Tentang Langit
Pertama Langit Kedua
Martin Aleida
Bung,
Aku sudah janji akan menanggapi isi buku
Bung, yang ditajuki “Langit Pertama, Langit Kedua”. Aku tak akan minta maaf
lebih dulu, ke Bung. Macam mana aku harus minta maaf, aku belum merasa bersalah
ke Bung. Bung belum bilang bahwa aku salah, orang lain juga belum bilang aku
salah.
Aku
kurang pandai, menuliskan apa yang kufikirkan. Aku malah lebih suka berdebat,
untuk tidak dibilang bertengkar. Bung ingatkan “gingging”. Barangkali juga “jugul”.
Buku Bung memulai, di Langit Pertama, “Perempuan Yang Selalu Menggelitik
Pinggangku”. Cerpen ini sudah duluan Bung kirimkan ke aku lewat surat
elektronik bersama dengan dua tulisan yang lain. Agak beda memang, kalau yang Bung kirimkan ke
aku langsung pada ceritanya. Tapi yang di buku Bung ini, didului cerita si
kakek dan si cucu.
Inilah ke
gingginganku, atau kejugulanku. Semua kerja, harus dimulai dengan berfikir:
hasil pekerjaan itu untuk apa?. Apa lagi belakangan, waktu aku aktif di
Organisasi Pemuda (Pemuda Rakyat, yang di konsitusinya tak boleh disingkat) di
Organisasi Pelajar (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia, IPPI), terakhir di
Organisasi Kebudayaan (Lembaga Kebudayaan Rakyat, LEKRA). Semua organisasi yang
aku ikut menjadi anggotanya, menunjuk aku. Aku wajib kerja, dengan hasil
kerjaku untuk rakyat. Yang kalau di LEKRA itu disebut Seni untuk Rakyat. Untuk
mengatakan Seni untuk rakyat, sudah seharusnya penulis dan pekerja seni
membuktikan bahwa setiap hasil kerja, dimengerti siapa saja. Bukan hanya
dimengerti si penulis, si yang punya kerja seni itu, tapi oleh semua orang.
Baik, buruh tani, nelayan, kaum miskin kota,dan yang lain kaum awam.
Gutama di
komentarnya, begitu dia tulis, setelah dia menjelaskan bahwa dia sudah membaca
tulisan Bung, “Perempuan Yang Selalu Menggelitik Pinggangku”. Komentar panjang
tulisnya, diakhiri dengan Bung,boleh
berpedih-pedih terkena kritiknya tapi juga dituliskannya juga di dalam tanda
kurung “yang tidak pasti selalu benar”.
Tanggapanku tak akan seperti itu.
Membaca
komentar Gutama. Aku berfikir dan aku yakin, dia paham isi cerpen Bung. Bukan
pulak aku tak paham isi cerpen Bung itu. Sehingga aku tak membahas tentang,
hemat kata (lacony), harmless, tingkah anak muda si pembawa lakon itu yang
nyleneh, sampai pada penderita odipus-kompleks. Padahal Gutama tahu dan
menjawab sendiri, bahwa Bung, tidak menyoalkan aspek psikoanalisis. Lalu
tulisnya tentang cerpen ini, dianggap telah kehilangan bobot relevansinya
sebagai sastra. Uh. Entah seperti apa yang dia maui revelansinya sebagai sastra
itu. ***
“Di Kaki
Hariara Dua Puluh Tahun Kemudian”, kubaca sampai kesemua tanggapan, aktivis
kebudayaan, peminat kesustraan, wartawan, penulis cerpen, dosen film, penyair,
sampai ke pelukis, peneliti, pejabat pemerintahan, dan anggota parlemen.
“Siapa
lagi yang bikin demokrasi edan kalau bukan si ganjen itu. Guru bantu saja sok
selangit”. Guru-guru yang kegerahan terkena sentilan dibuku harian itu,
menebarkan kebencian dari kelas yang satu kekelas yang lain, dari satu kolega
kekolega yang lain. Hasut-menghasut membanjir supaya buku itu diberangus,
disingkirkan.
Puncaknya
bukan pada kritik yang dilancarkan para murid, tetapi pada Kartika Suryani,
yang sudah tak tahan membendung banjir perasaannya. Untuk pertama kali, dia
mencurahkan kata hatinya: “Aku tak pernah menyangka bahwa suatu ketika, dalam
hidup ini, aku akan menemukan kepelikan yang muncul dari sikap korup seseorang
yang semestinya menjunjung tinggi kejujuran. Karena kata inilah yang justru
sering dikumandangkannya didepan murid-murid, pada setiap upacara seninan. Dan
inilah yang menyakitkan. Dia menyuruh aku untuk menjadi penghubung menemui
seseorang yang akan memberikan kunci jawaban ujian nasional disuatu tempat.
Mimpi buruk macam apa yang kudapat ini? Penghinaan macam apa yang sedang dia
rekayasa untuk merendahkan derajad anak-anakku? Aku tak mau dan aku telah
memilih untuk meninggalkan sekolah ini.
Dan
cerpen ini Bung tutup dengan: Dan sebagaimana dulu, pada hari ini dua puluh
tahun kemudian, mantan guru bantu itu mendahului kedatangan murid-muridnya guna
menepati sebuah janji, untuk menyaksikan kejujuran yang tak bisa dibengkokkan.
Mereka akan bersama-sama, menggali tanah dikaki pohon tua yang berkeriput itu,
mengeluarkan sebuah buku harian, dimana kebebasan dan kejujuran mereka telah
menemukan bentuknya yang paling awal.
Aku
menebak-nebak, mengapa cerpen ini menyudahi ceritanya tak sampai pada, apakah
murid-murid Kartika Suryani lengkap berdatangan? Atau kurang separuhnya, atau
pula melebihi korum tiga perempat. Dugaku, biarlah pembaca menafsirkan. Tak
semua yang dulu baik, mengarak kejujuran, menjadi seterusnya baik, mengarak
kejujuran.
Bung, Kalau
penanggap mengatakan, cerpen Bung ini, mengguncang nurani, bertanya untuk siapa
itu, apakah cerpen itu untuk Indonesia, sampai-sampai mengharapkan
penguasa-penguasa Senayan membacanya, tak salahkan aku ikut mereka. Tak akan
pernah kubilang, bahwa inilah cerpen Bung yang terbaik. ***
Cerpen
Bung yang ketiga, “Ompung dan Si Pematung”
“Sudah
ribuan kali kubujuk si Rosa, dia tetap tak sudi memulai pengerjaan patungku.
Aku dapat akal. Tapi jangan kau bocorkan da!
Kau bantulah aku. Ini permintaanku yang penghabisan”.
“Berbohong
untuk kebaikan. Untukku. Patungku...”
Cerpen
ini Bung sudahi. “Bah ...., mengapa aku tidak? Protes isteri ompung “Padahal
aku sudah berbohong”. Ribuan mata, angin, ranting dan lembah menunggu ompung
merentangkan kedua tangan dan mendekapkannya erat-erat pada tubuh isterinya.
Terharu
aku kawan.
Cerpen
Bung mengingatkan aku, aku harus berbohong. Ada dua kebohongan yang dihalalkan,
begitu yang pernah diajarkan dipengajian
madrasyah dari tingkat Diniyah, sampai ke Ailiyah. Berbohong pada seseorang
yang sakit dan berbohong untuk keselamatan nyawa sendiri dan orang lain.
Malah aku
selalu berbohong di hari-hari perburuan dan pembantaian sampai dihari-hari
penyiksaan waktu dikurung tentara. Macam
mana tidak wajib berbohong. Yang betul pun kita sebutkan kita digibal juga,
disiksa. Baiknya memang berbohong, meskipun, digibal dan disiksa juga.
Inilah ceritaku.
Diakhir tahun 1975, di kurungan, yang diberi nama oleh pihak kekuasaan
Inrehab Sukamulia, tersiar khabar burung yang mereka pastikan sudah merupakan
khabar kebenaran. Sejumlah penghuni kurungan itu akan dibebaskan diawal tahun
1976. Sampai-sampai petunjuk yang kudapat, ada beberapa keluarga penghuni
kurungan yang berkunjung kerumah para perwira team pemeriksa di kompleks
Mapomdam, membawa upeti.
Agaknya ada benarnya, beberapa minggu belakangan ini sejumlah penghuni
kurungan dipanggil untuk diperiksa di team, diangkut dengan bus team.
Seharusnya hari ini, ukiran kayu yang dipesan seorang pendeta dari Gereja
Protestan itu sudah selesai. Tapi aku dipanggil ke Teperda, itulah sebabnya
ukiran Maria Sang Perawan terpaksa tertunda. Kemarin, sepulang seorang kawan
dari panggilan Teperda memintaku untuk menjadi saksinya. Memintaku agar aku
memberikan kesaksian bahwa dia memang benar anggota Lembaga Tari Indonesia
(Lekra). Idham namanya ( sudah pasti nama ini bukan nama sebenarnya, dia masih
hidup sekarang ini). Idham anggota Ansamble Tari dan Nyanyi Maju Tak Gentar,
piawi menari Melayu. Tapi, dia juga adalah anggota Lekra Medan. Dan dalam
pengakuanku nanti dihadapan juru periksa, aku harus menyebutkan bahwa dia
selain anggota Ansamble Maju Tak Gentar dia juga anggota Lekra, hanya anggota
Lekra. Entah mengapa sampai-sampai dia mengakui bahwa dia adalah anggota Lekra,
aku tak mengerti. Kutanyakan, dia tak mau menerangkan.
Idham dijadikan penghuni kurungan ini baru satu tahun setelah menjadi
penghuni kurungan dijalan Gandhi, gedung bekas sekolah SD Abadi itu, pada tahun
lalu selama beberapa minggu.
Diawal penumpasan terhadap orang-orang yang diduga terlibat Gerakan 30
September, diakhir tahun 1965 itu, Ansamble Tari dan Nyanyi Maju Tak Gentar
dibubarkan. Entah bagaimana, aku tak tahu pasti, Ansamble itu berganti nama
menjadi Ansamble Tari dan Nyanyi Bukit Barisan, dengan anggota yang itu-itu
juga walau para pimpinannya diganti. Tentunya tentara, terlihat Kepala, atau
sudah jadi mantan Kepala Pendam II Bukit Barisan, Kolonel Muchsin Rangkuti,
diantaranya.
Idham dihari-hari tahun-tahun sebelum dia dijadikan penghuni di-dua kurungan
itu, tentunya masih menjadi penari Melayu yang piawi di Ansamble Bukit Barisan.
Itulah tentang siapa Idham.
Aku sudah siap untuk panggilan team pemeriksa, sebelum apel pagi. Seperti biasa
para penghuni kurungan yang akan diperiksa diangkut dengan bus Teperda. Markas
Teperda berada di komplek Markas Pomdam II BB di jalan Sena masih dikota
Medan. Aku, sudah beberapa kali dipanggil untuk kepentingan BAP katanya,
tapi sudah beberapa kali ganti juru periksanya BAP itu tak pernah selesai.
Kali ini aku berhadapan dengan seorang juru periksa bermarga Hutajulu,
namanya tak tertera di didada baju seragamnya, hanya inisialnya. Dan
inisialnya, sayang, aku lupa. Pangkatnya Letnan Satu yang wajib dia pakai
disandang dikerah baju atau dibahu pakaian seragamnya.
Seperti biasa didekade itu, berhadapan dengan juru periksa hati ini mesti
dikeraskan. Entah betul entah tidak padanan yang kumaksud, biarlah. Mengapa
tidak? Begitu ada perintah duduk, selain berhadapan dengan sosok
berseragam, sosok yang dianggap bukan lagi manusia ini, juga dipertontonkan
berbagai bentuk alat penyiksaan. Tapi alah bisa, karena biasa. Uh, biasalah.
Pertanyaan pertama, nama, kemudian pertanyaan selanjutnya. Pertanyaan ini
yang membuat para penghuni kurungan selalu tergelak, bila dibincang kan
sepulang dari agenda pemeriksaan. “Apa sebab saudara dipanggil untuk diperiksa
hari ini?” Kalau dijawab tak tahu, pasti yang dianggap jawaban benar ini,
ada resikonya, sedikitnya bentakan dan makian. Tapi bisa juga, kepalan diwajah
atau sesukanyalah menggunakan alat-alat penyiksaan yang tersedia. Untuk aku
cukup bentakan dan makian karena, aku cuma memberikan kesaksian. Sesudah
menerima hadiah bentakan dan makian dia bilang: “Kamu diperiksa, karena kamu
harus memberikan kesaksian, saudara Idham, yang mengaku bahwa dia anggota Lekra
Medan”. Itu artinya aku harus juga membuat pengakuan, bahwa aku adalah salah
seorang pimpinan Lekra Medan. Semua pertanyaan kujawab lancar, sampai pada
pertanyaan yang berikut yang membuat aku terpaksa menahan untuk berteriak marah
dan bukan karena kesakitan. “Apakah saudara Idham anggota PKI”, pertanyaan ini
tak kuduga, karena aku sudah tahu bahwa keluarga Idham sudah berkunjung kerumah
perwira yang dihadapanku ini, dengan membawa upeti. Aku bingung menjawab ini,
kalau aku jawab, bukan. Itu artinya aku tahu dan aku jelas dipastikan anggota
malah adalah lebih dari sekedar anggota PKI. Akhirnya aku jawab, yang tahu
siapa-siapa anggota PKI adalah mereka yang menjadi pimpinan PKI. Menurutku ini
yang benar. Dan jawaban yang benar ini dihadiahi bertubi-tubi pukulan kebahu
dan tanganku balok tiga kali tiga inci.
Ini lagi-lagi jadi bahan gelak para penghuni kurungan. Terpaksa pesanan
Pendeta Protestan itu tertunda selesainya, karena tanganku tak bisa diajak
menyelesaiakannya. Untungnya, aku sudah lebih dulu membuat kesepakatan dengan
Idham agar dia menyediakan telur ayam kampung sepuluh butir.
Sebelum itu memang dia sudah memesan bentuk kesepakatan itu lewat
keluarganya yang berkunjung, walau yang kudapat cuma lima butir yang lain lima
butir lagi para penghuni sudah maklum kemana raibnya. Tiga hari sudah tanganku
tak bisa diajak kerja. Hari ketiga, setelah gelak tentang kesaksianku itu, aku
bermaksud meneruskan menyelesaikan Perawan Maria.
Ada
yang salah, Bung terjemahkan dari bataknya. Atau lebih baik Bung tak usah
terjemahkan, karena orang-orang sudah tahu. “Amang Oi Amang”, amang itu bukan
Emak. Emak bahasa bataknya Inang, Amang itu Ayah. ***
“Melarung
Bro di Nantalu”, tak usahlah kutanggapi. Banyak jagoan sastra yang menuliskan
komentarnya. Bisa kikuk awak berhadapan dengan dia-dia itu. Ben Abel pekerja
perpustakaan di Cornel Universty, Amerika Serikat sudahlah berkomentar panjang.
Ada pula yang menanggapi, dia orang politik katanya karena sudah dua kali jadi
calon legislatif. Tapi setelah tahu apa itu politik, jadi pesimis dan malas
mengikutinya. Dikiranya memasuki Partai Politik, itulah politik atau karena dia
cuma jadi calon legislatif? Entahpun barangkali diduakali itu tak pernah jadi?
Banyak sosok yang mengira bahwa partai politik itu, itulah politik. Padalah
pernah satu lembaga kebudayaan yang bukan saja menasional tapi juga mendunia,
LEKRA menabalkan di konstitusinya, bahwa poltik adalah panglima untuk semua
kerjanya berkesenian dan berkebudayaan.
Bah,
mengapa pulak aku persoalkan itu ke Bung? Padahal di Senayan, kan sudah
dimaklumi “Uang menjadi panglima”.
Ada yang
tersirat di Cerpen Bung itu, memang taklah sampai dimaknai hujatan terhadap si
Bro. Bukan hanya kepada kawan-kawan yang tak bisa pulang atau tak bisa bermukim
lagi ditanah airnya, banyak kawan-kawan yang dikurungan tentara ditanah air
berganti iman, juga sampai ketika sudah dibebaskan. Apakah berganti
kepercayaannya itu membuat dia berganti pendirian cara berfikirnya, pandangan
hidupnya, yang tahu hanya dia. Meski akhirnya akan terbuka juga di praktek
kerja nyatanya. Seperti juga aku bisa meraba, apa yang Bung maknai dari si Bro,
lewat cerpen Bung ini. ***
Cerpen,
Bung yang kelima, “Batu Asah Dari Benua Australia”.
Beruntunglah
Master lulusan Universitas Waseda, yang baru pulang dari Pulau Buru, area
pengucilan, perbudakan dan kerja paksa itu, jumpa dengan yang mengomandani
Kantor Berita Jepang atas undangan pemerintah Repblik ini. Sebenarnya masih
banyak kawan-kawan yang seperti kawan Trikoyo, meski bukan Master atau menyandang
gelar sarjana dari luar negeri. Yang semula bersama keluarganya, dinista,
direjam kelumpur kasta paria, tak lama setelah dibebaskan dari kurungan yang
dibuat tentara itu, bangkit jauh melebihi para penistanya.
Bung, aku
malah kalau jumpa dengan orang-orang sekampung atau sekota, aku jadi lantam. Karena perkara houding, kita tak pernah kalah, baik
dulu, baik sekarang.
Komentar
lain, aku ikut dengan yang lain. Aku sama dengan yang lain bilang angkat tangan
buat, Bung. ***
“Aku percaya, aku tidak akan dibunuh serangan
jantung. Arswendo kawanku, bilang betapa malunya nanti kalau mati kena stroke.
Aku tak mau menyongsong maut dan merangkak menuju liang lahat dengan kaki
gempor dan mulut yang menyon. Aku tak mau seperti itu. Karenanya aku membuat
“Wasiat Untuk Cucuku”. Itulah judul cerpen Bung yang keenam di buku ini.
Dibulan
Nopember, tanggal 15 tahun 1965 aku tertangkap di Martubung, dikabupaten Deli
Serdang. Setelah disiksa sepanjang jalan
sekitar 4-5 kilometer menuju Markas Arhanud (Arteleri Serangan Udara),
markas kesatuan tentara yang menangkap. Darah sudah kering diwajah yang
mengucur dari kepala berkat rianya serdadu-serdadu itu menjolokkan laras
senjata panjangnya kekepalaku.
Ada 7
orang kami yang tertangkap, dibariskan didepan mereka. Sang Danton memerintahkan
pasukan didepan kami bertujuh, mengokang senjatanya.
Perkiraanku,
juga kawan yang dikiri dan kananku, inilah jalan maut bagi kami. Bertiga kami
serentak bergumam dengan suara pelan. “Internasionale”. Belum sempat lagu kaum
proletariat disemua benua itu kami lantunkan, Danton yang berpangkat Lettu itu
memerintahkan serdadu-serdadunya mengeluarkan magazen dari bedil-bedilnya.
Mautku, belum diputuskan lewat peluru para serdadu meriam penangkis serangan
udara itu.
Dikurungan
tentara, yang mereka namakan TPS (Tempat Penampungan Sementara), kurungan yang
mereka peruntukkan buat orang-orang komunis dan yang dikomuniskan dibawah
tanggung jawab Puterpra (Perwira Urusan Teritorial Pertahanan Rakyat), di
Januari 1966, sudah mereka mulai mengambil malam, belakangan juga siang hari
kawan-kawan penghuni kurungan, lalu dibunuh di perkebunan tembakau yang di
dibelukarkan, dipinggiran sungai lalu dihanyutkan atau di paluh-paluh.
Maret
1966, seorang kawan yang dipekerjakan di Puterpra menyampaikan, bahwa namaku
dan nama seorang kawan lagi sudah ditandai, akan diambil, entah besok, entah
lusa.
Pagi
subuh para orang kurungan Puterpra itu, diperintahkan mandi di sungai Deli
dipangkal Titi di Simpang Kantor, Labuhan Deli. Begitu aturannya setiap subuh.
Malam itu aku dan kawan yang akan diambil besok atau lusa itu, sudah memasang
tekat akan menghanyut keseberang dan kabur. Kalau tertangkap, mati. Sama saja,
tidak kabur tetap juga mati.
Pelarian
berhasil, maut belum waktunya menghentikan jalan hidupku, sampai hari ini.
Padahal aku sudah berfikir, kalau mati itu cuma tidur tanpa mimpi. Dan tidak
akan pernah bermimpi dan bangun lagi. ***
“Tiada
Darah di Lamalera”, itu judul cerpen, Bung diberikutnya. Cerpen, Bung ini, tak
pelak lagi membuat aku membacanya berulang. Tahulah Bung, aku dari dulu sampai
hari ini, belumlah bisa disebutkan penulis, apalagi sastrawan. Sesudah
dikeluarkan dari kurungan, aku sesekali menulis jadi penyajak. Sajak-sajak yang
kutulis selalu kubacakan ditiap ada pertemuan, atau di Aksi-aksi Buruh, Tani
dan Mahasiswa, itupun sesudah Suharto berganti tangan di kekuasaan negeri ini.
Tak pernahlah ada dimuat dikoran-koran, apalagi dimajalah. Tak setara dengan
penelaah yang lain. Soal telaah, apalagi mengulas penulisan sastra, aku tak
berani lantam pada siapapun, kawan.
Dipelarianku
dari menghindari dibantai, diawal tahun 1967 sampai Juni 1968, aku mukim didesa
nelayan diarea kuala. Dimuara sungai Serapuh, Kuala Serapuh nama kampung itu,
dikabupaten Langkat. Pernah melaut, dengan perahu layar agak ketengahlah di
Selat Malaka, memancing ikan yang lumayan
besarnya. Sebangsa ikan tenggirilah besarnya. Tiga hari, tiga malam
dilaut, ikan-ikan itu diasinkan.
Jadi tak
pernahlah aku melihat ikan paus, dilaut. Paling-paling Lumba-lumba. Dicerpen
Bung, tersebutlah dua jenis ikan paus. Si pembunuh, jenisnya dinamakan sengguni
dan ikan paus jenis koteklema adalah jenis ikan paus buruan yang mudah
ditaklukkan.
Membaca
berulang kali, apakah aku bisa arif menafsirkan apa sebabnya Bung memilih
menjadi bagian ikan paus jenis koteklama. Jenis paus yang menyerahkan diri,
mati, untuk menjadi santapan orang-orang yang mendiami pulau kecil itu,
Lamalera. “Baleo.....! Baleo.....! Jeritan itu secepat libasan angin
bersahut-sahutan dalam lengking yang dipantulkan pasir dipantai dan batu cadas
yang mendaki tebing-tebing bukit.
Pandanglah
si lamafa, pemegang tempuling, yang
tegak berdiri tak tergoyahkan oleh angin sekuat badai sekalipun dihaluan perahu
itu. Dia yang segagah itu harus berkelahi menenangkan hatinya yang gentar dan
tangannya yang gemetar memegang tempuling seraya matanya lapar mencari bagian
tubuh kami yang paling empuk untuk dirajam.
Penduduk
desa nelayan itu terdiam, takjub, terkejut, tak percaya melihat aku sendiri
yang menghamparkan tubuhku dipasir.
Untuk
aku, aku akan memilih jadi aku, bukan menjadi paus koteklama. Cerpen ini tak
akan berubah makna dan akan mudah difahami oleh siapa saja, meski belum tentu
sama memahami apa yang menjadi tujuannya.
“Manisnya
hidup ini kawan. Hari ini 1 Mei, saat mereka yang tak punya apa-apa, kecuali
darah dan tenaga menari-nari disemua benua”.
Kubaca
ulasan Supriyadi Tomodihardjo. Meski aku kurang paham apa yang dimaksudkannya.
Tulisnya. Martin Aleida tergolong cerpenis yang harus membayar mahal untuk
memenuhi doktrin “kata lebih utama dari pada tema”, setidaknya dalam cerpennya
“Tiada Darah di Lamalera”. Selanjutanya Supriyadi diulasannya. Cerpenis bukan
sejarawan. Ia hanya mampu melontarkan isi hatinya, dengan caranya sendiri.
Sehingga Supriyadi sempat menegur Bung dengan SMS nya. “Ini bukan cerpen Bung!
Puisi!. Dan apa jawab Bung. “Memang banyak yang tidak paham. Cerpen ini hanya
untuk dinikmati, bukan untuk dipahami”. Bah, inilah. Aku tak akan seia dengan
jawaban Bung per SMS itu. Macam mana aku menikmati cerpen, dan hasil kerja seni
lainnya, kalau tak kupahami?
Persoalan,
cerpen itu puisi, atau cerpen itu bisa dituliskan dalam bentuk puisi. Kufikir
sama saja sebaliknya, puisi juga bisa ditulis menjadi cerpen, bahkan nofel.
Kalau untuk aku tergantung keperluannya. Penjelasannya seperti ini, Bung.
Ketika, aku
yakini cerpen yang kutulis tak akan ada koran maupun majalah yang akan
memuatnya, padahal cerpen itu perlu sangat kusampaikan pada orang-orang
disekitar, kaumku yang senasib dengan aku, mengapa aku harus bersitegang
membuatnya menjadi cerpen. Buat saja menjadi puisi, yang mudah dinikmati karena
dipahami bila dibacakan dengan pengeras suara maupun tidak.
Aku
pernah diajak Bung Toga Tambunan, kawanku, kampung kami bertetangga di kota
Pematang Siantar, 126 KM dari Medan arah ke Selatan, menyaksikan pameran Seni
Rupa Bumi Tarung di Galeri Nasional di Jakarta. Di Galeri yang berseberangan
dengan Stasisun Kereta Api (lupa pulak aku namanya, aku diantarkan kawan yang
baik hati di IKOHI boncengan bersepeda motor kesana). Ada beberapa model
lukisan kusaksikan disana. Yang duluan kuamati, tentu yang mudah kupahami. Baru
sesudah itu yang lainnya. Lukisan Amrus, agak kudian, penyebabnya kuperlukan
agak membuat berkerut jidadku. Beruntungnya, aku pernah membaca cerita
perlawanan kaum tani di Jengkol, setahun lebih sebelum G 30 S Letkol Untung dan
kawan-kawan terjadi. Melihat lukisan ini aku bisa memahami lewat gambaran
teraktor dan tangan yang kokoh direntangkan menghadang.
Model
lukisan seperti ini aku saja harus mengerutkan jidatku, bagaimana kalau kaumku
yang lebih sangat sederhana berfikir, memahami, maupun menikmatinya. Kalau,
untuk menikmati rupa perahu nabi NUH, siapapun barangkali pernah mendengar
ceritanya, tentang Nuh yang menghimbau kaumnya menyiapkan perahu besar untuk
menghantar mereka dan sepasang hewan yang ada di bumi ini menyelamatkan diri
untuk kelangsungan hidup manusia dan semua hewan dari kepunahan yang
diakibatkan air bah besar, yang diciptakan sang pencipta bumi ini.
Inilah
yang tersirat dan yang tersurat dibenakku, waktu membaca beberapa kali cerpen,
Bung. Aku cuma berfikir, mengapa Bung tak menjadi diri Bung di cerpen itu.
Mengapa Bung harus menjadi mamalia yang bernama paus jenis Koteklama. Ini cuma
pertanyaan, bukan berkeinginan agar Bung mengubahnya. Karena aku sudah
mengubahnya dicerita batinku sendiri, ketika sudah membacanya berulang ulang.
***
Kulanjutkan membaca “Eric, makanlah”. Tak apakan, aku tak menanggapinya. Karena,
aku harus membaca, “Langit Kedua” ***
***
Bagian
“Langit Kedua”, memuat jauh lebih banyak judul dari bagian “Langit Pertama”.
“Perang di Jero Tempo”, “Gaya Rashomon Untuk
Gerakan Yang Gagal”, “Yang Ditelan Kesunyian Sejarah dan Kesepian Korban”,
“Perempuan-Perempuan Yang Memutar Sejarah”, “Pram, Dukun, Negro, Spiritual, dan
Impian Nobel”, “Hasta Mitra di Malam Kenangan”, Ajip Urang Sunda Yang Mempersatukan”, Enam Film Melawan Satu Stigma”,
“Pelantungan”, “Tak Ada Nyanyi Sunyi Disini”, “Sebuah Gagasan Yang Tak
Mati-Mati”, “Antara Romo Dan Sulastomo”, “Mas Salim yang terhormat”,”Suara Dari
Kubur”, “Pengantar Cerita Pendek Soeprijadi Tomo Dihardjo”, “Bernala Di
Pangkuan Benua”, “Melawan Kantuk untuk sebuah Jurnalisme”, “Tak Ada Dendam Tak
Ada Yang Disesalkan”, “Akhir Hidup Pengarang Lekra”, “Ah... Ajip Rosidi”,
Mengenang Hidup Orang Lain”, “Bung Ajip Rosidi”, Surat Dunia Maya untuk Ajip
Rosidi”, “Gaya Taufiq Ismail Membungkam...”, “Ada Racun Dalam Lirik Puisi
Mutakhir Taufik”, “2011: Catatan di Bawah Lentera”, “Saut yang baik”, “Mati
Begitu Lahir”, dan diakhiri dengan surat
menyurat: dari dan ke Goenawan Muhammad “Mas Goen yang baik”, dari dan ke Gung
Ayu tentang “Pernyataan Co-Sutradara” yang anonim, Surat dari Anonymous TaoK
Co-Sutradara Jagal yang tak mau diketahui nama nya yang sebenarnya, dan
terakhir dari aku, ke aku.
Untuk
menelaah di “Langit Kedua” ini aku harus mengulang membacanya lagi dan
membacanya lagi satu persatu, tentunya terkecuali surat dari aku dan ke aku.
Aku, kata,
kawan-kawan bukan perokok. Aku tak bisa menulis menyambilkannya merokok, malah
waktu membacapun aku tak bisa sambil merokok. Cuma aku tak mau sisakan
hari-hariku untuk tidak merokok. Memang sebatang rokok Gudang Garam Merah
(bukan promosi), bisa kubagi tiga, sampai habis terbakar ke ban merahnya.
Sampai sudah panas jari-jari tangan menjepitnya. Bukan karena takut peringatan
yang diterakan dibungkusnya, tapi untuk tidak sampai hati, meminta uang ke
anak-anak membelikan rokok. Seminggu lebih, sebungkus, 12 batang. Cukuplah.
“Perang
di Jero Tempo”. Itu judul mendului
tulisan, Bung, di “Langit Kedua”. Judul dari tanggapan Bung ke Buku tulisan
Janet Steele, “WARS WITHIN”. Kesimpulan mula yang tergurus ke fikiranku bahwa
Janet taklah sepadat Bung menguasai apa yang terjadi disekitar tentang
peperangan intern majalah berita mingguan Tempo. Sikap kompromistis, penuh
pertimbangan, supaya bisa bertahan hidup. Inilah yang dijadikan Janet, bahwa TEMPO adalah “an independent magazine in Soeharto’s Indonesia”, sebagai
subjudul buku yang dia tulis, ternyata tak lebih dari sekedar sinisme yang
tidak disengaja.
Seruan
“tiarap”. Aku sepakat. Ini adalah jalan terbaik bagi kelangsungan terbitan
dalam bentuk apapun yang dilegalkan, untuk tidak diberangus kekuasaan.
Keharusan memang harus arif menguasai gejolak politik dikancah kekuasaan. Dan
ini berlaku di semua priode, baik ketika priode demokrasi liberal, di demokrasi
terpimpin, di demokrasi Pancasila (demokrasi Soeharto) dan sampai di demokrasi
hari-hari sesudah Soeharto memindahkan tangan kekuasaannya. Kalau aku ditanya
untuk tidak harus memasang kemudi strategi yang bernama lobby untuk menakar kemana
arus politik bergerak, supaya bisa bergerak, pasang terbitan ilegal. Bung ingat berapa kali HR
diberangus di priode demokrasi liberal, dipriode demokrasi terpimpin, juga di
“Tiga Selatan”. Begitu juga berapa kali Harian Harapan diberangus tak boleh
terbit di priode itu.
Jadi
kalau Janet berharap lobi sebagai piranti politik tidak dilakukan di gaya kerja
TEMPO di priode itu, itu mustahil. Bahkan bukan saja
majalah mingguan TEMPO dilarang untuk
terbit, malah orang-orangnya bisa dihilangkan secara paksa, dilarang hidup
dibumi ini. Di priode Soeharto memindahkan kekuasaan dari tangannya (ke
tangannya yang lain), ini saja Munir dengan berdarah dingin dibunuh dengan
racun di pesawat yang ke Belanda. Dan sampai hari ini, tak terjerat siapa otak
pembunuhnya.
Seharusnya,
dibalik strategi itu adalah kepentingan umum tak ditelantarkan. Memilah ,
tentulah seharusnya dilakukan dalam kepentingan pembaca yang selama ini
membesarkan. Inilah yang tak dilakukan. Benar, Bung. Karena Janet tak
menanyakan, padahal ini pilihan pilah-pilahan untuk pembaca atau hanya untuk
kepentingan TEMPO. Untuk apa dan
dikemanakan berita-berita yang diperoleh Susanto Pudjomartono CS ketika itu
kalau tak dimuat? Disimpan didalam file?
Dioper ke wartawan-wartawan asing yang beroperasi disini? Dijadikan
tawar-menawar? Atau mau ditulis kelak disuatu masa? Tak ada jawaban. Janet
sedang jatuh hati rupanya tidak tergoda untuk bertanya mengenai cacat satu ini.
Ada yang menuai dari lobi-lobi ini, ketika mereka akan meniti karier setelah
mereka meninggalkan rumah besar mereka yang bernama TEMPO. Itu jawaban, Bung, mungkin itu pulalah jawabannya, ke Janet
bila dia jeli mencari jawabannya.
Tak ada
yang disebut kawan sejati bagi Soeharto, meski sosok itu sudah mengantarkannya
kepuncak tertinggi kekuasaan. Begitu juga Benny. Yang mencoba bersikap kritis
terhadap prilaku anak-anak Soeharto, yang melakukan praktek bisnis kotor.
“Pembangkangan”,
tokoh militer itu mendorong Soeharto mencari dukungan dari kalangan muslim,
dengan Ketua Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia, B.J. Habibie, sebagai
perlambang. Begitu Jane menuliskan. Karena kedekatan TEMPO ke Benny Murdani, ICMI
memukul palu keadilan, bahwa siapa saja yang membela majalah itu merupakan
sikap yang tak terpuji, naif.
Bung
Martin,
Aku
menyebutkan priode ini adalah priode pergantian dari tangan kekuasaan Soeharto,
ke tangan kekuasaan Soeharto lain. Gonjang-ganjing pasal korupsi yang dilakukan
petinggi Demokrat, dan terakhir penggelapan pajak yang dilakukan keluarga SBY,
diramaikan. Mengapa sekarang, dipenghujung kekuasaan SBY (Demokrat). Aku
menyebutkan ini adalah gonjang ganjing yang distir pengganti tangan kekuasaan
Soeharto, yang lebih berkuasa dari tangan kekuasaan SBY. Dan bukan berarti aku
tidak maklum, bahwa para petinggi Demokrat melakukan korupsi. Malah aku yakin
juga bahwa SBY tak mungkin tak mengetahuinya, untuk tak menuliskan ada restu
darinya. Paling tidak di pilpres 2009, dana untuk memenangkan dia, atau
pengganti dana yang dikucurkan sponsor untuk dia.
Di Media,
Bung lebih maklum. Bagaimana mereka para pemilik media, menggiring pembantaian
1965 sampai ketahun 1968, kearah pembantaian itu terjadi akibat dari balas
dendam konflik horizontal. Antara dendam Masyumi dengan PKI, antara NU dengan
PKI, antara PNI dengan PKI, dll. Padahal jelas, sejelas-jelasnya yang melakukan
pembantaian itu tentara, setidaknya pembantaian itu terjadi disebabkan
provokasi media yang dikuasai tentara. Bukankah Ringkasan Eksekutif
Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Peristiwa 1965
menyebutkan bahwa yang bertanggung jawab adalah Pangkomkamtib. Kukutip
kesimpulan dari Pernyataan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Tentang
Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM Yang
Berat Peristiwa 1965-1966.
Pertanggungjawabannya
a.1. Komandan pembuat
kebijakan
a. PANGKOPKAMTIB,
pada periode 1965 sampai dengan periode 1969)
b.
PANGKOPKAMTIB, periode 19 September 1969 sampai dengan
setidak-tidaknya pada akhir tahun 1978)
a.2. Komandan yang memiliki kemampuan kontrol
secara efektif
(duty of control) terhadap anak buahnya.
Para
PENGANDA dan atau PANGDAM pada periode 1965 sampai
dengan
periode 1969 dan periode 1969 sampai dengan periode akhir
tahun
1978).
b. Individu/Komandan/Anggota Kesatuan Yang
Dapat Dimintai
Pertanggungjawaban Sebagai Pelaku Lapangan
Individu/Komandan/Anggota Kesatuan Yang Dapat
Dimintai Pertanggungjawaban
Sebagai
Pelaku Lapangan , berdasarkan rangkaian kejahatan yang terjadi serta
gambaran
korban yang berhasil diidentifikasi dan rangkaian persilangan bukti-bukti
yang ada,
maka nama-nama yang diduga terlibat sebagai pelaku lapangan dalam
peristiwa
1965-1966, terutama namun tidak terbatas pada nama-nama sebagai
berikut:
Nama-nama yang disebutkan oleh saksi-saksi,
dengan mengacu kepada
enam wilayah yang telah dianalisis oleh tim.
Komandan-Komandan dan aparatur INREHAB : Pulau
Buru, Sumber rejo,
Argosari,
Pulau Balang, Pulau Kemarau, Tanjung Kasau, Nanga-Nanga,
Moncong Loe, Ameroro, Nusakambangan, Kantor
Walikota Tomohon,
Plantungan, Sasono Mulyo, Balaikota Solo,
Nirbaya, Ranomut- Manado,
Komandan-Komandan dan Aparatur Tempat Tahanan :
Salemba, Pabrik Padi
di Lamongan, Gedung milik Yayasan Thionghoa di
Jl. Liloyor – Manado,
Penjara Wirogunan – Yogyakarta, Penjara Solo,
Kediri, Denpasar,
Aparatur Tempat Penyiksaan : Markas Kalong (Jl. Gunung
Sahari), Gang
Buntu (Kebayoran), Gedung Jl. Latuharhari, Rumah
China di Jl Melati –
Denpasar, Sekolah Jalan Sawahan – Malang,
Sekolah Machung Jl.
Nusakambangan – Malang
Komandan – Komandan dan Aparatur RTM : TPU
Gandhi, Guntur, Budi
Utomo, Budi Kemulyaan,
Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, Tim Ad
Hoc Penyelidikan Peristiwa 1965-
1966 menyampaikan rekomendasi sebagai berikut:
Sesuai dengan
ketentuan Pasal 1 angka 5 juncto Pasal 20 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia, Jaksa Agung
diminta menindaklanjuti hasil penyelidikan ini
dengan penyidikan,
Sesuai dengan
ketentuan Pasal 47 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, maka
hasil penyelidikan ini
dapat juga diselesaikan melalui mekanisme non
yudisial demi
terpenuhinya rasa keadilan bagi korban dan keluarganya
(KKR).
Demikian surat pernyataan ini dibuat sebagai
bentuk pertanggungjawaban
pelaksanaan mandat yang telah diberikan Komnas
HAM untuk melakukan
penyelidikan terhadap adanya dugaan pelanggaran
hak asasi manusia yang berat
yang terjadi dalam peristiwa 1965-1966.
Jakarta, 23 Juli 2012
TIM AD HOC
PENYELIDIKAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG
BERAT PERISTIWA 1965-1966
Ketua,
NUR KHOLIS, S.H., M.A.
Ini hasil
dari kesimpulan sebuah Lembaga Negara, yang melalui undang-undang mengurusi Hak
Asasi Manusia, bisa diutak atik oleh media, terutama yang terlihat di media
elektronik yang bernama Televisi. Dibuatlah debat yang seolah-olah independen,
padahal debat itu, mengarak ke debat kusir yang tak berujung.
Mestinya
debat itu, antara Komnas HAM dengan pihak yang dinyatakan bertanggung atas
pelanggaran HAM berat dimasa lalu, atau Komnas HAM dengan pihak Kejaksaan yang
mengembalikan dan mengkeranjang sampahkan hasil penyelidikan Komnas HAM..
Dengan begitu debat itu akan menjadi lebih bermanfaat untuk keadilan korban
kejahatan HAM berat masa lalu dan tak akan jadi seperti debat kusir, macam
ketiak ular, tak ada ujungnya. ***
Bung,
Sudah
kubaca, “Antara Romo dan Sulastomo”, sebelum resmi di luncurkan buku Bung ini,
sebelum aku tahu bahwa tulisan ini ditolak Kompas. Aku baca dibuku Bung itu,
begini bunyinya.
Yth. Sdr
Martin Aleida
Disertai
salam dan hormat,
Kami
memberitahukan bahwa pada tanggal 25 April 2012 Redaksi Kompas telah menerima ARTIKEL anda berjudul “Antara Romo Dan
Sulastomo”. Terima kasih atas
partisipasi dan kepercayaan yang anda berikan kepada Kompas.
Setelah akhirnya kami menilai dan mempelajari
subtansi yang diuraikan didalamnya, akhirnya kami menilai ARTIKEL tersebut
tidak dapat dimuat diharian Kompas.
Pertimbangan kami, isu agak
sensitive.....
Terima
kasih.
Jakarta,
24 April 2012
Hormat
kami,
Sri
Hartati Samhadi
Kepala
Desk Opini
Selama
hampir sebulan tulisan Bung ini dieramkan, begitu tulis Bung, ke Bung Atma
Kesumah, tapi menurut Kompas artikel
itu diterima pada tanggal 23 April 2012, sehari kemudian Bung terima
pemberitahuan. Untunglah aku terbiasa selalu membacakan tulisanku, juga tulisan
siapa saja diantara kawan-kawan yang kuanggap harus disampaikan. Dan waktu
jumpa bersilaturrahmi diantara para kawan-kawan yang masih bisa bertahan hidup,
juga anak-anaknya, malah cucu-cucunya dilebaran Syawal yang lalu, meskipun
diakhir bulannya, kubacakan “Antara Romo dan Sulastomo”. Tulisan Bung itu
pulalah yang membuat pertemuan Silaturrahmi, bulat sepakat bahwa kita tak
pernah meminta pemerintah meminta maaf.
Aku yakin
tulisanku, kalau kukirim ke koran-koran atau majalah tak akan dimuat. Masih
beruntung Bung, biarpun tak dimuat, mereka mengirimkan khabar ke Bung, juga
dengan alasan mengapa tak dimuat, walau hampir sebulan dieramkan. ***
Sudah 2
tulisan Bung yang kutanggapi sekali layang, di bagian “Langit Kedua”. “Perang
di Jero Tempo” dan “Antara Romo dan
Sulastomo”. Lalu kubaca lagi, tulisan
Bung berikutnya, “Gaya Roshomon Untuk Gerakan Yang Gagal”. Sudah kubaca lebih
dari dua, tiga, tulisan baik masih di priode kekuasaan masih ditangan Soeharto
atau sesudahnya, tentang Gerakan 30 September. Termasuklah tulisan John Roosa, “Dalih
Pembunuhan Massal” ini, dan “Tahun Yang Tak Pernah Berakhir”. Tapi, entah
mengapa, aku selalu merasa kurang pas. Untuk menulis tentang Gerakan itu,
jelaslah aku tak mampu, karena itu pulalah akupun tak bernafsu. Ada pertanyaan,
apa yang kurang pas.
Di akhir
bulan Juli atau sampai diawal Agustus tahun 1965, informasi itu turun sampai
ketingkat kecamatan. Kalau di Medan sampai ketingkat kelurahan, karena sudah
banyak kawan-kawan yang terpilih menjadi Lurah. Informasi menyebutkan bahwa
Dewan Jenderal akan melakukan kudeta di 5 Oktober 1965. Informasi ini, bukan
saja sampai dikalangan “kita”, tapi juga sampai kekalangan lain. Malah menurut
Manai Sofyan di bukunya “Kehormatan Bagi Yang Berhak” (judul buku ini mungkin
aku salah, tapi yakin Bung tahu apa judulnya), Chairul Saleh yang namanya
tercantum di anggota Dewan Jenderal, informasi itu sudah lebih dulu sampai ke
dia. Maklum informasi ini di dapat dari BPI (Badan Pusat Inteledjen) Badan
Intelejen Negara yang dikepalai oleh Wakil Perdana Menteri I dan Menteri Luar
Negeri Dr. Subandrio. Tak disangsikan lagi bahwa info ini juga sudah lebih dulu
disampaikan pada Pemimpin Besar Revolusi, sebab BPI bertanggung jawab langsung
kepada Bung Karno sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata dan Presiden
Republik Indonesia. Informasi ini bersamaan dengan menyebutkan, bahwa para
Perwira-perwira muda yang loyal kepada Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno,
sudah mempersiapkan kontra kudeta Dewan Jenderal, bila terjadi kudeta dihari
ulang tahun TNI yang ke 20 itu. Informasi yang jelas dari sentral ini, tak
pernah diragukan kebenarannya selama ini oleh “kita-kita”. Astaga...Bila ikhwal
ini sampai di akui di BAP, tak pelak lagi. Jatuhlah palu Teperda bagian dari
Laksus menetapkan paling rendah digolongkan di golongan A bagi yang mengaku
menerima info.
Tapi,
tanpa informasi perubahan di sebelum dini hari 1 Oktober 1965. Sentral sudah
membuat langkah mendahului rencana kudeta Dewan Jenderal pada pada dini hari,
hari itu, 1 Oktober 1965. Kejelasan ini tak pernah kita dapatkan dari buku-buku
yang terbit, baik dari tulisan yang kanan maupun yang kiri atau entah yang dari
manalah yang menyebutkan dirinya independen.
Bukankah
bila benar ikhwal ini seperti apa yang didapat John Rosa dari dokumen yang
ditulis oleh protogonis, Brigadir Jenderal Supardjo, salah seorang dari empat
deputi dibawah Letnan Kolonel Untung komandan gerakan. Dokumen itu jelas
menunjukkan bahwa Supardjo sangat yakin bahwa rencana gerakan ini, adalah
rencana sentral, dan Syam ditunjuk menjadi penentunya. Meskipun rencana gerakan
ini menurut Supardjo dilakukan terburu-buru.
Jelaslah.
Bagaimana tidak? Gerakan ini bukan saja memundak rencana yang dilakukan
terburu-buru, tapi juga gerakan ini bukan, rencana sentral. Karena itu, rencana
ini melanggar konstitusi. Konstitusi yang diputuskan Kongres membuat ketentuan
yang mengikat sentral sampai ketingkat ressort mematuhinya. Pada konstitusi,
yang menentukan semua program dan arul kerja adalah Kongres. Diantara Kongres
bila diperlukan ada Kongres Luar Biasa, atau Sidang Comite Central. Jangankan
Keputusan Sidang Comite Central, Sidang Polit Biro pun tak dilakukan memutuskan
gerakan yang mendahului rencana kudeta Dewan Jenderal itu. Sebenarnya, Polit Biro tak mesti bertanggung
Jawab menyusun Otokritik Polit Biro di 23 Mei 1966. Karena keputusan ini bukan
bulat diikuti oleh para anggota Polit Biro. Tapi tak apalah, Sudisman dan
kawan-kawan yang lain yang masih bisa menghindar dari penangkapan Angkatan Darat yang sudah
dikuasai Soeharto, mau memikul beban penyelewengan, di bidang ideologi, politik
dan organisasi itu. ***
Ah,
mengapa aku ikut hanyut kesana. Niatku kan sebenarnya menanggapi tulisan, Bung.
Alah, tak adalah dengan apa yang disebut-sebutkan orang bahwa Njoto terlalu
Sukarnois. Benarkah Njoto menulis komentar paling pendek dirubrik pojok halaman
depan Harian Rakyat, Cekak Aos, tak
lama menjelang G30 S. Komentar (yang sering ditulis dengan gaya menyindir) itu
berbunyi: Madiun= Malang, terdorong oleh mendengar sesuatu, yang kalau terjadi
berdampak luas terhadap kehidupan politik? Aku tak percaya Njoto tak tahu apa
bedanya Provokasi Madiun dengan Aksi Untung di dini hari 1 Oktober 1965 itu.
Aku tak percaya Njoto tak bisa membedakan.
Pada
Kabinet Hatta, pemerintahannya memaklumatkan Reorganisasi dan Rasionalisasi
TNI. Yang terselubung dibalik maklumat ini adalah pembubaran TNI Masyarakat.
Kolonel Sutarto Komandan Divisi Panembahan Senopati, divisi yang anggotanya
sangat berdisiplin dan memiliki persenjataannya lengkap, dipertengahan Mei,
Markas Besar TNI di Jokja memaklumatkan perintah non aktif dan pasukannya
diperintahkan agar melapor ke Markas Besar. Kolonel Sutarto bersama komando
bawahannya menentang perintah Markas Besar. Sikap Sutarto dan pasukannya
didukung Laskar-laskar penentang Re-Ra. 20 Mei bertepatan dengan peringatan
Hari Kebangunan Nasional di Solo, Divisi Panembahan Senopati menggelar
demontrasi dan parade juga diikuti beberapa batalyon dari kesatuan Pesindo
bersenjata lengkap dan Tentara Laut Republik Indonesia. Demonstrasi dan parade
bersenjata itu menyuarakan dukungan kepada Kolonel Sutarto melanjutkan kepemimpinan
sebagai komandan Divisi Panembahan Senopati dan menuntut pemerintah Hatta
membatalkan Re-Ra. 2 Juli 1948, Kolonel
Sutarto, ditembak mati, pembunuhnya tak
dikenal.
Dibulan
September 1948, Pasukan Siliwangi yang ditempatkan tersebar di sekitar Keresidenan
Surakarta, menculik 2 orang anggota PKI Solo. Terbukti, keduanya Selamat
Widjojo (sekretaris FDR Solo) dan Pardijo, ditahan di pabrik Gula Tasik Madu
yang dipakai sebagai Markas Kesatuan Siliwangi. Lalu dipindah ke kamp
Pemerintah di Jokja.
Pada 7
September 1948, Letkol Suadi Komandan Divisi IV/Panembahan Senopati, menugaskan
Mayor Esmara Sugeng, Kapten Sutarto, Kapten Suprapto, Kapten Supardi dan Kapten
Suradi, mengusut penculikan, tak kembali. Sepeda mereka dijumpai didepan Markas
Kompi Lucas Siliwangi.
Banyak,
penculikan yang dilakukan pasukan Siliwangi memulai provokasi ini. Penculikan
yang disertai pembunuhan.
Jadi tak
mungkin Njoto se Khilaf itu, menyamakan provokasi Madiun dengan Gerakan Untung
di dini hari 1 Oktober 1965. Tertembaknya Mayor Sutarto, dan penculikan
perwira-perwira dari Kesatuan Panembahan Senopati, perwira-perwira dari
Kesatuan Tentara Laut Republik Indonesia, perwira-perwira dari Kesatuan Laskar
Pesindo, memulai provokasi.
Ketika
Mayor Sutarto terbunuh, Amir Sjarifuddin dan Muso sedang berada di Cepu,
keduanya sepakat agar Amir, Ketua Komisi Militer CC menginstruksikan agar Sakirman wakil Ketua
Komisi Militer CC dan Perwira-perwira Kiri agar berangkat ke Solo, berusaha
melokalisir peristiwa Solo tidak menjalar kedaerah lain.
Ya,
memang usaha John Roos menguak pembantaian diakhir tahun 1965 sampai ke tahun
1968 itu, wajib kita nyatakan hormat kita ke dia. ***
Ulasan
Bung pada buku “Menyeberangi Sungai Air Mata”, tulisan Antonius Sumarwan. S.J
yang relegius, benarkah bukunya itu, menayangkan, “yang ditelan kesunyian
sejarah dan kesepian korban”, seperti apa yang tergambar ditelaah, bung. Tapi
apa yang akan kuracik untuk mengulas, ulasan Bung? Tulisan Bung sangat cukup
bagus, mengulas. Karena, kalau aku harus
menjawab bagaimana aku bisa bertahan atau bagaimana aku menemukan kekuatan,
taklah “kubayangkan Kristus yang tergantung dikayu salib, penuh luka dan
berlumuran darah”.
Kristus
itu, Tuhan, dia tak akan mati, dia hidup selama-lamanya, karena dia tak akan
mati tak pulalah merasa sakit. Aku pasti merasakan sakit bila dipukuli apalagi
disalib. Dan kalau aku diminta jawaban apakah aku rela mati saat itu, ditembak
sekalipun untuk tidak merasakan sakit, jelas jawabku aku belum mau mati. Mengapa begitu, karena aku bukan
Kristus. Sekali lagi kubilang Kristus
itu Tuhan. Tuhan menurut kepercayaan ummat Nasrani. Malah dia yang menentukan
siapa yang bisa bertahan hidup dan siapa yang harus mati.
“ Suatu
hari saya seorang diri dibawa kesebuah ruang lain. Ruang ini lebih sempit dari
ruang tempat kami diperiksa dan diperkosa beramai ramai dua hari lalu. Di dalam
ruang, ketika saya masuk, ternyata sudah menunggu banyak sekali wartawan. Tiga
orang algojo yang sudah berkali-kali memeriksa dan memerkosa saya memerintahkan
agar saya menjawab semua pertanyaan para wartawan dengan “ya”. Itu yang Bung
kutip dari buku Suara Perempuan tragedi ’65, sebagai pembuka ulasan Bung yang
Bung beri tajuk, “Perempuan-Perempuan Yang Memutar Sejarah”.
Aku masih
terpacak ditulisan sebelumnya. Sambil senyum miris, Kueja balik jawaban
“Menyeberangi Sungai Air Mata”, aku menemukan kekuatan, ketika “Kubayangkan
Kristus yang tergantung dikayu salib penuh luka dan berlumuran darah”. Tapi
apakah dia bisa menemukan kekuatan dari membayangkan Kristus itu perempuan bukan
Tuhan, diperkosa berulang-ulang dan beramai-ramai. Dan aku menjamin bila dia
perempuan akan menyesal menemukan Kristus seperti itu. Dan menjawab “ya”
disemua jawaban para wartawan dari Kerajaan Roma atau wartawan lokal orang
Jahudi yang memohon agar Kristus yang disalib, bukan bandit residefis
benggolan. Sesudah dia turuti apa yang menjadi kemauan tiga algojo penyiksa dan
pemerkosanya, dia malah diperkosa lagi berkali-kali. Sebagai hadiah....
Itulah
sebabnya barangkali kalau diantara kami laki-laki, bekas tahanan tentara
didekade demokrasi pancasila, kumpul cerita tentang penyiksaan yang menimpa
diantara kami ketika diperiksa ada saja yang membuat gelak terkakak-kakak, Tapi
bila diantara kami ada kawan perempuan tak akan seorangpun diantara mulut kami
yang menyungging gelak, apalagi sampai terbahak-bahak. ***
Bung
Martin,
Aku
memang belum membaca “Pramudya Ananta Toer dari Dekat Sekali”, buku tulisan
adiknya itu. Tapi waktu aku membaca tanggapan Bung terhadap (kupakai tatabahasa
yang Bung tujukan kepada Salim Said. Di SMP barangkali tak pernah dia belajar
tatabahasa Indonesia) buku itu, membuat aku terpaksa menyebutkan bahwa Koesalah
Soebagio Toer kurang cerdas menulis buku ini. Sebab, sosok Pramudya semua orang
sudah tahu, baik kawan, lawan. Orang-orang
ditanah air, diluar tanah air dimuka bumi ini agaknya sudah tak
memerlukan buku setebal apapun untuk mengenalkan Pram dari dekat sekali pun.
Kalau
sudah mati, apapun wasiat siapapun dia, tak ada urusannya lagi. Orang mati, dia
sudah di sebut mayat. Mengurus mayat, hanya bagi orang yang hidup. Tak mungkin
Pram tak menyadari ini. Jadi tak perlulah Kusalah Soebagio Toer, mengumbar
cerita ini hanya untuk akan menunjukkan bahwa sosok Pram meski sudah tidak
berdaya dan tak bisa berbuat apa-apa lagi, sudah tak bernyawa lagi, dia tetap
mendapatkan kehormatan sebagai ummat Islam dan sebagai sosok pejuang orang yang
dinistakan oleh rezim haus darah Soeharto.
Inilah
yang dilupakan, memilah meskipun itu adalah catatan harian. Memang catatan
harian adalah rekaman “semua itu sebagai kenyataan, bahwa disamping semua yang
sudah pernah ataupun sedang ditulis mengenai Mas Pram masih ada hal-hal lain
yang harus dikemukakan, Dengan demikian orang dapat memahami Mas Pram sebagai
sosok yang nyata, bukan manusia diangan-angan atau lamunan”, tulis sang adik.
Bung
Martin! Untuk mengumbar sosok yang nyata, bukan manusia diangan-angan atau
lamunan. Aku malah berfikir, penyataan ini bertolak belakang dengan apa yang
ditulis oleh adik kesayangannya itu. Kusimak di kebebasan berpendapat,
disubjudul tulisan Bung. Aku berharap Bung simak juga tulisan Bung di “Perang
di Jero TEMPO” di subjudul, episode
Pramudya. Baik Aidit maupun Pram sudah
tak bisa membaca buku Koesalah itu lagi, apalagi menuliskan bantahannya.
Malah aku
yang keberatan, bukan Sobron atau Asahan
meski mereka berdua itu adik-adik kesayangannya. Sedikit memang yang kuketahui
tentang UUPA yang disebut Landreform itu. UUPA bagaimana bisa dilaksanakan baik
di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali, PKI terikat atau telah
terbogol NASAKOM, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, tuantanah-tuantanahnya
yang akan disasar aksi sepihak mayoritas orang-orang Nahdatul Ulama, di Bali
Partai Nasional Indonesia. Gamanglah aku percaya, Aidit sampai hati menyombong:
“Para petani itu langsung cabut golok”! Ini pulalah yang menjadi umpatan yang
berseberangan dengan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Yang akhirnya, menyeret
pelanggaran HAM berat itu tumpul, menjadi dendam konflik horizontal. ***
Ada kisah
dibuku Bung yang membuat terkadang aku terseret geli, tapi juga marah. Coba
Bung pikirlah, Ada yang bukan orang komunis lebih tahu tentang PKI dari pada
orang komunis. Mereka lebih tahu tentang Aidit, dari Njoto. Begitu pulak ada
yang lebih tahu tentang Njoto dari Aidit. Seperti juga ada yang lebih tahu bahwa Lekra adalah
organisasi PKI, dari pimpinan-pimpinan Lekra sendiri. Sebenarnya, kalau aku
berhadapan dengan orang seperti ini, tak akan kuladeni seperti sampai-sampai
memberikan penjelasan rumit. Kalau iya mengapa rupanya. Sama kalau tidak
mengapa rupanya, tak ada undang-undang yang dimaklumatkan untuk melarang atau
membenarkan hal itu, pada waktu itu. Semua partai pada waktu itu punya lembaga
kebudayaannya sendiri. Ada perbedaan barangkali seperti apa hubungannya.
Aku
selalu memilih, kalau pun aku tahu orang yang bertanya itu memerlukan, memang
betul-betul memerlukan. Dengan menyebutkan di Comite Central PKI ada Departemen
Kebudayaan, kepala Departemen Kebudayaan nya HR Banharo. Penunjukan ini
dilakukan di Kongres PKI terakhir. Di DPP Lekra orang pertamanya disebut
Sekjen, Sekjen diangkat atau ditunjuk oleh Kongres Lekra, Kongres Lekra
terakhir menunjuk Jubaar Ajub menjabat Sekjen. Kalau benar Lekra dibawah PKI,
mengapa bukan HR Bandaro yang menjadi Sekjen DPP Lekra. Tak akan kubantah bahwa
di Lekra ada yang anggota PKI, bahkan pimpinan PKI. Begitu juga ada anggota PKI
menjadi Lekra, bahkan ada yang menjadi pimpinan Lekra, Menjadi anggota PKI
saratnya sendiri, begitu juga Lekra yang utama mesti pekerja seni. Taklah mungkin Sitor Situmorang mau dijadikan
pimpinan Lekra pasti dia memilih Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), karena dia
PNI.
Yang
lain. Tentang Revolusi Kebudayaan Di Tiongkok. Aku pernah dapatkan tulisan dari
seorang kawan, Tulisan itu berbentuk buku, dikeluarkan Departemen Agitasi dan
Propagan MLPD (Partai Marxisme-Leninisme Jerman), dalam bahasa Inggeris yang
diterjemahkan dari bahasa Jerman. Kawan ku itu mencoba menerjemahkannya kedalam
bahasa Indonesia. Buku itu tak bisa kumiliki, meski akan kufotokopy, tak
diijinkan. Ada yang menarik kubaca dibuku itu, tentang Revolusi Kebudayaan.
Kusimpulkan, di negeri-negeri yang ada Partai Komunis-nya selalu organisasinya punya
dua lembaga tertinggi yang sama kedudukannya dan kedua lembaga ini bertanggung
jawab ke Kongres, yaitu Komite Sentral dan Komisi Kontrol. Partai Komunis
Tiongkok entah mengapa dan entah apa sebabnya di Kongres-kongres-nya tak pernah
dibentuk Komisi Kontrol. Barangkali pernah ada tapi, membacanya, aku condong berfikir pengalaman
PKUS dipriode Stalin PKUS, dia (Stalin) anggota
Komisi Kontrol dengan yang lain, dia juga menjabat Sekjen PKUS.
Bagaimana mungkin dia mengontrol dia. Tiongkok terakhir di tahun 1966, ada
bayang-bayang melorotkan Demokrasi Rakyat kearah kapitalis birokrat, lewat
semua alat-alat produksi di kuasai negara (BUMN kalau di Indonesia). Siapa yang
mengontrl ini? Tak ada. Komisi Kontrol tak ada di PKT. Ini asalmuasalnya. Kontrol
yang efektif, Rakyat. Kaum Buruh dan Kaum Tani. Kaum Buruh dan Kaum Tani itu
sejatinya menguasai semua alat-alat produksi, bukan negara. Demokrasi Rakyat ke
Sososialis mengharuskan alat-alat produksi dikuasai kaum buruh dan kaum tani.
Dan jalan yang harus di tempuh ini kalah. Komite Sentral PKT tetap
mempertahankan Theng Sao Ping dan yang lain-lainnya yang se ide. Mao sudah tak
bisa berbuat apa-apa.
Di Uni
Sovyet, yang telah menjadi negeri Kapitalis Birokrat, runtuh, jatuh menjadi
negeri Kapitalis. Tiongkok, dengan semboyan Sosialisme Berkepribadian Tiongkok,
apakah ini jalan Sosialisme seperti apa yang sejatinya menjadi cita-cita Marx?
Mengapa
aku ikut-ikutan mempermasalahkan ini, dalam menanggapi buku Bung ini? Sebut
sajalah ikut-ikutan. Kuakhiri, tanggapan, atau telaahku terhadap buku Bung
“Langit Pertama Langit Kedua”. Kututup dengan sepotong cerita cantik. Cerita cantik
kataku. Itu menurut aku. Entah bagi Bung, atau bagi yang lain. Lagipula menurut
kata hatiku (ketatiku, begitu sebut kita sehari-hari di Medan). ***
Begini cerita mantan kopral serdadu Rizal:
Hujan deras diakhir
tahun dinihari tadi, pagi sebelum apel pagi sudah reda. Begitu Rizal
memulai gaya tulisan dimajalah-majalah atau Koran-koran. Gelakpun menjadi awal
pembuka. Sebelum lonceng apel berdentang dari portir, kawan-kawan yang
dimandahkan (dimandahkan, untuk tak menyebutkan di kerja paksakan) keberbagai
perkebunan sudah diberangkatkan pkl. 05:30 pagi.
Kebetulan, apel
pagi hari itu, bersamaan dengan upacara bendera disetiap minggu di hari Senin.
Lain lagi di tanggal 17 disetiap bulan. Persis semua jadwal yang diwajibkan
seperti perilaku tentara, sampai-sampai area hunian para pemandah warga bebas
disekitarnya menyebutkan orang-orang dari barak. Lumayan daripada disebut
orang-orang pemberontak G 30 S/PKI.
Tapi, meski dengan
sebutan itu, banyak kawan-kawan yang dilamar, ingin menjadi isteri. Sudah
belasan kawan-kawan yang dimandahkan nikah dengan putri-putri ayu disekitar
barak-barak hunian para orang kurungan itu.
Kumpulan itu gelak lagi.
Tepat pukul 07:30,
upacara penaikan bendera dimulai. Tiap Kepala Kompi melapor (yang
benarkan komandan kompi), itu yang membedakan dikompi sebenarnya dengan dikompi
kurungan Area Paksaan itu. Laporan jumlah anggotanya, jumlah pemandah dan yang
sakit dikompinya. Baru menyusul penaikan bendera, pembacaan Sapta Marga dan
Sumpah Prajurit oleh mantan serdadu. Para mantan serdadu yang di inrehabkan
ini, bukan hanya pasih mengucapkan Sapta Marga dan sumpah Prajurit tapi juga
melaksanakannya dengan benar dan itulah penyebabnya mereka diharuskan menjadi
penghuni Inrehab ini. Menyusul pembacaan Pancasila ditunjuk saudara laki-laki
tertua dari seorang mantan Komandan Brigif 7, Letkol Maliki. Orangtua itu juga
seorang pejuang di Medan Area, seorang komandan laskar tanpa ikut menjadi
tentara.
Orang tua itu berjalan
sigap seperti serdadu, lebih tepatnya serdadu cadangan atau serdadu pensiunan.
Maju, keluar dari barisan berbanjar, menghadap Inspektur Upacara Pembantu
Letnan Satu CPM yang sekalian wakil komandan Inrehab. Memberi hormat,
menundukkan kepala. Lalu melapor siap membacakan Dasar Negara Pancasila. Balik
kanan menghadap ke barisan para penghuni Inrehab. Berdiri tegap.
“Pancasila”, orangtua
itu memulai lantang. Semua yang diapelkan pagi itu yang masih dalam keadaan
siap gerak, mengikuti. “Satu, Ketuhanan Yang Maha Esa” , lantang juga dijawab
para peserta apel.
“Dua, Kemanusiaan Yang
Adil Dan Biadab”, para peserta apel diam. Inspektur Upacara memerintahkan,
mengulanginya. Orang tua itu tetap siap dan lantang mengulang dari mula Dasar
Negara itu. Tapi sampai pada Dasar Negara yang kedua, orangtua itu tetap
menyebutkan, “Dua, Kemanusiaan Yang Adil Dan Biadab”.
Inspektur Upacara
memerintahkan lagi agar diulangi. “Panca Sila”, orangtua itu mengulangi lagi
dengan lantang. Para peserta apel mengikuti. Juga ketika orangtua itu
mengucapkan, “Satu, Ketuhanan Yang Maha Esa”, tetap ikut menyebutkannya. Tapi,
kala dasar Negara yang kedua, orang tua itu tetap menyebutkan “Kemanusiaan Yang
Adil Dan Biadab”, barisan berbanjar empat para orang kurungan itu diam membisu.
“Ganti”, perintah
Inspektur Upacara.
Akhirnya Upacara Bendera
pagi itu berakhir, meski sempat tersekat dipembacaan Dasar Negara Pancasila.
Tapi ada yang terganjal. Susahnya menahan gelak, sampai akhirnya pecah dijalan
menuju kebarak masing-masing.
“Aku dan beberapa
kawan”, Rizal melanjutkan ceritanya. Mendatangi barak Orangtua sipembaca
Pancasila yang membuat seluruh penghuni Area Paksaan itu membiarkan jantung
berdebar kencang dan payahnya menahan gelak.
Orangtua itu tak sepakat
disebut bahwa dia salah menyebutkan Sila Kedua dari Dasar Negara itu, apalagi
kalau dia disebut tak hapal. “Aku tak salah, aku hapal. Bukankah sila kedua
itu,memang itu. Kemanusiaan yang adil dan biadab?”. “Salah”, serentak kami
menjawab. “Jadi apa?”. Juga serentak kami menjawab, “Kemanusiaan yang adil dan
beradab”. “Tadi aku menyebutkan apa?”. Gelak kami tak tertahan lagi. Orang tua
itu bertahan tak salah, apalagi kalau disebut tak hapal.
Dari pintu besi blok,
terdengar teriakan mantan Serma Sardjo, “Ancak”. Pertanda siap mengambil wuduk
dan tempat bersujud, ke blok A. Waktu Magrib sudah dekat. ***
Malam di blok B inrehab
Sukamulia, dari jerejak besi Sukamulia terlihat bulan hampir penuh. Sangat
berbeda dengan kurungan di bekas gedung SD Abadi dijalan Gandhi. Empat setengah
tahun aku menjadi penghuninya jangankan melihat bulan, melihat mataharipun aku
tak pernah.
Ketika kawan-kawan sudah
tak ada lagi yang bisa diajak bincang-bincang, ada yang sudah tertidur dan
asyik dengan kesendiriannya. Gelak, tadi sore disudut yang terlindung lima sel
dari portir tempatku kerja menyelesaikan ukiran pesanan Pendeta Protestan itu,
mengusik benakku kembali. Benarkah Orangtua itu salah menyebutkan sila kedua
dari Dasar Negara Pancasila. Kemanusiaan yang Adil dan Biadab. Apakah
Kemanusiaan yang Adil dan Berabab bisa disebut pada apa yang kudapat dan
didapatkan kawan-kawan ketika menjadi penghuni kurungan dibekas Gedung SD Abadi
di jalan Gandhi atau dimana saja hunian yang dijadikan tentara menjadi
kurungan? Apakah Kemanusian yang Adil dan Beradab yang kudapat dan yang didapat
kawan-kawan ketika diperiksa diberbagai Markas Tentara, yang mereka
namakan, Sudam I, Seksi I, Puterpra, Teperda dan berbagai tempat yang menjadi
markas Laksusda. Apakah Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, ketika aku dan
anak-anak, ibu, isteri suami, kakak dan adiknya yang kehilangan, ayahnya,
ibunya, anak-anaknya, kakak-kakaknya, adik-adiknya, kerabatnya. Dibunuh setelah
dikurung ditempat-tempat yang dijadikan Tentara menjadi kurungan, tanpa pernah
dihadapkan kemahkamah.
Baiknya kuajak tidur
diri ini. Aku teringat ungkapan moyangku, orang Batak. Dang natartangishon,
tomagon datinortorhon. Mengapa mesti ditangisi, baiknya ditarikan.
Masalahnya, tarinya.*** Astaman Hasibuan
Medan, 14 Maret 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar