Penghilangan
Paksa dan Kehancuran Organisasi Buruh
Perkebunan
Sumatera Utara, 1965-1967
Pengantar
Perkebunan
di Sumatera Utara merupakan sumbangan utama bagi devisa pemerintah Indonesia.
Produksi tanaman dari perkebunan besar itu memberikan kontribusi 4 miliar dolar
AS. Jumlah itu berasal dari hasil 4,41 juta ton per tahun. Sekitar 27 persen
dari bentangan alam Sumatera Utara merupakan lahan perkebunan atau seluas 1,92
juta hektare yang terdiri dari 15 kabupaten (kontan, 27 Mei 2012). Perkebunan
ini pada masa kolonial Belanda dikenal sebagai cultuurgebied atau perkebunan
Deli. Pada waktu itu areal perkebunan terletak dipesisir bagian timur Sumatera.
Namun sejak 1970-an telah meluas jauh hingga bentangan alam bagian barat
Sumatera. Awalnya yang menggerakkan perkebunan Sumatera Utara ini seluruh
komponennya diimpor dari luar mulai dari modal, teknologi,staf ahli hingga
tenaga kerja. Tenaga kerja didatangkan dari wilayah Cina bagian selatan dan
kemudian buruh didatangkan dari Jawa dengan status kerja kontrak. Pada masa
kolonial buruh perkebunan tak diizinkan beraktivitas politik termasuk berkumpul
dalam organisasi massa. Kaum buruh perkebunan dikenakan poenale sanctie. Buruh
kontrak yang tidak patuh mendapatkan hukuman pemotongan upah dan penambahan jam
kerja. Sedangkan, buruh yang melarikan diri diwajibkan membayar biaya yang
digunakan perkebunan untuk melacak dan membawa kembali buruh kontrak. Hukumman
itu berlaku hingga memasuki priode pendudukan Jepang.
Pada 1957-1958 Presiden Soekarno
mengumumkan pembatalan Konferensi Meja Bundar (KMB). Kondisi ini mengakibatkan
pengambilalihan perusahaan-perusahaan perkebunan asing diseluruh perkebunan
Sumatera Utara. Pimpinan militer mengambil banyak wewenang pada perusahaan
milik Belanda itu di Sumatera Utara. Penguasaan perkebunan oleh pihak militer
adalah untuk mengontrol kaum buruh perkebunan yang bergejolak sejak 1950-an
hingga 1960-an. Selain itu, pada 1957 Soekarno menyelenggarakan demokrasi
terpimpin dan partai serta organisasi massa bertumpu pada dirinya. Sementara
itu, Angkatan Darat menguasai direksi perkebunan dan mengontrol konflik
bersenjata. Kondisi itu membuat Dewan Banteng pimpinan Letkol Simbolon bergerak
mundur hingga kepedalaman Tapanuli.
Pemogokan yang dilancarkan oleh kaum
buruh perkebunan di Sumatera Utara bertujuan mendapatkan hak mereka seperti
catu makan, upah, dan perumahan. Hampir seluruh tuntutan kaum buruh disana
dipenuhioleh pihak perusahaan. Sementara itu, pimpinan kaum buruh dalam dewan
perusahaan untuk mengontrol produksi. Serikat Buruh Perkebunan Republik
Indonesia (Sarbupri) misalnya menonjol dalam aksi tuntutan kaum buruh di
provinsi tersebut. Demikian pula Barisan Tani Indonesia (BTI) mendukung kaum
petani di Suamtera Utara untuk menguasai tanah-tanah bekas perkebunan. Situasi
ini meresahkan para pemilik kapital, terutama dari Amerika Serikat (AS) dan
Eropa, seperti Belanda, Belgia, dan Inggris. Produksi perkebunan tetap berjalan
dengan pengorganisasian kaum buruh dan tidak ada anggota Sarbupri yang tidak
mendapatkan upah dan hak-hak lainnya.
Meletusnya peristiwa Gerakan 30
Sepetember (G 30 S) 1965 di Jakarta membuat kondisi kehidupan kaum buruh dan
petani di Sumatera Utara terbalik 180 derajat. Mereka diusir dari pekerjaannya
di perkebunan. Mereka pun diperiksa dan digagahi di sebagian kamp tahanan yang
dibentuk di kota dan desa. Pimpinan yang aktif dalam Sarbupri, terutama dalam
Dewan Perusahaan, pimpinan BTI dan orang-orang yang mengorganisir lingkungan
desa seperti Pemuda Rakyat (PR) dibawa ke kamp dan diambil untuk dihilangkan
paksa di aliran sungai seluruh Sumatera Utara. Setidaknya tercatat ada tiga
wilayah korban penghilangan paksa ataupun dibunuh yakni Labuhan Batu,
Simalungun dan Langkat. Selain itu, ada tempat tahanan disebut Tempat Penampungan
Umum (TPU), dan tempat Penitipan Sementara (TPS). Pada
umumnya TPU berada di Kota Medan, sedangkan TPS berda di kecamatan. Di kedua
tempat tersebut terjadi banyak penghilangan paksa dan pembunuhan. Pengambilan
paksa para tahanan terjadi sejak Nopember 1965 dan terus berlangsung hingga Maret
1967. Beberapa bekas tahanan politik (tapol) menyatakan bahwa penyusutan
pengambilan paksa terjadi setelah pasukan Brawijaya masuk dan menertibkan
Komando Aksi dan Tentara Bukit Barisan dari pembantaian massal.
Meskipun penghilangan paksa dimulai pada
November 1965, penyerangan dan pembakaran terhadap organisasi serikat buruh dan
Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah berlangsung pada Oktober. Situasi ini
berbeda dengan wilayah lain seperti Jawa dan Bali akibat dari peristiwa G 30 S
1965. Di Sumatera Utara, terutama di Medan. Tindakan untuk menghancurkan PKI
dan terutama organisasi buruh sangat cepat. Pada 12 Oktober 1965 kantor
Sarbubri yang juga kantor Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia
(SOBSI) yang terletak di Jalan Gatot Subroto, Medan, dibakar dan dihancurkan
oleh Komando Aksi yang dikawal oleh tentara. Demikian pula, pada 16 Oktober
kantor Comite Daerah Besar (CDB) PKI Sumatera Utara yang terletak di Jalan Sisingamangaraja di depan
Makam Pahlawan, Medan dibakar oleh organisasi yang sama dengan dukungan
tentara. Apa yang menyebabkan penghancuran organisasi massa dan PKI ini sangat
cepat dilakukan oleh Komando Aksi dengan bantuan tentara? Apakah tindakan
penghancuran Sarbubri berkaitan dengan kepentingan kapital perkebunan asing? Proses
penghilangan paksa para pimpinan organisasi massa di perkebunan banyak
difasilitasi oleh perusahaan perkebunan. Para korban yang selamat dan kami
wawancarai mengatakan bahwa, “Pengambilan korban dengan menggunakan truk dan
hansip perkebunan”. Juga, penting diuraikan tentang bagaimana pola penghilangan
paksa para pimpinan organisasi massa itu? Apa polanya mirip dengan yang
berlangsung di pedesaan Jawa, bahwa pimpinanlah yang pertama kali dilenyapkan
agar mudah menganiaya anggota dan menghancurkan serikat buruh serta organisasi
massa?
Agar dapat memahami pola penghilangan
paksa terhadap pimpinan Sarbupri dan organisasi massa serta kaum kaum tani
perlu diberikan gambaran latar belakang perkebunan Sumatera Utara. Aktivitas
apa saja yang dilakukan oleh pimpinan serikat buruh dan organisasi massa di
perkebunan dan pedesaan. Pada akhirnya aktivitas mereka pun dibungkam untuk
selamanya oleh militer demi kepentingan kapital. Kelas pekerja perkebunan dan
petani liar yang menduduki tanah perkebunan mempunyai basis dan dukungan yang
berbeda. Meskipun kedua kelas tersebut tidak terlepaskan dalam menghadapi
perusahaan perkebunan.
Kaum Buruh dan Petani
“Liar” di Perkebunan Sumatera Utara
Generasi pertama buruh perkebunan
Sumatera Utara dikenal dengan panggilan “Jakon” atau “Jawa Kontrak”. Mereka
datang dari Jawa mulai awal abad ke-20 dan bekerja di perkebunan dengan
dikenakan sistem kerja kontrak. Perusahaan perkebunan memberlakukan sistem
kerja kontrak hanya untuk buruh yang berasal dari luar Sumatera Utara. Hingga
1930 perusahaan perkebunan telah telah mendatangkan hingga mencapai satu juta
lebih buruh kontrak yang terdiri dari pria, perempuan dan anak-anak. Mereka
bekerja di perkebunan tembakau dan karet. Pihak perkebunan akan menghukum buruh
perkebunan yang tidak patuh terhadap aturan perusahaan, pindah ke perkebunan
lain, atau kabur dari perkebunan. Akibat
sistem kontrak itu banyak buruh yang dikenakan hukuman gantung, penjara dan
bentuk penyiksaan lain. Kaum buruh perkebunan pun dilarang untuk mendirikan
atau menjadi anggota organisasi serikat buruh. Sebaliknya, organisasi massa
juga tidak diperbolehkan praktik atau melakukan aktivitasnya di perkebunan
(Bremen 1997:56).
Selain itu rasialisme dan diskriminasi dijalankan
oleh perusahaan perkebunan. Misalnya, orang Batak dari Tapanuli banyak yang
bekerja di perkebunan sebagai kerani atau juru bayar pengupahan kaum buruh.
Suku Batak Tapanuli memandang buruh kontrak sebagai pekerja yang buruk dan
menjadi musuh alamiah mereka. Demikian pula, perusahaan perkebunan tidak
menyelenggarakan sekolah bagi anak-anak “Jakon”. Pihak perusahaan sangat minim
menyelenggarakan kesehatan bagi kaum buruh. Buruh perkebunan disediakan pondok
sederhana dipinggir perkebunan. Pihak perusahaan juga memberikan sebidang tanah
dipinggir perkebunan agar buruh dapat bercocok tanam. Cara perkebunan seperti
itu dilakukan agar ongkos reproduksi menjadi lebih murah. Cara perusahaan itu
juga untuk tidak memiskinkan sama sekali kaum buruhnya. Dalam kondisi seperti
itu kaum buruh dapat bekerja di perkebunan dan bercocok tanam ditanah-tanah
yang disediakan. Sepanjang masa kolonial buruh perkebunan melakukan perlawanan
tanpa henti terhadap perusahaan. Mereka secara individu dan spontan melawan
tuan dan asisten perkebunan. Banyak tuan dan asisten perkebunan yang terbunuh
oleh pisau “penderes” pohon karet.
Pada pendudukan militer Jepang
perkebunan digunakan untuk penanaman tanaman makanan. Buruh perkebunan oleh
militer Jepang diizinkan untuk menduduki dan mengolah tanah perkebunan. Hampir
sekitar 250 ribu hektare dari 700 ribu hektare lahan perkebunan diduki kaum
buruh. Namun demikian kelas pekerja perkebunan tidak lepas dari kekejaman
militer Jepang dan hampir separo dari jumlah buruh perkebunan dipekerjakan
sebagai romusha di pedalaman Sumatera Selatan, Kalimantan, dan Birma.
Diperkirakan hampir lima puluh persen dari jumlah keseluruhan kuli kontrak
tidak kembali dari kerja paksa sebagai romusha (Stoler 1996:76).
Setelah Perang Dunia II hampir separo
perkebunan rusak total dan yang sangat penting adalah pihak perusahaan
mengalami kekuarangan buruh. Banyak pemilik perusahaan perkebunan yang balik ke
Sumatera Utara lagi berkeinginan untuk kembali ke masa perkebunan kolonial.
Sementara itu sekitar 130 ribu perkebunan telah diduduki oleh bekas kuli
kontrak. Perusahaan perkebunan tidak dapat lagi menjalankan praktik kerja
kontrak tertutup dan mereka mesti mengizinkan serikat-serikat buruh untuk
membela kepentingan kaum buruh perkebunan. Sarbupri yang berdiri pada 1946
sangat aktif membela hak-hak kaum buruh perkebunan. Tahun setelah pergolakan
daerah, perkebunan lama seperti Labuhan Batu, Simalungun dan Langkat mulai
didatangi lagi para migran Jawa meski belum banyak. Pada 1951 sistem kerja
kontrak ditegakkan lagi dengan pengawasan dari Departemen Perburuhan Republik
Indonesia. Terdapat persyaratan bahwa buruh hanya dikontrak oleh perusahaan
selama 3 tahun dan setelah itu dapat melakukan hubungan kerja dengan perusahaan
melalui serikat buruh. Mulai 1951 hingga 1958 mengalir buruh migran dari Jawa
menuju perkebunan sebanyak 29 ribu orang.
Kemudian 1960-an, jumlah buruh kontrak meningkat hingga mencapai 38 ribu
orang.
Selama priode 1950-an, Sarbupri
mempunyai anggota buruh perkebunan sekitar 100 ribu orang dan ini menjadi
anggota SOBSI terbesar di Sumatera Utara (Stoler 1996:77). Buruh perkebunan
melancarkan pemogokan bila jatah makan, upah dan perumahan diabaikan oleh pihak
perusahaan. Perusahaan Amerika Serikat yang bergerak di bidang karet seperti
Wingfoot dan Goodyear di Labuhan Batu sering dilanda pemogokan. Pada dekade
1950-an misalnya terjadi 700 pemogokan kaum buruh Sumatera Utara itu
menyumbangkan separo dari “hilangnya” 700 ribu jam kerja aksi pemogokan kaum
buruh Indonesia (Stoler 1997: 189). Buruh perkebunan yang berserikat dalam
Sarbupri setiap menjelang hari raya Lebaran melancarkan pemogokan untuk
mendapatkan perbaikan upah dan catu makan serta pakaian. Pada umumnya untuk
catu makan dituntut jatah beras yang tidak bercampur krikil, juga jatah ikan
asin yang masih baik dan tidak pahit.
Sementara itu pengambil-alihan
perkebunan modal asing di perkebunan besar Sumatera utara terjadi sebanyak dua
kali. Pertama, ketika terjadi nasionalisasi perusahaan sebagai dampak dari
kegagalan negosiasi soal Irian Barat. Itu berlangsung pada 1957 terhadap
perkebunan milik Belanda. Kedua pada 1961 terhadap perkebunan milik Belgia.
Perusahaan perkebunan Belgia paling besar di Sumatera Utara terdiri dari
perkebunan karet dan kelapa sawit. Pengambil-alihan itu merupakan solidaritas
internasional terhadap pembunuhan Perdana Menteri Kongo Patrice Lumumba pada
awal Maret 1961. Kongo adalah wilayah kekuasaan imperialisme Belgia.
Pengambil-alihan itu terjadi selama berlangsung pemogokan hingga dua pekan.
Pemogokan buruh perkebunan dipusatkan di Labuhan Batu karena sentra dari
perusahaan Belgia berada disana. Kemudian, bertepatan pada pertengahan Maret
1961 dirayakan pula sewindu Peristiwa Tanjung Morawa. Acara peringatan peritiwa
tersebut dihadiri pula oleh Djalaludin Jusuf Nasution dari CDB PKI
Sumatera Utara. Dalam kesempatan itu, Djalaludin menegaskan untuk
memberikan pelajaran terhadap kolonialisme Belgia melalui pengambil-alihan
perkebunan mereka di wilayah Sumatera Utara itu berlangsung selama beberapa
pekan dan hanya jeda sejenak karena kedatangan Presiden Soekarno di Medan.
Pemogokan solidaritas itu juga sangat cerdas di tengah-tengah kontrol militer
dan negara terhadap pergerakan buruh. Pergerakan buruh di Sumatera Utara pada
dekade 1960 mengalami kemerosotan karena hampir seluruh manajer perusahaan
dikuasai militer dan mereka membuat larangan pemogokan.
Sementara itu, perkebunan terbesar milik
Belgia di Sumatera Utara yang berlokasi di Labuhan Batu dengan penduduk
terbanyak adalah orang Jawa. Terdapat satu daerah perkebunan bernama Padang
Halaban yang melingkupi tujuh desa. Pada 1950-an penduduk diwilayah itu hidup
berdikari dengan menanam ubi, jagung, tebu dan kelapa untuk produksi gula
merah. Wardik keturunan Jawa Kontrak (Jakon), yang tinggal disalah satu desa
Padang Halaban ini bercerita tentang lingkungan desa disana.
Ketika ada perintah berdikari dari
Presiden Soekarno, mereka menanam ubi seluas hektaran. Padang Halaban dimana
saya dibesarkan itu kreatif masyarakatnya. Pada 1950-an kesulitan gula merah
dengan menanam banyak tebu dan kelapa di Padang Halaban. Jadi kampung itu, ada
kampung Sidomulyo, ada Karang Anyar, ada Purwodadi, Purworejo, ada Sukadane,
ada juga blok M, ada juga Kertosentono, ada 7 desa itu semua adalah orang Jawa.
Ada sedikit orang kita Batak. Perlu dicatat di desa-desa itu tidak ada masalah
suku, ras dan agama, tidak pernah kita dengar. Bahkan saat itu gotong royong
itu begitu kuat.
Warga desa di Padang Halaban pada
1960-an malah telah membangun gedung sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah
pertama (SMP). Pembangunan sekolah itu atas inisiatif masyarakat dan Sarbupri
agar anak-anak dapat bersekolah di kampungnya sendiri. Selain itu, kehidupan
kebudayaan dikampung itu hidup dinamis seperti wayang orang, ketoprak dan seni
pentas lainnya. Lakon yang dibawakan adalah kisah pemuda yang memprotes tuan
kebun Belanda. Seni pertunjukan ini dibawakan oleh buruh perkebunan keturunan
Jawa atau generasi kedua dari Jakon. Perkembangan seni drama atau pertunjukan
di Sumatera Utara itu juga tidak terlepas dari pertumbuhan Lembaga Kebudayaan
Rakyat (Lekra). Dipenghujung 1950-an terjadi reorganisasi lembaga seni
pertunjukan yaitu setiap lembaga menitik beratkan pada pementasan seni drama
seperti ludruk ketoprak, wayang orang dan lain-lain. Sebagai contoh di Langkat
dekat Medan terdapat satu perkebunan bernama Tanjung Keliling. Di perkebunan
tersebut buruh perkebunan mendirikan kelompok kesenian ketoprak keliling dari
satu perkebunan ke perkebunan lain di wilayah Langkat. Salah seorang bekas
anggota kesenian ketoprak keliling itu bercerita:
“Buruh perkebunan Tanjung Keliling
mempunyai kelompok ketoprak bernama Langen Setyomudo, artinya kesenian
orang-orang muda. Kami mendapatkan honor. Honornya dibagi nanti dimasukkan ke
kas untuk perbaikan alat-alatnya. Penduduk banyak menonton kesenian itu. Ya
banyak. Setiap ada pesta biasa itu. Di tingkat kecamatan sudah dikenallah. Pada
hari-hari besar, itu perkebunan bertindak atau umpanya ada beberapa kongsinya
dibagi itu. Hari ini main disini, besok main disana. Itu dibayar itu. Dikasih
itu waktu perusahaan dibayar itu. Biasanya kalau main ketoprak di perkebunan di
pajak. Pajak itu ya macam kayak gubuk itu saja gitu. Tapi disekat gitu dikit,
ha itu untuk tempat apa namanya pakaian gitu saja, panggung gitu. Pajak
didirikan kalau masyarakatnya umpamanya di situ memungkinkan Sarbupri
mendirikan di situ berdiri. Jadi orang Sarbupri itu dulu disediakan untuk itu”.
Hampir setiap perkebunan terdapat
organisasi Sarbupri dan mempunyai kelompok kesenian seperti ketoprak. Kelompok
ketoprak seperti Langen Setyomudo ketika berkeliling dari perkebunan ke
perkebunan senantiasa aktivitasnya diliput oleh surat kabar setempat. Liputan
koran lokal itu membuat kelompok kesenian ini terkenal dan dikenal dilingkungan
perkebunan lain. Kondisi seperti itu pula ketika pecah peristiwa 30 September
1965 membuat anggota kelompok ketoprak ikut ditangkap dan mendekam dipenjara
selama puluhan tahun.
Kekerasan dan
Penghilangan Paksa
Ketika pecah peristiwa 30 September 1965
di Jakarta, di Medan belum terjadi penyerangan dan penangkapan. Penangkapan dan
penyerangan baru berlangsung pada 12 Oktober terhadap pimpinan PKI dan
organisasi massa kiri. Peristiwa penyerangan ini paling cepat terjadi di
seluruh Indonesia. Tampaknya ini dimungkinkan dengan kesiapan militer terutama Kodam II Bukit Barisan yang dipimpin
oleh Brigjen
Darjatmo . Pada 12 Oktober 1965 terjadi pawai dan arak-arakan massa
anti PKI di sekitar kota Medan. Kemudian pawai itu berakhir dengan penyerbuan
kantor Sarbupri di Jalan Binjai. Kantor Sarbupri yang juga menjadi kantor
SOBSI Sumatera Utara, pawai
dan arak-arakan anti PKI itu berusaha membakarnya. Pada peristiwa
penyerbuan kantor Sarbupri itu, Ketua Dewan Pimpinan Cabang SOBSI Medan,
Zakir Sobo mati terbunuh oleh massa. Penyerbuan kantor Sarbupri itu mendapat
pengawalan dari pasukan Kodam II Bukit Barisan.
Empat hari kemudian, pada 16 Oktober
menyusul penyerangan dan pengerusakan kantor CDB PKI Sumattera Utara di Jalan Sisingamangaraja,
depan Taman Makam Pahlawan. Penyerbuan kantor CDB PKI ini penanda penangkapan
besar-besaran bagi anggota PKI dan ormas yang bersekutu dengan partai ini.
Dengan berlangsungnya penyerangan berutal dari kelompok yang menyebutkan diri
Komando Aksi Pengganyangan G 30 S PKI itu membuat para pimpinan PKI dan
organisasi serikat buruh menghindar dan bersembunyi. Mereka bersembunyi hampir
selama sebulan. Ada yang bersembunyi di kampung dan perkebunan. Kemudian karena
mereka kekurangan makanan untuk bertahan hidup, mereka pun keluar dari tempat
persembunyian. Misalnya Tandek Ginting, salah seorang anggota PKI Kabanjahe
yang berusaha bersembunyi tetapi karena kekurangan makanan dia keluar dari
persembunyiannya dan tertangkap. Hampir seluruh pimpinan PKI dan organisasi
massa seperti Sarbupri dan Lekra keluar dari persembunyian dan ditangkap oleh
gerakan massa dan militer. Djalaludin Jusuf Nasution, Sekretaris I CDB PKI Sumatera
Utara bersama Peris Pardede anggota Comite Central ditangkap dan
dijebloskan ke penjara di Jalan Listrik Negara, Medan. Pada Desember 1965, Djalaludin
dan Peris Pardede diajukan ke Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) di Medan.
Sepanjang pertengahan Oktober hingga
akhir November, banyak pimpinan partai, organisasi massa, dan serikat buruh
bersembunyi. Mereka bersembunyi di pondok-pondok perkebunan atau dirumah
kerabat. Misalnya Dahlia, dia sekarang berumur 60-an tahun, bekas anggota Dewan
Nasional Pemuda Rakyat (PR), asal Gambir, Berastagi. Pada 12 Oktober
dia baru kembali dari Jakarta untuk mengikuti Sidang Dewan Nasional (Denas)
Pemuda Rakyat. Ketika tiba di Medan suasana telah berubah mencekam, Kantor
SOBSI dan CDB PKI Sumatera Utara telah diporak-porandakan. Dahlia tidak berani
mendekati lokasi kedua gedung tersebut. Dia memutuskan untuk kembali ke
kampung. Tiba di kampung Gambir, dia tidak langsung kembali kerumah, tetapi
menginap dirumah kerabatnya. Di kampung itu dia telah mendengar
“ganyang-ganyang PKI”. Setelah hampir sebulan, lurah Gambir bicara kepada ibu
Dahlia dan mengatakan “syukurlah anak bibi selamat dirumah ini”. Dahlia tidak tahu
dari siapa lurah itu mendapat khabar tentang keberadaan dia. Ketika lurah itu
bicara dengan ibu Dahlia, sebetulnya dia telah dua hari tinggal dirumah ibunya.
Dahlia berbicara mengenai proses penangkapan dirinya sebagai berikut.
“Jadi bagaimana ya, ya sudah enggak
apa-apa, sudah tahu pun enggak apa-apa. Di penjara juga enggak apa-apa bukan
aku sendiri kok yang..... tapi orang banyak. Kalau masuk jangan dibunuhlah
anakku, enggaklah masa dibunuh. Nggak ada yang dibunuh. Sudah diantar mamahku
sampe masuk kepenjara, sampe ke sel. Aku ditelanjangi, semua sampai ke kantor
polisi, mamahku diluar enggak apa-apa mak. Mereka menelanjangi aku mau melihat
tanda PKI, cap PKI ada disana”.
Sementara itu, penyerangan terhadap
kantor SOBSI dan CDB PKI Sumatera Utara di Medan 12 dan 16 Oktober, di
pedesaan Sumatera Utara penangkapan justru baru dimulai dan orang yang masih
dalam tahap dicurigai dikembalikan kerumah masing-masing. Setelah itu orang
yang merasa pimpinan serikat buruh, partai dan organisasi massa menyingkir dan
bersembunyi di pedesaan. Pada 17 Oktober, pimpinan partai, organisasi, dan
serikat buruh berkumpul di kantor Serikat Buruh Kereta Api (SBKA). Mereka
berkumpul setelah penguburan Zakir Sobo, pimpinan SOBSI Medan yang tewas karena
penyerbuan massa Komando Aksi. Mereka lalu menyebar ke arah Padang Bulan,
Sunggal, Mabar, dan Labuhan Deli. Tujuan mereka menyebar adalah untuk
bersembunyi. Penangkapan dan pengejaran terhadap pimpinan partai dan ormas
dimulai pada akhir Oktober dan awal Nopember setelah pimpinan partai, ormas dan
serikat buruh muncul kembali. Mereka kembali kerumah karena kesulitan logistik.
Dahlia bercerita mengenai awal penangkapan dirinya di kampung.
“Penangkapan di kampung terhadap
pengurus-pengurus partai, BTI, Pemuda Rakyat. Itu semua ditangkap. Yang
menangkap mereka adalah, Komando Aksi, polisi ada militer, dan Komando Aksi
entah pemuda-pemuda dari mana, dari luar daerah kampung. Di kampung (Gambir,
Berastagi) kami itu enggak begitu banyak yang ditangkapnya pun, pagi-pagi kita
dipanggil ke rumah lurah, dari situ terus dibaw ke Berastagi, nanti kalau sudah
diperiksa di Berastagi ada yang langsung dipulangkan, ada yang ditahan di Kaban
Jahe. Di Berastagi ada kantor polisi, waktu itu kampung kami polisinya di
distrik Berastagi”.
Penghilangan paksa berlangsung pada
November, Desember, Maret 1966, hingga Nopember 1967 dan sedikit berbeda dengan
daerah bukan perkebunan. Di wilayah perkebunan penghilangan paksa dimulai
Nopember hingga Maret 1966. Sementara itu di Kaban Jahe dan Berastagi sebagai
daerah pertanian penghilangan paksa berlangsung pada Maret 1966, dan
penangkapan di dua wilayah itu telah berlangsung pada Oktober. Umpamanya
penangkapan Tande Ginting pada akhir Nopember dan kemudian dibawa ke
penjara Kaban Jahe, sebagai titipan Kodim di Kaban Jahe. Pada 3
Maret 1966, dia dibawa bersama 12 orang lainnya dan mereka
tidak pernah terlihat kembali. Dahlia bercerita tentang hilangnya Tande
Ginting, orang yang mengajak dia untuk aktif dalam Pemuda Rakyat.
“Saya bertemu Tande
Ginting terakhir di penjara Kaban Jahe. Pada waktu itu kondisi dia sehat. Bung
Tande di tangkap, dia lari-lari di luar kampung. Dia ada beberapa orang, ya,
bung Tarigan,
bung Tande, dan bung Saut. Jadi kehabisan bahan makanan dia, pulang dia ambil
bahan makanan. Ada famili yang menyampaikan ke kepala kampung, pada lurah itu
dia sudah pulang teruslah dikejar orang itu bersama polisi. Terus diambil dia
dan dibawa ke penjara Kaban Jahe. Dia dibawa bersama 12 orang lainnya tidak
kembali lagi”.
Tande Ginting berasal
satu kampung dengan Dahlia. Sebenarnya Tande Ginting yang mengajak Dahlia untuk
mulai aktif di PR agar dapat mengubah desa menjadi tertata dan bersih. Pada
1958 Tande Ginting mendorong pemuda-pemudi untuk membersihkan desa. Setiap hari
Minggu pemuda-pemudi bergotong royong membersihkan kampung. Ini memperlihatkan
peranan Tande Ginting yang menonjol di kecamatan Kaban Jahe. Dia menjadi orang
penting di kampung Gambir yang menyediakan alat-alat pertanian dan membeli alat
itu secara kolektif ke kota. Tande Ginting diambil dari penjara Kaban Jahe pada
malam hari dan tidak pernah kembali.
Pimpinan kampung dan
desa hilang di pedesaan Sumatera Utara pasca 30 September1965. Penghilangan
paksa dan pembunuhan terhadap orang yang dituduh komunis terjadi sejak Oktober,
Maret 1966 hingga Nopember 1967. Cerita yang beredar dikota Medan dan
perkebunan Sumatera Utara bahwa pengambilan dan penculikan orang dilakukan pada
malam hari. Pimpinan dan tokoh organisasi massa itu diambil oleh tentara, yakni
tentara batalion dan Kodim. Tentara yang melakukan pengambilan pimpinan desa
diceritakan oleh Wardik:
“Menurut cerita yang
beredar, tentara dari Kodim. Tentara Kodim itu kan punya tentara batalyon, iya
Bukit Barisan. Itu enggak rahasia umum lagi kalau yang nyulik tentara. Pada
umumnya malam hari mereka dibawa. Menurut cerita orang yang tahu bapak saya
yang diberangkatkan itu malam, selang satu hari kakak saya datang bapak sudah
enggak ada. Kami cariin terus di tiap-tiap kamp yang ada orang ditahan itu
enggak ada sudah. Pak Langkir itu kepala desa di Padang Halaban. Desa
Sidomulyo. Dia kepala desa”.
Langkir sebelum menjadi
kepala desa aktif di perkebunan. Dia memperjuangkan gagasan kemerdekaan di
perkebunan. Langkir aktif juga di PKI Labuhan Batu. Pimpinan serikat buruh
seperti Sarbupri dan SBKA menghormati dia, karena senantiasa membela kehidupan
kaum buruh. Dia aktif pula dalam pembagian tanah dikalangan buruh perkebunan.
“Satu blok terdiri dari 4 hektare harus dibagi tiga tidak boleh lebih, pimpinan
dan anggota harus sama”. Langkir ditangkap pada Oktober dan menjadi orang
pertama yang diambil dari kampung Sidomulyo. Tentara yang menjemput mengatakan
“Bapak saya bawa ke Kodim”. Setelah dari Kodim , Langkir dipindahkan ke bekas
kantor PKI di Rantau Prapat. Selang beberapa hari dia dipindahkan ke SMP Fadjar
agak lama sekitar beberapa bulan.
Kemudian dia dipindahkan ke kamp Aek Tapa dan hilang entah
kemana. Langkir hilang pada Februari 1966 dari kamp Aek Tapa, Labuhan Batu.
Narasi yang beredar dari mulut ke mulut di Padang Halaban , Langkir ditembak
bersama 7 orang lainnya dan dikuburkan dalam satu lubang. Lokasi kuburan berada
di Aek
Nabara, kecamatan Silangkitang, Labuhan Batu.
Selain itu Wardik
mempunyai kakak yang aktif di Pemuda Rakyat dan juga guru SMP Cinta Karya Desa Sidomulyo.
Kakak Wardik bernama Salam Kemerdekaan, lahir pada 1945 di Sidomulyo, Padang
Halaban. Pada November Salam dibawa dan ditahan Komando Aksi dengan tangan
terikat diatas motor gerobak. Ada beberapa orang menyaksikan dia dibawa ke
Panigoran. Lokasi desa Panigoran ini dekat dengan stasiun kereta api karena
Panigoran adalah perkebunan besar. Daerah perkebunan besar Panigoran pasca 30
September 1965 disulap menjadi markas dan pos-pos perkebunan Komando Aksi.
Salam dari Panigoran dibawa ke Parang Bengkok yang merupakan lembah tikungan,
“disitulah kawan-kawan dihabisi, ribuan disitu bukan ratusan”. Jarak Panigoran
dengan Rantau Prapat hanya hanya beberapa kilometer.
Tahun 1968 di penjara
Siantar masih terjadi penghilangan paksa. Pada pertengahan 1967 di penjara Siantar si Polan diambil bersama
enam orang lainnya dan tidak pernah kembali. Saat itu pengambilan tahanan politik
di penjara Siantar dilakukan setiap dua malam sekali. Menurut kabar dari mulut
ke mulut bahwa banyak dari mereka di buang ke Sungai Ular. Sungai ini berkelok-kelok
dan panjang. Kemudian pada 1968, Sanusi dari Bandar Betsi menjelang magrib
diambil dari penjara Siantar dan tidak pernah kembali. Menurut catatan kami
diseluruh Sumatera Utara tedapat 427 orang yang dihilangkan paksa. Jumlah itu
terjadi baik di kamp tahanan atau penjara yang diambil oleh tentara maupu
penghilangan paksa orang-orang desa oleh Komando Aksi.
Pada awal 1966 masuk
pasukan Brawijaya ke Labuhan Batu dan perkebunan pesisir bagian timur lain
Sumatera Utara. Di Labuhan Batu situasi yang begitu panas dan mencekam dan
berubah mencair dengan penembakan tiga pimpinan Komando Aksi yakni Marga Sani,
Siringringo dan Pasaribu. Peristiwa itu sekaligus mengubah situasi tidak lagi
ada penculikan dan pembunuhan dipedasaan Sumatera Utara. Pada waktu itu
masuknya Brawijaya ke Labuhan Batu oleh masyarakat dianggap sebagai malaikat.
Siatuasinya melegakan masyarakat. Dengan masuknya pasukan Brawijaya penculikan
di kampung mereka, tetapi penculikan di kamp tahanan tetap berlangsung. Sebagaimana
ditegaskan oleh Wardik. “Dikampung Sudah aman, tetapi didalam kurungan itu
seperti ayam yang mau dijual”. Wardik juga menceritakan kondisi tahanan Kodim
Rantau Prapat dan Aek Tapa pada waktu itu, tempat tahanan bapaknya sebelum
dihilangkan paksa.
“Umpamanya di Kodim,
Kodim Rantau Prapat itu kan nggak muat. Ada bangunan SMP ditarok disitu. Ada
gudang ditarok disitu. Kalau yang sudah pasrah itu di Aek Tapa termasuk bapak
saya dibilang golongan A dan siap dibunuh gitu, dan memang kenyataannya begitu,
habis orangnya, tiap malam dibawa-tiap malam dibawa tentara, yang culik itu
tentara katanya, katanya tentara”.
Kondisi kamp tahanan
begitu buruk, terutama keadaan toilet. Setiap kamp tahanan hanya mempunyai satu
dan paling banyak dua kamar mandi dan WC. Tetapi kamp sering kali ditempati
oleh puluhan atau ratusan tahanan politik. Lagi pula kamp tahanan di Sumatera
utara adalah ruang publik, misalnya di Langkat TPS-nya adalah bekas pertunjukan
bioskop. Gedung bioskop itu menampung ribuan buruh perkebunan dan hanya
mempunya dua kamar mandi dan WC. Di gedung bioskop Langkat itu banyak buruh
perkebunan yang dihilangkan paksa. Penghilangan paksa dikamp tahanan mulai mereda
setelah tahanan dikerja-paksakan diperkebunan dan pekerjaan publik lain yang
tidak dibayar. Kerja paksa untuk tahanan politik Sumatera Utara di pusatkan di
Tanjung Kasau. Dari kamp Tanjung Kasau para disebarkan ke beberapa lokasi proyek
kerja paksa dan kembali lagi ke Tanjung Kasau. Mereka melakukan kerja paksa
hingga 1978 dan kemudian dipulangkan ke desa masing-masing untuk kembali hidup
“normal”.
Kamp-kamp
Tahanan.
Gedung kamp tahanan di
kota Medan yang berjumlah delapan sebelumnya adalah tempat dan ruang publik
yang disulap menjadi kamp tahanan. Umpamanya beberapa kamp tahanan adalah
bangunan sekolah, misalnya gedung sekolah Andalas merupakan sekolah swasta
milik Baperki (Badan Permusyawatan Kewarganegaraan Indonesia). Gedung sekolah
itu terdiri dari dua lantai dengan kamar dan ruang-ruang kelas. Gedung tersebut
hingga sekarang tetap dipertahankan dengan arsitektur Minangkabau. Sementara
itu, kamp tahanan di Jalan Merbabu merupakan gedung sekolah tiga lantai yang
juga milik Baperki. Gedung itu tempat penahanan etnis Tionghoa kaya. Mereka menjadi ajang transaksi sogok menyogok
antara tahanan etnis Tionghoa kaya dan tentara. Kemudian kamp di Jalan Sena,
pasca peristiwa 30 September adalah rumah kopel yang baru dibangun dan
diperuntukkan bagi perwira Angkatan Darat, Corp Polisi Militer (CPM).
Hingga sekarang
beberapa gedung kamp tahanan tetap bertahan seperti gedung sebelumnya. Misalkan
Sekolah Andalas di Jalan Cik Di Tiro masih tetap dan digunakan sebagai Gedung
PKK Medan. Namun beberapa gedung telah menjelma menjadi gedung raksasa menjulang
tinggi seperti, kamp tahanan Jalan Gandhi. Penjara Sukamulia yang terletak di
Jalan Palang Merah Indonesia juga telah menjadi rumah dan toko (ruko).
Kamp-kamp tahanan itu terbagi dalam kelompok TPU A,B,C, dan D. Maksud
pengkelompokan itu untuk menempatkan tahanan politik tinggi dan rendah. Contohnya
kamp tahanan Jalan Sena masuk kelompok TPU A, dan Jalan Merbabu ke TPU A.
Sementara itu, kamp tahanan Jalan Binjai masuk ke kelompok TPU C . Sedangkan
TPU penjara Sukamulia TPU A dan B. Namun dikemudian hari pengelompokan
itu tidak ketat karena anggota buruh Sarbupri bisa masuk ke kelompok TPU A .
Dibawah ini diuraikan kamp tahanan kamp tahanan di kota Medan yang menjadi
tempat penghilangan paksa sejumlah tahanan politik.
Kamp tahanan di Jalan
Sena berbentuk rumah-rumah kopel untuk perwira Corp Polisi Militer (CPM),
rumah-rumah itu bergandengan dari blok A hingga F. Tatkala
dipergunakan sebagai kamp tahanan, rumah paling depan dipergunakan sebagai
tempat interograsi dan penyiksaan. Rumah kopel itu dikelilingi pagar berduri
dan dijaga oleh tentara bersenjata. Kamp tahanan Jalan Sena masuk ke satu
kompleks Markas POMDAM II Bukit Barisan. Sebelum priode 1965, kamp tahanan
Jalan Sena masuk ke kompleks gedung milik Deli Spoorweg Maatschappij (DSM).
Pada 1957 area kompleks gedung DSM di nasionalisasi oleh Republik Indonesia,
dan sebagian besar dari kompleks itu di ambil alih oleh KODAM II Bukit Barisan.
Kamp tahanan di Jalan
Sena termasuk katagori rumah tahanan TPU A, dalam pengertian tempat tahanan
kelas A di Sumatera Utara. Mereka yang ditahan disana berpotensi dapat diadili
di pengadilan militer. Rumah tahanan ini dibagi dalam blok A-F dan juga
terdapat blok tahanan untuk perempuan. Di kamp tahanan Jalan Sena ini terjadi
penghilangan paksa dalam jumlah besar. Pada 10 Desember 1965 diselenggarakan
aksi rasialisme dan merupakan gelombang pertama penghilangan paksa di kamp itu.
Tahanan gelombang pertama yang dihilangkan paksa adalah Sudirman, berumur 40
tahun, Wakil Sekretaris Comite Kota PKI Medan dan Wakil Ketua Front Nasional
Medan. Kemudian Imran Djoni, Penanggung Jawab dan Pimpinan Redaksi
Harian Bendera Revolusi organ PNI Front Marhaenis Pada saat
dihilangkan paksa Imran berumur 32 tahun. Dia juga Ketua Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) dan Kepala Lembaga Kantor Berita Negara (LKBN) Antara, Medan.
Selanjutnya Margono Ketua BTI Percut, Saibun Sianaga Ketua SOSI Sumatera Utara,
Tan Foe Kiong, Penanggung Jawab Harian Gotong Royong Medan. Dia menjabat pula
Sekretaris PWI Medan. Pada waktu yang sama hilang pula Diapari Siregar, berumur
40 tahun dan pimpinan Serikat Buruh Listrik dan Gas.
Pada 27 Mei 1966, kamp
tahanan TPU A Jalan Sena kemudian melakukan penghilangan paksa gelombang kedua
dengan jumlah yang dihilangkan 27 orang. Mereka yang dihilangkan saat gelombang
kedua antaranya ialah Rumiyati, berumur 37 tahun dan ketua Gerwani Sumatera
Utara, Maisih Ismail berusia 37 tahun dan ketua Gerwani Medan, Lisma berusia 26
tahun, mahasiswi IKIP Medan dan anggota Consentrasi Gerakan Mahasiswa
Indonesia (CGMI), Bacharuddin Nasution, anggota DPRD-GR Kabupaten
Deli Serdang dan ketua BTI Deli Serdang, dan Hasan Basri Pulungan,
berusia 27 tahun dan Sekretaris II Pimpinan Daerah Besar
Pemuda Rakyat Sumatera Utara. Penghilangan
paksa juga terjadi pada pertengahan November 1967, kali ini terhadap 40 orang tahanan, sebagian Mahasiswa
Akademi Ilmu Sosial Ali Archam yang pada bulan Oktober 1965 sedang mengadakan
peneletian dibeberapa desa di Sumatera Utara, antara lain yang dihilangkan L.S.
Rento berusia 26 tahun, Farida Rani 25 tahun, Paidjan 25 tahun, Soenarto 25
tahun.
Kamp tahanan Jalan
Merbabu No. 28, sekarang kamp tahanan ini masih seperti bangunan asli. Gedung
itu terdiri dari tiga lantai dengan ruangan berukuran 3x4 meter sebanyak 24
buah. Kini gedung dipergunakan sebagai kantor Pengurus Daerah Generasi Muda
FKPPI dan kantor KNPI Sumatera Utara. Tampaknya gedung tersebut sudah tidak
dirawat lagi. Gedung itu sebelum diubah menjadi kamp tahanan merupakan sekolah
milik Baperki. Kamp tahanan jalan Merbabu No. 28 ini, diperuntukkan untuk
tahanan etnis Tionghoa kaya. Mereka yang menjadi tahanan di sana mempunyai
latar belakang pengusaha besar dan profesional, seperti dokter bedah, dan
dokter ahli kandungan. Mereka semua oleh militer dituduh ikut terlibat dalam
gerakan komunis Indonesia. Para tahanan itu berkeinginan bisa bebas dan pergi
ke luaar negeri, tetapi mereka jutru menjadi ajang sapi perah perwira militer di
Medan. Diantara etnis Tionghoa yang menjadi sapi perah perwira militer dan bisa
ke luar negeri ialah Kong Sio Mo, pemilik pabrik besi baja Suma Grup; kemudian
Dokter FM La Li Sang yang berhasil pergi ke Belanda; Dokter Kho En Hua ahli
parasitologi tamatan salah satu Universitas di Amerika Serikat, dan Tan Fu
Siang yang berhasil pergi ke Belgia. Sementara itu etnis Tionghoa yang tidak
dapat dipergunakan sebgai sapi perah disebut sebagai “Cina kebun sayur”,
dipindahkan dari TPU Jalan Merbabu ke TPU C Jalan Binjai.
Kamp tahanan TPU C
terletak di Jalan Binjai Km.7, sekarang Jalan Gatot Subroto. Dewasa ini area
kamp tahanan itu menjadi Markas KODAM II Bukit Barisan. Dihalaman luas Markas KODAM itu
berdiri monumen patung Djamin Ginting (bekas panglima pertama setelah berdiri
KODAM II Bukit Barisan yang sebelumnya adalah Teritorium I (TT I), masih
bergabung dengan Aceh. Djamin Ginting menggantikan Kolonel M. Simbolon yang
ikut melakukan pemberontakan PRRI-Permesta pada 1957. Brigjen
Djamin Ginting digantikan Brigjen Manaf Lubis, sedangkan Letjen Djamin Ginting
di tahun 1965 menjabat sebagai Wakil Ketua DPR-RI mewakili Sekber Golkar.
Pada
awalnya kamp tahanan itu adalah tanah perkebunan seluas 10 hektare dan menjadi
tahanan chusus buruh perkebunan anggota Sarbubri Sumatera Utara. Akhirnya
karena tahanan TPU Jalan Merbabu dan TPU Jalan Sena dikosongkan sebagian
tahanan dipindahkan ke TPU Jalan Binjai dan sebagian lagi ke TPU penjara
Sukamulia yang berganti nama menjadi Inrehab Sukamulia. Kamp tahanan
Jalan Binjai terdiri dari 20 barak yang terdiri dari antara lain barak No. 6
dan 9 untuk perempuan, dan barak No. 11 untuk indoktrinasi. Di
kamp Jalan Binjai di awal hingga pertengahan 1966 sudah terjadi penghilangan
paksa pada malam hari diantaranya dihilangkan, Djonatan berumur 28 tahun, dan
anggota Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) Medan, Achmad Sukri berumur 19 tahun
dan anggota Pemuda Rakyat, Muluk berusia 35 tahun dan anggota SOBSI Medan.
Penjara di
Jalan Listrik Negara adalah
penjara peninggalan pemerintah Belanda. Penjara ini terletak ditengah kota Medan
dan di tepi sungai Deli. Pada masa kolonial kawasan itu berdekatan dengan
kesultanan Deli. Dewasa ini penjara telah disulap menjadi pusat hiburan, cafe, aula besar
dan restoran, Gedung Selekta. Pada Desember 1965 Martin Saragih berumur
27 tahun dan Ketua CGMI Sumatera Utara dihilangkan paksa dari penjara Jalan
Listrik. Dia hilang bersama dengan tapol TPU A Jalan Sena. Menurut cerita yang
beredar dikalangan korban mereka dibawa dari penjara Jalan Listrik pada
malam hari menuju Sungai Ular dan sungai Buaya. Pada tahun awal 1970-an sebelum
dipindahkan ke RTM Jalan Pantai Timur Jalan Binjai dan akhir tahun 1970 sampai
awal 1980-an, Narapidana Politik (Napol), yang telah dijatuhi hukuman oleh
Mahmilub maupun Mahmilti ditempatkan di penjara Jalan Listrik, baik yang
dijatuhi hukuman mati, hukuman seumur hidup, 20 tahun dan 15 tahun penjara.
Diantaranya Peris Pardede anggota CC PKI, Djalaludin Jusuf Nasution Sekretaris
Pertama CDB PKI Sumatera Utara, PP Gangga Wakil Sekretaris CDB PKI Sumatera
Utara, Brigjen Ulung Sitepu Gubernur KDH Sumatera Utara, Kolonel Maliki
Komandan Brigif 7, dan napol yang lain
.Lalu penjara Sukamulia
yang berdiri sejak awal abad ke-20, di Jaman kolonial Belanda terletak di Jalan
Palang Merah Indonesia. Dewasa ini lokasi penjara itu telah berubbah menjadi
ruko-ruko. Kawasan ini masih tersisa bergaya etnis Tionghoa yang beranda
rumahnya mempunyai tempat sembahyang Konghucu. Keadaan itu menandakan kompleks
perumahan disekitar penjara pernah menjadi kawasan pecinan Kota Medan.Kompleks
penjara itu terdiri dari 20 kamar tahanan. Sementara itu luas penjara Sukamulia
berukuran sekitar 30x60 meter. Di samping kamar-kamar tahanan di huni melebihi
kapasitas tahanan, diawal tahun 1966, terjadi penghilangan paksa terhadap 11 tahanan
politik, diantaranya M. Kanabran berusia 27 tahun dan ketua Dewan Pimpinan
Ranting Sarbupri Kantor Besar PT London Sumatera, Medan, Selamat DW, berusia 45
tahun dan Pimpinan Daerah BTI Sumatera Utara, serta anggota Dewan Perusahaan
Sumatera Utara.
Kamp tahanan Andalas
adalah bekas sekolah swasta yang dikelola oleh Baperki Sumatera Utara. Arsitektur
gedung itu khas Minangkabau Pagaruyung yang dikombinasikan dengan susunan
bangunan gaya Cina. Gedung itu berhalaman luas sekitar 200 meter persegi didepan dan
dibelakang gedung terdapat lapangan basket. Dari luar tampak gedung itu
mempunyai banyak ruang kelas. Gedung itu berlantai dua berbentuk U. Diperkirakan luas bangunan kamp tahanan
Andalas 2 hektare. Kini Gedung Andalas dipergunakan sebagai kantor pusat PKK
Medan. Penghilangan paksa dari Andalas dimulai pada Desember 1965. Dalam
pengumuman resmi tahpol akan dipindahkan ketempat seperti ke Mapomdam. Namun dalam
kenyataan keluarga dan tapol sendiri tidak diberi tahu dipindahkan kemana dari
kamp Andalas. Setelah diumumkan tapol akan dipindahkan tidak pernah kembali.
Mereka yang hilang dari kamp Andalas antara lain Syarif Tarigan, berusia 29
tahun dan fungsionaris Lekra Sumatera Utara, Bataraguru berumur 23 tahun dan
Anggota Pemuda Rakyat Medan, dan Abusamah, berumur 45 tahun dan bekas Angkatan
45.
Jalan
Masdulhak merupakan kawasan perumahan elit kota Medan. Sebagian besar pejabat
pemerintah kota Medan tinggal dikawasan itu. Selain itu kawasan Jalan Masdulhak terdiri dari rumah-rumah besar setiap
rumah mempunyai luas 1000 meter persegi. Pada era Kolonial kompleks perumahan
di Jalan Masdulhak dihuni oleh pengusaha perkebunan Eropa. Pada 1957 terjadi
nasionalisasi perusahaan asing dan kompleks perumahan tersebut juga diambil
alih oleh
militer dan dijadikan kompleks Markas Kodam II Bukit Barisan. Hanya satu
rumah di Jalan Masdulhak itu yang dipergunakan sebagai kamp tahanan. Tahanan
politik yang dihilangkan paksa dari kamp Jalan Masdulhak ini antara lain Sumarno
Hasibuan berusia 50 tahun dan Dewan Harian CDB PKI Sumatera Utara
serta anggota DPRD-GR Provinsi Sumatera Utara, Anwar Djambak, berusia 43
tahun dan Sekretaris Comite Kota PKI Medan, serta anggota DPRD-GR Medan. Dan
Nirwan Dito, penghubung satu Aceh. Ketiga tapol itu diangkut dengan truk
kemudian dieksekusi di Sungai Ular. Penghilangan paksa tersebut bersamaan
dengan penghilangan paksa pertama dari TPU A Jalan Sena.
Rumah Tahanan Militer
(RTM) di Jalan Kapuas atau di Jalan Medan ini sebelum Oktober 1965, adalah
rumah tahanan militer, yang diperuntukkan bagi
Narapidana dan tahanan militer. Namun sesudah terjadi penangkapan terhadap
anggota Angkatan Bersenjata yang di tuduh terlibat G 30 S, baik Perwira,
Bintara dan Tamtama dan sipil yang terindikasi dengan Angkatan Bersenjata juga
dijadikan penghuni RTM ini. RTM ini juga diperuntukkan menjadi tempat tahanan
bagi mereka yang sedang menjalani pemeriksaan Team Oditur Kodam II Bukit
Barisan dari TPU A Jalan Sena. Dari RTM ini, terjadi juga penghilangan paksa
terhadap Mochtar Naam berusia 32 tahun dan bekas Pimpinan Daerah Besar Pemuda
Rakyat Sumatera Utara.
Kamp tahanan Jalan
Gandhi sebelum Oktober 1965 adalah Gedung Sekolah SD Abadi itu berlantai dua
milik Baperki. Terdapat tujuh ruangan kelas dilantai satu dan enam ruangan
kelas dilantai dua. Ketika dipergunankan sebagai kamp tahanan, tujuh ruang
kelas dilantai satu digunakan menjadi kamar tahanan, ruang kelas dari depan
disebut kamar satu sampai kamar tujuh. Sedang ruang kelas lantai dua ditempati
dua regu para pengawal. Satu regu pengawal dari kesatuan batayon 121 dan satu
regu lagi dari kesatuan Armed (Arteleri Medan). Digedung itu juga terdapat
ruangan besar semacam aula yang juga digunakan menjadi lapangan bulu tangkis
dan Pentas pertunjukan seni. Kedua ruangan ini juga digunakan bagi tahanan
khusus bagi yang sudah tua, dan yang sakit, tapi juga menjadi ruang tahanan
yang mereka anggap tidak berbahaya.
Tahanan Perempuan ditempatkan diruangan belakang. Ketika gedung tersebut
masih menjadi gedung sekolah, adalah merupakan ruangan guru-guru. Di kamp
tahanan Jalan Gandhi hampir tidak ada penghilangan paksa. Tapi tindakan kejam
dari militer berlangsung disana, terutama pemerkosaan dan pelecehan terhadap
tapol perempuan. Juga pada para keluarga yang berkunjung, kirimannya hanya
sebagian kecil yang diterima para tapol, pelecehan terhadap para keluarga yang
mengirim, kerap terjadi. Di Jalan Gandhi juga terjadi kelaparan besar hingga
membawa kematian beberapa orang tahanan.
Kamp berikutnya adalah
Rumah Tahanan Militer (RTM), di Jalan Pantai Timur, Rumah Tahanan Militer ini
dibangun untuk menggantikan RTM sebelumnya yang di Jalan Kapuas atau Jalan
Medan. RTM di Jalan Pantai Timur ini juga selain dihuni Narapidana dan tahanan
Militer juga dihuni Narapidana politik (Napol) 16 orang, pindahan dari Penjara
Jalan Listerik Negara ditambah dengan Napol baru, setelah diputus di Mahkamah
Militer Tinggi, antara lain, Peris Pardede (anggota CC PKI), Djalaludin Jusuf
Nasution (Sekretaris Pertama CDB PKI Sumatera Utara), PP Gangga (Wakil
Sekretaris Pertama PKI Sumatera Utara), Rakut Sembiring (anggota DH CDB PKI
Sumatera Utara), Brigjen Ulung Sitepu, (mantan Gubernur Sumatera Utara),
Kolonel Maliki ( mantan Komandan Brigif
7), Djiman Karo-Karo (Ketua Partindo Dairi), Mayor RM Maha (mantan Bupati
Dairi), Kapten Pandak Tarigan ( mantan Walikota Pematang Siantar), Samin
Pakpahan (mantan Bupati Tapanuli Tengah).
Pada tahun 1975 Amnesti
Internasional menjadwalkan akan bertemu dengan tapol 65 di Inrehab (TPU)
Penjara Sukamulia. Sebagian sekitar 20-an tapol dipindahkan selama satu bulan
ke RTM Jalan Pantai Timur. Tahanan politik yang dipindahkan ke RTM Jalan Pantai
Timur ditakutkan tergolong mampu berkomunikasi dengan para delegasi Amnesti
Internasional.
Peran
Perkebunan Dalam Penghilangan Paksa dan Pengangguran Kaum Buruh
Mengenai penghilangan
paksa di Sumatera Utara perlu diperhatikan penangkapan dilingkup kecamatan dan
perkebunan. Digegofrafi kecamatan, semua pimpinan dari ranting dan cabang PKI,
ormas seperti pimpinan cabang, sekretaris bendahara BTI, Pemuda Rakyat dan
Sarbupri ditangkap serta dibawa ke TPS maupun Puterpra/Kodim. Sementera
kaum Buruh yang ditangkap di perkebunan dipaksa untuk meninggalkan rumah
perkebunan dan dikumpulkan diperkebunan, kemudian dibawa ke TPU C Jalan Binjai
Km.7. Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa TPU C pada awalnya diperuntukkan bagi
kaum buruh perkebunan anggota Sarbupri. Mereka dipindahkan dari perkebunan ke
TPU C pada pertengahan Oktober. Fenomena ini merupakan waktu penangkapan
tercepat diseluruh Indonesia bagi tapol yang terkena dampak tragedi 30
September 1965.
Penghilangan paksa di
area perkebunan acap kali terjadi pada penangkapan diruang geografi kecamatan.
Kenapa penghilangan paksa tapol terjadi pada seleksi dan pengumpulan tingkat
kecamatan? Dalam operasi penghilangan paksa yang menjadi sasaran adalah
pimpinan hingga bendahara PKI, ormas dan serikat buruh. Mereka tidak
ditempatkan dan dikumpulkan di kantor perkebunan. Tetapi setelah mereka
diidentifikasi sebagi pimpinan partai, Sarbubpri, Dewan Perusahaan, dan orang
yang menonjol ditingkat kecamatan akan diambil dan dibawa ke TPS. Untuk wilayah
kecamatan Pulka dan Tanjung Keliling mempunyai TPS bernama gedung Dewi Sri.
Gedung tersebut adalah tempat pertunjukan kesenian yang diubah menjadi kamp
tahanan tapol. Di gedung Dewi Sri inilah banyak tapol dari dua kecamatan itu
dihilangkan paksa.
Penangkapan di
Kecamatan Pulka dan Tanjung Kelilingserta diwilayah lain perkebunan Sumatera
Utara, juga penangkapan terhadap pimpinan organisasi dimulai pertengahan
Oktober seperti diceritakan oleh Miyun , guru yang ditangkap di Tanjung
Keliling.
Ya, bulan Oktoberlah,
Oktober lewat. Tapi kalau 1 sampai 10belum ada penangkapan itu. Ha, itukan
jelas sekalisetelah ada pidato Pak Jenderal Nasution menyatakan PKI dan
ormas-ormasnyaharus dihukum.Mulailah disitu, mulai ada perintah harus ke Puterpra,
kemudian ada perintah dari lurah, kemudian langsung ditangkap, kemudian datangi
sore, siang, malam itu. Terus yang dihutan didatangi ramai-ramaidiburu begitu.
Penangkapan yang
dilakukan oleh tentara dan Komando Aksi berlangsung secara bertahap, mulai dari
lima orang yang ditangkap kemudian meningkat 13 orang dan seterusnya. Sasaran
penangkapan adalah seluruh pimpinan. Mereka dikumpulkan dilapangan dan dibawa
ke gedung Dewi Sri. Dari gedung itu tidak diketahui dibawa kemana dan tidak
pernah kembali. Data dan nama pimpinan yang akan diambil diperoleh dari lurah
dan perkebunan. Selainitu orang yang akan ditangkap adalah figur terkenal.
Mereka sering tampil dalam aksi pemogokan perkebunan, memimpin aksi bersih desa
dan tawar menawar dalam Dewan Perusahaan. Mereka ditangkap secara bertahap,
dimulai dari mendatangi rumah hingga ke tempat pekerjaan.
“Mulai
ditangkap, dikumpulkan, tanyain. Disitu yang dianggap ketuahilang, sekretaris
hilang, itu diambil bertahap, lima, 13, 14, 44, bertahap. Kalau yang ditangkap
sedang bekerja di kebun, mereka langsung mendatangi ke tempat pekerjaan.....
Ya, diambilin itu dari Puterpra sendiri. Kami sudah kerja kumpulin panggil...
Ya mulai jam limalah. Karena nanti jam empat, setengah empat datang motor
berkeliling-keliling. Ya pasti ada yang diambil. Ha, siapa ini belum tahu,
sudah perintah kumpul dihalaman baris lalu datang sersan Daud, terus sersan
Iman, “Siapa yang dipanggil namanya ini ikut naik motor”. Itu sudah naik motor
sampai sekarang dimana”?
Operasi penangkapan dan
penghilangan paksa di geografi kecamatan, perusahaan perkebunan mempunyai andil besar. Perusahaan perkebunan menyediakan
fasilitas kenderaan mobil jenis jeep yang disebut oleh orang desa Sumatera
Utara sebagai motor. Kenderaan motor itu dipergunakan sebagai alat transportasi
membawa dan menghilangkan tapol ditanggung oleh perkebunan. Kemudian perkebunan
membentuk Komando Aksi Pengganyangan PKI. Kebanyakan personil berasal dari
kampung lain, karena mereka tidak dikenal oleh penduduk setempat. Pihak
perkebunan juga menyediakan Hansip yang dapat dipergunakan oleh Komando
Aksiuntuk menangkap dan melakukan pengusiran terhadap tapol.
Diperkebunan Tanjung
Keliling Komando Aksi dipimpin oleh Budiman Pulungan. Dia mendapatkan izin dari
Puterpra untuk mempergunakan dan menyimpan sejata api.
Kedudukan Budiman adalah mandor sekaligus centeng perkebunan. Posisi centang
pada 1960-an meredup dan dihidupkan kembali untuk pengganya anti PKI. Budiman
setiap kali pengambilan pimpinan organisasi senantiasa ikut didalam mobil,
karena dia adal Komando Aksi dari pihak perkebunan. Fungsi Budiman dalam Komando
Aksi yakni menunjuk tapol yang akan ditangkap. Siapa saja yang ditunjuk oleh
Nudiman untuk dibawa dengan motor perkebunan harus patuh.
Jenis mobil yang
dipergunakan untuk mengangkut tapol adalah mobil dengan bagian belakang
terbuka. Namun mobil itu sedikit dimodifikasi terutama bagian belakang kanan
dan kiri ditutup dengan terpal Miyun menceritakan bentuk fisik dan keadaan
tahanan ketika dibawa dengan mobil perkebunan.
“Motornya
kayak sekarang yang ngangkut kelapa sawit. Modelnya kayak gitu. Cuma dulukan
dipakai, pakai terpal, ditutup untuk membawa itu, atas ditutup rapat begini.
Yang diambil naik motor atas ditutup, terus perintah orang itu kalau dari dalam
ada tukang ringkusnya, terus diikat kita, diikat mata, diplester, lalu dibawa
kemana sudah enggak tahu kita. Itu ada yang langsung dibuang. Disini misal
besok suruh kesana kan enggak tahu karena ditutup”.
Di area perkebunan Sumatera
Utara penghilangan paksa dilakukan pada Oktober, November dan Desember. Tetapi
dibeberapa TPS dan kamp tahanan khusus untuk kecamatan penghilangan masih
berlangsung hingga Maret 1966. Dalam Operasi itu Komando Aksi yang dibiayai
oleh perkebunan menggunakan mobil atau truk perusahaan untuk transportasi dari
area penangkapan ke TPS atau ketempat eksekusi. Mobil perusahaan itu
dipergunakan oleh Komando Aksi kapanpun ingin mereka pergunakan. Komando Aksi
menjadi anak emas perkebunan. Di Padang Halaban, Komando Aksi dipimpin oleh Kotjik
Dalimunte, sementara sekretarisnya ialah Tukiman. Latar belakang Kotjik
adalah supir Jonder, mobil pengangkut buah dari Rantau Prapat ke Labuhan Batu.
Berdasarkan cerita para korban di Padang Halaban, Kotjik mempunyai telunjuk
berbisa yang kemudian dicatat oleh sekretaris Tukiman. Orang dicatat oleh
Tukiman, malam hari dieksekusi oleh algojo Said, Saring dan Tumadi. Anggota
Komando Aksi berasal dari luar kampung dan orang melayu. Komando Aksi terdiri
dari anggota Pemuda Marhaen, PNI.
Komando Aksi dibentuk
untuk membantu Perwira Urusan Teritorial Pertahanan Rakyat (Puterpra). Berdasarkan
teori organisasi, Puterpra itu melakukan pengejaran terhadap pimpinan Sarbupri,
pimpinan kabupaten/kecamatan PKI, dan ormas lainnya. Komandan Puterpra
setingkat Letnan Dua yang dalam operasi penangkapan dibantu oleh Komando
Aksi. Namun untuk urusan penghilangan, Puterpra membawa tahanan dan yang
melakukan penghilangan paksa adalah Komando Aksi. Praktiknya terjadi diskusi
dan seleksi dalam penghilangan paksa antara Kodim, Puterpra dan Komando Aksi.
Ketiga kelompok itu yang bertanggung jawab atas operasi penghilangan paksa
setidaknya hingga Maret 1966. Mereka menyaring siapa saja yang perlu
dihilangkan paksa untuk priode November dan Desember. Seleksi itu tidak
didasarkan atas Tapol akan melakukan perlawnan atau tindakan merugikan. Tetapi,
informasi untuk proses seleksi diperoleh dari pimpinan ormas atau partai yang
diintrograsi terlebih dahulu sebelum dihilangkan.
Operasi penangkapan dan
penghilangan paksa terhadap korban dari segi waktu terjadi perbedaan. Biasanya
penangkapan pada sore hari sekitar pukul17:00. Komando Aksi bersama
militer dari Puterpra mendatangi rumah tapol dan tempat persembunyian.
Kemudian tapol dipaksa untuk berkumpul dilapangan perusahaan perkebunan.
Sementara itu penangkapan terhadap mereka yang sedang bekerja di kebun
dilakukan pada siang hari. Informasi penangkapan terhadap tapol yang sedang
bekerja diperkebunan berasal dari administratur perkebunan. Biasanya operasi
penghilangan paksa dari kantor Puterpra terjadi pada sore hari
setelah apel. Sekitar pukul 18:30 malam korban dibawa dalam keadaan mata
tertutup kesuatu tempat yang tidak diketahui oleh siapapun. Korban tidak
dieksekusi dengan tembakan senjata api, tetapi dengan cara menggorok leher
korban dan membuang mereka ke sungai.
Penghilangan paksa
secara berutal juga dilakukan di kecamatan Salapian, kabupaten Langkat. Di sana
diperkirakan hingga bulan ketiga atau keempat tahun 1966 seluruh tingkatan
pimpinan dari jenjang ketua sampai bendahara habis dieksekusi. Penghilangan
paksa mulai mereda ketika pasukan Brawijaya tiba di Sumatera Utara. Pasukan ini
juga melakukan penembakan terhadap pimpinan Komando Aksi. Itu memperlihatkan
bahwa pembunuhan dan penghilangan paksa harus dihentikan ditingkat pedesaan.
Terlebih lagi penghilangan paksa harus secara legal, tidak bisa dengan
mengikut-sertakan Komando Aksi. Dalam praktik, penghilangan terus berlangsung
di kamp-kamp tahanan dan dilakukan oleh militer, sebagaimana diuraikan diatas.
Kemudian bagaimana
nasib dari jajaran rendah (rank and file)
buruh perkebunan yang bergabung dengan Sarbupri? Paska 30 September 1965 buruh
perkebunan jenjang bawah yang bergabung dengan Sarbupri dipecat atau
dinonaktifkan. Mereka dipandang sebagai lawan yang harus dihancurkan oleh
Komando Aksi. Namun, dibeberapa tempat seperti kecamatan Salapian buruh
perkebunan dipecat melalui surat keputusan administratur perkebunan. Kemudian
mereka dipaksa untuk meninggalkan rumah dinas perkebunan. Jika ada buruh yang
membandel tidak mau pergi maka hansip perkebunan akan mengambil tindakan
kekerasan. Setelah dipaksa meninggalkan rumah perusahaan, buruh perkebunan dari
isteri dan anak mereka.
Agar buruh tidak
melarikan diri dari wilayah perkebunan mereka dinonaktifkan dalam pengertian
mereka masih menerima gaji hanya untuk Oktober. Kebanyakan buruh perkebunan
tetap tinggal di perkebunan, ketika mereka diberangkatkan ke TPU C Jalan
Binjai. Sebelumnya telah diumumkan bahwa nama-nama yang akan disebutkan akan
diberangkatkan. Buruh-buruh itu dari kantor perkebunan dijemput truk dengan
pengawalan Perwira Pengawas (Papam) Perusahaan Perkebunan.
Tiba di TPU C Jalan
Binjai buruh-buruh perkebunan kecamatan Salapian bertemu dengan buruh-buruh
perkebunan lainnya. Pada pertengahan Oktober di TPU C terdapat tahanan 1.200
buruh bekas anggota Sarbupri dari beberapa tempat di Sumatera Utara.Buruh
perkebunan itu di TPU C tidak diintrograsi dan mendapatkan proses hukum yang
layak. Mereka telah dipisahkan dari pekerjaan di perkebunan. Pada intinya,
mereka telah kehilangan mata pencarian. Banyak buruh perkebunan ditinggalkan
isterinya, karena tidak dapat memberikan nafkah. Sementara itu, pekerjaan di
perkebunan yang ditinggalkan oleh buruh-buruh perkebunan telah diisi oleh buruh
kebun dari Persatuan Karyawan Perkebunan (Perkapen-SOKSI).
Pada pertengahan 1966
buruh bekas anggota Sarbupri dikerja paksakan diluar TPU C Jalan Binjai .
Sebagian kelompok buruh bekerja diperkebunan jagung milik tentara, sedang
sebagian bekerja diperusahaan perkebunan karet negara. Di perusahaan karet
mereka tidak menderes getah, tetapi membongkar bonggol pohon karet tua.
Pekerjaan itu membutuhkan energi banyak, tetapi baik perusahaan milik tentara,
maupun negara tidak memberikan upah. Perusahaan itu hanya memberikan buruh
makan. Kondisi kerja paksa bagi buruh eks Sarbubpri itu berlangsung hingga pertengahan
1971, setelah itu mereka dikembalikan ke kampung masing-masing.
Cara ketiga untuk
menghancurkan organisasi kerja buruh perkebunan yang tergabung dalam Sarbupri
dengan pemecatan secara bertahap dari tempat kerja. Pemecatan buruh kebun itu
secara bertahap berlangsung dari tahun 1966 hingga 1978. Cara ini masuk akal
untuk menghabiskan seluruh anggota Sarbupri di perkebunan Sumatera Utara. Paska
1965 hampir seluruh perkebunan karet diganti dengan tanaman kelapa sawit.
Perubahan tanaman itu mempercepat kerja buruh yakni kelapa sawit berumur 3 tahun
sudah dapat dipetik, sedangkan pohon karet berumur 7 tahun baru bisa disadap
getahnya. Selain itu pohon karet masih bisa memperkerjakan buruh berumur 50
tahun ke atas, sedangkan sawit hanya bisa dipanjat oleh pekerja muda atau buruh
perkebunan membawa kernet dari keluarganya sendiri. Kemudian dengan pergantian
pohon karet menjadi kelapa sawit, pencurian peroduk berkurang. Getah karet bisa
dicuri dengan mudah dan dalam jumlah sedikit, sedangkan kelapa sawit baru bisa
dicuri dalam jumlah besar agar mempunyai nilai. Buruh perkebunan yang dipecat
secara bertahap digantikan penduduk lokal. Selain itu pengganti buruh
perkebuanan dengan buruh anak dan perempuan. Proses pemecatan buruh perkebunan
menghancurkan keterampilan mereka terlebih dahulu dan setelah itu dipecat.
Pergantian proses kerja itu dimulai kembali pada era buruh kontrak di
perkebunan, yang sebenarnya telah ditentang oleh organisasi buruh pada 1950-an.
Status pekerja kontrak tanpa mempunyai perlindungan sosial dan jam kerja
panjang dalam pertukaran komoditas.
Kesimpulan
Dengan menempatkan
buruh-buruh perkebunan bekas anggota Sarbupri di kamp tahanan Jalan
Binjai Km.7, membuat mereka kehilangan hak atas pekerjaan. Juga
terjadi diskriminasi pekerjaan tatkala kerja paksa diselenggarakan oleh negara
terhadap buruh-buruh perkebunan. Mereka tidak mendapatkan upah yang layak dalam
penyelenggaraan kerja paksa. Sementara itu, dampak pengaruh terhadap serikat
buruh perkebuanan yang berkembang sekarang ini bergantung terhadap perusahaan
perkebunan. Baik bergantung pada upah yang tidak layak, maupun tidak ada
perlindungan sosial seperti perumahan dan jaminan kesehatan. Mereka tidak
mempunyai kontrol terhadap perusahaan atas pekerjaan mereka yang layak. Tidak
adanya perlindungan sosial berarti buruh perkebunan tidak mendapatkan nafkah
hidup yang layak. Dalam keadaan seperti itu, hak kewarganegaraan buruh
perkebunan telah dilanggar.
Sebelum September 1965
jumlah anggota buruh perkebunan Sarbupri Sumatera Utara kurang lebih 283 ribu
orang. Pada saat itu, organisasi Sarbupri merupakan serikat buruh terkuat dan
terkaya di Indonesia. Kekayaan Sarbupri dapat terlihat dari pembayaran yuran
anggota. Ketika itu kantor Sarbupri di Medan ditumpangi oleh SOBSI yang menjadi
pusat organisasi buruh. Organisasi Sarbupri kaya pula dengan kebudayaan
perkebunan seperti ketoprak, wayang orang, ludruk dan seni pentas lainnya.
Dampak kehancuran Sarbupri sebagai organisasi buruh perkebunan tidak hanya
berupa pisik seperti kantor dibakar dan pimpinan dihilangkan paksa. Tetapi
serikat buruh perkebunan kehilangan tradisi dan ingatan kolektif organisasi
buruh perkebunan. Tradisi organisasi buruh perkebunan melancarkan tawar menawar
dengan perusahaan perkebuan, misalnya Sarbupri menuntut kenaikan upah dan
makanan yang layak bagi semua buruh perkebunan, baik untuk buruh lelaki maupun
perempuan. Sarbupri juga menuntut mendapatkan pakaian yang baik bagi buruh perempuan
dan lelaki di perkebunan. Tuntutan Sarbupri tidak hanya dinikmati oleh organisasi
Sarbupri saja, tetapi organisasi buruh perkebunan lainnya.
Keterputusan kaum buruh
perkebunan dengan ingatan kolektif masa lalu melemahkan posisi tawar menawar
mereka terhadap perusahaan. Terlalu lama atas hak pekerjaan yang layak tidak
dipenuhi oleh negara. Walaupun neo-liberalisme akan merusak perlindungan sosial
mereka dan peran negara direduksi untuk memberikan perlindungan sosial,
peningkatan keahlian kaum buruh perkebuanan dan memperkuat jaringan organisasi
akan memperkuat tawar menawar terhadap perusahaan. Hanya melalui perjuangan
organisasi, eksploitasi terhadap kelompok yang tidak memiliki alat-alat
produksi dapat dikurangi. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar