Jumat, 26 Juli 2013

AJI Bukan "Barisan Sakit Hati"

AJI BUKAN "BARISAN SAKIT HATI"

Oleh Satrio Arismunandar

AJI bukanlah sebuah organisasi yang berdiri karena landasan “sakit hati” akibat pembreidelan 1994. Itulah yang selalu saya tegaskan dalam berbagai forum diskusi jurnalistik. Betul, bahwa AJI secara faktual berdiri pada 7 Agustus 1994, sesudah terjadinya pembreidelan terhadap tiga media –DeTik, Tempo dan Editor—pada 21 Juni 1994. Namun, cikal bakal AJI dan benih-benih kelahiran AJI sudah disemaikan jauh sebelum terjadinya pembreidelan tersebut.
Di era represif Orde Baru sendiri, sudah sering terjadi pembreidelan. Pembreidelan 21 Juni 1994 hanyalah melengkapi daftar terakhir dari sekian kasus pembreidelan dan pemberangusan kebebasan pers, yang pernah ditimpakan pada pers Indonesia. Korporatisme yang diterapkan rezim Soeharto, dengan menjadikan PWI sebagai satu-satunya organisasi jurnalis yang diakui (sekaligus dikooptasi) oleh penguasa, telah merusak kehidupan pers untuk waktu yang lama.
Ada beberapa kondisi waktu itu yang dapat menunjukkan, bahwa AJI bukanlah organisasi yang berdiri semata-mata karena “sakit hati.” Sebaliknya, AJI adalah sebuah organisasi jurnalis, yang landasan pendiriannya lebih berakar pada idealisme dan prinsip kebebasan pers.
Pertama, sekitar tahun 1991 (sebelum pembreidelan 21 Juni 1994), pernah ada pertemuan informal belasan jurnalis di Taman Ismail Marzuki (TIM), Menteng, Jakarta Pusat. Dalam pertemuan terebut, yang juga saya hadiri, dibicarakan berbagai hal yang menyangkut kondisi pers Indonesia. Dalam pertemuan itulah, tercetus omongan tentang perlunya membentuk organisasi jurnalis alternatif yang independen di luar PWI. Ada juga keinginan untuk membikin media sendiri. Sayangnya, pembicaraan itu tidak berlanjut menjadi aksi konkret. Saya tak ingat persis nama-nama jurnalis yang hadir di acara itu. Yang masih saya ingat, jurnalis Saur Hutabarat, Herdi SRS, dan Dhia Prekasha Yoedha, ikut hadir.
Kedua, di berbagai kota, sebelum berdirinya AJI, sudah ada komunitas dan kelompok-kelompok diskusi jurnalis. Seperti, SPC atau Surabaya Press Club (Surabaya), FOWI atau Forum Wartawan Independen (Bandung), Forum Diskusi Wartawan Yogya atau FDWY (Yogyakarta), dan SJI (Solidaritas Jurnalis Independen) di Jakarta sendiri. Pada kenyataannya, para aktivis jurnalis dari sejumlah komunitas inilah yang kemudian ikut bergabung membentuk AJI, lewat Deklarasi Sirnagalih. Untuk menghormati dan mengakui keberadaan komunitas-komunitas inilah, maka pada diskusi di Sirnagalih waktu itu dipilih nama “aliansi” untuk AJI, dan bukan “persatuan” seperti PWI.
Ketiga, sejak AJI berdiri hingga sekarang, sebagian besar aktivis utamanya justru tidak berasal dari media yang dibreidel, namun justru dari media-media lainnya. Kecuali satu-dua orang, bisa dibilang tak ada satu pun wartawan eks-Editor yang pernah terlibat dalam aktivitas perlawanan AJI pada masa-masa awal berdirinya. Sejauh yang saya tahu, Saur Hutabarat (waktu itu menjabat salah satu pimpinan Editor) meminta para jurnalis Editor untuk tak terlibat aktivitas AJI, karena bisa merusak peluang Editor untuk terbit lagi dan memperoleh SIUPP baru.
Kalau melihat dari persentase, mungkin yang agak banyak terlibat dalam AJI adalah jurnalis eks Tabloid DeTik, disusul kemudian dengan para jurnalis Majalah Tempo. Meskipun jumlah wartawan Tempo lebih banyak, para jurnalis Tempo terbelah dua. Separuh di antaranya berseberangan dengan Goenawan Mohamad, dan memilih bergabung mendirikan Gatra, yang dimodali oleh kroni Soeharto, Bob Hassan. Hal ini menimbulkan friksi di antara sesama eks-Tempo sendiri, sehingga sempat memunculkan wacana “boikot Gatra.” AJI --waktu itu saya menjadi Sekjennya-- memilih tidak mengeluarkan sikap resmi soal Gatra ini, karena dipandang lebih merupakan masalah internal Tempo.
Dari sekian jurnalis eks-Tempo yang tidak bergabung ke Gatra, juga tidak semuanya aktif di AJI. Sebagian mereka ikut mendirikan Tabloid Kontan, dan sejak itu tak banyak aktif di AJI, meski pada awalnya sebagian mereka ikut menandatangani Deklarasi Sirnagalih.
Di sisi lain, cukup banyak “jurnalis-aktivis,” yang menggerakkan roda organisasi AJI pada masa awal berdirinya, justru berasal dari grup media yang bukan korban pembreidelan. Mereka antara lain: Stanley Adi Prasetyo (Jakarta-Jakarta), Meirizal Zulkarnain (Bisnis Indonesia), Hasudungan Sirait (Bisnis Indonesia), Rin Hindryati (Bisnis Indonesia), Dhia Prekasha Yoedha (Kompas), Santoso (Forum Keadilan), Lukas Luwarso (Forum Keadilan), Andreas Harsono (The Jakarta Post), Ati Nurbaiti (The Jakarta Post), Roy Pakpahan (Suara Pembaruan) dan saya sendiri (Kompas). Tentu, tak bisa saya sebutkan semua di sini.
Dari uraian di atas, dapat saya katakan bahwa pembreidelan 21 Juni 1994 telah membantu menciptakan momentum, yang dibutuhkan bagi lahirnya sebuah organisasi jurnalis alternatif. Pembreidelan 21 Juni 1994 adalah semacam shock theraphy, yang menjelma menjadi bendera penggalangan solidaritas para jurnalis muda, untuk mewujudkan mimpi yang sudah lama terpendam: membentuk wadah jurnalis yang independen. Namun, benih-benih lahirnya AJI sebenarnya sudah tertanam jauh hari sebelum pembreidelan tersebut.

Pertemuan jurnalis di Sirnagalih

Setelah pembreidelan DeTik, Tempo dan Editor, para jurnalis muda yang didukung elemen mahasiswa, LSM dan seniman mengadakan sejumlah aksi menolak pembreidelan. Meski merasa pesimistis, kami waktu itu –karena pertimbangan prosedural-- menemui pimpinan PWI Pusat –yang diketuai Sofjan Lubis dengan Sekjen Parni Hadi-- untuk meminta mereka memperjuangkan nasib para karyawan dan wartawan korban pembreidelan. Pada pertemuan pertama di Gedung Dewan Pers, Jl. Kebon Sirih, Jakarta Pusat itu, kami meminta, agar mereka berusaha bertemu langsung dengan Menteri Penerangan Harmoko. PWI berjanji mengupayakannya.
Sebulan kemudian, kami menemui lagi PWI Pusat dalam aksi tagih janji, dan mempertanyakan hasil pertemuan itu. Namun, nyatanya PWI gagal bertemu Harmoko dan gagal memperjuangkan nasib wartawan dan karyawan pers. Dari situ, para jurnalis muda lalu menyatakan ketidakpercayaannya lagi pada PWI. Saat itu, saya dan sejumlah rekan jurnalis sudah mencanangkan, hal ini akan berujung ke pembentukan organisasi jurnalis yang baru, karena PWI terbukti sudah tak efektif lagi dan sudah terlalu dikooptasi oleh penguasa.
Untuk menggalang dukungan sekaligus merancang langkah aksi berikutnya, diadakanlah pertemuan para jurnalis muda. Wisma Tempo di Sirnagalih, Jawa Barat, dipilih sebagai lokasi pertemuan, karena pertimbangan praktis: gratis, relatif dekat, dan bisa lebih dijamin keamanan dan kerahasiaannya. Pada waktu itu, memang tak mudah mencari pemilik gedung, yang mau meminjamkan gedungnya untuk kegiatan yang “berseberangan” dengan pemerintah. Untuk menghindari endusan aparat intel, undangan disampaikan secara diam-diam. Kita sebarkan “umpan pengecohan,” seolah-olah pertemuan akan berlangsung di tempat lain di Bandung. Saking rahasianya, ada sejumlah rekan jurnalis yang salah informasi, dan datang ke tempat yang keliru!
Pertemuan jurnalis pun digelar, dengan elemen utama jurnalis dari empat kota: Surabaya, Yogyakarta, Bandung dan tentu saja Jakarta. Sebelum pertemuan, sudah terdengar kabar bahwa ada kelompok atau figur tertentu yang mengklaim “bisa mengatur” atau “men-set up” para jurnalis ini. Oleh karena itu, untuk menghindari politisasi, klaim-klaim sepihak, dan kabar miring, sejak awal kami meminta para jurnalis senior seperti Erros Djarot, Aristides Katoppo, Goenawan Mohamad dan Fikri Djufri untuk tidak datang pada tanggal 6 Agustus malam – ketika “penggodokan” konsep dan wadah gerakan oleh para jurnalis muda sedang berlangsung. Mereka baru diizinkan datang esok harinya, 7 Agustus, jika penggodokan telah selesai. Dengan demikian, diharapkan tidak ada yang bisa menuduh AJI sebagai sekadar alat atau kepanjangan kepentingan dari tokoh-tokoh pers tertentu.
Toh pada malam 6 Agustus, ada saja figur “senior” yang hadir, antara lain tokoh Forum Demokrasi, Marsillam Simanjuntak. Namun, Marsilam buru-buru angkat kaki, setelah merasa disindir langsung oleh rekan Yoedha. Dalam forum diskusi terbuka, di depan Marsillam, Yoedha mengatakan: “Saya dengar, ada orang yang di luar forum ini yang mengklaim, bisa mengatur kita dan mau ‘menjual’ pertemuan para jurnalis ini…”

Mengapa bernama AJI?

Meski sejak awal benak saya sudah merancang ke arah pembentukan organisasi jurnalis alternatif, dalam diskusi 6 Agustus malam di Sirnagalih itu, tampak bahwa gagasan para peserta sangat beragam. Andreas, misalnya, sebagai mantan aktivis Yayasan Geni (Salatiga) berangkat dari pemikiran ala LSM. Ia bicara tentang perlunya membentuk semacam paguyuban atau forum komunikasi antar-jurnalis, dengan “simpul-simpul massa” dan jaringan. Ada banyak usul dari peserta-peserta lain, dan diskusi pun jadi berlarut-larut untuk membahas wadah perjuangan tersebut.
Dalam diskusi pleno itu, saya mengatakan, pembentukan forum komunikasi, paguyuban, atau bentuk apapun di luar organisasi profesi, tidak akan efektif dan tak akan dianggap penting oleh PWI atau pemerintah. Karena PWI yang dikooptasi penguasa adalah organisasi profesi jurnalis, maka imbangan yang pas terhadap PWI juga harus berbentuk organisasi profesi jurnalis, namun dengan sifat yang independen terhadap pemerintah.
Forum akhirnya sepakat membentuk organisasi profesi jurnalis. Persoalannya kemudian, apa nama organisasi baru ini? Berbagai peserta mengusulkan nama. Ada usulan yang lucu-lucu. Teman-teman dari Bandung, misalnya, ada yang mengusulkan nama SAWI. Singkatannya kalau tak salah “Serikat Wartawan Independen”. Usul ini secara bercanda ditolak karena berkesan “sayur”.
Seingat saya, Andreas-lah yang pertama menyebut nama AJI. Nama itu terkesan bagus, singkat, mudah disebut, mudah diingat, dan punya makna positif. Aji dalam mitologi Jawa berarti suatu ilmu atau kesaktian tertentu. Namun, Andreas belum menjabarkan makna singkatan yang pas untuk nama AJI.
Sebutan “Aliansi” seingat saya berasal dari usulan Stanley. Dasar pemikirannya, adalah untuk menghormati dan mengakui keberadaan komunitas-komunitas jurnalis, yang sudah lebih dulu ada di berbagai kota. Pada kenyataannya, memang merekalah yang mengirim delegasi ke pertemuan Sirnagalih ini.
Saya lalu mencoba merangkum berbagai usulan tersebut, dan saya jabarkan di depan forum. Forum pun setuju menggunakan istilah “Aliansi” karena pertimbangan yang disampaikan Stanley di atas. Istilah “Jurnalis” pun disepakati digunakan, karena itulah istilah yang dianggap lebih sesuai dengan kata asalnya dalam bahasa Inggris (journalist), dan untuk membedakan dari PWI yang sudah menggunakan “wartawan.” Terakhir, istilah “Independen” digunakan untuk menggarisbawahi perbedaan AJI dengan PWI. AJI itu independen, dan juga tidak mau mengklaim mewakili “Indonesia.” Sedangkan, PWI tidak independen, tapi mengklaim mewakili Indonesia.
Sesudah nama AJI disepakati, peserta diskusi dibagi dalam sejumlah komisi, seperti Komisi Deklarasi, Komisi Program, dan lain-lain. Saya dipercayai memimpin Komisi Deklarasi, dengan sekretaris Jopie Hidajat (Tempo) yang kini bekerja di Tabloid Kontan. Sesudah serangkaian diskusi panjang, Komisi saya berhasil merumuskan Deklarasi Sirnagalih, yang esok paginya, tanggal 7 Agustus, dibahas lagi di Sidang Pleno. Deklarasi itu disepakati dengan suara bulat dan hanya dengan sedikit sekali perubahan redaksional.
Jika diamati, dalam deklarasi itu tercantum “Pancasila dan UUD ‘45.” Selain karena pertimbangan ideologis, pencantuman “Pancasila” di Deklarasi Sirnagalih merupakan langkah taktis, untuk meniadakan peluang bagi aparat rezim Soeharto untuk menghantam gerakan dan organisasi AJI yang baru lahir ini. Waktu itu, iklim represi sangat keras, dan ada kewajiban mencantumkan “Pancasila” sebagai satu-satunya asas bagi organisasi kemasyarakatan.
AJI adalah organisasi jurnalis alternatif. Kata “alternatif” perlu ditekankan, untuk membedakan dari sebutan “tandingan.” Istilah “tandingan” bermakna reaktif. Jika AJI sekadar tandingan dari PWI, maka eksistensi keberadaan AJI akan tergantung pada PWI. Jika PWI bubar, AJI juga harus bubar, karena kelahirannya hanyalah sebagai tandingan atau reaksi dari keberadaan PWI. Itulah sebabnya, sejak awal AJI tak pernah menyebut diri sebagai “tandingan PWI.”
Sedangkan, sebutan “alternatif” pada semangatnya adalah menerima pluralisme dan perbedaan, tidak memonopoli. “Alternatif” bagi AJI artinya bisa menerima adanya organisasi-organisasi lain. Sejak berdirinya AJI, kita tak pernah menuntut pembubaran PWI atau organisasi jurnalis lainnya. AJI tidak ingin melakukan kesalahan yang sama dengan PWI: memonopoli kebenaran dan legalitas dari pemerintah untuk dirinya sendiri, dengan menafikan organisasi jurnalis lain. Dengan terus menggunakan gedung dan aset dari pemerintah untuk kantor-kantornya sendiri, sampai saat ini secara esensial sebetulnya tak ada yang berubah dari PWI.
Pada 7 Agustus siang, mulailah acara penandatangan Deklarasi. Tidak semua peserta yang hadir bersedia menandatangani, dengan pertimbangan yang beragam. Herdi SRS, M. Fadjroel Rachman, Ging Ginanjar, memilih tidak menandatangani. Bambang Harymurti (BHM) namanya dicantumkan di Deklarasi, namun nyatanya ia sudah keburu pergi untuk suatu urusan, sehingga juga tidak tanda tangan. Sampai saat saya menulis ini, setahu saya BHM tidak pernah menandatanganinya. Rekan dari Kompas, Salomo Simanungkalit dan Bambang Wisudo sudah lebih dulu pulang karena tugas kantor, namun mereka menyatakan komitmennya untuk tanda tangan, dan minta namanya tetap dicantumkan di Deklarasi.
Pada kenyataannya, para jurnalis senior “ditodong” untuk ikut memberi tanda tangan dalam Deklarasi, yang --saya tahu betul-- isinya dirancang sepenuhnya oleh para jurnalis muda. Kami waktu itu sadar, bagaimanapun juga, nama para jurnalis senior ini dibutuhkan untuk memberi gaung yang lebih besar pada Deklarasi Sirnagalih, yang menjadi dasar berdirinya AJI. Pada waktu itu, istilah “jurnalis” juga diartikan secara luas dan mencakup juga para kolumnis, sehingga Arief Budiman, Christianto Wibisono, dan Jus Soema di Pradja ikut tanda tangan.

Penghargaan “Free Media Pioneer ‘97” untuk AJI

Ketika menjabat Sekjen AJI (1995-97), saya pernah mewakili AJI pada Kongres Dunia dan Sidang Umum IPI (International Press Institute) di Grenada, Spanyol, untuk menerima Penghargaan internasional Free Media Pioneer ’97. Penghargaan itu diberikan secara resmi kepada AJI hari Senin, 24 Maret 1997, oleh Charles Overby, Presiden dan CEO dari The Freedom Forum. Turut mendampingi Overby dalam acara di Granada itu adalah Direktur IPI Johan P. Fritz dan Ketua IPI Peter Preston. Preston adalah juga Editorial Director dari The Guardian Media Group, London.
Kongres Dunia ini rupanya cukup mendapat perhatian. Terbukti Raja Spanyol Juan Carlos I dan Ratu Sophia hadir dalam acara pembukaan di Auditorium Manuel de Falla. Raja memberi sambutan secara resmi dalam kongres tersebut. Acara pembukaan juga dihadiri Ketua Komite Nasional IPI Spanyol Jose Maria Bergareche, pemimpin pemerintah Andalucia (semacam propinsi) Manuel Chaves.
Dari sekitar 350 peserta kongres itu, ada tiga peserta dari Indonesia. Selain saya yang mewakili AJI, dua partisipan lain adalah August Parengkuan (Wapemred Kompas) dan Aristides Katoppo (Direktur PT Sinar Kasih). Albert Hasibuan, Pemimpin Perusahaan Suara Pembaruan, tertera namanya dalam dalam daftar peserta, tetapi ternyata tidak datang sama sekali ke Granada. Tiga nama terakhir ini diundang secara pribadi (keanggotaan dalam IPI / the Global Network of Editors and Media Executives ini memang dalam kapasitas pribadi).
Free Media Pioneer adalah penghargaan tahunan yang diberikan oleh IPI, The Global Networks of Editors and Media Executives – bekerjasama dengan the Freedom Forum -- kepada media yang dianggap konsisten memperjuangkan kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.
Penghargaan Free Media Pioneer ’96 (yang pertama) diberikan kepada NTV Moscow, stasiun televisi swasta terbesar di Rusia, yang berjuang bagi demokratisasi di bekas Uni Soviet itu. Dalam memperjuangkan kebebasan pers, NTV Moscow berani menerobos larangan pemerintah Rusia yang membatasi pemberitaan soal Chechnya. NTV Moscow mengirim jurnalisnya ke Chechnya, ketika berlangsung invasi tentara Rusia ke negeri kecil tersebut. Penghargaan untuk AJI adalah yang kedua.
Dalam sambutannya di acara pemberian penghargaan untuk AJI, yang berlangsung di Granada Exhibition and Conference Centre, Johan Fritz mengatakan, penghargaan ini adalah untuk menunjukkan pada berbagai pemerintah bahwa media dunia akan mendukung dan solider terhadap setiap media yang berjuang dan mendapat tekanan-tekanan bagi kebebasan pers.
Sedangkan dalam sambutan sesudah menerima Free Media Award ’97, saya mengatakan, AJI menganggap penghargaan ini bukan hanya untuk AJI sebagai organisasi, tetapi juga untuk seluruh jurnalis Indonesia, yang telah berjuang secara konsisten dan berani mengambil risiko bagi kebebasan pers dan demokratisasi di Indonesia.
Khususnya untuk dua anggota AJI Ahmad Taufik dan Eko Maryadi, yang saat itu masih menjalani hukuman penjara di LP Kuningan dan Cirebon; office boy Sekretariat AJI Danang Kukuh Wardoyo dan Redaksi Kabar dari Pijar Tri Agus Siswowihardjo, yang belum lama dibebaskan dari penjara. Tak lupa pula, untuk Andi Syahputra, adik dari salah satu pendiri AJI, Meirizal Zulkarnain, jurnalis Bisnis Indonesia, yang saat itu masih diadili. Andi ditangkap dalam kaitan percetakan buletin Suara Independen, yang diterbitkan AJI.
Michael Kudlak, koordinator kongres mengatakan, pemberian penghargaan untuk AJI ini diputuskan melalui sidang IPI Executive Board yang beranggota 26 orang dan diketuai Peter Preston. Executive Board itu anggotanya jurnalis terkemuka dari berbagai negara, seperti: Korea, India, Jepang, Turki, Taiwan, Belanda, Perancis, AS, Swiss, Italia, Inggris, Rusia, Spanyol, Swedia, Jerman, Nigeria, Colombia, Afrika Selatan, Polandia, dan lain-lain.
“Penghargaan untuk AJI diberikan karena konsistensi AJI berjuang untuk kebebasan pers, seperti terlihat dari tekanan-tekanan terhadap AJI, dipenjarakannya para anggota AJI, dan sebagainya,” kata Kudlak, yang ditemui di Sekretariat IPI di Granada. Ditambahkannya, IPI selalu memantau perkembangan AJI. *** 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar