sama cak Kijo. Aku enggak mau. Sudahlah, cak, aku pasti bisa hidup di Medan”. Marjoko ikut terkekeh. “Nah begitu, itu baru semangat”.
Wardik sangat berharap berita yang dibawa Marjoko itu benar. Dia sudah berketetapan hati tak akan pulang unuk menetap dikampungnya.  Dipertengahan April itu juga, komandan datang kesanggar. Dia menyuruh Wardik membuat ukiran Jaka Tarup, akan jadi kenang-kenangan, katanya. Tapi bukan kisah para bidadari mandi di telaga, atau Jaka Tarup sedang mencuri selendang. Lettu CPM Munir ingin dibuatkan, ukiran, kisah Jaka Tarup yang lain. Jaka Tarup yang sedang menggendong bayinya, melihat keatas putri Nawang Wulan terbang meninggalkannya. Wardik disuruhnya meminta papan jelutung pada Kijo Marjoko. Lalu Wardik diberi uang seribu rupiah, untuk beli rokok, katanya.
Sebelum dia balik kanan. Wardik menanyakan kapan ukiran Jaka Tarup itu harus diselesaikan. Komandan itu bilang, secepatnya, karena tak berapa lama lagi mereka akan dibebaskan.
Katanya lagi ukiran itu akan digantungkannya diruang tamu. Kalau Wardik datang kerumahnya, bila sudah bebas nanti, pasti akan melihatnya.
Ukiran itu diselesaikan Wardik dalam tiga hari. Ukiran terakhir yang dibuatnya dikurungan. Kurungan yang dibuat penguasa dinegerinya sendiri, penguasa bangsanya sendiri.
Sampai saat itu, Wardik belum tahu mau kemana, kalau dia dibebaskan nanti. Tapi begitupun dia berusaha agar dilihat kawan-kawan senasib, bahwa dia. Wardik, seakan-akan sudah ada yang menunggu diluar sana.
Ada beberapa orang yang sudah dibebaskan datang berkunjung kekurungan, diantaranya Sahnen. Sahnen setelah dibebaskan pulang kekampungnya, katanya dia masih sulit menyesuaikan diri. Kerja belum punya.
Dia membantu emaknya berladang. Kawan-kawan sebayanya sudah pada berumah tangga. Wardik asal asalan menyuruhnya, agar dia juga cepat-cepat nikah, berumah tangga. Cuma guraunya. “Lelek jangan kira biaya perkawinan itu murah. Aku akan memerlukan lima tahun lagi mengumpulkan uang. Mana pakaianku habis kemalingan”.
Dia cerita, bahwa selama ini tidurnya di Masjid. Malam itu emaknya membantu orang yang sedang mengadakan pesta mengawinkan anaknya. Paginya baru dia tahu rumahnya dibobol maling. Pakaiannya tinggal yang dipakainya, cuci kering. Waktu dia pulang, Wardik memberinya 3 pasang pakaian, dibungkus dengan koran bekas. Dia bilang kalau Wardik bebas, dia akan ikut Wardik. 19 Mei, 1978 semua para tahanan diumumkan akan dibebaskan.
Malamnya, diadakan keramaian dikomplek tahanan. Ada pertunjukan ludruk dari group ludruk Indra Pura.
Wardik menyempatkan, menjumpai keluarga Jaliah untuk pamit. Bayi mungil yang menjadi anak “akuan” nya sudah lelap tertidur, wajahnya teduh. Wardik selain akan pamit juga menyampaikan keinginannya. “Bang, biarlah saat ini kami yang akan mengasuh Iyus, nanti kalau dia sudah besar, kami akan ceritakan, bahwa yang menyelamatkannya adalah orang-orang tahanan. Dan dia menjadi anak “akuan” abang”. Begitu jawaban Jaliah ketika, Wardik bilang, bahwa nanti bila dia sudah berumah tangga dan keadaannya sudah lumayan si Yus akan dibawanya.
Sebelum dia kembali kekeramaian yang ada dikandang, Wardik janji, suatu kali nanti dia akan sempatkan datang menjumpai mereka. Wardik minta didoakan dan minta maaf bila ada kata dan langkahnya yang salah.
Keramaian terus berlanjut sampai pukul empat pagi.
Masih dikemeriahan keramaian itu, semua para tahanan yang akan dibebaskan, satu persatu diperintah kan menuju, dan naik ke truk militer yang sudah ber- jejer menunggu sejak malam tadi.
Setelah semua truk berisi penuh, beriring bergerak meninggalkan Inrehab Tanjung Kasau, menuju arah Medan.
Beda memang, kalau yang lalu para tahanan dibebas kan dari komplek kurungan itu, kali ini akan dilepas di markas Pomdam II Bukit Barisan, di jalan Sena Medan. Komplek ini juga pernah menjadi komplek kurungan yang diakhir tahun 1965, sampai ketahun 1967.
Pukul tujuh pagi belasan iring-iringan truk militer yang mengangkut para tahanan belasan tahun itu, memasuki komplek Markas Polisi Militer. Relief Gajah Mada olesan kepiawian tangan Puji Tarigan terpampang didinding depan gedung, sudah terlihat dari jalan membelok ke komplek.
Semua diperintahkan agar turun dari truk. Istirahat, menunggu upacara pelepasan. Pukul 8 pagi, perintah apel. Ada pengarahan dari Komandan Pomdam II Bukit Barisan. Semua dipanggil namanya, satu persatu menerima surat bebas. Surat bebas itu diterima Wardik, dikantongi tanpa membaca isinya. Masuk kebarisan lagi.
Ketika semua nama sudah dipanggil dan menerima surat bebasnya masing-masing, barisan dibubarkan. Jadilah semua yang dibebaskan itu menjadi orang bebas.
Hampir semuanya orang-orang yang dibebaskan itu, dijemput sanak keluarganya.
Lapangan yang didepan markas Pomdam sudah lengang, tinggal para petugas yang terlihat lalu lalang dihalamannya. Wardik sendirian. Ransel berisi pakaian tersandang dibahunya. Bingung, entah gamang, mau ke Barat atau mau ke Utara. Untuknya sama saja. Medan, ibukota Sumatera Utara, pernah lama dia menjadi warganya. Sayangnya warga yang tak tercatat dikantor kependudukan, baik di kantor sipil kota, maupun dikantor kecamatan atau di kantor kelurahan, malah tak tercatat di kantor kepala lingkungan. Tapi namanya sudah tercatat di administrasi tempat penyiksaan jalan Gandhi dan penjara Sukamulia, juga  TPU C KM 7 jalan Binjai. (Tempat ini dikosongkan, semua penghuninya dipindahkan ke tempat-tempat kurungan lain atau dibebaskan. Area yang dikelilingi tembok tinggi itu, ketika semua para tahanan dibebaskan, sudah menjadi komplek Markas Kodam II Bukit Barisan. Jadi tempat itu, tak sempat berganti nama menjadi Inrehab).Tak menyangka, ada suara orang memanggilnya. Mas Bandi, iparnya, mengenderai sepeda mendekat. Sepedanya dicagakkan.
Abang iparnya itu bilang, dia tak tahu bahwa Wardik ikut dibebaskan. Tadi pagi kebetulan dia mendengarkan warta berita di RRI, bahwa pagi hari ini ada upacara pelepasan para tahanan G 30 S/PKI.
“Sekarang lelek ikut aku kerumah, selanjutnya, ya, lelek. Terserah lelek mau kemana. Persoalan Lelek tak mau campur dengan mbak Yus mu, itu urusan nanti”. Wardik bilang bahwa dia sudah bingung mau kemana.
Wardik dibonceng abang iparnya, meninggalkan markas Polisi Militer itu. Membelok kekiri memasuki jalan Sutomo arah ke Utara. Menurut mas Bandi nya, rumah mereka di Tanjung Mulia. Dimana Tanjung Mulia itu sudah pasti dia tak tahu. Wardik menanyakan, rumah mereka seberapa jauh. Dijawab, jauhnya cuma sebatang rokok. dia ketawa diboncengan, “Itu kalau rokoknya diselipkan di telinga”. Tawa dua manusia ipar ber-ipar itupun lepas, tak ada yang menghalangi ataupun melarangnya. Dibebaskan dari keterasingan malah membuat Wardik merasa terasing. Gamang dikeramaian. Dua hari dirumah mbak Yus nya, dia diantarkan abang iparnya kerumah mbak San nya di Martubung.
Menginap semalam. Banyak cerita yang didapatnya dari abang iparnya; yang sebelumnya Wardik menyebut-nya, pak Mansyur. Mulanya gagap menyebutkan bang Mansyur. Cerita, bagaimana mereka masa sekarang ini disibukkan dengan memelihara ternak, bebek, ayam ada juga lembunya. Adik-adik Wardik ikut membantu, sekalian menjadi beban mereka. Santo, Ambran dan Subali, lain lagi kemenakannya; anak-anak mbak San nya, Agus, Maisih, Dinah dan Jety.
Wardik sudah berketetapan hati, kalau dia tak bisa membantu, setidaknya dia tidak akan menjadi beban mereka. Menginap semalam melepas rindu, paginya Wardik pamit ke Tanjung Mulia. Kerumah Basiman.
Sore dibebaskan, dia menemui Basiman, diantarkan abang iparnya, mas Bandi nya. Dua kilo meter dari rumah mereka. Basiman dibebaskan tahun 1974. Dia membuka usaha kerajinan ukiran kayu. Wardikpun ditawari membantunya. Langsung hari itu Wardik mulai mengerjakan ukiran kepala tempat tidur, dari kayu jati. Sore sehabis kerja dia menginap ditempat mbak Yus nya.
Belum sebulan, ada masalah. Kalau Basiman keluar, yang menjadi majikan, isterinya. Rewelnya bukan main, membuat Wardik tak betah. Kerjanya yang terlalu lambanlah, dan lain sebagainya. Apalagi pendapatannya tak ada peningkatan. Dari pada dia ribut dengan Basiman, lebih baik dia mengundurkan diri. Basiman memang memakluminya. Walaupun, dia sebenarnya masih sangat memerlukan Wardik bekerja dengannya. Saat Wardik pamit, Basiman memintanya membuatkan mal. Acuan untuk ukiran kepala tempat tidur, dengan motif ukiran dari Jepara. Diberikannya selembar karton. Wardik mengerjakannya dirumah mbak Yusnya. Malam itu diselesaikannya. Besoknya diserahkannya pada Basiman, dia diberi uang lima puluh ribu rupiah. Dua puluh ribu diberikannya pada mbak Yus nya, selebihnya dikantongi. Besok dia mau ke Padang Halaban ziarah ke makam emaknya.
Selepas subuh, Wardik keluar dari rumah mbak Yus nya. Kestasiun Kereta Api, naik Bemo yang ke Sentral Pasar, turun tepat didepan pemesanan tiket. Memesan tiket Medan-Padang Halaban, 5000 rupiah. Pukul 2 siang,  sudah turun di peron Stasiun Kereta Api Padang Halaban.
Berpaling, dia tak pernah lupa, rel dijalur tiga. Jalur Kereta Api Padang Halaban-Rantau Prapat pukul 5 pagi. Ingat masa kanak-kanaknya. Sejak desa-desa disekitar perkebunan digusur, tak ada lagi Kereta Api pagi. Tak ada lagi hasil bumi yang akan dibawa. Semua tinggal kenangan. Ditawarnya ojek, langsung ke Patok Besi. Kepemakaman.
Ditanyakannya ke juru kunci pemakaman, dimana makam emaknya. Wardik lalu membersihkan makam emaknya dari rerumputan. Dia tak diberi kesempatan ikut mengebumikan emaknya. Hari ini dia datang dan berdoa untuk emaknya.
Malam harinya Wardik menginap di rumah adiknya, Suwartik. Besoknya kembali ke Medan. Di Stasiun Besar Medan penumpang semua sudah turun, Wardi memilih paling terakhir. Tak ada yang menjadi tujuannya. Tak ada arahnya melangkah.
Dengan ransel tersandang di bahu. Isinya beberapa pasang pakaian dan sendal jepit. Langkah yang tak terarah berhenti didepan Kantor Pos. Didinding atas ada lukisan kaca, bergambar burung merpati pengantar surat.
Burung merpati pengantar surat itu terbang kesana-kemari punya tujuan, punya arah. Dia, melangkah tak punya tujuan, tak punya arah. Setidaknya, dia harus mencari dimana tempatnya beristirahat.
Dia dapatkan. Didepan Kantor Pos, dilapangan Merdeka, ada tribun. Tempat para petinggi di Provinsi ini berpidato bila ada acara-acara kenegaraan.
Diputuskannya, dia kesana.
Sudah seminggu dia menjadi penghuni tribun di lapangan Merdeka itu. Siang dia mencoba mencari kerja, malamnya dia tidur dilantai tribun.
Di depan Kantor Pos, banyak berdiri kios-kios. Para pedagang menggelar barang dagangannya. Ada seorang pedagang rokok, sekalian menjual perangko, kertas meterai, koran dan majallah. Wardik tergerak, mengapa tak mencobanya, menjual koran dan majallah di stasiun Kereta Api. Pagi itu didatanginya si pedagang rokok. Dia  sudah kenal, karena selama di tribun setiap hari beli rokok di kiosnya. Awik namanya, begitu didengarnya orang-orang memanggilnya. Wardik bilang, bahwa dia mau menjual koran dan majallahnya di stasiun Kereta Api. Awik tak usah membayarnya, asal diberi makan. Wardik diserahi tigapuluh lembar koran, tiga jenis. Dan dua belas berbagai majallah. Awik bilang, kalau habis ambil lagi.
Pagi itu Wardik  mulai berjualan koran dan majallah di stasiun kereta api. Dihari pertama koran terjual habis semua, sedangkan majallah tinggal dua. Dua bulan, hari-hari berjualan koran dan majallah dilaluinya. Tetap menjadi penghuni cuma-cuma tribun lapangan Merdeka.
Tak seorangpun  kenalannya jumpa.
Dia rindu. Rindu suasana meriah, seperti dulu masa dipengasingan.
Sore itu para penumpang Kereta Api dari Rantau Prapat turun. Wardik menawarkan koran dan majallah. Kadang dia tersenyum sendiri. Salah menawarkan berita hari itu, padahal berita itu ada dihari kemarin nya.
Asyik menawarkan koran dan majallah, ada yang memanggil. Yang dipanggil tentu bukan namanya, nama koran yang dijajakannya. Tapi suara itu sepertinya  sudah akrab dengan telinganya. “Mbak Rohana”, sapanya. Perempuan itu, terheran-heran, agaknya dia pangling. “Aku Wardik, mbak”. Perempuan itu memukul-mukul bahu Wardik, tak menyangka Wardik yang menjajakan Koran dan majallah itu.
Lalu membayar majallah. Perempuan yang disapanya mbak Rohana itu bilang bahwa dia baru dari Padang Halaban, “melihat emak”, katanya. Ngobrol dikeramaian stasiun, pasti tak mengenakkan, tentu tak nyaman. Wardik menanyakan alamatnya. Di Jalan Sutomo ujung Komplek VDM, katanya. Perempuan itu lalu pamit. Laki-laki yang bukan lagi remaja itu, sipenjual koran dan majallah, terus menawarkan koran dan majallah, dagangannya.
Tak susah mencari rumah mbak Rohana, perempuan yang dijumpainya disetasiun kereta api itu, hampir semua orang mengenalnya di komplek itu. Mbak Rohana ingin mendengar ceritanya, kapan dia bebas dan cerita lain sesudah dibebaskan. Apakah Wardik sudah pernah kerumah mbak San nya dan bagaimana tentang adik-adik Wardik. Juga apakah Wardik sudah pernah ke Padang Halaban. Dan bagaimana sekarang keadaan mbak Yus nya dan mas Bandi nya.
Dia ceritakan semuanya tanpa kecuali.
Terakhir Wardik menyampaikan maksudnya. Dia ingin tinggal bersama mereka untuk sementara.
Perempuan yang dipanggilnya mbak Rohana itu dan suaminya Pardi setuju, asal Wardik mau membantu mereka membiayai makan dirinya sendiri. Maksudnya seperti orang bayar makan.
Sepulang dari komplek diujung jalan Sutomo itu Wardik pamit pada Awik pedagang kaki lima didepan Kantor Pos itu.
Dia tinggalkan lapangan Merdeka dengan tribunnya, mulai tinggal menumpang di rumah Rohana. Hari itu juga dipinjamnya sepeda Pardi. Dia kerumah mbak Yus nya, ingin tahu dari mas Bandi alamat rumah  Zul Iskandar. Zul Iskandar pernah berpesan, bila Wardik bebas datang kerumahnya. Bandi mencatat alamat itu. Di jalan Krakatau simpang jalan Perwira.
Dia datangi alamat rumah itu. Dia beruntung. Zul Iskandar mengajaknya ikut bekerja menata taman. Katanya namanya dekorasi eksterior. Wardik tahunya menata taman. Laki-laki yang dipanggilnya bang Zul Iskandar itu, sebelum petaka itu terjadi bekerja sebagai wartawan di Koran Harian Harapan, bisa melukis dan, membuat patung, serta piawi menata taman.
Besoknya Wardik sudah bekerja menata taman dengannya. Sorenya dia pulang kerumah mbak Rohana. Tak setiap harinya ada pekerjaan menata taman, kadang-kadang kosong.
Dalam keadaan tak ada pesanan, Wardik bekerja apa saja. Yang penting dia bisa memberikan uang pada mbak Rohana untuk biaya bayar makannya.
Sudah setahun tinggal di komplek Sutomo ujung itu. Wardik mendengar ada sanggar senirupa memerlukan tenaga. Didatangi sanggar itu. dia diterima bekerja, dan dibolehkan tinggal di sanggar. Sanggar milik pak Kamarudin Nasution, di jalan Pancing, gang Murni, Medan Timur. Karena letaknya di gang Murni itu sebabnya barangkali sanggar itu namanya, “Sanggar Murni”.
“Sanggar Murni”, meskipun bila hujan bocor, tapi lumayan. Dia sudah tak membebani orang lain lagi. Lebih tenang.
Wardik tak pernah lupa pada mbak Rohana, kadang dia menginap sampai dua malam dirumahnya.
DALAM kesendirian, ada yang membuat kegelisahan. Rindu. Iya rindu. Alamatnya masih dia simpan. Minggu libur di sanggar. Naik sepeda pinjaman, Wardik menuju Sukaramai, gang Danau Maninjau. Rumah itu, tempat tinggal abangnya. Abangnya bilang, Ambar ke Siantar. Ada cerita memang. Dia diterima dirumah itu sebagai tamu. Dijamu minum dan sedikit penganan ringan. Tapi ujungnya menyakitkan. Wardik  ditanya, apakah dia menyayangi Ambar. Tentu saja jawabnya, benar, sangat menyayangi Ambar. “Kalau benarf dik Wardik benar-benar sayang, jauhilah Ambar”. Inilah ujung-ujungnya, membuat dia marah pada dirinya sendiri, sedih, juga malu. Seolah-olah abangnya bilang. Lihatlah dirimu itu, siapa kau? Atau, inilah sindiran, agar Wardik mengaca. Wardik pamit. Pulang ke Sanggar Murni. Kegelisahan selama ini buahnya kegoncangan. Lama goncangan itu menggumulinya tak mau melepaskannya, mimpi buruk membuat dia linglung. Tak mungkin berharap lagi, tak ada gunanya. Kalaupun dia mengajak lari Ambar, dengan apa dan kemana.
Akhirnya, diputuskannya. Sudahlah, dan “selamat tinggal Ambar”. Meski selalu berharapkan mimpi jadi kenyataan, tapi kenyataan itu  tetap bukan mimpi. Dia buang jauh-jauh goncangan itu.
Dua tahun sudah menghirup udara bebas. Mbak San nya mendesak agar dia segera menikah.
Dijawabnya sembarangan, nikah itukan perlu modal. Dia belum punya apa-apa.

SEKALI dia jumpa dengan seorang kepala sekolah. Perempuan itu dengan suaminya. Usia mereka berdua, suami isteri separo baya. Malam itu hampir pukul sebelas malam, Wardik baru pulang nonton layar tancap di lapangan bola Kebun Pisang. Mobil mereka mogok, ketika mereka sedang dijalan pulang. Dia hampiri mobil itu. Mobilnya distarter, tak bisa hidup. Begitu keterangan ibu itu. Wardik bilang coba buka kap depan. Dia periksa kepala baterai nya. Jepitannya lepas. Wardik membersihkannya dengan kain lap, kepala baterainya. Lalu disambungkan dengan penjepit yang terlepas. Ternyata ini penyebabnya. Dicoba mesinnya hidup setelah distarter.
Wardik menutup kap depan kembali. Dan pamit. Tapi suaminya, memintanya menunggu. Dia merogoh kantong, mengeluarkan dompet. Wardik bilang tak usah, dia bukan montir, dan itu cuma kebetulan.
Setelah berterima kasih. Ibu itu dan suaminya menanyakan dimana rumah Wardik. Wardik bilang dia tinggal di sanggar Seni Rupa, di gang Murni. Wardik juga bilang bahwa dia selain, bekerja sebagai pengrajin ukiran di sanggar itu, juga penata taman.
Ibu itu memberikan kartu namanya dan menyuruh Wardik besok kerumahnya.
Kebetulan besok hari minggu, sanggar libur. dia janji besok akan kerumah mereka. Di Sampali. Dijumpainya ibu kepala sekolah itu, dirumahnya. Ditawari pekerjaan menata taman di didepan sekolah, Perguruan SMA Swasta. Sama-sama melihat lahan yang akan dijadikan taman sekolah. Ukur sana ukur sini.
Dia terangkan ke ibu itu, bahwa dia akan membuat sketsanya dulu. Dan dengan perincian apa-apa yang dibutuhkan untuk penataan taman. Bila nanti ada kesepakatan baru kemudian dikerjakan.
Wardik pamit kembali ke Sanggar, langsung mengerjakan sketsa taman, serta membuat rancangan kebutuhan materialnya.
Kebetulan pesanan yang harus dikerjakan di sanggar, lagi sepi. Disampaikannya tentang tawaran ibu kepala sekolah itu pada Kamarudin, pemilik sanggar. Diizinkannya, tapi dia bilang kalau nanti pesanan ada, Wardik harus membantunya.
Tentu Wardik mengiyakan.
Ibu kepala sekolah sepakat. Seminggu dia kerjakan penataan taman. Ibu Kepala Sekolah itu memanggilnya. Dia mengusulkan bagaimana kalau siswa diikutkan menata taman, maksudnya membantu menata taman. Memenuhi ekstra kulikuler. Dia juga menanyakan, apakah Wardik bisa mengajar melukis. Dijawabnya bisa. Nanti dipertemuan guru-guru dengan pihak yayasan akan menjadi agendanya, agar Wardik diangkat menjadi guru honorer. Itupun kalau Wardik sepakat. Setiap bulan ada pertemuan, kepala sekolah, guru-guru dengan pihak yayasan. Kebetulan diminggu itu, jadwal pertemuan diadakan. 
Menjadi guru honorer di SMA perguruan swasta itu. Mengajar tiga hari dalam seminggu. Sehabis mengajar, dia jajali pekerjaan yang ada disanggar. Itu bila sanggar mendapat pesanan, tapi bila sedang sepi digunakan waktu selepas mengajar, mencari kerja ditempat lain. Malamnya, dia sempatkan waktu, membaca buku-buku senirupa.

ADIKNYA, Susanto, setelah menikah, menumpang dirumah adiknya Suwarni. Mereka tinggal di pasar dua Helvetia, Medan. Mereka tinggalkan Patok Besi. Anak pertamanya meninggal di usia lima hari. Wardik datang bersama anak mbak Rohana. Selesai pemakaman, dia pamit balik ke “Sanggar Murni”. Tapi adiknya, Suwarni  memintanya, mengantarkan salah seorang tamu ke Sei Batang Serangan, Medan Baru. Tamu itu seorang gadis, usianya diperkirakannya tak lebih dari 19 tahun.
Diantarkannya naik angkot, angkutan kota. Gadis pendiam fikirnya. Sepanjang perjalanan dia diam terus. Setelah dipintu pagar rumahnya pun, dia tidak mempersilahkan Wardik masuk, juga tanpa terimakasih.
Sombong, itu yang terlintas difikirannya. Kembali ke sanggar. Wardik baru ingat, bahwa mereka belum berkenalan. Dia antarkan gadis itu kerumahnya, tapi tak tahu siapa namanya. Malam Minggu, Wardik keluar sanggar bersepeda. Dia ingin main kerumah gadis itu. Malam itu kebetulan di Taman Ria ada hiburan khusus Band dari Ibu Kota. Band nya Koes Plus. Karena Wardik masih belum tahu namanya. Dia bicara pada ibunya. Wardik bilang, bahwa dia ingin mengajak anaknya, ke Taman Ria, menyaksikan pertunjukan Koes Plus.
Ibunya bilang coba saja tanya anaknya, anaknya mau apa tidak. Dia ditertawai. “Anaknya mau, bu”. Jawab Wardik tanpa menanyakan anaknya. Sianak diliriknya senyum. Masuk kekamar, keluar sudah dengan dandanan. Cantik.
Terlihat ibunya senyum. Mau kan. Pamit dengan ibunya.
Wardik bilang, apa tak malu berboncengan naik sepeda. Dia bilang tidak. Menonton, berdesak desakan. Baiknya menonton dari jauh saja. Baru Wardik tahu namanya. Malam itu juga. Dikeramaian itu, Wardik melamar gadis yang baru dikenalnya kemarin, jadi isterinya. Elya Yuswita. Permintaan Wardik tak dijawab. Wardik bilang. Kalau tak mau, nggak apa-apa. Jangan diambil hati.
Pukul sepuluh malam lewat, Wardik mengajak pulang. Wardik bilang, dia tak ingin ibunya, menjadi khawatir.
Pulangnya. Dipintu pagar. Dia bilang, kalau Wardik mau jawabannya, besok Wardik harus datang lagi. Masuk sama keruang tamu Wardik pamit pada ibunya. Pulang kerumah mbak Rohana. Wardik sudah tahu siapa dia. Ayahnya sudah meninggal. Meninggal, karena sakit. Anggota Brimob. Sedang ibunya anak kampung Rambung Dalam, Binjai. Untuk biaya hidup setelah ayahnya meninggal, mereka berdua bekerja di Mess Bina Marga.
Paginya Wardik lalu pergi ke Binjai, menjumpai Juah Sembiring. Orang yang dipanggilnya abang, dia pernah memberikan petunjuk bagaimana menaikkan balok dari lembah keatas, kepinggir jalan di Suka Luwe.
Wardik menanyakan,apa ada kenalannya dikampung Rambung Dalam. “Banyak”, jawabnya. “ Dulu, hampir seratus persen kawan kita”, tambahnya lagi. Wardik menanyakan lagi, apa dia mengenal Warsiah, suaminya anggota Brimob.
“Kenal, Dik. Andai dia pada waktu itu tidak sedang mengikuti suaminya ke Kisaran, mungkin dia juga akan ditangkap seperti kita”.
“Kalau begitu”, kata Wardik. “Aku akan lamar anaknya, menjadi isteriku”. Tentu sehabis makan siang dirumah Juah. Wardik pun pulang ke Medan. Hati sudah tak ragu lagi, tak akan mendua. Malamnya, Wardik datang lagi ke mess Bina Marga. “Kalau nak Wardik memang sudah siap dan sudah berketetapan hati. Ibu harap segeralah orang tua nak Wardik datang kemari”.
Itu jawaban ibunya, ketika dikatakannya dia ingin melamar Elya.
Wardik berjanji akan membicarakan hal tersebut pada abang iparnya dan kakaknya, kemudian mereka akan segera datang lagi untuk melamar Elya. Mbak San nya sudah tentu sangat gembira. Seminggu berikutnya, abang iparnya, bang Mansyur dan pak Nukman datang meminang Elya. Kesepakatan, waktu diberikan dua bulan. Di tempo dua bulan itu, Wardik sudah harus menyediakan segala keperluan pernikahan. Dia terus mengajar, dan tetap menjadi orang upahan dan tinggal di “Sanggar Murni”. Kerja hingga jauh malam. Bukan hanya keperluan pernikahan yang difikirkannya, tapi dia harus mendapatkan bayaran dan rumah kontrakan.
Pada 29 Februari tahun 1980, jadilah hari itu menjadi hari pernikahannya. Pernikahan sederhana, cuma semacam pertemuan keluarga.
Ada pelaminan memang, yang dibuatnya sendiri. Ijab Kabul. Tepung tawar dan iringan Marhaban. Ada mbak Supri, tentu juga suaminya Hendrik Napitupulu, Anas,  Rumandung. Seminggu kemudian, Wardik memboyong isterinya kerumah kontrakan di desa Helvetia. Jadilah Wardik suami Elya. Paling tidak, dalam 2 tahun itu, Wardik bukan manusia nomaden lagi. Menompang kesana, menompang kemari. Jadi guru honorer dan jadi pengrajin, tetap dia jalani. Terkadang dapat borongan menata taman, terkadang merehab rumah atau membangunnya, kalau bernasib baik merehab gedung. Wardik sudah tahu alamat kawan-kawan yang dulunya sama-sama menjadi orang tahanan, yang pernah diperbudak di perkebunan-perkebunan. Anak-anak mereka diajaknya bekerja bersamanya, kalau ada pekerjaan yang memerlukan tenaga kerja. Ketika Elya hamil tua, dia melepas guru honorernya, masalahnya waktu yang dipergunakan untuk mengajar yang tiga hari itu membuat pekerjaan yang lain menjadi kurang bermanfaat, kurang mendapatkan lebihan.
Sedang pendapatan yang diterimanya sebagai guru honorer sangat minim. Juga kebutuhan akan masa bersalin Elya membutuhkan banyak biaya. Belum lagi nanti kebutuhan sang bayi. Berhentinya jadi guru honorer pun sudah, disampaikannya pada ibu kepala sekolah.
Diterangkannya tentang keadaannya. Kepala sekolah itu mengerti. Kebetulan dia mendapat kontrak kerja agak lumayan pula dan tenggang waktunya yang diperkirakannya bisa bertahan lama. Anak pertamanya lahir, 23 November ditahun pernikahan orang tuanya. Ayah dan ibunya. Ditahun itu akhirnya Wardik punya isteri dan anak. Diawal tahun 1981, ibu kepala sekolah datang kerumahnya. Pertemuan diawal tahun antara guru-guru dan kepala sekolah dengan pihak yayasan telah mengambil kesepakatan. Wardik diterima menjadi guru tetap. Kesepakantan ini, atas usul para siswa, guru-guru dan kepala sekolah. Diucapkannya terima kasihnya. Namun dia minta tempo sampai esok hari. Tentunya akan terlebih dulu membicarakan hal ini pada isteri nya.
Wardik tahu mengapa para siswa dan guru-guru memberikan usulan agar yayasan menetapkan dia menjadi guru tetap. Bukan hanya ekstra kulikuler mata pelajaran pada jam-jam belajar, yang menjadi tugasnya mengajar, seperti, senirupa, drum band, pramuka dan berenang. Tapi terkadang bila guru-guru perempuan lagi cuti hamil, mata pelajaran yang diajarkan guru yang lagi cuti, digantikan Wardik. Pihak sekolah dan yayasan tak susah-susah mencari guru dari sekolah lain. 
Ketika menjadi guru honorer dia pernah mengajar dikelas satu, dua dan tiga, mata pelajaran sejarah dan ilmu pengetahuan sosial lainnya.
Sepulang ibu kepala sekolah itu, dia tanya Elya bagaimana pendapatnya.
Dikemukakannya kontrak kerjanya memang masih agak lama selesainya. Tapi untuk pekerjaan itu dia hanya memerlukan waktu, cuma untuk mengawasi, kepala-kepala tukang. Itu bisa dilakukannya setelah tugasnya selesai disekolah. Apalagi kalau tugasnya seperti kala menjadi guru honorer. Isterinya setuju, apa yang terbaik. Hari Senin, di minggu kedua awal 1981, Wardik kembali menjadi guru di SMA perguruan swasta itu. Tidak lagi menjadi guru honorer. Hari itu dia belum bertugas mengajar. Dijanjikan besok surat penetapan Wardik sebagai guru tetap dikeluarkan dan dia akan mengajar, seperti tugasnya diwaktu dia menjadi guru honorer. Di semester dua tahun 1996, Wardik menandatangani kontrak kerja dengan salah sebuah perusahaan kontraktor yang membangun komplek perumahan Malibu di kawasan Polonia Medan. Mengawasi dan menyediakan tenaga kerja. Wardik memutuskan berhenti sebagai guru di perguruan SMA swasta itu. Lagi pula sejak semula dia selalu khawatir, pada Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 32/1981, tentang larangan bagi eks tapol dan napol. Diantaranya menjadi guru. Malah yang terjadi bukan hanya eks tapol dan napol yang dilarang menjadi guru, tapi juga sampai keturunannya pun dilarang. Ada dosa yang disandang sampai keketurunannya. Uh.
Tahun 1999, Wardik mendapat kontrak membangun pabrik kramik. Pengalamannya sewaktu dia mendapat kontrak dikomplek perumahan Malibu, digunakannya pada pembangunan pabrik kramik itu. Wardik dapat kontrak, dari mengawasi tenaga kerja dan menyediakan tenaga kerja bangunan sampai mengawasi tenaga kerja pabrik dan menyediakan tenaga kerja pabrik. Wardik mendapat upah yang lumayan. Dari hasilnya dia bisa membangun rumah sederhana. Empat kamar. Tiga untuk kamar mereka sekeluarga. Satu kamar agak besar digunakannya untuk kamar tamu, kalau-kalau, para kerabat, kawan-kawan dari Padang Halaban memerlukan tempat menginap bila datang ke Medan.

SUDAH delapan belas tahun dijalaninya hidup bersama Elya, isterinya. Di delapan belas tahun itu, isterinya melahirkan empat orang bayi. tiga bayi lelaki dan satu bayi perempuan. Anaknya, anak mereka berdua.
Ada waktu-waktu Wardik jumpa dengan kawan-kawannya yang dulunya bersama dipengasingan. Dipesta-pesta perkawinan anak-anak mereka, khitanan anak-anaknya atau di pesta-pesta perkawinan mereka.
Dipastikan tentu juga mereka akan berkumpul di pertemuan duka, saat kawan-kawan yang pernah sama di berbagai kurungan menghadap Chaliknya. Berbagi cerita.
Sampailah berita itu, dari mulut kemulut dan dari telinga ke telinga. Suharto akan jatuh. Wardik mulai berfikir. Dia mulai bertanya pada kawan-kawan, yang dianggapnya tahu banyak hal tentang hal-hal seperti itu. Kalau Suharto jatuh, apa tanah yang dirampas dulu bisa kembali.
Semua kawan-kawan yang ditanya menjawab. Untuk mendapatkan hak kembali, diperlukan, organisasi.
Membentuk sebuah wadah yang akan menjadi alat memperjuangkan hak-haknya. Inilah permulaan yang harus dikerjakan, pengorganisasian Mengorganisasi orang-orang yang telah dirampas haknya. Wardik harus segera ke Padang Halaban. Sudah saatnya dia ke Padang Halaban, dan jangan ditunda. Dia jumpai Samiran, Sumardi juga kawan-kawannya yang lain. Dia sampaikan Suharto akan jatuh, mereka harus siapkan langkah-langkah. Dikatakannya juga, kalau menurut beberapa orang mahasiswa yang menjadi aktifis di kampusnya, Suharto jatuh tinggal menunggu harinya. Tanpa organisasi dan perjuangan hak-hak mereka tidak akan dikembalikan. Begitu katanya pada mereka. Samiran bilang, bahwa bukti-bukti kepemilikan dan surat menyurat lahan ada beberapa yang disimpannya. Sumardi menyanggupi, akan menghubungi kawan-kawan, juga akan mencoba mengorganisasi. Seperti apa bentuknya, nanti difikirkan. Samiran bilang agar tak menjadi masalah nantinya, buat saja semacam arisan. Sampai disitu kesepakatan. Wardik pulang ke Medan dengan Kereta Api malam.
Dibulan Mei 1998, tujuh hari sebelum Suharto jatuh. Wardik membuat acara pengkhitanan anaknya yang nomor tiga dirumahnya.
Kawan-kawan diundang datang. Lagi berbagi cerita, berbagi apa yang dia tahu tentang negeri ini. Tentang mereka yang memegang tampuk kekuasaan. Ceritapun sampai pada gerakan mahasiswa yang akan menduduki Parlemen di Senayan, hingga Suharto lengser. 21 Mei Suharto mengundurkan diri. Wardik terus berhubungan dengan kawan-kawannya  di Padang Halaban. Mereka sudah membentuk organisasi, para petani yang pada kekuasaan Suharto dirampas tanahnya, dirampas hidupnya.
Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya. Menuntut pengembalian tanahnya. Samiran diangkat menjadi ketua nya. Di Medan Wardik bergabung di Agresu, Aliansi Gerakan Reformasi Sumatera Utara, belakangan pada kongresnya yang ke-2 menjadi Aliansi Gerakan Rakyat Sumatera Utara. Singkatannya tetap Agresu. Bersama dengan para aktifis mahasiswa berkeliling membangkitkan kesadaran para kaum tani yang ketika Orde Baru berkuasa tanahnya dirampas. Mereka harus bersatu, melawan kezaliman para petinggi yang berkuasa.
28 Oktober 1998. Untuk pertama sekali aksi kaum tani dimulai. 5.000 petani, dari kabupaten Labuhan Batu, Asahan, Deli Serdang dan Langkat menyatu dalam barisan unjuk rasa ke kantor Gubernur dan kantor DPRD Sumatera Utara. Unjuk rasa bermalam dikantor DPRD. Mereka bilang ini rumah wakil rakyat, itu artinya rumah rakyat dan mereka berhak menginap dirumahnya sendiri. Malam itu kaum tani dan para mahasiswa berhasil membentuk wadah aliansi empat kelompok tani di empat kabupaten yang ikut pada aksi unjuk rasa itu. Sebuah organisasi kaum tani, yang ketika dimasa Orde Baru tak akan dibenarkan selain organisasi kaum tani yang dibentuk kekuasaan. Wadah itu dinamakan, Gerag, Gerakan Reformasi Agraria.
Para Aktifis mahasiswa itu mengatakan bahwa melalui Gerag, kaum tani diempat kabupaten, disemua kabupaten di Sumatera Utara akan berani mengangkat muka tanpa takut lagi terhadap penguasa. Tahun diawal reformasi, adalah tahun-tahun aksi. Tahun-tahun unjuk rasa. Setiap ada aksi kaum tani, Wardik ikut. Terkadang kawan-kawannya dari Padang Halaban sedikitnya satu gerbong Kereta Api, ikut aksi datang ke Medan.
Kawan-kawan para mahasiswa ada yang menjadi korban penembakan. Unjuk rasa di Tanjung Morawa, sembilan kawan mahasiswa di rawat dirumah sakit Elisabet. Dua sampai tiga orang tertembak kakinya, dengan peluru tajam atau dipukuli dengan tongkat oleh petugas, luka-luka. Di Langkat, di Pancur Batu unjuk rasa kaum tani tak terbendung. Begitu juga aksi-aksi unjuk rasa didesa-desa pinggiran perkebunan disemua daerah kabupaten di Sumatera Utara.
Kaum TaniPadang Halaban berkali-kali, mengadakan aksi sampai pada pemerintahan SBY-JK. Tanah yang dirampas belum juga kembali. Para aktifis yang dulu menjadi penggerak, entah sudah kemana. Mereka datang hanya dibatas lima tahun sekali. Atas nama partainya. Untuk memenangkan partainya dan dirinya, duduk menjadi anggota dewan. Sebagai wakil rakyat diparlemen. Di pusat maupun diprovinsi, kabupaten dan kota. Tapi kaum tani Padang Halaban terus, tak hentinya berjuang sampai mendapatkan kembali haknya.
“Karena, pancang itu, adalah janji yang menjadi keyakinan mereka sampai hari ini dan nanti. Pancang itu bagi mereka adalah garis demarkasi. Dan pancang itu, bagi mereka adalah rekat-rentak senandungnya menapak matahari” *** Medan, 4 Februari 2011. ***                       






1 komentar:

  1. Halllo, saya sedang mencari tahu keberadaan film turang dan mendapatkan artikel ini, maaf, boleh saya tahu info film turang diputar dimana? kalau boleh saya juga ingin meminta no yang bisa dihubungi. terimakasih banyak

    BalasHapus