Senin, 22 Juli 2013

Pulangkan Mereka

Penghilangan Paksa dan Kehancuran Organisasi Buruh
Perkebunan Sumatera Utara, 1965-1967

Pengantar

Perkebunan di Sumatera Utara merupakan sumbangan utama bagi devisa pemerintah Indonesia. Produksi tanaman dari perkebunan besar itu memberikan kontribusi 4 miliar dolar AS. Jumlah itu berasal dari hasil 4,41 juta ton per tahun. Sekitar 27 persen dari bentangan alam Sumatera Utara merupakan lahan perkebunan atau seluas 1,92 juta hektare yang terdiri dari 15 kabupaten (kontan, 27 Mei 2012). Perkebunan ini pada masa kolonial Belanda dikenal sebagai cultuurgebied atau perkebunan Deli. Pada waktu itu areal perkebunan terletak dipesisir bagian timur Sumatera. Namun sejak 1970-an telah meluas jauh hingga bentangan alam bagian barat Sumatera. Awalnya yang menggerakkan perkebunan Sumatera Utara ini seluruh komponennya diimpor dari luar mulai dari modal, teknologi,staf ahli hingga tenaga kerja. Tenaga kerja didatangkan dari wilayah Cina bagian selatan dan kemudian buruh didatangkan dari Jawa dengan status kerja kontrak. Pada masa kolonial buruh perkebunan tak diizinkan beraktivitas politik termasuk berkumpul dalam organisasi massa. Kaum buruh perkebunan dikenakan poenale sanctie. Buruh kontrak yang tidak patuh mendapatkan hukuman pemotongan upah dan penambahan jam kerja. Sedangkan, buruh yang melarikan diri diwajibkan membayar biaya yang digunakan perkebunan untuk melacak dan membawa kembali buruh kontrak. Hukumman itu berlaku hingga memasuki priode pendudukan Jepang.
Pada 1957-1958 Presiden Soekarno mengumumkan pembatalan Konferensi Meja Bundar (KMB). Kondisi ini mengakibatkan pengambilalihan perusahaan-perusahaan perkebunan asing diseluruh perkebunan Sumatera Utara. Pimpinan militer mengambil banyak wewenang pada perusahaan milik Belanda itu di Sumatera Utara. Penguasaan perkebunan oleh pihak militer adalah untuk mengontrol kaum buruh perkebunan yang bergejolak sejak 1950-an hingga 1960-an. Selain itu, pada 1957 Soekarno menyelenggarakan demokrasi terpimpin dan partai serta organisasi massa bertumpu pada dirinya. Sementara itu, Angkatan Darat menguasai direksi perkebunan dan mengontrol konflik bersenjata. Kondisi itu membuat Dewan Banteng pimpinan Letkol Simbolon bergerak mundur hingga kepedalaman Tapanuli.
Pemogokan yang dilancarkan oleh kaum buruh perkebunan di Sumatera Utara bertujuan mendapatkan hak mereka seperti catu makan, upah, dan perumahan. Hampir seluruh tuntutan kaum buruh disana dipenuhioleh pihak perusahaan. Sementara itu, pimpinan kaum buruh dalam dewan perusahaan untuk mengontrol produksi. Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri) misalnya menonjol dalam aksi tuntutan kaum buruh di provinsi tersebut. Demikian pula Barisan Tani Indonesia (BTI) mendukung kaum petani di Suamtera Utara untuk menguasai tanah-tanah bekas perkebunan. Situasi ini meresahkan para pemilik kapital, terutama dari Amerika Serikat (AS) dan Eropa, seperti Belanda, Belgia, dan Inggris. Produksi perkebunan tetap berjalan dengan pengorganisasian kaum buruh dan tidak ada anggota Sarbupri yang tidak mendapatkan upah dan hak-hak lainnya.
Meletusnya peristiwa Gerakan 30 Sepetember (G 30 S) 1965 di Jakarta membuat kondisi kehidupan kaum buruh dan petani di Sumatera Utara terbalik 180 derajat. Mereka diusir dari pekerjaannya di perkebunan. Mereka pun diperiksa dan digagahi di sebagian kamp tahanan yang dibentuk di kota dan desa. Pimpinan yang aktif dalam Sarbupri, terutama dalam Dewan Perusahaan, pimpinan BTI dan orang-orang yang mengorganisir lingkungan desa seperti Pemuda Rakyat (PR) dibawa ke kamp dan diambil untuk dihilangkan paksa di aliran sungai seluruh Sumatera Utara. Setidaknya tercatat ada tiga wilayah korban penghilangan paksa ataupun dibunuh yakni Labuhan Batu, Simalungun dan Langkat. Selain itu, ada tempat tahanan disebut Tempat Penampungan Umum (TPU), dan tempat Penitipan Sementara (TPS). Pada umumnya TPU berada di Kota Medan, sedangkan TPS berda di kecamatan. Di kedua tempat tersebut terjadi banyak penghilangan paksa dan pembunuhan. Pengambilan paksa para tahanan terjadi sejak Nopember 1965 dan terus berlangsung hingga Maret 1967. Beberapa bekas tahanan politik (tapol) menyatakan bahwa penyusutan pengambilan paksa terjadi setelah pasukan Brawijaya masuk dan menertibkan Komando Aksi dan Tentara Bukit Barisan dari pembantaian massal.  
Meskipun penghilangan paksa dimulai pada November 1965, penyerangan dan pembakaran terhadap organisasi serikat buruh dan Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah berlangsung pada Oktober. Situasi ini berbeda dengan wilayah lain seperti Jawa dan Bali akibat dari peristiwa G 30 S 1965. Di Sumatera Utara, terutama di Medan. Tindakan untuk menghancurkan PKI dan terutama organisasi buruh sangat cepat. Pada 12 Oktober 1965 kantor Sarbubri yang juga kantor Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang terletak di Jalan Gatot Subroto, Medan, dibakar dan dihancurkan oleh Komando Aksi yang dikawal oleh tentara. Demikian pula, pada 16 Oktober kantor Comite Daerah Besar (CDB) PKI Sumatera Utara  yang terletak di Jalan Sisingamangaraja di depan Makam Pahlawan, Medan dibakar oleh organisasi yang sama dengan dukungan tentara. Apa yang menyebabkan penghancuran organisasi massa dan PKI ini sangat cepat dilakukan oleh Komando Aksi dengan bantuan tentara? Apakah tindakan penghancuran Sarbubri berkaitan dengan kepentingan kapital perkebunan asing? Proses penghilangan paksa para pimpinan organisasi massa di perkebunan banyak difasilitasi oleh perusahaan perkebunan. Para korban yang selamat dan kami wawancarai mengatakan bahwa, “Pengambilan korban dengan menggunakan truk dan hansip perkebunan”. Juga, penting diuraikan tentang bagaimana pola penghilangan paksa para pimpinan organisasi massa itu? Apa polanya mirip dengan yang berlangsung di pedesaan Jawa, bahwa pimpinanlah yang pertama kali dilenyapkan agar mudah menganiaya anggota dan menghancurkan serikat buruh serta organisasi massa?
Agar dapat memahami pola penghilangan paksa terhadap pimpinan Sarbupri dan organisasi massa serta kaum kaum tani perlu diberikan gambaran latar belakang perkebunan Sumatera Utara. Aktivitas apa saja yang dilakukan oleh pimpinan serikat buruh dan organisasi massa di perkebunan dan pedesaan. Pada akhirnya aktivitas mereka pun dibungkam untuk selamanya oleh militer demi kepentingan kapital. Kelas pekerja perkebunan dan petani liar yang menduduki tanah perkebunan mempunyai basis dan dukungan yang berbeda. Meskipun kedua kelas tersebut tidak terlepaskan dalam menghadapi perusahaan perkebunan.

Kaum Buruh dan Petani “Liar” di Perkebunan Sumatera Utara

Generasi pertama buruh perkebunan Sumatera Utara dikenal dengan panggilan “Jakon” atau “Jawa Kontrak”. Mereka datang dari Jawa mulai awal abad ke-20 dan bekerja di perkebunan dengan dikenakan sistem kerja kontrak. Perusahaan perkebunan memberlakukan sistem kerja kontrak hanya untuk buruh yang berasal dari luar Sumatera Utara. Hingga 1930 perusahaan perkebunan telah telah mendatangkan hingga mencapai satu juta lebih buruh kontrak yang terdiri dari pria, perempuan dan anak-anak. Mereka bekerja di perkebunan tembakau dan karet. Pihak perkebunan akan menghukum buruh perkebunan yang tidak patuh terhadap aturan perusahaan, pindah ke perkebunan lain, atau kabur dari perkebunan.  Akibat sistem kontrak itu banyak buruh yang dikenakan hukuman gantung, penjara dan bentuk penyiksaan lain. Kaum buruh perkebunan pun dilarang untuk mendirikan atau menjadi anggota organisasi serikat buruh. Sebaliknya, organisasi massa juga tidak diperbolehkan praktik atau melakukan aktivitasnya di perkebunan (Bremen 1997:56).
Selain itu rasialisme dan diskriminasi dijalankan oleh perusahaan perkebunan. Misalnya, orang Batak dari Tapanuli banyak yang bekerja di perkebunan sebagai kerani atau juru bayar pengupahan kaum buruh. Suku Batak Tapanuli memandang buruh kontrak sebagai pekerja yang buruk dan menjadi musuh alamiah mereka. Demikian pula, perusahaan perkebunan tidak menyelenggarakan sekolah bagi anak-anak “Jakon”. Pihak perusahaan sangat minim menyelenggarakan kesehatan bagi kaum buruh. Buruh perkebunan disediakan pondok sederhana dipinggir perkebunan. Pihak perusahaan juga memberikan sebidang tanah dipinggir perkebunan agar buruh dapat bercocok tanam. Cara perkebunan seperti itu dilakukan agar ongkos reproduksi menjadi lebih murah. Cara perusahaan itu juga untuk tidak memiskinkan sama sekali kaum buruhnya. Dalam kondisi seperti itu kaum buruh dapat bekerja di perkebunan dan bercocok tanam ditanah-tanah yang disediakan. Sepanjang masa kolonial buruh perkebunan melakukan perlawanan tanpa henti terhadap perusahaan. Mereka secara individu dan spontan melawan tuan dan asisten perkebunan. Banyak tuan dan asisten perkebunan yang terbunuh oleh pisau “penderes” pohon karet.
Pada pendudukan militer Jepang perkebunan digunakan untuk penanaman tanaman makanan. Buruh perkebunan oleh militer Jepang diizinkan untuk menduduki dan mengolah tanah perkebunan. Hampir sekitar 250 ribu hektare dari 700 ribu hektare lahan perkebunan diduki kaum buruh. Namun demikian kelas pekerja perkebunan tidak lepas dari kekejaman militer Jepang dan hampir separo dari jumlah buruh perkebunan dipekerjakan sebagai romusha di pedalaman Sumatera Selatan, Kalimantan, dan Birma. Diperkirakan hampir lima puluh persen dari jumlah keseluruhan kuli kontrak tidak kembali dari kerja paksa sebagai romusha (Stoler 1996:76).
Setelah Perang Dunia II hampir separo perkebunan rusak total dan yang sangat penting adalah pihak perusahaan mengalami kekuarangan buruh. Banyak pemilik perusahaan perkebunan yang balik ke Sumatera Utara lagi berkeinginan untuk kembali ke masa perkebunan kolonial. Sementara itu sekitar 130 ribu perkebunan telah diduduki oleh bekas kuli kontrak. Perusahaan perkebunan tidak dapat lagi menjalankan praktik kerja kontrak tertutup dan mereka mesti mengizinkan serikat-serikat buruh untuk membela kepentingan kaum buruh perkebunan. Sarbupri yang berdiri pada 1946 sangat aktif membela hak-hak kaum buruh perkebunan. Tahun setelah pergolakan daerah, perkebunan lama seperti Labuhan Batu, Simalungun dan Langkat mulai didatangi lagi para migran Jawa meski belum banyak. Pada 1951 sistem kerja kontrak ditegakkan lagi dengan pengawasan dari Departemen Perburuhan Republik Indonesia. Terdapat persyaratan bahwa buruh hanya dikontrak oleh perusahaan selama 3 tahun dan setelah itu dapat melakukan hubungan kerja dengan perusahaan melalui serikat buruh. Mulai 1951 hingga 1958 mengalir buruh migran dari Jawa menuju perkebunan sebanyak 29 ribu orang.  Kemudian 1960-an, jumlah buruh kontrak meningkat hingga mencapai 38 ribu orang.
Selama priode 1950-an, Sarbupri mempunyai anggota buruh perkebunan sekitar 100 ribu orang dan ini menjadi anggota SOBSI terbesar di Sumatera Utara (Stoler 1996:77). Buruh perkebunan melancarkan pemogokan bila jatah makan, upah dan perumahan diabaikan oleh pihak perusahaan. Perusahaan Amerika Serikat yang bergerak di bidang karet seperti Wingfoot dan Goodyear di Labuhan Batu sering dilanda pemogokan. Pada dekade 1950-an misalnya terjadi 700 pemogokan kaum buruh Sumatera Utara itu menyumbangkan separo dari “hilangnya” 700 ribu jam kerja aksi pemogokan kaum buruh Indonesia (Stoler 1997: 189). Buruh perkebunan yang berserikat dalam Sarbupri setiap menjelang hari raya Lebaran melancarkan pemogokan untuk mendapatkan perbaikan upah dan catu makan serta pakaian. Pada umumnya untuk catu makan dituntut jatah beras yang tidak bercampur krikil, juga jatah ikan asin yang masih baik dan tidak pahit.
Sementara itu pengambil-alihan perkebunan modal asing di perkebunan besar Sumatera utara terjadi sebanyak dua kali. Pertama, ketika terjadi nasionalisasi perusahaan sebagai dampak dari kegagalan negosiasi soal Irian Barat. Itu berlangsung pada 1957 terhadap perkebunan milik Belanda. Kedua pada 1961 terhadap perkebunan milik Belgia. Perusahaan perkebunan Belgia paling besar di Sumatera Utara terdiri dari perkebunan karet dan kelapa sawit. Pengambil-alihan itu merupakan solidaritas internasional terhadap pembunuhan Perdana Menteri Kongo Patrice Lumumba pada awal Maret 1961. Kongo adalah wilayah kekuasaan imperialisme Belgia. Pengambil-alihan itu terjadi selama berlangsung pemogokan hingga dua pekan. Pemogokan buruh perkebunan dipusatkan di Labuhan Batu karena sentra dari perusahaan Belgia berada disana. Kemudian, bertepatan pada pertengahan Maret 1961 dirayakan pula sewindu Peristiwa Tanjung Morawa. Acara peringatan peritiwa tersebut dihadiri pula oleh Djalaludin Jusuf Nasution dari CDB PKI Sumatera Utara. Dalam kesempatan itu, Djalaludin menegaskan untuk memberikan pelajaran terhadap kolonialisme Belgia melalui pengambil-alihan perkebunan mereka di wilayah Sumatera Utara itu berlangsung selama beberapa pekan dan hanya jeda sejenak karena kedatangan Presiden Soekarno di Medan. Pemogokan solidaritas itu juga sangat cerdas di tengah-tengah kontrol militer dan negara terhadap pergerakan buruh. Pergerakan buruh di Sumatera Utara pada dekade 1960 mengalami kemerosotan karena hampir seluruh manajer perusahaan dikuasai militer dan mereka membuat larangan pemogokan.
Sementara itu, perkebunan terbesar milik Belgia di Sumatera Utara yang berlokasi di Labuhan Batu dengan penduduk terbanyak adalah orang Jawa. Terdapat satu daerah perkebunan bernama Padang Halaban yang melingkupi tujuh desa. Pada 1950-an penduduk diwilayah itu hidup berdikari dengan menanam ubi, jagung, tebu dan kelapa untuk produksi gula merah. Wardik keturunan Jawa Kontrak (Jakon), yang tinggal disalah satu desa Padang Halaban ini bercerita tentang lingkungan desa disana.
Ketika ada perintah berdikari dari Presiden Soekarno, mereka menanam ubi seluas hektaran. Padang Halaban dimana saya dibesarkan itu kreatif masyarakatnya. Pada 1950-an kesulitan gula merah dengan menanam banyak tebu dan kelapa di Padang Halaban. Jadi kampung itu, ada kampung Sidomulyo, ada Karang Anyar, ada Purwodadi, Purworejo, ada Sukadane, ada juga blok M, ada juga Kertosentono, ada 7 desa itu semua adalah orang Jawa. Ada sedikit orang kita Batak. Perlu dicatat di desa-desa itu tidak ada masalah suku, ras dan agama, tidak pernah kita dengar. Bahkan saat itu gotong royong itu begitu kuat.
Warga desa di Padang Halaban pada 1960-an malah telah membangun gedung sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP). Pembangunan sekolah itu atas inisiatif masyarakat dan Sarbupri agar anak-anak dapat bersekolah di kampungnya sendiri. Selain itu, kehidupan kebudayaan dikampung itu hidup dinamis seperti wayang orang, ketoprak dan seni pentas lainnya. Lakon yang dibawakan adalah kisah pemuda yang memprotes tuan kebun Belanda. Seni pertunjukan ini dibawakan oleh buruh perkebunan keturunan Jawa atau generasi kedua dari Jakon. Perkembangan seni drama atau pertunjukan di Sumatera Utara itu juga tidak terlepas dari pertumbuhan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Dipenghujung 1950-an terjadi reorganisasi lembaga seni pertunjukan yaitu setiap lembaga menitik beratkan pada pementasan seni drama seperti ludruk ketoprak, wayang orang dan lain-lain. Sebagai contoh di Langkat dekat Medan terdapat satu perkebunan bernama Tanjung Keliling. Di perkebunan tersebut buruh perkebunan mendirikan kelompok kesenian ketoprak keliling dari satu perkebunan ke perkebunan lain di wilayah Langkat. Salah seorang bekas anggota kesenian ketoprak keliling itu bercerita:
“Buruh perkebunan Tanjung Keliling mempunyai kelompok ketoprak bernama Langen Setyomudo, artinya kesenian orang-orang muda. Kami mendapatkan honor. Honornya dibagi nanti dimasukkan ke kas untuk perbaikan alat-alatnya. Penduduk banyak menonton kesenian itu. Ya banyak. Setiap ada pesta biasa itu. Di tingkat kecamatan sudah dikenallah. Pada hari-hari besar, itu perkebunan bertindak atau umpanya ada beberapa kongsinya dibagi itu. Hari ini main disini, besok main disana. Itu dibayar itu. Dikasih itu waktu perusahaan dibayar itu. Biasanya kalau main ketoprak di perkebunan di pajak. Pajak itu ya macam kayak gubuk itu saja gitu. Tapi disekat gitu dikit, ha itu untuk tempat apa namanya pakaian gitu saja, panggung gitu. Pajak didirikan kalau masyarakatnya umpamanya di situ memungkinkan Sarbupri mendirikan di situ berdiri. Jadi orang Sarbupri itu dulu disediakan untuk itu”.
Hampir setiap perkebunan terdapat organisasi Sarbupri dan mempunyai kelompok kesenian seperti ketoprak. Kelompok ketoprak seperti Langen Setyomudo ketika berkeliling dari perkebunan ke perkebunan senantiasa aktivitasnya diliput oleh surat kabar setempat. Liputan koran lokal itu membuat kelompok kesenian ini terkenal dan dikenal dilingkungan perkebunan lain. Kondisi seperti itu pula ketika pecah peristiwa 30 September 1965 membuat anggota kelompok ketoprak ikut ditangkap dan mendekam dipenjara selama puluhan tahun.

Kekerasan dan Penghilangan Paksa

Ketika pecah peristiwa 30 September 1965 di Jakarta, di Medan belum terjadi penyerangan dan penangkapan. Penangkapan dan penyerangan baru berlangsung pada 12 Oktober terhadap pimpinan PKI dan organisasi massa kiri. Peristiwa penyerangan ini paling cepat terjadi di seluruh Indonesia. Tampaknya ini dimungkinkan dengan kesiapan militer  terutama Kodam II Bukit Barisan yang dipimpin oleh Brigjen Darjatmo . Pada 12 Oktober 1965 terjadi pawai dan arak-arakan massa anti PKI di sekitar kota Medan. Kemudian pawai itu berakhir dengan penyerbuan kantor Sarbupri di Jalan Binjai. Kantor Sarbupri yang juga menjadi kantor SOBSI  Sumatera Utara, pawai dan arak-arakan anti PKI itu berusaha membakarnya. Pada peristiwa penyerbuan kantor Sarbupri itu, Ketua Dewan Pimpinan Cabang SOBSI Medan, Zakir Sobo mati terbunuh oleh massa. Penyerbuan kantor Sarbupri itu mendapat pengawalan dari pasukan Kodam II Bukit Barisan.
Empat hari kemudian, pada 16 Oktober menyusul penyerangan dan pengerusakan kantor CDB PKI Sumattera Utara di Jalan Sisingamangaraja, depan Taman Makam Pahlawan. Penyerbuan kantor CDB PKI ini penanda penangkapan besar-besaran bagi anggota PKI dan ormas yang bersekutu dengan partai ini. Dengan berlangsungnya penyerangan berutal dari kelompok yang menyebutkan diri Komando Aksi Pengganyangan G 30 S PKI itu membuat para pimpinan PKI dan organisasi serikat buruh menghindar dan bersembunyi. Mereka bersembunyi hampir selama sebulan. Ada yang bersembunyi di kampung dan perkebunan. Kemudian karena mereka kekurangan makanan untuk bertahan hidup, mereka pun keluar dari tempat persembunyian. Misalnya Tandek Ginting, salah seorang anggota PKI Kabanjahe yang berusaha bersembunyi tetapi karena kekurangan makanan dia keluar dari persembunyiannya dan tertangkap. Hampir seluruh pimpinan PKI dan organisasi massa seperti Sarbupri dan Lekra keluar dari persembunyian dan ditangkap oleh gerakan massa dan militer. Djalaludin Jusuf Nasution, Sekretaris I CDB PKI Sumatera Utara bersama Peris Pardede anggota Comite Central ditangkap dan dijebloskan ke penjara di Jalan Listrik Negara, Medan. Pada Desember 1965, Djalaludin dan Peris Pardede diajukan ke Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) di Medan.
Sepanjang pertengahan Oktober hingga akhir November, banyak pimpinan partai, organisasi massa, dan serikat buruh bersembunyi. Mereka bersembunyi di pondok-pondok perkebunan atau dirumah kerabat. Misalnya Dahlia, dia sekarang berumur 60-an tahun, bekas anggota Dewan Nasional Pemuda Rakyat (PR), asal Gambir, Berastagi. Pada 12 Oktober dia baru kembali dari Jakarta untuk mengikuti Sidang Dewan Nasional (Denas) Pemuda Rakyat. Ketika tiba di Medan suasana telah berubah mencekam, Kantor SOBSI dan CDB PKI Sumatera Utara telah diporak-porandakan. Dahlia tidak berani mendekati lokasi kedua gedung tersebut. Dia memutuskan untuk kembali ke kampung. Tiba di kampung Gambir, dia tidak langsung kembali kerumah, tetapi menginap dirumah kerabatnya. Di kampung itu dia telah mendengar “ganyang-ganyang PKI”. Setelah hampir sebulan, lurah Gambir bicara kepada ibu Dahlia dan mengatakan “syukurlah anak bibi selamat dirumah ini”. Dahlia tidak tahu dari siapa lurah itu mendapat khabar tentang keberadaan dia. Ketika lurah itu bicara dengan ibu Dahlia, sebetulnya dia telah dua hari tinggal dirumah ibunya. Dahlia berbicara mengenai proses penangkapan dirinya sebagai berikut.
“Jadi bagaimana ya, ya sudah enggak apa-apa, sudah tahu pun enggak apa-apa. Di penjara juga enggak apa-apa bukan aku sendiri kok yang..... tapi orang banyak. Kalau masuk jangan dibunuhlah anakku, enggaklah masa dibunuh. Nggak ada yang dibunuh. Sudah diantar mamahku sampe masuk kepenjara, sampe ke sel. Aku ditelanjangi, semua sampai ke kantor polisi, mamahku diluar enggak apa-apa mak. Mereka menelanjangi aku mau melihat tanda PKI, cap PKI ada disana”.
Sementara itu, penyerangan terhadap kantor SOBSI dan CDB PKI Sumatera Utara di Medan 12 dan 16 Oktober, di pedesaan Sumatera Utara penangkapan justru baru dimulai dan orang yang masih dalam tahap dicurigai dikembalikan kerumah masing-masing. Setelah itu orang yang merasa pimpinan serikat buruh, partai dan organisasi massa menyingkir dan bersembunyi di pedesaan. Pada 17 Oktober, pimpinan partai, organisasi, dan serikat buruh berkumpul di kantor Serikat Buruh Kereta Api (SBKA). Mereka berkumpul setelah penguburan Zakir Sobo, pimpinan SOBSI Medan yang tewas karena penyerbuan massa Komando Aksi. Mereka lalu menyebar ke arah Padang Bulan, Sunggal, Mabar, dan Labuhan Deli. Tujuan mereka menyebar adalah untuk bersembunyi. Penangkapan dan pengejaran terhadap pimpinan partai dan ormas dimulai pada akhir Oktober dan awal Nopember setelah pimpinan partai, ormas dan serikat buruh muncul kembali. Mereka kembali kerumah karena kesulitan logistik. Dahlia bercerita mengenai awal penangkapan dirinya di kampung.
“Penangkapan di kampung terhadap pengurus-pengurus partai, BTI, Pemuda Rakyat. Itu semua ditangkap. Yang menangkap mereka adalah, Komando Aksi, polisi ada militer, dan Komando Aksi entah pemuda-pemuda dari mana, dari luar daerah kampung. Di kampung (Gambir, Berastagi) kami itu enggak begitu banyak yang ditangkapnya pun, pagi-pagi kita dipanggil ke rumah lurah, dari situ terus dibaw ke Berastagi, nanti kalau sudah diperiksa di Berastagi ada yang langsung dipulangkan, ada yang ditahan di Kaban Jahe. Di Berastagi ada kantor polisi, waktu itu kampung kami polisinya di distrik Berastagi”.
Penghilangan paksa berlangsung pada November, Desember, Maret 1966, hingga Nopember 1967 dan sedikit berbeda dengan daerah bukan perkebunan. Di wilayah perkebunan penghilangan paksa dimulai Nopember hingga Maret 1966. Sementara itu di Kaban Jahe dan Berastagi sebagai daerah pertanian penghilangan paksa berlangsung pada Maret 1966, dan penangkapan di dua wilayah itu telah berlangsung pada Oktober. Umpamanya penangkapan Tande Ginting pada akhir Nopember dan kemudian dibawa ke penjara Kaban Jahe, sebagai titipan Kodim di Kaban Jahe. Pada 3 Maret 1966, dia dibawa bersama 12 orang lainnya dan mereka tidak pernah terlihat kembali. Dahlia bercerita tentang hilangnya Tande Ginting, orang yang mengajak dia untuk aktif dalam Pemuda Rakyat.                   
“Saya bertemu Tande Ginting terakhir di penjara Kaban Jahe. Pada waktu itu kondisi dia sehat. Bung Tande di tangkap, dia lari-lari di luar kampung. Dia ada beberapa orang, ya, bung Tarigan, bung Tande, dan bung Saut. Jadi kehabisan bahan makanan dia, pulang dia ambil bahan makanan. Ada famili yang menyampaikan ke kepala kampung, pada lurah itu dia sudah pulang teruslah dikejar orang itu bersama polisi. Terus diambil dia dan dibawa ke penjara Kaban Jahe. Dia dibawa bersama 12 orang lainnya tidak kembali lagi”.
Tande Ginting berasal satu kampung dengan Dahlia. Sebenarnya Tande Ginting yang mengajak Dahlia untuk mulai aktif di PR agar dapat mengubah desa menjadi tertata dan bersih. Pada 1958 Tande Ginting mendorong pemuda-pemudi untuk membersihkan desa. Setiap hari Minggu pemuda-pemudi bergotong royong membersihkan kampung. Ini memperlihatkan peranan Tande Ginting yang menonjol di kecamatan Kaban Jahe. Dia menjadi orang penting di kampung Gambir yang menyediakan alat-alat pertanian dan membeli alat itu secara kolektif ke kota. Tande Ginting diambil dari penjara Kaban Jahe pada malam hari dan tidak pernah kembali.
Pimpinan kampung dan desa hilang di pedesaan Sumatera Utara pasca 30 September1965. Penghilangan paksa dan pembunuhan terhadap orang yang dituduh komunis terjadi sejak Oktober, Maret 1966 hingga Nopember 1967. Cerita yang beredar dikota Medan dan perkebunan Sumatera Utara bahwa pengambilan dan penculikan orang dilakukan pada malam hari. Pimpinan dan tokoh organisasi massa itu diambil oleh tentara, yakni tentara batalion dan Kodim. Tentara yang melakukan pengambilan pimpinan desa diceritakan oleh Wardik:
“Menurut cerita yang beredar, tentara dari Kodim. Tentara Kodim itu kan punya tentara batalyon, iya Bukit Barisan. Itu enggak rahasia umum lagi kalau yang nyulik tentara. Pada umumnya malam hari mereka dibawa. Menurut cerita orang yang tahu bapak saya yang diberangkatkan itu malam, selang satu hari kakak saya datang bapak sudah enggak ada. Kami cariin terus di tiap-tiap kamp yang ada orang ditahan itu enggak ada sudah. Pak Langkir itu kepala desa di Padang Halaban. Desa Sidomulyo. Dia kepala desa”.
Langkir sebelum menjadi kepala desa aktif di perkebunan. Dia memperjuangkan gagasan kemerdekaan di perkebunan. Langkir aktif juga di PKI Labuhan Batu. Pimpinan serikat buruh seperti Sarbupri dan SBKA menghormati dia, karena senantiasa membela kehidupan kaum buruh. Dia aktif pula dalam pembagian tanah dikalangan buruh perkebunan. “Satu blok terdiri dari 4 hektare harus dibagi tiga tidak boleh lebih, pimpinan dan anggota harus sama”. Langkir ditangkap pada Oktober dan menjadi orang pertama yang diambil dari kampung Sidomulyo. Tentara yang menjemput mengatakan “Bapak saya bawa ke Kodim”. Setelah dari Kodim , Langkir dipindahkan ke bekas kantor PKI di Rantau Prapat. Selang beberapa hari dia dipindahkan ke SMP Fadjar  agak lama sekitar beberapa bulan. Kemudian dia dipindahkan ke kamp Aek Tapa dan hilang entah kemana. Langkir hilang pada Februari 1966 dari kamp Aek Tapa, Labuhan Batu. Narasi yang beredar dari mulut ke mulut di Padang Halaban , Langkir ditembak bersama 7 orang lainnya dan dikuburkan dalam satu lubang. Lokasi kuburan berada di Aek Nabara, kecamatan Silangkitang, Labuhan Batu.
Selain itu Wardik mempunyai kakak yang aktif di Pemuda Rakyat dan juga guru SMP Cinta Karya Desa Sidomulyo. Kakak Wardik bernama Salam Kemerdekaan, lahir pada 1945 di Sidomulyo, Padang Halaban. Pada November Salam dibawa dan ditahan Komando Aksi dengan tangan terikat diatas motor gerobak. Ada beberapa orang menyaksikan dia dibawa ke Panigoran. Lokasi desa Panigoran ini dekat dengan stasiun kereta api karena Panigoran adalah perkebunan besar. Daerah perkebunan besar Panigoran pasca 30 September 1965 disulap menjadi markas dan pos-pos perkebunan Komando Aksi. Salam dari Panigoran dibawa ke Parang Bengkok yang merupakan lembah tikungan, “disitulah kawan-kawan dihabisi, ribuan disitu bukan ratusan”. Jarak Panigoran dengan Rantau Prapat hanya hanya beberapa kilometer.
Tahun 1968 di penjara Siantar masih terjadi penghilangan paksa. Pada pertengahan 1967  di penjara Siantar si Polan diambil bersama enam orang lainnya dan tidak pernah kembali. Saat itu pengambilan tahanan politik di penjara Siantar dilakukan setiap dua malam sekali. Menurut kabar dari mulut ke mulut bahwa banyak dari mereka di buang ke Sungai Ular. Sungai ini berkelok-kelok dan panjang. Kemudian pada 1968, Sanusi dari Bandar Betsi menjelang magrib diambil dari penjara Siantar dan tidak pernah kembali. Menurut catatan kami diseluruh Sumatera Utara tedapat 427 orang yang dihilangkan paksa. Jumlah itu terjadi baik di kamp tahanan atau penjara yang diambil oleh tentara maupu penghilangan paksa orang-orang desa oleh Komando Aksi.
Pada awal 1966 masuk pasukan Brawijaya ke Labuhan Batu dan perkebunan pesisir bagian timur lain Sumatera Utara. Di Labuhan Batu situasi yang begitu panas dan mencekam dan berubah mencair dengan penembakan tiga pimpinan Komando Aksi yakni Marga Sani, Siringringo dan Pasaribu. Peristiwa itu sekaligus mengubah situasi tidak lagi ada penculikan dan pembunuhan dipedasaan Sumatera Utara. Pada waktu itu masuknya Brawijaya ke Labuhan Batu oleh masyarakat dianggap sebagai malaikat. Siatuasinya melegakan masyarakat. Dengan masuknya pasukan Brawijaya penculikan di kampung mereka, tetapi penculikan di kamp tahanan tetap berlangsung. Sebagaimana ditegaskan oleh Wardik. “Dikampung Sudah aman, tetapi didalam kurungan itu seperti ayam yang mau dijual”. Wardik juga menceritakan kondisi tahanan Kodim Rantau Prapat dan Aek Tapa pada waktu itu, tempat tahanan bapaknya sebelum dihilangkan paksa.
“Umpamanya di Kodim, Kodim Rantau Prapat itu kan nggak muat. Ada bangunan SMP ditarok disitu. Ada gudang ditarok disitu. Kalau yang sudah pasrah itu di Aek Tapa termasuk bapak saya dibilang golongan A dan siap dibunuh gitu, dan memang kenyataannya begitu, habis orangnya, tiap malam dibawa-tiap malam dibawa tentara, yang culik itu tentara katanya, katanya tentara”.
Kondisi kamp tahanan begitu buruk, terutama keadaan toilet. Setiap kamp tahanan hanya mempunyai satu dan paling banyak dua kamar mandi dan WC. Tetapi kamp sering kali ditempati oleh puluhan atau ratusan tahanan politik. Lagi pula kamp tahanan di Sumatera utara adalah ruang publik, misalnya di Langkat TPS-nya adalah bekas pertunjukan bioskop. Gedung bioskop itu menampung ribuan buruh perkebunan dan hanya mempunya dua kamar mandi dan WC. Di gedung bioskop Langkat itu banyak buruh perkebunan yang dihilangkan paksa. Penghilangan paksa dikamp tahanan mulai mereda setelah tahanan dikerja-paksakan diperkebunan dan pekerjaan publik lain yang tidak dibayar. Kerja paksa untuk tahanan politik Sumatera Utara di pusatkan di Tanjung Kasau. Dari kamp Tanjung Kasau  para disebarkan ke beberapa lokasi proyek kerja paksa dan kembali lagi ke Tanjung Kasau. Mereka melakukan kerja paksa hingga 1978 dan kemudian dipulangkan ke desa masing-masing untuk kembali hidup “normal”.

Kamp-kamp Tahanan.  

Gedung kamp tahanan di kota Medan yang berjumlah delapan sebelumnya adalah tempat dan ruang publik yang disulap menjadi kamp tahanan. Umpamanya beberapa kamp tahanan adalah bangunan sekolah, misalnya gedung sekolah Andalas merupakan sekolah swasta milik Baperki (Badan Permusyawatan Kewarganegaraan Indonesia). Gedung sekolah itu terdiri dari dua lantai dengan kamar dan ruang-ruang kelas. Gedung tersebut hingga sekarang tetap dipertahankan dengan arsitektur Minangkabau. Sementara itu, kamp tahanan di Jalan Merbabu merupakan gedung sekolah tiga lantai yang juga milik Baperki. Gedung itu tempat penahanan etnis Tionghoa kaya.  Mereka menjadi ajang transaksi sogok menyogok antara tahanan etnis Tionghoa kaya dan tentara. Kemudian kamp di Jalan Sena, pasca peristiwa 30 September adalah rumah kopel yang baru dibangun dan diperuntukkan bagi perwira Angkatan Darat, Corp Polisi Militer (CPM).
Hingga sekarang beberapa gedung kamp tahanan tetap bertahan seperti gedung sebelumnya. Misalkan Sekolah Andalas di Jalan Cik Di Tiro masih tetap dan digunakan sebagai Gedung PKK Medan. Namun beberapa gedung telah menjelma menjadi gedung raksasa menjulang tinggi seperti, kamp tahanan Jalan Gandhi. Penjara Sukamulia yang terletak di Jalan Palang Merah Indonesia juga telah menjadi rumah dan toko (ruko). Kamp-kamp tahanan itu terbagi dalam kelompok TPU A,B,C, dan D. Maksud pengkelompokan itu untuk menempatkan tahanan politik tinggi dan rendah. Contohnya kamp tahanan Jalan Sena masuk kelompok TPU A, dan Jalan Merbabu ke TPU A. Sementara itu, kamp tahanan Jalan Binjai masuk ke kelompok TPU C . Sedangkan TPU penjara Sukamulia TPU A dan B. Namun dikemudian hari pengelompokan itu tidak ketat karena anggota buruh Sarbupri bisa masuk ke kelompok TPU A . Dibawah ini diuraikan kamp tahanan kamp tahanan di kota Medan yang menjadi tempat penghilangan paksa sejumlah tahanan politik.
Kamp tahanan di Jalan Sena berbentuk rumah-rumah kopel untuk perwira Corp Polisi Militer (CPM), rumah-rumah itu bergandengan dari blok A hingga F. Tatkala dipergunakan sebagai kamp tahanan, rumah paling depan dipergunakan sebagai tempat interograsi dan penyiksaan. Rumah kopel itu dikelilingi pagar berduri dan dijaga oleh tentara bersenjata. Kamp tahanan Jalan Sena masuk ke satu kompleks Markas POMDAM II Bukit Barisan. Sebelum priode 1965, kamp tahanan Jalan Sena masuk ke kompleks gedung milik Deli Spoorweg Maatschappij (DSM). Pada 1957 area kompleks gedung DSM di nasionalisasi oleh Republik Indonesia, dan sebagian besar dari kompleks itu di ambil alih oleh KODAM II Bukit Barisan.
Kamp tahanan di Jalan Sena termasuk katagori rumah tahanan TPU A, dalam pengertian tempat tahanan kelas A di Sumatera Utara. Mereka yang ditahan disana berpotensi dapat diadili di pengadilan militer. Rumah tahanan ini dibagi dalam blok A-F dan juga terdapat blok tahanan untuk perempuan. Di kamp tahanan Jalan Sena ini terjadi penghilangan paksa dalam jumlah besar. Pada 10 Desember 1965 diselenggarakan aksi rasialisme dan merupakan gelombang pertama penghilangan paksa di kamp itu. Tahanan gelombang pertama yang dihilangkan paksa adalah Sudirman, berumur 40 tahun, Wakil Sekretaris Comite Kota PKI Medan dan Wakil Ketua Front Nasional Medan. Kemudian Imran Djoni, Penanggung Jawab dan Pimpinan Redaksi Harian Bendera Revolusi organ PNI Front Marhaenis Pada saat dihilangkan paksa Imran berumur 32 tahun. Dia juga Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Kepala Lembaga Kantor Berita Negara (LKBN) Antara, Medan. Selanjutnya Margono Ketua BTI Percut, Saibun Sianaga Ketua SOSI Sumatera Utara, Tan Foe Kiong, Penanggung Jawab Harian Gotong Royong Medan. Dia menjabat pula Sekretaris PWI Medan. Pada waktu yang sama hilang pula Diapari Siregar, berumur 40 tahun dan pimpinan Serikat Buruh Listrik dan Gas.
Pada 27 Mei 1966, kamp tahanan TPU A Jalan Sena kemudian melakukan penghilangan paksa gelombang kedua dengan jumlah yang dihilangkan 27 orang. Mereka yang dihilangkan saat gelombang kedua antaranya ialah Rumiyati, berumur 37 tahun dan ketua Gerwani Sumatera Utara, Maisih Ismail berusia 37 tahun dan ketua Gerwani Medan, Lisma berusia 26 tahun, mahasiswi IKIP Medan dan anggota Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), Bacharuddin Nasution, anggota DPRD-GR Kabupaten Deli Serdang dan ketua BTI Deli Serdang, dan Hasan Basri Pulungan, berusia 27 tahun dan Sekretaris II Pimpinan Daerah Besar Pemuda Rakyat  Sumatera Utara. Penghilangan paksa juga terjadi pada pertengahan November 1967, kali ini  terhadap 40 orang tahanan, sebagian Mahasiswa Akademi Ilmu Sosial Ali Archam yang pada bulan Oktober 1965 sedang mengadakan peneletian dibeberapa desa di Sumatera Utara, antara lain yang dihilangkan L.S. Rento berusia 26 tahun, Farida Rani 25 tahun, Paidjan 25 tahun, Soenarto 25 tahun.   
Kamp tahanan Jalan Merbabu No. 28, sekarang kamp tahanan ini masih seperti bangunan asli. Gedung itu terdiri dari tiga lantai dengan ruangan berukuran 3x4 meter sebanyak 24 buah. Kini gedung dipergunakan sebagai kantor Pengurus Daerah Generasi Muda FKPPI dan kantor KNPI Sumatera Utara. Tampaknya gedung tersebut sudah tidak dirawat lagi. Gedung itu sebelum diubah menjadi kamp tahanan merupakan sekolah milik Baperki. Kamp tahanan jalan Merbabu No. 28 ini, diperuntukkan untuk tahanan etnis Tionghoa kaya. Mereka yang menjadi tahanan di sana mempunyai latar belakang pengusaha besar dan profesional, seperti dokter bedah, dan dokter ahli kandungan. Mereka semua oleh militer dituduh ikut terlibat dalam gerakan komunis Indonesia. Para tahanan itu berkeinginan bisa bebas dan pergi ke luaar negeri, tetapi mereka jutru menjadi ajang sapi perah perwira militer di Medan. Diantara etnis Tionghoa yang menjadi sapi perah perwira militer dan bisa ke luar negeri ialah Kong Sio Mo, pemilik pabrik besi baja Suma Grup; kemudian Dokter FM La Li Sang yang berhasil pergi ke Belanda; Dokter Kho En Hua ahli parasitologi tamatan salah satu Universitas di Amerika Serikat, dan Tan Fu Siang yang berhasil pergi ke Belgia. Sementara itu etnis Tionghoa yang tidak dapat dipergunakan sebgai sapi perah disebut sebagai “Cina kebun sayur”, dipindahkan dari TPU Jalan Merbabu ke TPU C Jalan Binjai.
Kamp tahanan TPU C terletak di Jalan Binjai Km.7, sekarang Jalan Gatot Subroto. Dewasa ini area kamp tahanan itu menjadi Markas KODAM II  Bukit Barisan. Dihalaman luas Markas KODAM itu berdiri monumen patung Djamin Ginting (bekas panglima pertama setelah berdiri KODAM II Bukit Barisan yang sebelumnya adalah Teritorium I (TT I), masih bergabung dengan Aceh. Djamin Ginting menggantikan Kolonel M. Simbolon yang ikut melakukan pemberontakan PRRI-Permesta pada 1957. Brigjen Djamin Ginting digantikan Brigjen Manaf Lubis, sedangkan Letjen Djamin Ginting di tahun 1965 menjabat sebagai Wakil Ketua DPR-RI mewakili Sekber Golkar. Pada awalnya kamp tahanan itu adalah tanah perkebunan seluas 10 hektare dan menjadi tahanan chusus buruh perkebunan anggota Sarbubri Sumatera Utara. Akhirnya karena tahanan TPU Jalan Merbabu dan TPU Jalan Sena dikosongkan sebagian tahanan dipindahkan ke TPU Jalan Binjai dan sebagian lagi ke TPU penjara Sukamulia yang berganti nama menjadi Inrehab Sukamulia. Kamp tahanan Jalan Binjai terdiri dari 20 barak yang terdiri dari antara lain barak No. 6 dan 9 untuk perempuan, dan barak No. 11 untuk indoktrinasi. Di kamp Jalan Binjai di awal hingga pertengahan 1966 sudah terjadi penghilangan paksa pada malam hari diantaranya dihilangkan, Djonatan berumur 28 tahun, dan anggota Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) Medan, Achmad Sukri berumur 19 tahun dan anggota Pemuda Rakyat, Muluk berusia 35 tahun dan anggota SOBSI Medan.
Penjara di Jalan Listrik Negara  adalah penjara peninggalan pemerintah Belanda. Penjara ini terletak ditengah kota Medan dan di tepi sungai Deli. Pada masa kolonial kawasan itu berdekatan dengan kesultanan Deli. Dewasa ini penjara telah disulap menjadi pusat hiburan, cafe, aula besar dan restoran, Gedung Selekta. Pada Desember 1965 Martin Saragih berumur 27 tahun dan Ketua CGMI Sumatera Utara dihilangkan paksa dari penjara Jalan Listrik. Dia hilang bersama dengan tapol TPU A Jalan Sena. Menurut cerita yang beredar dikalangan korban mereka dibawa dari penjara Jalan Listrik pada malam hari menuju Sungai Ular dan sungai Buaya. Pada tahun awal 1970-an sebelum dipindahkan ke RTM Jalan Pantai Timur Jalan Binjai dan akhir tahun 1970 sampai awal 1980-an, Narapidana Politik (Napol), yang telah dijatuhi hukuman oleh Mahmilub maupun Mahmilti ditempatkan di penjara Jalan Listrik, baik yang dijatuhi hukuman mati, hukuman seumur hidup, 20 tahun dan 15 tahun penjara. Diantaranya Peris Pardede anggota CC PKI, Djalaludin Jusuf Nasution Sekretaris Pertama CDB PKI Sumatera Utara, PP Gangga Wakil Sekretaris CDB PKI Sumatera Utara, Brigjen Ulung Sitepu Gubernur KDH Sumatera Utara, Kolonel Maliki Komandan Brigif 7, dan napol yang lain
.Lalu penjara Sukamulia yang berdiri sejak awal abad ke-20, di Jaman kolonial Belanda terletak di Jalan Palang Merah Indonesia. Dewasa ini lokasi penjara itu telah berubbah menjadi ruko-ruko. Kawasan ini masih tersisa bergaya etnis Tionghoa yang beranda rumahnya mempunyai tempat sembahyang Konghucu. Keadaan itu menandakan kompleks perumahan disekitar penjara pernah menjadi kawasan pecinan Kota Medan.Kompleks penjara itu terdiri dari 20 kamar tahanan. Sementara itu luas penjara Sukamulia berukuran sekitar 30x60 meter. Di samping kamar-kamar tahanan di huni melebihi kapasitas tahanan, diawal tahun 1966, terjadi penghilangan paksa terhadap 11 tahanan politik, diantaranya M. Kanabran berusia 27 tahun dan ketua Dewan Pimpinan Ranting Sarbupri Kantor Besar PT London Sumatera, Medan, Selamat DW, berusia 45 tahun dan Pimpinan Daerah BTI Sumatera Utara, serta anggota Dewan Perusahaan Sumatera Utara.
Kamp tahanan Andalas adalah bekas sekolah swasta yang dikelola oleh Baperki Sumatera Utara. Arsitektur gedung itu khas Minangkabau Pagaruyung yang dikombinasikan dengan susunan bangunan gaya Cina. Gedung itu berhalaman luas sekitar 200 meter persegi didepan dan dibelakang gedung terdapat lapangan basket. Dari luar tampak gedung itu mempunyai banyak ruang kelas. Gedung itu berlantai dua berbentuk U.  Diperkirakan luas bangunan kamp tahanan Andalas 2 hektare. Kini Gedung Andalas dipergunakan sebagai kantor pusat PKK Medan. Penghilangan paksa dari Andalas dimulai pada Desember 1965. Dalam pengumuman resmi tahpol akan dipindahkan ketempat seperti ke Mapomdam. Namun dalam kenyataan keluarga dan tapol sendiri tidak diberi tahu dipindahkan kemana dari kamp Andalas. Setelah diumumkan tapol akan dipindahkan tidak pernah kembali. Mereka yang hilang dari kamp Andalas antara lain Syarif Tarigan, berusia 29 tahun dan fungsionaris Lekra Sumatera Utara, Bataraguru berumur 23 tahun dan Anggota Pemuda Rakyat Medan, dan Abusamah, berumur 45 tahun dan bekas Angkatan 45.
Jalan Masdulhak merupakan kawasan perumahan elit kota Medan. Sebagian besar pejabat pemerintah kota Medan tinggal dikawasan itu. Selain itu kawasan Jalan  Masdulhak terdiri dari rumah-rumah besar setiap rumah mempunyai luas 1000 meter persegi. Pada era Kolonial kompleks perumahan di Jalan Masdulhak dihuni oleh pengusaha perkebunan Eropa. Pada 1957 terjadi nasionalisasi perusahaan asing dan kompleks perumahan tersebut juga diambil alih oleh militer dan dijadikan kompleks Markas Kodam II Bukit Barisan. Hanya satu rumah di Jalan Masdulhak itu yang dipergunakan sebagai kamp tahanan. Tahanan politik yang dihilangkan paksa dari kamp Jalan Masdulhak ini antara lain Sumarno Hasibuan berusia 50 tahun dan Dewan Harian CDB PKI Sumatera Utara serta anggota DPRD-GR Provinsi Sumatera Utara, Anwar Djambak, berusia 43 tahun dan Sekretaris Comite Kota PKI Medan, serta anggota DPRD-GR Medan. Dan Nirwan Dito, penghubung satu Aceh. Ketiga tapol itu diangkut dengan truk kemudian dieksekusi di Sungai Ular. Penghilangan paksa tersebut bersamaan dengan penghilangan paksa pertama dari TPU A Jalan Sena. 
Rumah Tahanan Militer (RTM) di Jalan Kapuas atau di Jalan Medan ini sebelum Oktober 1965, adalah rumah tahanan militer, yang diperuntukkan bagi Narapidana dan tahanan militer. Namun sesudah terjadi penangkapan terhadap anggota Angkatan Bersenjata yang di tuduh terlibat G 30 S, baik Perwira, Bintara dan Tamtama dan sipil yang terindikasi dengan Angkatan Bersenjata juga dijadikan penghuni RTM ini. RTM ini juga diperuntukkan menjadi tempat tahanan bagi mereka yang sedang menjalani pemeriksaan Team Oditur Kodam II Bukit Barisan dari TPU A Jalan Sena. Dari RTM ini, terjadi juga penghilangan paksa terhadap Mochtar Naam berusia 32 tahun dan bekas Pimpinan Daerah Besar Pemuda Rakyat Sumatera Utara.
Kamp tahanan Jalan Gandhi sebelum Oktober 1965 adalah Gedung Sekolah SD Abadi itu berlantai dua milik Baperki. Terdapat tujuh ruangan kelas dilantai satu dan enam ruangan kelas dilantai dua. Ketika dipergunankan sebagai kamp tahanan, tujuh ruang kelas dilantai satu digunakan menjadi kamar tahanan, ruang kelas dari depan disebut kamar satu sampai kamar tujuh. Sedang ruang kelas lantai dua ditempati dua regu para pengawal. Satu regu pengawal dari kesatuan batayon 121 dan satu regu lagi dari kesatuan Armed (Arteleri Medan). Digedung itu juga terdapat ruangan besar semacam aula yang juga digunakan menjadi lapangan bulu tangkis dan Pentas pertunjukan seni. Kedua ruangan ini juga digunakan bagi tahanan khusus bagi yang sudah tua, dan yang sakit, tapi juga menjadi ruang tahanan yang mereka anggap tidak berbahaya.  Tahanan Perempuan ditempatkan diruangan belakang. Ketika gedung tersebut masih menjadi gedung sekolah, adalah merupakan ruangan guru-guru. Di kamp tahanan Jalan Gandhi hampir tidak ada penghilangan paksa. Tapi tindakan kejam dari militer berlangsung disana, terutama pemerkosaan dan pelecehan terhadap tapol perempuan. Juga pada para keluarga yang berkunjung, kirimannya hanya sebagian kecil yang diterima para tapol, pelecehan terhadap para keluarga yang mengirim, kerap terjadi. Di Jalan Gandhi juga terjadi kelaparan besar hingga membawa kematian beberapa orang tahanan.
Kamp berikutnya adalah Rumah Tahanan Militer (RTM), di Jalan Pantai Timur, Rumah Tahanan Militer ini dibangun untuk menggantikan RTM sebelumnya yang di Jalan Kapuas atau Jalan Medan. RTM di Jalan Pantai Timur ini juga selain dihuni Narapidana dan tahanan Militer juga dihuni Narapidana politik (Napol) 16 orang, pindahan dari Penjara Jalan Listerik Negara ditambah dengan Napol baru, setelah diputus di Mahkamah Militer Tinggi, antara lain, Peris Pardede (anggota CC PKI), Djalaludin Jusuf Nasution (Sekretaris Pertama CDB PKI Sumatera Utara), PP Gangga (Wakil Sekretaris Pertama PKI Sumatera Utara), Rakut Sembiring (anggota DH CDB PKI Sumatera Utara), Brigjen Ulung Sitepu, (mantan Gubernur Sumatera Utara), Kolonel Maliki ( mantan Komandan  Brigif 7), Djiman Karo-Karo (Ketua Partindo Dairi), Mayor RM Maha (mantan Bupati Dairi), Kapten Pandak Tarigan ( mantan Walikota Pematang Siantar), Samin Pakpahan (mantan Bupati Tapanuli Tengah).
Pada tahun 1975 Amnesti Internasional menjadwalkan akan bertemu dengan tapol 65 di Inrehab (TPU) Penjara Sukamulia. Sebagian sekitar 20-an tapol dipindahkan selama satu bulan ke RTM Jalan Pantai Timur. Tahanan politik yang dipindahkan ke RTM Jalan Pantai Timur ditakutkan tergolong mampu berkomunikasi dengan para delegasi Amnesti Internasional.

Peran Perkebunan Dalam Penghilangan Paksa dan Pengangguran Kaum Buruh

Mengenai penghilangan paksa di Sumatera Utara perlu diperhatikan penangkapan dilingkup kecamatan dan perkebunan. Digegofrafi kecamatan, semua pimpinan dari ranting dan cabang PKI, ormas seperti pimpinan cabang, sekretaris bendahara BTI, Pemuda Rakyat dan Sarbupri ditangkap serta dibawa ke TPS maupun Puterpra/Kodim. Sementera kaum Buruh yang ditangkap di perkebunan dipaksa untuk meninggalkan rumah perkebunan dan dikumpulkan diperkebunan, kemudian dibawa ke TPU C Jalan Binjai Km.7. Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa TPU C pada awalnya diperuntukkan bagi kaum buruh perkebunan anggota Sarbupri. Mereka dipindahkan dari perkebunan ke TPU C pada pertengahan Oktober. Fenomena ini merupakan waktu penangkapan tercepat diseluruh Indonesia bagi tapol yang terkena dampak tragedi 30 September 1965.
Penghilangan paksa di area perkebunan acap kali terjadi pada penangkapan diruang geografi kecamatan. Kenapa penghilangan paksa tapol terjadi pada seleksi dan pengumpulan tingkat kecamatan? Dalam operasi penghilangan paksa yang menjadi sasaran adalah pimpinan hingga bendahara PKI, ormas dan serikat buruh. Mereka tidak ditempatkan dan dikumpulkan di kantor perkebunan. Tetapi setelah mereka diidentifikasi sebagi pimpinan partai, Sarbubpri, Dewan Perusahaan, dan orang yang menonjol ditingkat kecamatan akan diambil dan dibawa ke TPS. Untuk wilayah kecamatan Pulka dan Tanjung Keliling mempunyai TPS bernama gedung Dewi Sri. Gedung tersebut adalah tempat pertunjukan kesenian yang diubah menjadi kamp tahanan tapol. Di gedung Dewi Sri inilah banyak tapol dari dua kecamatan itu dihilangkan paksa.
Penangkapan di Kecamatan Pulka dan Tanjung Kelilingserta diwilayah lain perkebunan Sumatera Utara, juga penangkapan terhadap pimpinan organisasi dimulai pertengahan Oktober seperti diceritakan oleh Miyun , guru yang ditangkap di Tanjung Keliling.
Ya, bulan Oktoberlah, Oktober lewat. Tapi kalau 1 sampai 10belum ada penangkapan itu. Ha, itukan jelas sekalisetelah ada pidato Pak Jenderal Nasution menyatakan PKI dan ormas-ormasnyaharus dihukum.Mulailah disitu, mulai ada perintah harus ke Puterpra, kemudian ada perintah dari lurah, kemudian langsung ditangkap, kemudian datangi sore, siang, malam itu. Terus yang dihutan didatangi ramai-ramaidiburu begitu.
Penangkapan yang dilakukan oleh tentara dan Komando Aksi berlangsung secara bertahap, mulai dari lima orang yang ditangkap kemudian meningkat 13 orang dan seterusnya. Sasaran penangkapan adalah seluruh pimpinan. Mereka dikumpulkan dilapangan dan dibawa ke gedung Dewi Sri. Dari gedung itu tidak diketahui dibawa kemana dan tidak pernah kembali. Data dan nama pimpinan yang akan diambil diperoleh dari lurah dan perkebunan. Selainitu orang yang akan ditangkap adalah figur terkenal. Mereka sering tampil dalam aksi pemogokan perkebunan, memimpin aksi bersih desa dan tawar menawar dalam Dewan Perusahaan. Mereka ditangkap secara bertahap, dimulai dari mendatangi rumah hingga ke tempat pekerjaan.
“Mulai ditangkap, dikumpulkan, tanyain. Disitu yang dianggap ketuahilang, sekretaris hilang, itu diambil bertahap, lima, 13, 14, 44, bertahap. Kalau yang ditangkap sedang bekerja di kebun, mereka langsung mendatangi ke tempat pekerjaan..... Ya, diambilin itu dari Puterpra sendiri. Kami sudah kerja kumpulin panggil... Ya mulai jam limalah. Karena nanti jam empat, setengah empat datang motor berkeliling-keliling. Ya pasti ada yang diambil. Ha, siapa ini belum tahu, sudah perintah kumpul dihalaman baris lalu datang sersan Daud, terus sersan Iman, “Siapa yang dipanggil namanya ini ikut naik motor”. Itu sudah naik motor sampai sekarang dimana”?
Operasi penangkapan dan penghilangan paksa di geografi kecamatan, perusahaan perkebunan mempunyai  andil besar. Perusahaan perkebunan menyediakan fasilitas kenderaan mobil jenis jeep yang disebut oleh orang desa Sumatera Utara sebagai motor. Kenderaan motor itu dipergunakan sebagai alat transportasi membawa dan menghilangkan tapol ditanggung oleh perkebunan. Kemudian perkebunan membentuk Komando Aksi Pengganyangan PKI. Kebanyakan personil berasal dari kampung lain, karena mereka tidak dikenal oleh penduduk setempat. Pihak perkebunan juga menyediakan Hansip yang dapat dipergunakan oleh Komando Aksiuntuk menangkap dan melakukan pengusiran terhadap tapol.
Diperkebunan Tanjung Keliling Komando Aksi dipimpin oleh Budiman Pulungan. Dia mendapatkan izin dari Puterpra  untuk mempergunakan dan menyimpan sejata api. Kedudukan Budiman adalah mandor sekaligus centeng perkebunan. Posisi centang pada 1960-an meredup dan dihidupkan kembali untuk pengganya anti PKI. Budiman setiap kali pengambilan pimpinan organisasi senantiasa ikut didalam mobil, karena dia adal Komando Aksi dari pihak perkebunan. Fungsi Budiman dalam Komando Aksi yakni menunjuk tapol yang akan ditangkap. Siapa saja yang ditunjuk oleh Nudiman untuk dibawa dengan motor perkebunan harus patuh.
Jenis mobil yang dipergunakan untuk mengangkut tapol adalah mobil dengan bagian belakang terbuka. Namun mobil itu sedikit dimodifikasi terutama bagian belakang kanan dan kiri ditutup dengan terpal Miyun menceritakan bentuk fisik dan keadaan tahanan ketika dibawa dengan mobil perkebunan.

“Motornya kayak sekarang yang ngangkut kelapa sawit. Modelnya kayak gitu. Cuma dulukan dipakai, pakai terpal, ditutup untuk membawa itu, atas ditutup rapat begini. Yang diambil naik motor atas ditutup, terus perintah orang itu kalau dari dalam ada tukang ringkusnya, terus diikat kita, diikat mata, diplester, lalu dibawa kemana sudah enggak tahu kita. Itu ada yang langsung dibuang. Disini misal besok suruh kesana kan enggak tahu karena ditutup”.

Di area perkebunan Sumatera Utara penghilangan paksa dilakukan pada Oktober, November dan Desember. Tetapi dibeberapa TPS dan kamp tahanan khusus untuk kecamatan penghilangan masih berlangsung hingga Maret 1966. Dalam Operasi itu Komando Aksi yang dibiayai oleh perkebunan menggunakan mobil atau truk perusahaan untuk transportasi dari area penangkapan ke TPS atau ketempat eksekusi. Mobil perusahaan itu dipergunakan oleh Komando Aksi kapanpun ingin mereka pergunakan. Komando Aksi menjadi anak emas perkebunan. Di Padang Halaban, Komando Aksi dipimpin oleh Kotjik Dalimunte, sementara sekretarisnya ialah Tukiman. Latar belakang Kotjik adalah supir Jonder, mobil pengangkut buah dari Rantau Prapat ke Labuhan Batu. Berdasarkan cerita para korban di Padang Halaban, Kotjik mempunyai telunjuk berbisa yang kemudian dicatat oleh sekretaris Tukiman. Orang dicatat oleh Tukiman, malam hari dieksekusi oleh algojo Said, Saring dan Tumadi. Anggota Komando Aksi berasal dari luar kampung dan orang melayu. Komando Aksi terdiri dari anggota Pemuda Marhaen, PNI.        
Komando Aksi dibentuk untuk membantu Perwira Urusan Teritorial Pertahanan Rakyat (Puterpra). Berdasarkan teori organisasi, Puterpra itu melakukan pengejaran terhadap pimpinan Sarbupri, pimpinan kabupaten/kecamatan PKI, dan ormas lainnya. Komandan Puterpra setingkat Letnan Dua yang dalam operasi penangkapan dibantu oleh Komando Aksi. Namun untuk urusan penghilangan, Puterpra membawa tahanan dan yang melakukan penghilangan paksa adalah Komando Aksi. Praktiknya terjadi diskusi dan seleksi dalam penghilangan paksa antara Kodim, Puterpra dan Komando Aksi. Ketiga kelompok itu yang bertanggung jawab atas operasi penghilangan paksa setidaknya hingga Maret 1966. Mereka menyaring siapa saja yang perlu dihilangkan paksa untuk priode November dan Desember. Seleksi itu tidak didasarkan atas Tapol akan melakukan perlawnan atau tindakan merugikan. Tetapi, informasi untuk proses seleksi diperoleh dari pimpinan ormas atau partai yang diintrograsi terlebih dahulu sebelum dihilangkan.
Operasi penangkapan dan penghilangan paksa terhadap korban dari segi waktu terjadi perbedaan. Biasanya penangkapan pada sore hari sekitar pukul17:00. Komando Aksi bersama militer dari Puterpra mendatangi rumah tapol dan tempat persembunyian. Kemudian tapol dipaksa untuk berkumpul dilapangan perusahaan perkebunan. Sementara itu penangkapan terhadap mereka yang sedang bekerja di kebun dilakukan pada siang hari. Informasi penangkapan terhadap tapol yang sedang bekerja diperkebunan berasal dari administratur perkebunan. Biasanya operasi penghilangan paksa dari kantor Puterpra terjadi pada sore hari setelah apel. Sekitar pukul 18:30 malam korban dibawa dalam keadaan mata tertutup kesuatu tempat yang tidak diketahui oleh siapapun. Korban tidak dieksekusi dengan tembakan senjata api, tetapi dengan cara menggorok leher korban dan membuang mereka ke sungai.
Penghilangan paksa secara berutal juga dilakukan di kecamatan Salapian, kabupaten Langkat. Di sana diperkirakan hingga bulan ketiga atau keempat tahun 1966 seluruh tingkatan pimpinan dari jenjang ketua sampai bendahara habis dieksekusi. Penghilangan paksa mulai mereda ketika pasukan Brawijaya tiba di Sumatera Utara. Pasukan ini juga melakukan penembakan terhadap pimpinan Komando Aksi. Itu memperlihatkan bahwa pembunuhan dan penghilangan paksa harus dihentikan ditingkat pedesaan. Terlebih lagi penghilangan paksa harus secara legal, tidak bisa dengan mengikut-sertakan Komando Aksi. Dalam praktik, penghilangan terus berlangsung di kamp-kamp tahanan dan dilakukan oleh militer, sebagaimana diuraikan diatas.
Kemudian bagaimana nasib dari jajaran rendah (rank and file) buruh perkebunan yang bergabung dengan Sarbupri? Paska 30 September 1965 buruh perkebunan jenjang bawah yang bergabung dengan Sarbupri dipecat atau dinonaktifkan. Mereka dipandang sebagai lawan yang harus dihancurkan oleh Komando Aksi. Namun, dibeberapa tempat seperti kecamatan Salapian buruh perkebunan dipecat melalui surat keputusan administratur perkebunan. Kemudian mereka dipaksa untuk meninggalkan rumah dinas perkebunan. Jika ada buruh yang membandel tidak mau pergi maka hansip perkebunan akan mengambil tindakan kekerasan. Setelah dipaksa meninggalkan rumah perusahaan, buruh perkebunan dari isteri dan anak mereka.
Agar buruh tidak melarikan diri dari wilayah perkebunan mereka dinonaktifkan dalam pengertian mereka masih menerima gaji hanya untuk Oktober. Kebanyakan buruh perkebunan tetap tinggal di perkebunan, ketika mereka diberangkatkan ke TPU C Jalan Binjai. Sebelumnya telah diumumkan bahwa nama-nama yang akan disebutkan akan diberangkatkan. Buruh-buruh itu dari kantor perkebunan dijemput truk dengan pengawalan Perwira Pengawas (Papam) Perusahaan Perkebunan.     
Tiba di TPU C Jalan Binjai buruh-buruh perkebunan kecamatan Salapian bertemu dengan buruh-buruh perkebunan lainnya. Pada pertengahan Oktober di TPU C terdapat tahanan 1.200 buruh bekas anggota Sarbupri dari beberapa tempat di Sumatera Utara.Buruh perkebunan itu di TPU C tidak diintrograsi dan mendapatkan proses hukum yang layak. Mereka telah dipisahkan dari pekerjaan di perkebunan. Pada intinya, mereka telah kehilangan mata pencarian. Banyak buruh perkebunan ditinggalkan isterinya, karena tidak dapat memberikan nafkah. Sementara itu, pekerjaan di perkebunan yang ditinggalkan oleh buruh-buruh perkebunan telah diisi oleh buruh kebun dari Persatuan Karyawan Perkebunan (Perkapen-SOKSI).
Pada pertengahan 1966 buruh bekas anggota Sarbupri dikerja paksakan diluar TPU C Jalan Binjai . Sebagian kelompok buruh bekerja diperkebunan jagung milik tentara, sedang sebagian bekerja diperusahaan perkebunan karet negara. Di perusahaan karet mereka tidak menderes getah, tetapi membongkar bonggol pohon karet tua. Pekerjaan itu membutuhkan energi banyak, tetapi baik perusahaan milik tentara, maupun negara tidak memberikan upah. Perusahaan itu hanya memberikan buruh makan. Kondisi kerja paksa bagi buruh eks Sarbubpri itu berlangsung hingga pertengahan 1971, setelah itu mereka dikembalikan ke kampung masing-masing.
Cara ketiga untuk menghancurkan organisasi kerja buruh perkebunan yang tergabung dalam Sarbupri dengan pemecatan secara bertahap dari tempat kerja. Pemecatan buruh kebun itu secara bertahap berlangsung dari tahun 1966 hingga 1978. Cara ini masuk akal untuk menghabiskan seluruh anggota Sarbupri di perkebunan Sumatera Utara. Paska 1965 hampir seluruh perkebunan karet diganti dengan tanaman kelapa sawit. Perubahan tanaman itu mempercepat kerja buruh yakni kelapa sawit berumur 3 tahun sudah dapat dipetik, sedangkan pohon karet berumur 7 tahun baru bisa disadap getahnya. Selain itu pohon karet masih bisa memperkerjakan buruh berumur 50 tahun ke atas, sedangkan sawit hanya bisa dipanjat oleh pekerja muda atau buruh perkebunan membawa kernet dari keluarganya sendiri. Kemudian dengan pergantian pohon karet menjadi kelapa sawit, pencurian peroduk berkurang. Getah karet bisa dicuri dengan mudah dan dalam jumlah sedikit, sedangkan kelapa sawit baru bisa dicuri dalam jumlah besar agar mempunyai nilai. Buruh perkebunan yang dipecat secara bertahap digantikan penduduk lokal. Selain itu pengganti buruh perkebuanan dengan buruh anak dan perempuan. Proses pemecatan buruh perkebunan menghancurkan keterampilan mereka terlebih dahulu dan setelah itu dipecat. Pergantian proses kerja itu dimulai kembali pada era buruh kontrak di perkebunan, yang sebenarnya telah ditentang oleh organisasi buruh pada 1950-an. Status pekerja kontrak tanpa mempunyai perlindungan sosial dan jam kerja panjang dalam pertukaran komoditas.

Kesimpulan

        Dengan menempatkan buruh-buruh perkebunan bekas anggota Sarbupri di kamp tahanan Jalan Binjai Km.7, membuat mereka kehilangan hak atas pekerjaan. Juga terjadi diskriminasi pekerjaan tatkala kerja paksa diselenggarakan oleh negara terhadap buruh-buruh perkebunan. Mereka tidak mendapatkan upah yang layak dalam penyelenggaraan kerja paksa. Sementara itu, dampak pengaruh terhadap serikat buruh perkebuanan yang berkembang sekarang ini bergantung terhadap perusahaan perkebunan. Baik bergantung pada upah yang tidak layak, maupun tidak ada perlindungan sosial seperti perumahan dan jaminan kesehatan. Mereka tidak mempunyai kontrol terhadap perusahaan atas pekerjaan mereka yang layak. Tidak adanya perlindungan sosial berarti buruh perkebunan tidak mendapatkan nafkah hidup yang layak. Dalam keadaan seperti itu, hak kewarganegaraan buruh perkebunan telah dilanggar.
Sebelum September 1965 jumlah anggota buruh perkebunan Sarbupri Sumatera Utara kurang lebih 283 ribu orang. Pada saat itu, organisasi Sarbupri merupakan serikat buruh terkuat dan terkaya di Indonesia. Kekayaan Sarbupri dapat terlihat dari pembayaran yuran anggota. Ketika itu kantor Sarbupri di Medan ditumpangi oleh SOBSI yang menjadi pusat organisasi buruh. Organisasi Sarbupri kaya pula dengan kebudayaan perkebunan seperti ketoprak, wayang orang, ludruk dan seni pentas lainnya. Dampak kehancuran Sarbupri sebagai organisasi buruh perkebunan tidak hanya berupa pisik seperti kantor dibakar dan pimpinan dihilangkan paksa. Tetapi serikat buruh perkebunan kehilangan tradisi dan ingatan kolektif organisasi buruh perkebunan. Tradisi organisasi buruh perkebunan melancarkan tawar menawar dengan perusahaan perkebuan, misalnya Sarbupri menuntut kenaikan upah dan makanan yang layak bagi semua buruh perkebunan, baik untuk buruh lelaki maupun perempuan. Sarbupri juga menuntut mendapatkan pakaian yang baik bagi buruh perempuan dan lelaki di perkebunan. Tuntutan Sarbupri tidak hanya dinikmati oleh organisasi Sarbupri saja, tetapi organisasi buruh perkebunan lainnya.

Keterputusan kaum buruh perkebunan dengan ingatan kolektif masa lalu melemahkan posisi tawar menawar mereka terhadap perusahaan. Terlalu lama atas hak pekerjaan yang layak tidak dipenuhi oleh negara. Walaupun neo-liberalisme akan merusak perlindungan sosial mereka dan peran negara direduksi untuk memberikan perlindungan sosial, peningkatan keahlian kaum buruh perkebuanan dan memperkuat jaringan organisasi akan memperkuat tawar menawar terhadap perusahaan. Hanya melalui perjuangan organisasi, eksploitasi terhadap kelompok yang tidak memiliki alat-alat produksi dapat dikurangi. ***                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar