Senin, 22 Juli 2013

Tentang Langit Pertama Langit Kedua

Tentang Langit Pertama Langit Kedua
Martin Aleida

Bung,
Aku sudah janji akan menanggapi isi buku Bung, yang ditajuki “Langit Pertama, Langit Kedua”. Aku tak akan minta maaf lebih dulu, ke Bung. Macam mana aku harus minta maaf, aku belum merasa bersalah ke Bung. Bung belum bilang bahwa aku salah, orang lain juga belum bilang aku salah.
Aku kurang pandai, menuliskan apa yang kufikirkan. Aku malah lebih suka berdebat, untuk tidak dibilang bertengkar. Bung ingatkan “gingging”. Barangkali juga “jugul”. Buku Bung memulai, di Langit Pertama, “Perempuan Yang Selalu Menggelitik Pinggangku”. Cerpen ini sudah duluan Bung kirimkan ke aku lewat surat elektronik bersama dengan dua tulisan yang lain.  Agak beda memang, kalau yang Bung kirimkan ke aku langsung pada ceritanya. Tapi yang di buku Bung ini, didului cerita si kakek dan si cucu.
Inilah ke gingginganku, atau kejugulanku. Semua kerja, harus dimulai dengan berfikir: hasil pekerjaan itu untuk apa?. Apa lagi belakangan, waktu aku aktif di Organisasi Pemuda (Pemuda Rakyat, yang di konsitusinya tak boleh disingkat) di Organisasi Pelajar (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia, IPPI), terakhir di Organisasi Kebudayaan (Lembaga Kebudayaan Rakyat, LEKRA). Semua organisasi yang aku ikut menjadi anggotanya, menunjuk aku. Aku wajib kerja, dengan hasil kerjaku untuk rakyat. Yang kalau di LEKRA itu disebut Seni untuk Rakyat. Untuk mengatakan Seni untuk rakyat, sudah seharusnya penulis dan pekerja seni membuktikan bahwa setiap hasil kerja, dimengerti siapa saja. Bukan hanya dimengerti si penulis, si yang punya kerja seni itu, tapi oleh semua orang. Baik, buruh tani, nelayan, kaum miskin kota,dan yang lain kaum awam.    
Gutama di komentarnya, begitu dia tulis, setelah dia menjelaskan bahwa dia sudah membaca tulisan Bung, “Perempuan Yang Selalu Menggelitik Pinggangku”. Komentar panjang tulisnya, diakhiri dengan  Bung,boleh berpedih-pedih terkena kritiknya tapi juga dituliskannya juga di dalam tanda kurung “yang tidak pasti selalu benar”.  Tanggapanku tak akan seperti itu.
Membaca komentar Gutama. Aku berfikir dan aku yakin, dia paham isi cerpen Bung. Bukan pulak aku tak paham isi cerpen Bung itu. Sehingga aku tak membahas tentang, hemat kata (lacony), harmless, tingkah anak muda si pembawa lakon itu yang nyleneh, sampai pada penderita odipus-kompleks. Padahal Gutama tahu dan menjawab sendiri, bahwa Bung, tidak menyoalkan aspek psikoanalisis. Lalu tulisnya tentang cerpen ini, dianggap telah kehilangan bobot relevansinya sebagai sastra. Uh. Entah seperti apa yang dia maui revelansinya sebagai sastra itu. ***
“Di Kaki Hariara Dua Puluh Tahun Kemudian”, kubaca sampai kesemua tanggapan, aktivis kebudayaan, peminat kesustraan, wartawan, penulis cerpen, dosen film, penyair, sampai ke pelukis, peneliti, pejabat pemerintahan, dan anggota parlemen.
“Siapa lagi yang bikin demokrasi edan kalau bukan si ganjen itu. Guru bantu saja sok selangit”. Guru-guru yang kegerahan terkena sentilan dibuku harian itu, menebarkan kebencian dari kelas yang satu kekelas yang lain, dari satu kolega kekolega yang lain. Hasut-menghasut membanjir supaya buku itu diberangus, disingkirkan.
Puncaknya bukan pada kritik yang dilancarkan para murid, tetapi pada Kartika Suryani, yang sudah tak tahan membendung banjir perasaannya. Untuk pertama kali, dia mencurahkan kata hatinya: “Aku tak pernah menyangka bahwa suatu ketika, dalam hidup ini, aku akan menemukan kepelikan yang muncul dari sikap korup seseorang yang semestinya menjunjung tinggi kejujuran. Karena kata inilah yang justru sering dikumandangkannya didepan murid-murid, pada setiap upacara seninan. Dan inilah yang menyakitkan. Dia menyuruh aku untuk menjadi penghubung menemui seseorang yang akan memberikan kunci jawaban ujian nasional disuatu tempat. Mimpi buruk macam apa yang kudapat ini? Penghinaan macam apa yang sedang dia rekayasa untuk merendahkan derajad anak-anakku? Aku tak mau dan aku telah memilih untuk meninggalkan sekolah ini.
Dan cerpen ini Bung tutup dengan: Dan sebagaimana dulu, pada hari ini dua puluh tahun kemudian, mantan guru bantu itu mendahului kedatangan murid-muridnya guna menepati sebuah janji, untuk menyaksikan kejujuran yang tak bisa dibengkokkan. Mereka akan bersama-sama, menggali tanah dikaki pohon tua yang berkeriput itu, mengeluarkan sebuah buku harian, dimana kebebasan dan kejujuran mereka telah menemukan bentuknya yang paling awal.
Aku menebak-nebak, mengapa cerpen ini menyudahi ceritanya tak sampai pada, apakah murid-murid Kartika Suryani lengkap berdatangan? Atau kurang separuhnya, atau pula melebihi korum tiga perempat. Dugaku, biarlah pembaca menafsirkan. Tak semua yang dulu baik, mengarak kejujuran, menjadi seterusnya baik, mengarak kejujuran.
Bung, Kalau penanggap mengatakan, cerpen Bung ini, mengguncang nurani, bertanya untuk siapa itu, apakah cerpen itu untuk Indonesia, sampai-sampai mengharapkan penguasa-penguasa Senayan membacanya, tak salahkan aku ikut mereka. Tak akan pernah kubilang, bahwa inilah cerpen Bung yang terbaik. ***
Cerpen Bung yang ketiga, “Ompung dan Si Pematung”        
“Sudah ribuan kali kubujuk si Rosa, dia tetap tak sudi memulai pengerjaan patungku. Aku dapat akal. Tapi jangan kau bocorkan da! Kau bantulah aku. Ini permintaanku yang penghabisan”.
“Berbohong untuk kebaikan. Untukku. Patungku...”
Cerpen ini Bung sudahi. “Bah ...., mengapa aku tidak? Protes isteri ompung “Padahal aku sudah berbohong”. Ribuan mata, angin, ranting dan lembah menunggu ompung merentangkan kedua tangan dan mendekapkannya erat-erat pada tubuh isterinya.
Terharu aku kawan.
Cerpen Bung mengingatkan aku, aku harus berbohong. Ada dua kebohongan yang dihalalkan, begitu yang pernah diajarkan  dipengajian madrasyah dari tingkat Diniyah, sampai ke Ailiyah. Berbohong pada seseorang yang sakit dan berbohong untuk keselamatan nyawa sendiri dan orang lain.
Malah aku selalu berbohong di hari-hari perburuan dan pembantaian sampai dihari-hari penyiksaan waktu dikurung tentara.  Macam mana tidak wajib berbohong. Yang betul pun kita sebutkan kita digibal juga, disiksa. Baiknya memang berbohong, meskipun, digibal dan disiksa juga.
Inilah ceritaku.
Diakhir tahun 1975, di kurungan, yang diberi nama oleh pihak kekuasaan Inrehab Sukamulia, tersiar khabar burung yang mereka pastikan sudah merupakan khabar kebenaran. Sejumlah penghuni kurungan itu akan dibebaskan diawal tahun 1976. Sampai-sampai petunjuk yang kudapat, ada beberapa keluarga penghuni kurungan yang berkunjung kerumah para perwira team pemeriksa di kompleks Mapomdam, membawa upeti.
Agaknya ada benarnya, beberapa minggu belakangan ini sejumlah penghuni kurungan dipanggil untuk diperiksa di team, diangkut dengan bus team.
Seharusnya hari ini, ukiran kayu yang dipesan seorang pendeta dari Gereja Protestan itu sudah selesai. Tapi aku dipanggil ke Teperda, itulah sebabnya ukiran Maria Sang Perawan terpaksa tertunda. Kemarin, sepulang seorang kawan dari panggilan Teperda memintaku untuk menjadi saksinya. Memintaku agar aku memberikan kesaksian bahwa dia memang benar anggota Lembaga Tari Indonesia (Lekra). Idham namanya ( sudah pasti nama ini bukan nama sebenarnya, dia masih hidup sekarang ini). Idham anggota Ansamble Tari dan Nyanyi Maju Tak Gentar, piawi menari Melayu. Tapi, dia juga adalah anggota Lekra Medan. Dan dalam pengakuanku nanti dihadapan juru periksa, aku harus menyebutkan bahwa dia selain anggota Ansamble Maju Tak Gentar dia juga anggota Lekra, hanya anggota Lekra. Entah mengapa sampai-sampai dia mengakui bahwa dia adalah anggota Lekra, aku tak mengerti. Kutanyakan, dia tak mau menerangkan.
Idham dijadikan penghuni kurungan ini baru satu tahun setelah menjadi penghuni kurungan dijalan Gandhi, gedung bekas sekolah SD Abadi itu, pada tahun lalu selama beberapa minggu.  
Diawal penumpasan terhadap orang-orang yang diduga terlibat Gerakan 30 September, diakhir tahun 1965 itu, Ansamble Tari dan Nyanyi Maju Tak Gentar dibubarkan. Entah bagaimana, aku tak tahu pasti, Ansamble itu berganti nama menjadi Ansamble Tari dan Nyanyi Bukit Barisan, dengan anggota yang itu-itu juga walau para pimpinannya diganti. Tentunya tentara, terlihat Kepala, atau sudah jadi mantan Kepala Pendam II Bukit Barisan, Kolonel Muchsin Rangkuti, diantaranya.
Idham dihari-hari tahun-tahun sebelum dia dijadikan penghuni di-dua kurungan itu, tentunya masih menjadi penari Melayu yang piawi di Ansamble Bukit Barisan. Itulah tentang siapa Idham.
Aku sudah siap untuk panggilan team pemeriksa, sebelum apel pagi. Seperti biasa para penghuni kurungan yang akan diperiksa diangkut dengan bus Teperda. Markas Teperda berada di komplek Markas Pomdam II BB di jalan Sena masih dikota Medan.  Aku, sudah beberapa kali dipanggil untuk kepentingan BAP katanya, tapi sudah beberapa kali ganti juru periksanya BAP itu tak pernah selesai.
Kali ini aku berhadapan dengan seorang juru periksa bermarga Hutajulu, namanya tak tertera di didada baju seragamnya, hanya inisialnya. Dan inisialnya, sayang, aku lupa. Pangkatnya Letnan Satu yang wajib dia pakai disandang dikerah baju atau dibahu pakaian seragamnya.

Seperti biasa didekade itu, berhadapan dengan juru periksa hati ini mesti dikeraskan. Entah betul entah tidak padanan yang kumaksud, biarlah. Mengapa tidak? Begitu ada perintah duduk, selain  berhadapan dengan sosok berseragam, sosok yang dianggap bukan lagi manusia ini, juga dipertontonkan berbagai bentuk alat penyiksaan. Tapi alah bisa, karena biasa. Uh, biasalah.
Pertanyaan pertama, nama, kemudian pertanyaan selanjutnya. Pertanyaan ini yang membuat para penghuni kurungan selalu tergelak, bila dibincang kan sepulang dari agenda pemeriksaan. “Apa sebab saudara dipanggil untuk diperiksa hari ini?”  Kalau dijawab tak tahu, pasti yang dianggap jawaban benar ini, ada resikonya, sedikitnya bentakan dan makian. Tapi bisa juga, kepalan diwajah atau sesukanyalah menggunakan alat-alat penyiksaan yang tersedia. Untuk aku cukup bentakan dan makian karena, aku cuma memberikan kesaksian. Sesudah menerima hadiah bentakan dan makian dia bilang: “Kamu diperiksa, karena kamu harus memberikan kesaksian, saudara Idham, yang mengaku bahwa dia anggota Lekra Medan”. Itu artinya aku harus juga membuat pengakuan, bahwa aku adalah salah seorang pimpinan Lekra Medan. Semua pertanyaan kujawab lancar, sampai pada pertanyaan yang berikut yang membuat aku terpaksa menahan untuk berteriak marah dan bukan karena kesakitan. “Apakah saudara Idham anggota PKI”, pertanyaan ini tak kuduga, karena aku sudah tahu bahwa keluarga Idham sudah berkunjung kerumah perwira yang dihadapanku ini, dengan membawa upeti. Aku bingung menjawab ini, kalau aku jawab, bukan. Itu artinya aku tahu dan aku jelas dipastikan anggota malah adalah lebih dari sekedar anggota PKI. Akhirnya aku jawab, yang tahu siapa-siapa anggota PKI adalah mereka yang menjadi pimpinan PKI. Menurutku ini yang benar. Dan jawaban yang benar ini dihadiahi bertubi-tubi pukulan kebahu dan tanganku balok tiga kali tiga inci.
Ini lagi-lagi jadi bahan gelak para penghuni kurungan. Terpaksa pesanan Pendeta Protestan itu tertunda selesainya, karena tanganku tak bisa diajak menyelesaiakannya. Untungnya, aku sudah lebih dulu membuat kesepakatan dengan Idham agar dia menyediakan telur ayam kampung sepuluh butir.
Sebelum itu memang dia sudah memesan bentuk kesepakatan itu lewat keluarganya yang berkunjung, walau yang kudapat cuma lima butir yang lain lima butir lagi para penghuni sudah maklum kemana raibnya. Tiga hari sudah tanganku tak bisa diajak kerja. Hari ketiga, setelah gelak tentang kesaksianku itu, aku bermaksud meneruskan menyelesaikan Perawan Maria.
Ada yang salah, Bung terjemahkan dari bataknya. Atau lebih baik Bung tak usah terjemahkan, karena orang-orang sudah tahu. “Amang Oi Amang”, amang itu bukan Emak. Emak bahasa bataknya Inang, Amang itu Ayah. ***
“Melarung Bro di Nantalu”, tak usahlah kutanggapi. Banyak jagoan sastra yang menuliskan komentarnya. Bisa kikuk awak berhadapan dengan dia-dia itu. Ben Abel pekerja perpustakaan di Cornel Universty, Amerika Serikat sudahlah berkomentar panjang. Ada pula yang menanggapi, dia orang politik katanya karena sudah dua kali jadi calon legislatif. Tapi setelah tahu apa itu politik, jadi pesimis dan malas mengikutinya. Dikiranya memasuki Partai Politik, itulah politik atau karena dia cuma jadi calon legislatif? Entahpun barangkali diduakali itu tak pernah jadi? Banyak sosok yang mengira bahwa partai politik itu, itulah politik. Padalah pernah satu lembaga kebudayaan yang bukan saja menasional tapi juga mendunia, LEKRA menabalkan di konstitusinya, bahwa poltik adalah panglima untuk semua kerjanya berkesenian dan berkebudayaan.
Bah, mengapa pulak aku persoalkan itu ke Bung? Padahal di Senayan, kan sudah dimaklumi “Uang menjadi panglima”.
Ada yang tersirat di Cerpen Bung itu, memang taklah sampai dimaknai hujatan terhadap si Bro. Bukan hanya kepada kawan-kawan yang tak bisa pulang atau tak bisa bermukim lagi ditanah airnya, banyak kawan-kawan yang dikurungan tentara ditanah air berganti iman, juga sampai ketika sudah dibebaskan. Apakah berganti kepercayaannya itu membuat dia berganti pendirian cara berfikirnya, pandangan hidupnya, yang tahu hanya dia. Meski akhirnya akan terbuka juga di praktek kerja nyatanya. Seperti juga aku bisa meraba, apa yang Bung maknai dari si Bro, lewat cerpen Bung ini. ***
Cerpen, Bung yang kelima, “Batu Asah Dari Benua Australia”.
Beruntunglah Master lulusan Universitas Waseda, yang baru pulang dari Pulau Buru, area pengucilan, perbudakan dan kerja paksa itu, jumpa dengan yang mengomandani Kantor Berita Jepang atas undangan pemerintah Repblik ini. Sebenarnya masih banyak kawan-kawan yang seperti kawan Trikoyo, meski bukan Master atau menyandang gelar sarjana dari luar negeri. Yang semula bersama keluarganya, dinista, direjam kelumpur kasta paria, tak lama setelah dibebaskan dari kurungan yang dibuat tentara itu, bangkit jauh melebihi para penistanya.
Bung, aku malah kalau jumpa dengan orang-orang sekampung atau sekota, aku jadi lantam. Karena perkara houding, kita tak pernah kalah, baik dulu, baik sekarang.
Komentar lain, aku ikut dengan yang lain. Aku sama dengan yang lain bilang angkat tangan buat, Bung. ***
 “Aku percaya, aku tidak akan dibunuh serangan jantung. Arswendo kawanku, bilang betapa malunya nanti kalau mati kena stroke. Aku tak mau menyongsong maut dan merangkak menuju liang lahat dengan kaki gempor dan mulut yang menyon. Aku tak mau seperti itu. Karenanya aku membuat “Wasiat Untuk Cucuku”. Itulah judul cerpen Bung yang keenam di buku ini.
Dibulan Nopember, tanggal 15 tahun 1965 aku tertangkap di Martubung, dikabupaten Deli Serdang. Setelah disiksa sepanjang jalan  sekitar 4-5 kilometer menuju Markas Arhanud (Arteleri Serangan Udara), markas kesatuan tentara yang menangkap. Darah sudah kering diwajah yang mengucur dari kepala berkat rianya serdadu-serdadu itu menjolokkan laras senjata panjangnya kekepalaku.
Ada 7 orang kami yang tertangkap, dibariskan didepan mereka. Sang Danton memerintahkan pasukan didepan kami bertujuh, mengokang senjatanya.
Perkiraanku, juga kawan yang dikiri dan kananku, inilah jalan maut bagi kami. Bertiga kami serentak bergumam dengan suara pelan. “Internasionale”. Belum sempat lagu kaum proletariat disemua benua itu kami lantunkan, Danton yang berpangkat Lettu itu memerintahkan serdadu-serdadunya mengeluarkan magazen dari bedil-bedilnya. Mautku, belum diputuskan lewat peluru para serdadu meriam penangkis serangan udara itu. 
Dikurungan tentara, yang mereka namakan TPS (Tempat Penampungan Sementara), kurungan yang mereka peruntukkan buat orang-orang komunis dan yang dikomuniskan dibawah tanggung jawab Puterpra (Perwira Urusan Teritorial Pertahanan Rakyat), di Januari 1966, sudah mereka mulai mengambil malam, belakangan juga siang hari kawan-kawan penghuni kurungan, lalu dibunuh di perkebunan tembakau yang di dibelukarkan, dipinggiran sungai lalu dihanyutkan atau di paluh-paluh.
Maret 1966, seorang kawan yang dipekerjakan di Puterpra menyampaikan, bahwa namaku dan nama seorang kawan lagi sudah ditandai, akan diambil, entah besok, entah lusa.
Pagi subuh para orang kurungan Puterpra itu, diperintahkan mandi di sungai Deli dipangkal Titi di Simpang Kantor, Labuhan Deli. Begitu aturannya setiap subuh. Malam itu aku dan kawan yang akan diambil besok atau lusa itu, sudah memasang tekat akan menghanyut keseberang dan kabur. Kalau tertangkap, mati. Sama saja, tidak kabur tetap juga mati.
Pelarian berhasil, maut belum waktunya menghentikan jalan hidupku, sampai hari ini. Padahal aku sudah berfikir, kalau mati itu cuma tidur tanpa mimpi. Dan tidak akan pernah bermimpi dan bangun lagi. ***
“Tiada Darah di Lamalera”, itu judul cerpen, Bung diberikutnya. Cerpen, Bung ini, tak pelak lagi membuat aku membacanya berulang. Tahulah Bung, aku dari dulu sampai hari ini, belumlah bisa disebutkan penulis, apalagi sastrawan. Sesudah dikeluarkan dari kurungan, aku sesekali menulis jadi penyajak. Sajak-sajak yang kutulis selalu kubacakan ditiap ada pertemuan, atau di Aksi-aksi Buruh, Tani dan Mahasiswa, itupun sesudah Suharto berganti tangan di kekuasaan negeri ini. Tak pernahlah ada dimuat dikoran-koran, apalagi dimajalah. Tak setara dengan penelaah yang lain. Soal telaah, apalagi mengulas penulisan sastra, aku tak berani lantam pada siapapun, kawan.   
Dipelarianku dari menghindari dibantai, diawal tahun 1967 sampai Juni 1968, aku mukim didesa nelayan diarea kuala. Dimuara sungai Serapuh, Kuala Serapuh nama kampung itu, dikabupaten Langkat. Pernah melaut, dengan perahu layar agak ketengahlah di Selat Malaka, memancing ikan yang lumayan  besarnya. Sebangsa ikan tenggirilah besarnya. Tiga hari, tiga malam dilaut, ikan-ikan itu diasinkan.
Jadi tak pernahlah aku melihat ikan paus, dilaut. Paling-paling Lumba-lumba. Dicerpen Bung, tersebutlah dua jenis ikan paus. Si pembunuh, jenisnya dinamakan sengguni dan ikan paus jenis koteklema adalah jenis ikan paus buruan yang mudah ditaklukkan.
Membaca berulang kali, apakah aku bisa arif menafsirkan apa sebabnya Bung memilih menjadi bagian ikan paus jenis koteklama. Jenis paus yang menyerahkan diri, mati, untuk menjadi santapan orang-orang yang mendiami pulau kecil itu, Lamalera. “Baleo.....! Baleo.....! Jeritan itu secepat libasan angin bersahut-sahutan dalam lengking yang dipantulkan pasir dipantai dan batu cadas yang mendaki tebing-tebing bukit.
Pandanglah si lamafa, pemegang tempuling, yang tegak berdiri tak tergoyahkan oleh angin sekuat badai sekalipun dihaluan perahu itu. Dia yang segagah itu harus berkelahi menenangkan hatinya yang gentar dan tangannya yang gemetar memegang tempuling seraya matanya lapar mencari bagian tubuh kami yang paling empuk untuk dirajam.
Penduduk desa nelayan itu terdiam, takjub, terkejut, tak percaya melihat aku sendiri yang menghamparkan tubuhku dipasir.
Untuk aku, aku akan memilih jadi aku, bukan menjadi paus koteklama. Cerpen ini tak akan berubah makna dan akan mudah difahami oleh siapa saja, meski belum tentu sama memahami apa yang menjadi tujuannya.
“Manisnya hidup ini kawan. Hari ini 1 Mei, saat mereka yang tak punya apa-apa, kecuali darah dan tenaga menari-nari disemua benua”.  
Kubaca ulasan Supriyadi Tomodihardjo. Meski aku kurang paham apa yang dimaksudkannya. Tulisnya. Martin Aleida tergolong cerpenis yang harus membayar mahal untuk memenuhi doktrin “kata lebih utama dari pada tema”, setidaknya dalam cerpennya “Tiada Darah di Lamalera”. Selanjutanya Supriyadi diulasannya. Cerpenis bukan sejarawan. Ia hanya mampu melontarkan isi hatinya, dengan caranya sendiri. Sehingga Supriyadi sempat menegur Bung dengan SMS nya. “Ini bukan cerpen Bung! Puisi!. Dan apa jawab Bung. “Memang banyak yang tidak paham. Cerpen ini hanya untuk dinikmati, bukan untuk dipahami”. Bah, inilah. Aku tak akan seia dengan jawaban Bung per SMS itu. Macam mana aku menikmati cerpen, dan hasil kerja seni lainnya, kalau tak kupahami?
Persoalan, cerpen itu puisi, atau cerpen itu bisa dituliskan dalam bentuk puisi. Kufikir sama saja sebaliknya, puisi juga bisa ditulis menjadi cerpen, bahkan nofel. Kalau untuk aku tergantung keperluannya. Penjelasannya seperti ini, Bung.
Ketika, aku yakini cerpen yang kutulis tak akan ada koran maupun majalah yang akan memuatnya, padahal cerpen itu perlu sangat kusampaikan pada orang-orang disekitar, kaumku yang senasib dengan aku, mengapa aku harus bersitegang membuatnya menjadi cerpen. Buat saja menjadi puisi, yang mudah dinikmati karena dipahami bila dibacakan dengan pengeras suara maupun tidak.
Aku pernah diajak Bung Toga Tambunan, kawanku, kampung kami bertetangga di kota Pematang Siantar, 126 KM dari Medan arah ke Selatan, menyaksikan pameran Seni Rupa Bumi Tarung di Galeri Nasional di Jakarta. Di Galeri yang berseberangan dengan Stasisun Kereta Api (lupa pulak aku namanya, aku diantarkan kawan yang baik hati di IKOHI boncengan bersepeda motor kesana). Ada beberapa model lukisan kusaksikan disana. Yang duluan kuamati, tentu yang mudah kupahami. Baru sesudah itu yang lainnya. Lukisan Amrus, agak kudian, penyebabnya kuperlukan agak membuat berkerut jidadku. Beruntungnya, aku pernah membaca cerita perlawanan kaum tani di Jengkol, setahun lebih sebelum G 30 S Letkol Untung dan kawan-kawan terjadi. Melihat lukisan ini aku bisa memahami lewat gambaran teraktor dan tangan yang kokoh direntangkan menghadang.
Model lukisan seperti ini aku saja harus mengerutkan jidatku, bagaimana kalau kaumku yang lebih sangat sederhana berfikir, memahami, maupun menikmatinya. Kalau, untuk menikmati rupa perahu nabi NUH, siapapun barangkali pernah mendengar ceritanya, tentang Nuh yang menghimbau kaumnya menyiapkan perahu besar untuk menghantar mereka dan sepasang hewan yang ada di bumi ini menyelamatkan diri untuk kelangsungan hidup manusia dan semua hewan dari kepunahan yang diakibatkan air bah besar, yang diciptakan sang pencipta bumi ini.
Inilah yang tersirat dan yang tersurat dibenakku, waktu membaca beberapa kali cerpen, Bung. Aku cuma berfikir, mengapa Bung tak menjadi diri Bung di cerpen itu. Mengapa Bung harus menjadi mamalia yang bernama paus jenis Koteklama. Ini cuma pertanyaan, bukan berkeinginan agar Bung mengubahnya. Karena aku sudah mengubahnya dicerita batinku sendiri, ketika sudah membacanya berulang ulang. ***
Kulanjutkan membaca “Eric, makanlah”.  Tak apakan, aku tak menanggapinya. Karena, aku harus membaca, “Langit Kedua” ***
***
Bagian “Langit Kedua”, memuat jauh lebih banyak judul dari bagian “Langit Pertama”. “Perang di Jero Tempo”, “Gaya Rashomon Untuk Gerakan Yang Gagal”, “Yang Ditelan Kesunyian Sejarah dan Kesepian Korban”, “Perempuan-Perempuan Yang Memutar Sejarah”, “Pram, Dukun, Negro, Spiritual, dan Impian Nobel”, “Hasta Mitra di Malam Kenangan”, Ajip Urang Sunda Yang Mempersatukan”, Enam Film Melawan Satu Stigma”, “Pelantungan”, “Tak Ada Nyanyi Sunyi Disini”, “Sebuah Gagasan Yang Tak Mati-Mati”, “Antara Romo Dan Sulastomo”, “Mas Salim yang terhormat”,”Suara Dari Kubur”, “Pengantar Cerita Pendek Soeprijadi Tomo Dihardjo”, “Bernala Di Pangkuan Benua”, “Melawan Kantuk untuk sebuah Jurnalisme”, “Tak Ada Dendam Tak Ada Yang Disesalkan”, “Akhir Hidup Pengarang Lekra”, “Ah... Ajip Rosidi”, Mengenang Hidup Orang Lain”, “Bung Ajip Rosidi”, Surat Dunia Maya untuk Ajip Rosidi”, “Gaya Taufiq Ismail Membungkam...”, “Ada Racun Dalam Lirik Puisi Mutakhir Taufik”, “2011: Catatan di Bawah Lentera”, “Saut yang baik”, “Mati Begitu Lahir”,  dan diakhiri dengan surat menyurat: dari dan ke Goenawan Muhammad “Mas Goen yang baik”, dari dan ke Gung Ayu tentang “Pernyataan Co-Sutradara” yang anonim, Surat dari Anonymous TaoK Co-Sutradara Jagal yang tak mau diketahui nama nya yang sebenarnya, dan terakhir dari aku, ke aku.
Untuk menelaah di “Langit Kedua” ini aku harus mengulang membacanya lagi dan membacanya lagi satu persatu, tentunya terkecuali surat dari aku dan ke aku.

Aku, kata, kawan-kawan bukan perokok. Aku tak bisa menulis menyambilkannya merokok, malah waktu membacapun aku tak bisa sambil merokok. Cuma aku tak mau sisakan hari-hariku untuk tidak merokok. Memang sebatang rokok Gudang Garam Merah (bukan promosi), bisa kubagi tiga, sampai habis terbakar ke ban merahnya. Sampai sudah panas jari-jari tangan menjepitnya. Bukan karena takut peringatan yang diterakan dibungkusnya, tapi untuk tidak sampai hati, meminta uang ke anak-anak membelikan rokok. Seminggu lebih, sebungkus, 12 batang. Cukuplah.
“Perang di Jero Tempo”. Itu judul mendului tulisan, Bung, di “Langit Kedua”. Judul dari tanggapan Bung ke Buku tulisan Janet Steele, “WARS WITHIN”. Kesimpulan mula yang tergurus ke fikiranku bahwa Janet taklah sepadat Bung menguasai apa yang terjadi disekitar tentang peperangan intern majalah berita mingguan Tempo. Sikap kompromistis, penuh pertimbangan, supaya bisa bertahan hidup. Inilah yang dijadikan Janet, bahwa TEMPO adalah “an independent magazine in Soeharto’s Indonesia”, sebagai subjudul buku yang dia tulis, ternyata tak lebih dari sekedar sinisme yang tidak disengaja.
Seruan “tiarap”. Aku sepakat. Ini adalah jalan terbaik bagi kelangsungan terbitan dalam bentuk apapun yang dilegalkan, untuk tidak diberangus kekuasaan. Keharusan memang harus arif menguasai gejolak politik dikancah kekuasaan. Dan ini berlaku di semua priode, baik ketika priode demokrasi liberal, di demokrasi terpimpin, di demokrasi Pancasila (demokrasi Soeharto) dan sampai di demokrasi hari-hari sesudah Soeharto memindahkan tangan kekuasaannya. Kalau aku ditanya untuk tidak harus memasang kemudi strategi yang bernama lobby  untuk menakar kemana arus politik bergerak, supaya bisa bergerak, pasang terbitan ilegal. Bung ingat berapa kali HR diberangus di priode demokrasi liberal, dipriode demokrasi terpimpin, juga di “Tiga Selatan”. Begitu juga berapa kali Harian Harapan diberangus tak boleh terbit di priode itu.
Jadi kalau Janet berharap lobi sebagai piranti politik tidak dilakukan di gaya kerja TEMPO di priode itu, itu mustahil. Bahkan bukan saja majalah mingguan TEMPO dilarang untuk terbit, malah orang-orangnya bisa dihilangkan secara paksa, dilarang hidup dibumi ini. Di priode Soeharto memindahkan kekuasaan dari tangannya (ke tangannya yang lain), ini saja Munir dengan berdarah dingin dibunuh dengan racun di pesawat yang ke Belanda. Dan sampai hari ini, tak terjerat siapa otak pembunuhnya.
Seharusnya, dibalik strategi itu adalah kepentingan umum tak ditelantarkan. Memilah , tentulah seharusnya dilakukan dalam kepentingan pembaca yang selama ini membesarkan. Inilah yang tak dilakukan. Benar, Bung. Karena Janet tak menanyakan, padahal ini pilihan pilah-pilahan untuk pembaca atau hanya untuk kepentingan TEMPO. Untuk apa dan dikemanakan berita-berita yang diperoleh Susanto Pudjomartono CS ketika itu kalau tak dimuat? Disimpan didalam file? Dioper ke wartawan-wartawan asing yang beroperasi disini? Dijadikan tawar-menawar? Atau mau ditulis kelak disuatu masa? Tak ada jawaban. Janet sedang jatuh hati rupanya tidak tergoda untuk bertanya mengenai cacat satu ini. Ada yang menuai dari lobi-lobi ini, ketika mereka akan meniti karier setelah mereka meninggalkan rumah besar mereka yang bernama TEMPO. Itu jawaban, Bung, mungkin itu pulalah jawabannya, ke Janet bila dia jeli mencari jawabannya.
Tak ada yang disebut kawan sejati bagi Soeharto, meski sosok itu sudah mengantarkannya kepuncak tertinggi kekuasaan. Begitu juga Benny. Yang mencoba bersikap kritis terhadap prilaku anak-anak Soeharto, yang melakukan praktek bisnis kotor.
“Pembangkangan”, tokoh militer itu mendorong Soeharto mencari dukungan dari kalangan muslim, dengan Ketua Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia, B.J. Habibie, sebagai perlambang. Begitu Jane menuliskan. Karena kedekatan TEMPO  ke Benny Murdani, ICMI memukul palu keadilan, bahwa siapa saja yang membela majalah itu merupakan sikap yang tak terpuji, naif.
Bung Martin,
Aku menyebutkan priode ini adalah priode pergantian dari tangan kekuasaan Soeharto, ke tangan kekuasaan Soeharto lain. Gonjang-ganjing pasal korupsi yang dilakukan petinggi Demokrat, dan terakhir penggelapan pajak yang dilakukan keluarga SBY, diramaikan. Mengapa sekarang, dipenghujung kekuasaan SBY (Demokrat). Aku menyebutkan ini adalah gonjang ganjing yang distir pengganti tangan kekuasaan Soeharto, yang lebih berkuasa dari tangan kekuasaan SBY. Dan bukan berarti aku tidak maklum, bahwa para petinggi Demokrat melakukan korupsi. Malah aku yakin juga bahwa SBY tak mungkin tak mengetahuinya, untuk tak menuliskan ada restu darinya. Paling tidak di pilpres 2009, dana untuk memenangkan dia, atau pengganti dana yang dikucurkan sponsor untuk dia.
Di Media, Bung lebih maklum. Bagaimana mereka para pemilik media, menggiring pembantaian 1965 sampai ketahun 1968, kearah pembantaian itu terjadi akibat dari balas dendam konflik horizontal. Antara dendam Masyumi dengan PKI, antara NU dengan PKI, antara PNI dengan PKI, dll. Padahal jelas, sejelas-jelasnya yang melakukan pembantaian itu tentara, setidaknya pembantaian itu terjadi disebabkan provokasi media yang dikuasai tentara. Bukankah Ringkasan Eksekutif Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Peristiwa 1965 menyebutkan bahwa yang bertanggung jawab adalah Pangkomkamtib. Kukutip kesimpulan dari Pernyataan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Tentang Hasil Penyelidikan  Pelanggaran HAM Yang Berat Peristiwa 1965-1966.
Pertanggungjawabannya
a.1. Komandan pembuat kebijakan
 a. PANGKOPKAMTIB, pada periode 1965 sampai dengan periode 1969)
 b. PANGKOPKAMTIB, periode 19 September 1969 sampai dengan
 setidak-tidaknya pada akhir tahun 1978)
 a.2. Komandan yang memiliki kemampuan kontrol secara efektif
 (duty of control) terhadap anak buahnya.
 Para PENGANDA dan atau PANGDAM pada periode 1965 sampai
 dengan periode 1969 dan periode 1969 sampai dengan periode akhir
 tahun 1978).
 b. Individu/Komandan/Anggota Kesatuan Yang Dapat Dimintai
 Pertanggungjawaban Sebagai Pelaku Lapangan
 Individu/Komandan/Anggota Kesatuan Yang Dapat Dimintai Pertanggungjawaban
 Sebagai Pelaku Lapangan , berdasarkan rangkaian kejahatan yang terjadi serta
 gambaran korban yang berhasil diidentifikasi dan rangkaian persilangan bukti-bukti
 yang ada, maka nama-nama yang diduga terlibat sebagai pelaku lapangan dalam
 peristiwa 1965-1966, terutama namun tidak terbatas pada nama-nama sebagai
 berikut:
Nama-nama yang disebutkan oleh saksi-saksi, dengan mengacu kepada
enam wilayah yang telah dianalisis oleh tim.
Komandan-Komandan dan aparatur INREHAB : Pulau Buru, Sumber rejo,
 Argosari, Pulau Balang, Pulau Kemarau, Tanjung Kasau, Nanga-Nanga,
Moncong Loe, Ameroro, Nusakambangan, Kantor Walikota Tomohon,
Plantungan, Sasono Mulyo, Balaikota Solo, Nirbaya, Ranomut- Manado,
Komandan-Komandan dan Aparatur Tempat Tahanan : Salemba, Pabrik Padi
di Lamongan, Gedung milik Yayasan Thionghoa di Jl. Liloyor – Manado,
Penjara Wirogunan – Yogyakarta, Penjara Solo, Kediri, Denpasar,
Aparatur Tempat Penyiksaan : Markas Kalong (Jl. Gunung Sahari), Gang
Buntu (Kebayoran), Gedung Jl. Latuharhari, Rumah China di Jl Melati –
Denpasar, Sekolah Jalan Sawahan – Malang, Sekolah Machung Jl.
 Nusakambangan – Malang
Komandan – Komandan dan Aparatur RTM : TPU Gandhi, Guntur, Budi
Utomo, Budi Kemulyaan,
Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, Tim Ad Hoc Penyelidikan Peristiwa 1965-
1966 menyampaikan rekomendasi sebagai berikut:
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 5 juncto Pasal 20 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia, Jaksa Agung diminta menindaklanjuti hasil penyelidikan ini
dengan penyidikan,
Sesuai dengan ketentuan Pasal 47 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, maka
hasil penyelidikan ini dapat juga diselesaikan melalui mekanisme non
yudisial demi terpenuhinya rasa keadilan bagi korban dan keluarganya
(KKR).
Demikian surat pernyataan ini dibuat sebagai bentuk pertanggungjawaban
pelaksanaan mandat yang telah diberikan Komnas HAM untuk melakukan
penyelidikan terhadap adanya dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang berat
yang terjadi dalam peristiwa 1965-1966.
Jakarta, 23 Juli 2012
TIM AD HOC PENYELIDIKAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG
 BERAT PERISTIWA 1965-1966
Ketua,
NUR KHOLIS, S.H., M.A.
Ini hasil dari kesimpulan sebuah Lembaga Negara, yang melalui undang-undang mengurusi Hak Asasi Manusia, bisa diutak atik oleh media, terutama yang terlihat di media elektronik yang bernama Televisi. Dibuatlah debat yang seolah-olah independen, padahal debat itu, mengarak ke debat kusir yang tak berujung. 
Mestinya debat itu, antara Komnas HAM dengan pihak yang dinyatakan bertanggung atas pelanggaran HAM berat dimasa lalu, atau Komnas HAM dengan pihak Kejaksaan yang mengembalikan dan mengkeranjang sampahkan hasil penyelidikan Komnas HAM.. Dengan begitu debat itu akan menjadi lebih bermanfaat untuk keadilan korban kejahatan HAM berat masa lalu dan tak akan jadi seperti debat kusir, macam ketiak ular, tak ada ujungnya. ***
Bung,
Sudah kubaca, “Antara Romo dan Sulastomo”, sebelum resmi di luncurkan buku Bung ini, sebelum aku tahu bahwa tulisan ini ditolak Kompas. Aku baca dibuku Bung itu, begini bunyinya.
Yth. Sdr Martin Aleida
Disertai salam dan hormat,
Kami memberitahukan bahwa pada tanggal 25 April 2012 Redaksi Kompas telah menerima ARTIKEL anda berjudul “Antara Romo Dan Sulastomo”. Terima kasih atas partisipasi dan kepercayaan yang anda berikan kepada Kompas.
Setelah  akhirnya kami menilai dan mempelajari subtansi yang diuraikan didalamnya, akhirnya kami menilai ARTIKEL tersebut tidak dapat dimuat diharian Kompas. Pertimbangan kami,  isu agak sensitive.....
Terima kasih.
Jakarta, 24 April 2012
Hormat kami,
Sri Hartati Samhadi
Kepala Desk Opini
Selama hampir sebulan tulisan Bung ini dieramkan, begitu tulis Bung, ke Bung Atma Kesumah, tapi menurut Kompas artikel itu diterima pada tanggal 23 April 2012, sehari kemudian Bung terima pemberitahuan. Untunglah aku terbiasa selalu membacakan tulisanku, juga tulisan siapa saja diantara kawan-kawan yang kuanggap harus disampaikan. Dan waktu jumpa bersilaturrahmi diantara para kawan-kawan yang masih bisa bertahan hidup, juga anak-anaknya, malah cucu-cucunya dilebaran Syawal yang lalu, meskipun diakhir bulannya, kubacakan “Antara Romo dan Sulastomo”. Tulisan Bung itu pulalah yang membuat pertemuan Silaturrahmi, bulat sepakat bahwa kita tak pernah meminta pemerintah meminta maaf.
Aku yakin tulisanku, kalau kukirim ke koran-koran atau majalah tak akan dimuat. Masih beruntung Bung, biarpun tak dimuat, mereka mengirimkan khabar ke Bung, juga dengan alasan mengapa tak dimuat, walau hampir sebulan dieramkan. ***
Sudah 2 tulisan Bung yang kutanggapi sekali layang, di bagian “Langit Kedua”. “Perang di Jero Tempo” dan “Antara Romo dan Sulastomo”.  Lalu kubaca lagi, tulisan Bung berikutnya, “Gaya Roshomon Untuk Gerakan Yang Gagal”. Sudah kubaca lebih dari dua, tiga, tulisan baik masih di priode kekuasaan masih ditangan Soeharto atau sesudahnya, tentang Gerakan 30 September. Termasuklah tulisan John Roosa, “Dalih Pembunuhan Massal” ini, dan “Tahun Yang Tak Pernah Berakhir”. Tapi, entah mengapa, aku selalu merasa kurang pas. Untuk menulis tentang Gerakan itu, jelaslah aku tak mampu, karena itu pulalah akupun tak bernafsu. Ada pertanyaan, apa yang kurang pas.
Di akhir bulan Juli atau sampai diawal Agustus tahun 1965, informasi itu turun sampai ketingkat kecamatan. Kalau di Medan sampai ketingkat kelurahan, karena sudah banyak kawan-kawan yang terpilih menjadi Lurah. Informasi menyebutkan bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kudeta di 5 Oktober 1965. Informasi ini, bukan saja sampai dikalangan “kita”, tapi juga sampai kekalangan lain. Malah menurut Manai Sofyan di bukunya “Kehormatan Bagi Yang Berhak” (judul buku ini mungkin aku salah, tapi yakin Bung tahu apa judulnya), Chairul Saleh yang namanya tercantum di anggota Dewan Jenderal, informasi itu sudah lebih dulu sampai ke dia. Maklum informasi ini di dapat dari BPI (Badan Pusat Inteledjen) Badan Intelejen Negara yang dikepalai oleh Wakil Perdana Menteri I dan Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio. Tak disangsikan lagi bahwa info ini juga sudah lebih dulu disampaikan pada Pemimpin Besar Revolusi, sebab BPI bertanggung jawab langsung kepada Bung Karno sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata dan Presiden Republik Indonesia. Informasi ini bersamaan dengan menyebutkan, bahwa para Perwira-perwira muda yang loyal kepada Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno, sudah mempersiapkan kontra kudeta Dewan Jenderal, bila terjadi kudeta dihari ulang tahun TNI yang ke 20 itu. Informasi yang jelas dari sentral ini, tak pernah diragukan kebenarannya selama ini oleh “kita-kita”. Astaga...Bila ikhwal ini sampai di akui di BAP, tak pelak lagi. Jatuhlah palu Teperda bagian dari Laksus menetapkan paling rendah digolongkan di golongan A bagi yang mengaku menerima info.    
Tapi, tanpa informasi perubahan di sebelum dini hari 1 Oktober 1965. Sentral sudah membuat langkah mendahului rencana kudeta Dewan Jenderal pada pada dini hari, hari itu, 1 Oktober 1965. Kejelasan ini tak pernah kita dapatkan dari buku-buku yang terbit, baik dari tulisan yang kanan maupun yang kiri atau entah yang dari manalah yang menyebutkan dirinya independen.
Bukankah bila benar ikhwal ini seperti apa yang didapat John Rosa dari dokumen yang ditulis oleh protogonis, Brigadir Jenderal Supardjo, salah seorang dari empat deputi dibawah Letnan Kolonel Untung komandan gerakan. Dokumen itu jelas menunjukkan bahwa Supardjo sangat yakin bahwa rencana gerakan ini, adalah rencana sentral, dan Syam ditunjuk menjadi penentunya. Meskipun rencana gerakan ini menurut Supardjo dilakukan terburu-buru.
Jelaslah. Bagaimana tidak? Gerakan ini bukan saja memundak rencana yang dilakukan terburu-buru, tapi juga gerakan ini bukan, rencana sentral. Karena itu, rencana ini melanggar konstitusi. Konstitusi yang diputuskan Kongres membuat ketentuan yang mengikat sentral sampai ketingkat ressort mematuhinya. Pada konstitusi, yang menentukan semua program dan arul kerja adalah Kongres. Diantara Kongres bila diperlukan ada Kongres Luar Biasa, atau Sidang Comite Central. Jangankan Keputusan Sidang Comite Central, Sidang Polit Biro pun tak dilakukan memutuskan gerakan yang mendahului rencana kudeta Dewan Jenderal itu.  Sebenarnya, Polit Biro tak mesti bertanggung Jawab menyusun Otokritik Polit Biro di 23 Mei 1966. Karena keputusan ini bukan bulat diikuti oleh para anggota Polit Biro. Tapi tak apalah, Sudisman dan kawan-kawan yang lain yang masih bisa menghindar dari  penangkapan Angkatan Darat yang sudah dikuasai Soeharto, mau memikul beban penyelewengan, di bidang ideologi, politik dan organisasi itu. ***
Ah, mengapa aku ikut hanyut kesana. Niatku kan sebenarnya menanggapi tulisan, Bung. Alah, tak adalah dengan apa yang disebut-sebutkan orang bahwa Njoto terlalu Sukarnois. Benarkah Njoto menulis komentar paling pendek dirubrik pojok halaman depan Harian Rakyat, Cekak Aos, tak lama menjelang G30 S. Komentar (yang sering ditulis dengan gaya menyindir) itu berbunyi: Madiun= Malang, terdorong oleh mendengar sesuatu, yang kalau terjadi berdampak luas terhadap kehidupan politik? Aku tak percaya Njoto tak tahu apa bedanya Provokasi Madiun dengan Aksi Untung di dini hari 1 Oktober 1965 itu. Aku tak percaya Njoto tak bisa membedakan.
Pada Kabinet Hatta, pemerintahannya memaklumatkan Reorganisasi dan Rasionalisasi TNI. Yang terselubung dibalik maklumat ini adalah pembubaran TNI Masyarakat. Kolonel Sutarto Komandan Divisi Panembahan Senopati, divisi yang anggotanya sangat berdisiplin dan memiliki persenjataannya lengkap, dipertengahan Mei, Markas Besar TNI di Jokja memaklumatkan perintah non aktif dan pasukannya diperintahkan agar melapor ke Markas Besar. Kolonel Sutarto bersama komando bawahannya menentang perintah Markas Besar. Sikap Sutarto dan pasukannya didukung Laskar-laskar penentang Re-Ra. 20 Mei bertepatan dengan peringatan Hari Kebangunan Nasional di Solo, Divisi Panembahan Senopati menggelar demontrasi dan parade juga diikuti beberapa batalyon dari kesatuan Pesindo bersenjata lengkap dan Tentara Laut Republik Indonesia. Demonstrasi dan parade bersenjata itu menyuarakan dukungan kepada Kolonel Sutarto melanjutkan kepemimpinan sebagai komandan Divisi Panembahan Senopati dan menuntut pemerintah Hatta membatalkan Re-Ra.  2 Juli 1948, Kolonel Sutarto, ditembak mati,  pembunuhnya tak dikenal.
Dibulan September 1948, Pasukan Siliwangi yang ditempatkan tersebar di sekitar Keresidenan Surakarta, menculik 2 orang anggota PKI Solo. Terbukti, keduanya Selamat Widjojo (sekretaris FDR Solo) dan Pardijo, ditahan di pabrik Gula Tasik Madu yang dipakai sebagai Markas Kesatuan Siliwangi. Lalu dipindah ke kamp Pemerintah di Jokja.
Pada 7 September 1948, Letkol Suadi Komandan Divisi IV/Panembahan Senopati, menugaskan Mayor Esmara Sugeng, Kapten Sutarto, Kapten Suprapto, Kapten Supardi dan Kapten Suradi, mengusut penculikan, tak kembali. Sepeda mereka dijumpai didepan Markas Kompi Lucas Siliwangi.
Banyak, penculikan yang dilakukan pasukan Siliwangi memulai provokasi ini. Penculikan yang disertai pembunuhan.
Jadi tak mungkin Njoto se Khilaf itu, menyamakan provokasi Madiun dengan Gerakan Untung di dini hari 1 Oktober 1965. Tertembaknya Mayor Sutarto, dan penculikan perwira-perwira dari Kesatuan Panembahan Senopati, perwira-perwira dari Kesatuan Tentara Laut Republik Indonesia, perwira-perwira dari Kesatuan Laskar Pesindo, memulai provokasi.
Ketika Mayor Sutarto terbunuh, Amir Sjarifuddin dan Muso sedang berada di Cepu, keduanya sepakat agar Amir, Ketua Komisi Militer CC  menginstruksikan agar Sakirman wakil Ketua Komisi Militer CC dan Perwira-perwira Kiri agar berangkat ke Solo, berusaha melokalisir peristiwa Solo tidak menjalar kedaerah lain.
Ya, memang usaha John Roos menguak pembantaian diakhir tahun 1965 sampai ke tahun 1968 itu, wajib kita nyatakan hormat kita ke dia. ***
Ulasan Bung pada buku “Menyeberangi Sungai Air Mata”, tulisan Antonius Sumarwan. S.J yang relegius, benarkah bukunya itu, menayangkan, “yang ditelan kesunyian sejarah dan kesepian korban”, seperti apa yang tergambar ditelaah, bung. Tapi apa yang akan kuracik untuk mengulas, ulasan Bung? Tulisan Bung sangat cukup bagus,  mengulas. Karena, kalau aku harus menjawab bagaimana aku bisa bertahan atau bagaimana aku menemukan kekuatan, taklah “kubayangkan Kristus yang tergantung dikayu salib, penuh luka dan berlumuran darah”.
Kristus itu, Tuhan, dia tak akan mati, dia hidup selama-lamanya, karena dia tak akan mati tak pulalah merasa sakit. Aku pasti merasakan sakit bila dipukuli apalagi disalib. Dan kalau aku diminta jawaban apakah aku rela mati saat itu, ditembak sekalipun untuk tidak merasakan sakit, jelas jawabku aku belum mau  mati. Mengapa begitu, karena aku bukan Kristus. Sekali lagi kubilang  Kristus itu Tuhan. Tuhan menurut kepercayaan ummat Nasrani. Malah dia yang menentukan siapa yang bisa bertahan hidup dan siapa yang harus mati.
“ Suatu hari saya seorang diri dibawa kesebuah ruang lain. Ruang ini lebih sempit dari ruang tempat kami diperiksa dan diperkosa beramai ramai dua hari lalu. Di dalam ruang, ketika saya masuk, ternyata sudah menunggu banyak sekali wartawan. Tiga orang algojo yang sudah berkali-kali memeriksa dan memerkosa saya memerintahkan agar saya menjawab semua pertanyaan para wartawan dengan “ya”. Itu yang Bung kutip dari buku Suara Perempuan tragedi ’65, sebagai pembuka ulasan Bung yang Bung beri tajuk, “Perempuan-Perempuan Yang Memutar Sejarah”.

Aku masih terpacak ditulisan sebelumnya. Sambil senyum miris, Kueja balik jawaban “Menyeberangi Sungai Air Mata”, aku menemukan kekuatan, ketika “Kubayangkan Kristus yang tergantung dikayu salib penuh luka dan berlumuran darah”. Tapi apakah dia bisa menemukan kekuatan dari membayangkan Kristus itu perempuan bukan Tuhan, diperkosa berulang-ulang dan beramai-ramai. Dan aku menjamin bila dia perempuan akan menyesal menemukan Kristus seperti itu. Dan menjawab “ya” disemua jawaban para wartawan dari Kerajaan Roma atau wartawan lokal orang Jahudi yang memohon agar Kristus yang disalib, bukan bandit residefis benggolan. Sesudah dia turuti apa yang menjadi kemauan tiga algojo penyiksa dan pemerkosanya, dia malah diperkosa lagi berkali-kali. Sebagai hadiah....
Itulah sebabnya barangkali kalau diantara kami laki-laki, bekas tahanan tentara didekade demokrasi pancasila, kumpul cerita tentang penyiksaan yang menimpa diantara kami ketika diperiksa ada saja yang membuat gelak terkakak-kakak, Tapi bila diantara kami ada kawan perempuan tak akan seorangpun diantara mulut kami yang menyungging gelak, apalagi sampai terbahak-bahak. ***  
Bung Martin,
Aku memang belum membaca “Pramudya Ananta Toer dari Dekat Sekali”, buku tulisan adiknya itu. Tapi waktu aku membaca tanggapan Bung terhadap (kupakai tatabahasa yang Bung tujukan kepada Salim Said. Di SMP barangkali tak pernah dia belajar tatabahasa Indonesia) buku itu, membuat aku terpaksa menyebutkan bahwa Koesalah Soebagio Toer kurang cerdas menulis buku ini. Sebab, sosok Pramudya semua orang sudah tahu, baik kawan, lawan. Orang-orang  ditanah air, diluar tanah air dimuka bumi ini agaknya sudah tak memerlukan buku setebal apapun untuk mengenalkan Pram dari dekat sekali pun.
Kalau sudah mati, apapun wasiat siapapun dia, tak ada urusannya lagi. Orang mati, dia sudah di sebut mayat. Mengurus mayat, hanya bagi orang yang hidup. Tak mungkin Pram tak menyadari ini. Jadi tak perlulah Kusalah Soebagio Toer, mengumbar cerita ini hanya untuk akan menunjukkan bahwa sosok Pram meski sudah tidak berdaya dan tak bisa berbuat apa-apa lagi, sudah tak bernyawa lagi, dia tetap mendapatkan kehormatan sebagai ummat Islam dan sebagai sosok pejuang orang yang dinistakan oleh rezim haus darah Soeharto.
Inilah yang dilupakan, memilah meskipun itu adalah catatan harian. Memang catatan harian adalah rekaman “semua itu sebagai kenyataan, bahwa disamping semua yang sudah pernah ataupun sedang ditulis mengenai Mas Pram masih ada hal-hal lain yang harus dikemukakan, Dengan demikian orang dapat memahami Mas Pram sebagai sosok yang nyata, bukan manusia diangan-angan atau lamunan”, tulis sang adik.
Bung Martin! Untuk mengumbar sosok yang nyata, bukan manusia diangan-angan atau lamunan. Aku malah berfikir, penyataan ini bertolak belakang dengan apa yang ditulis oleh adik kesayangannya itu. Kusimak di kebebasan berpendapat, disubjudul tulisan Bung. Aku berharap Bung simak juga tulisan Bung di “Perang di Jero TEMPO” di subjudul, episode Pramudya. Baik Aidit maupun Pram  sudah tak bisa membaca buku Koesalah itu lagi, apalagi menuliskan bantahannya.
Malah aku yang  keberatan, bukan Sobron atau Asahan meski mereka berdua itu adik-adik kesayangannya. Sedikit memang yang kuketahui tentang UUPA yang disebut Landreform itu. UUPA bagaimana bisa dilaksanakan baik di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali, PKI terikat atau telah terbogol NASAKOM, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, tuantanah-tuantanahnya yang akan disasar aksi sepihak mayoritas orang-orang Nahdatul Ulama, di Bali Partai Nasional Indonesia. Gamanglah aku percaya, Aidit sampai hati menyombong: “Para petani itu langsung cabut golok”! Ini pulalah yang menjadi umpatan yang berseberangan dengan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Yang akhirnya, menyeret pelanggaran HAM berat itu tumpul, menjadi dendam konflik horizontal. ***
Ada kisah dibuku Bung yang membuat terkadang aku terseret geli, tapi juga marah. Coba Bung pikirlah, Ada yang bukan orang komunis lebih tahu tentang PKI dari pada orang komunis. Mereka lebih tahu tentang Aidit, dari Njoto. Begitu pulak ada yang lebih tahu tentang Njoto dari Aidit. Seperti juga  ada yang lebih tahu bahwa Lekra adalah organisasi PKI, dari pimpinan-pimpinan Lekra sendiri. Sebenarnya, kalau aku berhadapan dengan orang seperti ini, tak akan kuladeni seperti sampai-sampai memberikan penjelasan rumit. Kalau iya mengapa rupanya. Sama kalau tidak mengapa rupanya, tak ada undang-undang yang dimaklumatkan untuk melarang atau membenarkan hal itu, pada waktu itu. Semua partai pada waktu itu punya lembaga kebudayaannya sendiri. Ada perbedaan barangkali seperti apa hubungannya.
Aku selalu memilih, kalau pun aku tahu orang yang bertanya itu memerlukan, memang betul-betul memerlukan. Dengan menyebutkan di Comite Central PKI ada Departemen Kebudayaan, kepala Departemen Kebudayaan nya HR Banharo. Penunjukan ini dilakukan di Kongres PKI terakhir. Di DPP Lekra orang pertamanya disebut Sekjen, Sekjen diangkat atau ditunjuk oleh Kongres Lekra, Kongres Lekra terakhir menunjuk Jubaar Ajub menjabat Sekjen. Kalau benar Lekra dibawah PKI, mengapa bukan HR Bandaro yang menjadi Sekjen DPP Lekra. Tak akan kubantah bahwa di Lekra ada yang anggota PKI, bahkan pimpinan PKI. Begitu juga ada anggota PKI menjadi Lekra, bahkan ada yang menjadi pimpinan Lekra, Menjadi anggota PKI saratnya sendiri, begitu juga Lekra yang utama mesti pekerja seni.  Taklah mungkin Sitor Situmorang mau dijadikan pimpinan Lekra pasti dia memilih Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), karena dia PNI.
Yang lain. Tentang Revolusi Kebudayaan Di Tiongkok. Aku pernah dapatkan tulisan dari seorang kawan, Tulisan itu berbentuk buku, dikeluarkan Departemen Agitasi dan Propagan MLPD (Partai Marxisme-Leninisme Jerman), dalam bahasa Inggeris yang diterjemahkan dari bahasa Jerman. Kawan ku itu mencoba menerjemahkannya kedalam bahasa Indonesia. Buku itu tak bisa kumiliki, meski akan kufotokopy, tak diijinkan. Ada yang menarik kubaca dibuku itu, tentang Revolusi Kebudayaan. Kusimpulkan, di negeri-negeri yang ada Partai Komunis-nya selalu organisasinya punya dua lembaga tertinggi yang sama kedudukannya dan kedua lembaga ini bertanggung jawab ke Kongres, yaitu Komite Sentral dan Komisi Kontrol. Partai Komunis Tiongkok entah mengapa dan entah apa sebabnya di Kongres-kongres-nya tak pernah dibentuk Komisi Kontrol. Barangkali pernah ada tapi,  membacanya, aku condong berfikir pengalaman PKUS dipriode Stalin PKUS, dia (Stalin) anggota  Komisi Kontrol dengan yang lain, dia juga menjabat Sekjen PKUS. Bagaimana mungkin dia mengontrol dia. Tiongkok terakhir di tahun 1966, ada bayang-bayang melorotkan Demokrasi Rakyat kearah kapitalis birokrat, lewat semua alat-alat produksi di kuasai negara (BUMN kalau di Indonesia). Siapa yang mengontrl ini? Tak ada. Komisi Kontrol tak ada di PKT. Ini asalmuasalnya. Kontrol yang efektif, Rakyat. Kaum Buruh dan Kaum Tani. Kaum Buruh dan Kaum Tani itu sejatinya menguasai semua alat-alat produksi, bukan negara. Demokrasi Rakyat ke Sososialis mengharuskan alat-alat produksi dikuasai kaum buruh dan kaum tani. Dan jalan yang harus di tempuh ini kalah. Komite Sentral PKT tetap mempertahankan Theng Sao Ping dan yang lain-lainnya yang se ide. Mao sudah tak bisa berbuat apa-apa.
Di Uni Sovyet, yang telah menjadi negeri Kapitalis Birokrat, runtuh, jatuh menjadi negeri Kapitalis. Tiongkok, dengan semboyan Sosialisme Berkepribadian Tiongkok, apakah ini jalan Sosialisme seperti apa yang sejatinya menjadi cita-cita Marx?
Mengapa aku ikut-ikutan mempermasalahkan ini, dalam menanggapi buku Bung ini? Sebut sajalah ikut-ikutan. Kuakhiri, tanggapan, atau telaahku terhadap buku Bung “Langit Pertama Langit Kedua”. Kututup dengan sepotong cerita cantik. Cerita cantik kataku. Itu menurut aku. Entah bagi Bung, atau bagi yang lain. Lagipula menurut kata hatiku (ketatiku, begitu sebut kita sehari-hari di Medan). ***
Begini cerita mantan kopral serdadu Rizal:
Hujan deras diakhir tahun dinihari tadi, pagi sebelum apel pagi  sudah reda. Begitu Rizal memulai gaya tulisan dimajalah-majalah atau Koran-koran. Gelakpun menjadi awal pembuka. Sebelum lonceng apel berdentang dari portir, kawan-kawan yang dimandahkan (dimandahkan, untuk tak menyebutkan di kerja paksakan) keberbagai perkebunan sudah diberangkatkan pkl. 05:30 pagi.
 Kebetulan, apel pagi hari itu, bersamaan dengan upacara bendera disetiap minggu di hari Senin. Lain lagi di tanggal 17 disetiap bulan. Persis semua jadwal yang diwajibkan seperti perilaku tentara, sampai-sampai area hunian para pemandah warga bebas disekitarnya menyebutkan orang-orang dari barak. Lumayan daripada disebut orang-orang pemberontak G 30 S/PKI.
Tapi, meski dengan sebutan itu, banyak kawan-kawan yang dilamar, ingin menjadi isteri. Sudah belasan kawan-kawan yang dimandahkan nikah dengan putri-putri ayu disekitar barak-barak hunian para orang kurungan itu.
Kumpulan itu gelak lagi.
Tepat pukul 07:30, upacara penaikan bendera dimulai.  Tiap Kepala Kompi melapor (yang benarkan komandan kompi), itu yang membedakan dikompi sebenarnya dengan dikompi kurungan Area Paksaan itu. Laporan jumlah anggotanya, jumlah pemandah dan yang sakit dikompinya. Baru menyusul penaikan bendera, pembacaan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit oleh mantan serdadu. Para mantan serdadu yang di inrehabkan ini, bukan hanya pasih mengucapkan Sapta Marga dan sumpah Prajurit tapi juga melaksanakannya dengan benar dan itulah penyebabnya mereka diharuskan menjadi penghuni Inrehab ini.  Menyusul pembacaan Pancasila ditunjuk saudara laki-laki tertua dari seorang mantan Komandan Brigif 7, Letkol Maliki. Orangtua itu juga seorang pejuang di Medan Area, seorang komandan laskar tanpa ikut menjadi tentara.
Orang tua itu berjalan sigap seperti serdadu, lebih tepatnya serdadu cadangan atau serdadu pensiunan. Maju, keluar dari barisan berbanjar, menghadap Inspektur Upacara Pembantu Letnan Satu CPM yang sekalian wakil komandan Inrehab. Memberi hormat, menundukkan kepala. Lalu melapor siap membacakan Dasar Negara Pancasila. Balik kanan menghadap ke barisan para penghuni Inrehab. Berdiri tegap.
“Pancasila”, orangtua itu memulai lantang. Semua yang diapelkan pagi itu yang masih dalam keadaan siap gerak, mengikuti. “Satu, Ketuhanan Yang Maha Esa” , lantang juga dijawab para peserta apel.
“Dua, Kemanusiaan Yang Adil Dan Biadab”, para peserta apel diam. Inspektur Upacara memerintahkan, mengulanginya. Orang tua itu tetap siap dan lantang mengulang dari mula Dasar Negara itu. Tapi sampai pada Dasar Negara yang kedua, orangtua itu tetap menyebutkan, “Dua, Kemanusiaan Yang Adil Dan Biadab”.
Inspektur Upacara memerintahkan lagi agar diulangi. “Panca Sila”, orangtua itu mengulangi lagi dengan lantang. Para peserta apel mengikuti. Juga ketika orangtua itu mengucapkan, “Satu, Ketuhanan Yang Maha Esa”, tetap ikut menyebutkannya. Tapi, kala dasar Negara yang kedua, orang tua itu tetap menyebutkan “Kemanusiaan Yang Adil Dan Biadab”, barisan berbanjar empat para orang kurungan itu diam membisu.
“Ganti”, perintah Inspektur Upacara.
Akhirnya Upacara Bendera pagi itu berakhir, meski sempat tersekat dipembacaan Dasar Negara Pancasila. Tapi ada yang terganjal. Susahnya menahan gelak, sampai akhirnya pecah dijalan menuju kebarak masing-masing.
“Aku dan beberapa kawan”, Rizal melanjutkan ceritanya. Mendatangi barak Orangtua sipembaca Pancasila yang membuat seluruh penghuni Area Paksaan itu membiarkan jantung berdebar kencang dan payahnya menahan gelak.
Orangtua itu tak sepakat disebut bahwa dia salah menyebutkan Sila Kedua dari Dasar Negara itu, apalagi kalau dia disebut tak hapal. “Aku tak salah, aku hapal. Bukankah sila kedua itu,memang itu. Kemanusiaan yang adil dan biadab?”. “Salah”, serentak kami menjawab. “Jadi apa?”. Juga serentak kami menjawab, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. “Tadi aku menyebutkan apa?”. Gelak kami tak tertahan lagi. Orang tua itu bertahan tak salah, apalagi kalau disebut tak hapal.
Dari pintu besi blok, terdengar teriakan mantan Serma Sardjo, “Ancak”. Pertanda siap mengambil wuduk dan tempat bersujud, ke blok A. Waktu Magrib sudah dekat. ***
Malam di blok B inrehab Sukamulia, dari jerejak besi Sukamulia terlihat bulan hampir penuh. Sangat berbeda dengan kurungan di bekas gedung SD Abadi dijalan Gandhi. Empat setengah tahun aku menjadi penghuninya jangankan melihat bulan, melihat mataharipun aku tak pernah.
Ketika kawan-kawan sudah tak ada lagi yang bisa diajak bincang-bincang, ada yang sudah tertidur dan asyik dengan kesendiriannya. Gelak, tadi sore disudut yang terlindung lima sel dari portir tempatku kerja menyelesaikan ukiran pesanan Pendeta Protestan itu, mengusik benakku kembali. Benarkah Orangtua itu salah menyebutkan sila kedua dari Dasar Negara Pancasila. Kemanusiaan yang Adil dan Biadab. Apakah Kemanusiaan yang Adil dan Berabab bisa disebut pada apa yang kudapat dan didapatkan kawan-kawan ketika menjadi penghuni kurungan dibekas Gedung SD Abadi di jalan Gandhi atau dimana saja hunian yang dijadikan tentara menjadi kurungan? Apakah Kemanusian yang Adil dan Beradab yang kudapat dan yang didapat kawan-kawan ketika diperiksa diberbagai Markas Tentara,  yang mereka namakan, Sudam I, Seksi I, Puterpra, Teperda dan berbagai tempat yang menjadi markas Laksusda. Apakah Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, ketika aku dan anak-anak, ibu, isteri suami, kakak dan adiknya yang kehilangan, ayahnya, ibunya, anak-anaknya, kakak-kakaknya, adik-adiknya, kerabatnya. Dibunuh setelah dikurung ditempat-tempat yang dijadikan Tentara menjadi kurungan, tanpa pernah dihadapkan kemahkamah.
Baiknya kuajak tidur diri ini. Aku teringat ungkapan moyangku, orang Batak. Dang natartangishon, tomagon datinortorhon.  Mengapa mesti ditangisi, baiknya ditarikan. Masalahnya, tarinya.*** Astaman Hasibuan          
Medan, 14 Maret 2013.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar