Iran, Syiah dan Fitnah-fitnah Murahan Itu
Sejak 2007 saya berada di Iran. Dipertengahan tahun itu saya pertama kali
menginjakkan kaki di kota Qom. Bukan tanpa informasi. Saya justru mendapat
bekal, Iran itu negeri Syiah. Syiah itu sesat bahkan bukan bagian dari Islam.
Mereka punya Al-Qur'an yang berbeda dengan yang dibaca kaum muslimin dinegeri
muslim lain di dunia. Sehari sebelum berangkat, Ust. Said Abdushshamad
tokoh yang getol mengkampanyekan gerakan anti Syiah di Makassar menemuiku.
Sangat kebetulan, saudara kandung beliau, bertetanggaan dengan rumah ibuku di
Makassar. Mungkin beliau tahu informasi rencana kepergianku ke Iran dari Puang
Tia, saudara perempuannya itu. Diapun menjejaliku dengan nasehat untuk waspada
terhadap ajaran Syiah. Saya cukup mengiyakan saja. Setiba di Iran, yang disampaikan
hampir semuanya berkebalikan. Saya melihat Iran negara yang Islami, justru
sangat Islami. Tidak ada satupun perempuan yang bebas keluar rumah tanpa
mengenakan jilbab, dan hampir semuanya berwarna hitam.
Dimanapun aku mampir shalat berjama'ah, masjid-masjid nyaris penuh.
Kompleks Haram dijantung kota Qom, tempat dimakamkannya Sayyidah Fatimah
Maksumah sa adik kandung Imam Ridha as terbuka 24 jam. Dan peziarah selalu
berdatangan tanpa henti. Aktivitas Islami tidak pernah tidak terlihat
dikompleks itu. Ada yang mengaji, shalat, membentuk kelompok-kelompok kecil
untuk membahas masalah agama, atau sekedar bercengkrama dengan keluarga.
Anak-anak kecil bebas lari berkeliaran. Setelah berkeluarga, sayapun selalu
membawa istri dan kedua anakku ditempat itu selepas maghrib dan pulang kerumah
menjelang subuh. Yang menarik, dan menurut saya, ini nilai lebihnya Haram itu,
tersedia posko-posko tanya jawab dan diskusi agama. Sebut saja seperti ruang
pengaduan di gereja. Bukan untuk membeli surat pengampunan dosa. Sama sekali
bukan. Melainkan untuk bertanya masalah agama: aqidah, akhlak dan fiqh serta
konsultasi keluarga. Semua ada posko khususnya. Termasuk posko khusus mengecek
benar tidaknya bacaan dalam shalat. Yang melayani adalah pakar-pakar Islam
dibidangnya. Saya sering mampir bertanya masalah aqidah. Mereka menjawab semua
pertanyaan yang saya ajukan. Sementara istri betah berlama-lama di posko fiqh,
menanyakan masalah amalan keseharian.
Disepanjang jalan, terpampang papan-papan reklame yang bertuliskan pesan-pesan
Islami dan baliho-baliho besar gambar Ayatullah plus informasi jadwal
pengajiannya (bukan baliho kampanye politik). Di baliho itu tertulis, hari ini
kelas tafsir, besoknya kelas akhlak, lusanya kelas fiqh di sini dan disitu.
Tidak hanya itu ceramah para Ayatullah itu disiarkan di tivi-tivi secara
langsung bahkan lewat radio. Esoknya sudah tersedia cd-cd rekamannya di
kios-kios CD, dan selalu laku keras. Warga Iran memang pendengar yang baik.
Mereka betah mendengar ceramah ataupun pidato-pidato politik berjam-jam.
Momentum shalat Jum'at dimanfaatkan pemerintah Iran untuk menyampaikan
pesan-pesan politik. 2-3 jam sebelum khutbah Jum'at, jama'ah Jum'at dijejali
orasi politik satu dua tokoh aktivis, kebanyakannya menceritakan kondisi dunia
Islam, dan selalu terdengar slogan perlawanan terhadap AS dan Israel. Di mimbar
Jum'at bahkan ditulis, AS letaknya dibawah kaki kami. Kalau pidatonya membakar,
jama'ah serentak berdiri, mengepalkan tangan sembari meneriakkan yel-yel
dukungan terhadap pemimpin mereka dan kecaman terhadap AS. Persis situasi
demonstrasi di jalan-jalan. Dengan kondisi seperti itu, sangat ganjil kalau
sampai ada yang mengantuk. Bagi yang sibuk dan tidak sempat membaca Koran
tiap hari, cukup mendengarkan pidato-pidato tersebut, ia akan paham apa yang
terjadi selama sepekan itu. Karena itu, rakyat Iran tidak mudah terpengaruh
propaganda murahan dari media-media asing. Mereka mandiri disegala hal,
ekonomi, keamanan, budaya, sosial dan politik.
Masjid-masjid di Qom, tidak terlalu besar, tapi lapang dan nyaman bagi
jama'ah. Terdapat beberapa kursi, buat mereka yang kesulitan shalat dengan
duduk melantai. Terdapat bantal sandaran, buat para orangtua lanjut usia untuk
menyandarkan tubuhnya saat mendengarkan ceramah atau sekedar mengaji. Dan
dihari-hari tertentu, sambil dengar ceramah kita bisa menikmati segelas susu
dan 1-2 biji kurma yang disediakan gratis pengurus masjid. Setelah shalat,
remaja masjid akan membagikan Al-Qur'an, hampir disemua masjid ada program
membaca al-Qur'an satu-dua halaman berjama'ah. Dipimpin qari-qari yang
bacaannya sangat merdu. Di Tv ada saluran khusus menyiarkan program-program
Qur'ani. Semua acara serba Qur'ani. Kelas tafsir, kelas ulumul Qur'an.
Bincang-bincang Al-Qur'an menjawab problem keseharian, termasuk menyiarkan profil-profil
para penghafal Al-Qur'an. Iran kaya dengan hafiz Al-Qur'an. Mulai dari usia
sekolah dasar, remaja sampai usia dewasa. Saya pernah mewancarai beberapa
remaja Iran yang hafal Al-Qur'an. Mulai dari Ali Amini yang telah menghafal
Qur'an di usia 8 tahun sampai Mujtaba Karsenasi yang menghafal 30 juz al-Qur'an
diusia 15 tahun. Mereka adalah penerus dari Husan Tabatabai, Doktor Cilik
Penghafal Qur'an, yang dikenal sebagai mukjizat abad 20 karena memiliki
penguasaan dan pengetahuan Al-Qur'an yang mengagumkan, sampai mendapat gelar
doctor honoris causa bidang studi Al-Qur'an. Wawancara saya itu dimuat dalam
buku Bintang-bintang Penerus Doktor Cilik yang kususun bersama bu Dina Sulaeman
dan suaminya, diterbitkan Pustaka Iiman pertengahan tahun 2011.
Toko-toko buku jumlahnya hampir berimbang dengan toko kelontong. Di tengah
kota, hampir disetiap lorong ada toko buku. Bukan hanya buku-buku karya ulama
Syiah namun juga kitab-kitab ulama Sunni. Diperpustakaan pun demikian. Meski
berbeda, orang-orang syiah tidak fobia terhadap karya-karya ulama sunni.
Hal yang berbeda dari mereka yang menyebut syiah itu sesat. Bisa jadi bahkan
melihat langsung buku-buku syiah saja mereka tidak pernah.
Mahasiswa Indonesia di Iran, tidak semuanya Syiah. Ada juga yang Sunni. Mereka
tersebar di Teheran, Ghorghon dan Esfahan. Untuk menepis fitnah, di Iran warga
Sunni dibunuhi, disiksa dan mendapat perlakuan tidak adil dari pemerintah Iran
yang Syiah, saya mewancarai teman asal Indonesia yang belajar di Universitas
agama yang bermazhab Sunni. Namanya Syarif Hidayatullah dan wawancara itu
dimuat di ABNA. Dari lisannya, ia menepis tudingan dan fitnah tidak
bertanggungjawab itu.
Pemerintah Iran gemar menyelenggarakan event-event internasional.
Konferensi Mahdawiyat, konferensi ulama Islam, konferensi pemuda Islam,
konferensi perempuan Islam, MTQ Internasional dan Pameran kitab Internasional
yang melibatkan banyak negara muslim. Karena itu, banyak tokoh-tokoh nasional
kita yang mengunjungi Iran sebagai delegasi Indonesia dalam event-event
tersebut. Selama di Iran, setidaknya saya sudah bertemu dengan DR. Amin Rais
(tokoh Muhammadiyah), Prof. Quraish Shihab (mantan menteri agama dan mantan
ketua MUI), Dr. Umar Shihab (ketua MUI Pusat) dan Muh. Maftuh Basyuni (menteri
agama kabinet SBY-JK). Tokoh-tokoh nasional itu mengunjungi langsung kampus
saya di Qom. Berbincang dan membuka ruang dialog dengan mahasiswa Indonesia di
Qom. Tidak ada yang ganjil. Mereka tidak meminta kami waspada dengan Iran
dan Syiahnya. Justru meminta semua mahasiswa Indonesia belajar serius dan bisa
memanfaatkan ilmunya jika kembali ke tanah air. Dengan adanya event-event
internasional yang melibatkan banyak negara muslim tersebut menyodorkan fakta
yang tidak terbantahkan, Iran diakui keberadaannya sebagai negara Islam.
Terlebih lagi Republik Islam Iran juga memang termasuk dalam anggota OKI,
organisasi internasional yang beranggotakan khusus negara-negara yang
bermayoritas penduduk muslim. Tidak ada satupun negara yang keberatan dengan
penamaan Iran sebagai Republik Islam juga semakin menguatkan fakta itu.
Hubungan mahasiswa Indonesia di Qom dengan KBRI di Teheran pun sangat
akrab. Berkali-kali pihak KBRI datang ke Qom mengadakan silaturahmi, buka puasa
bersama, atau silaturahmi pasca lebaran. Mengundang untuk menonton timnas PSSI
yang bertanding di Teheran. Ataupun pada saat 17 Agustus, upacara bendera dan
makan bersama. Saya pernah meraih juara I lomba penulisan karya tulis ilmiah
yang diadakan KBRI Teheran. Dan perlu teman-teman tahu, semua staff di KBRI
Teheran tidak ada yang Syiah, semuanya Sunni. Kalaupun memang Sunni mendapat
tindakan semena-mena dari pemerintah Iran, bahkan katanya di Teheran tidak ada
masjid Sunni, staff KBRI yang akan lebih dulu menyampaikan hal itu. Atau
minimal kedutaan besar Malaysia, Arab Saudi, Mesir, dst yang ada di Teheran.
Mengapa yang getol menyebarkan propaganda negatif tentang Iran justru
media-media yang tidak satupun staff atau wartawannya yang pernah ke
Iran?. Guru-guru besar UIN Syarif Hdayatullah Jakarta bahkan sejumlah guru besar
UIN Alauddin Makassar pernah ke Iran. Seorang Dosen Unismuh Makassar pernah ke
Qom, mengadakan penelitian tesis doktoralnya. Saya yang menemani beliau
berkunjung ke Teheran dan Masyhad. Mengajaknya shalat berjama'ah dibeberapa
masjid-masjid. Ia shalat sambil bersedekap dengan tenang di tengah-tengah
jama'ah Iran yang tidak bersedekap. Saya pernah menyambut tamu dirumah, ketua
umum PB HMI, dan delegasi HMI yang ikut dalam konferensi perempuan
internasional di Teheran. Kesemua tamu itu sunni. Dan sepulangnya mereka
menulis pengalaman mereka selama di Iran dan dimuat dimedia. Tidak ada cerita
sunni dibantai, cerita sahabat-sahabat Nabi dilaknat dimimbar-mimbar, tidak ada
cerita mereka menemukan Al-Qur'an orang Iran yang berbeda, tidak ada cerita
praktik nikah mut'ah yang kebablasan sampai katanya dimasjid-masjid di Iran
disediakan ruangan khusus untuk melakukan praktik mut'ah. Yang ada semangat
ukhuwah dan persahabatan yang menakjubkan dari orang-orang Iran yang mazhabnya
beda.
Saya yang sampai saat ini masih berada di Iran masih sering mendapat
kiriman konten-konten yang negatif tentang Iran dan Syiah, sembari menasehatkan
saya tentang bahaya Syiah. Saya tegaskan, sekalipun pada akhirnya saya tidak
memilih Syiah sebagai mazhabku dalam berIslam, saya tidak akan merusak diri
dengan mengkafirkan sesama muslim. Yang mengkafirkan orang-orang Syiah yang
juga bersyahadat, shalat, puasa, zakat dan naik haji. Saya tidak mungkin mau
menghina akal sehat dan rasioku dengan lebih mempercayai mereka dari apa yang
saya lihat dan rasakan langsung. Kalau Prof. Amin Rais, DR. Diin Syamsuddin,
KH. Hasyim Mazudi, Habib Rizieq, Muh. Maftuh Basyuni , guru-guru besar UIN,
akdemisi Universitas2 Islam Indonesia yang dengan hanya beberapa jam di Iran
telah berkesimpulan untuk tidak sampai mengkafirkan Syiah bagaimana dengan saya
yang hidup ditengah-tengah mereka bertahun-tahun, dan melihat langsung
amalan-amalan mereka?.
Sayang, bahkan selama Ramadhan inipun mereka kelompok takfiri masih juga
getol menyebar berita dusta tentang Iran dan rakyatnya. Kebanyakan yang
melakukan itu adalah aktivis dakwah, aktivis ormas Islam, bahkan katanya
akademisi di lembaga penelitian. Apa ketika saya kembali ke tanah air, dan
kembali ditemui oleh KH. Said Abdushshamad (sekarang sudah Kyai Haji) dan
menjelaskan kepada saya tentang Iran seakan lebih tahu dari saya sendiri yang
menetap bertahun-tahun di Iran dan mengingatkan tentang kesesatan dan kekafiran
Syiah seakan lebih tahu dari saya yang mendengar langsung ceramah-ceramah Syiah
dari Ayatullah di Qom, apa saya akan mempercayainya karena beliau Kyai Haji,
karena beliau ketua umum LPPI Indonesia Timur dan karena beliau jauh lebih tua
dari saya?.
Sangat mengerikan menyerahkan urusan Islam kepada mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar