Membaca Draft Skripsi Bung Arenda Meliala
Kubaca sudah draft
skripsi Bung dari BAB II, sampai di BAB III, aku berenti dibagian ini:
“BTI kerap
melakukan pengkaderan dengan jalan menarik simpati para petani. Metode menarik
simpati berupa pemberian bantuan pupuk dan bantuan keperluan pertanian lainnya
pun kerap kali mereka lakukan. Lambat laun, BTI juga mulai mengarahkan para
petani untuk mulai menentang kebijakan yang diterapkan oleh kepala desa
berkaitan dengan sertifikasi tanah yang dilakukan tanpa mengadakan konversi
terlebih dahulu.”
Ini sepertinya
kampanye pemilu parpol-parpol di dekade kini. Bagi-bagi “hadiah”, agar dipilh
oleh pemilih. Sejatinya tak seperti itu Bung. Ini kebanyakan terjadi menurut
pengamatanku, jawaban dari interogasi juru periksa atau wawancara yang
dilakukan dipriode sesudah Suharto berkuasa. Di Tanjung Morawa, ketika
peristiwa Tanjung Morawa Terjadi, dan berhasil, menjadikan kaum tani
mempertahankan hak miliknya, dengan dukungan BTI dan organisasi tani lainnya.
Kaum tanipun sadar pentingnya mereka berorganisasi, termasuk di BTI dan
organisasi lain. Begitu di daerah-daerah lain. Hampir merata daerah konflik
persoalan tanah terjadi pada priode ‘50-an disekitar areal perkebunan di
Sumtera Utara. Konflik dimulai dari adanya kompromi di Konfrensi Meja Bundar
antara Drs Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri dengan pemerintah kolonial
Belanda. Aku yakin Bung paham ini, sudah menjadi catatan Bung di sebelumnya.
Tentunya Bung
maklumlah ketika terjadi penangkapan-penangkapan, penahanan, kerja-paksa dan pembantaian di akhir tahun’65 itu. Bukan
anggota BTI pun dipaksa untuk mengakui anggota BTI dan bila sampai demikian jawaban yang lebih tidak
mengakibat resiko yang lebih lagi ya, itu: Mengapa anda mau menjadi anggota
BTI? Karena BTI bagi-bagi pupuk, bagi-bagi cangkul, malah ada yang menjawab
bagi-bagi tanah. Meskipun demikian mereka juga ditahan sama lamanya dengan yang
menjawab, bahwa organisasi BTI tidak terlarang waktu itu dan perjuangannya
nyata, membela kaum tani. Bukan hanya terhadap anggota BTI perjuangan mereka,
tapi juga terhadap semua kaum tani. Dan ini berlanjut sampai didekade apa yang disebut dengan masa “reformasi”.
Banyak daerah
hunian kaum tani yang kukunjungi ditahun-tahun 1958- sampai 1965, banyak juga
kantor-kantor BTI yang pernah menjadi tempatku singgah, tak pernah kutemui
tumpukan karung pupuk atau cangkul. Dari mana BTI punya dana untuk itu? Dana
untuk membangun kantor dan sekretariatannya saja adalah hasil sumbangan dan
yuran dari anggotanya (anggota BTI).
Ada 2 judul sajak
yang sangat sering dideklamasikan di tahun 50-an sampai di akhir 1965 tentang
kaum tani di Sumatera Utara, yang ditulis oleh penyair LEKRA , Agam Wispi.
Agam Wispi:
Latini
latini, ah latini
gugur sebagai ibu
anak kecil dalam gendongan
latini, ah latini
gugur diberondong peluru
bayi mungil dalam gendongan
tanah dirampas
suami dipenjara
tengkulak mana yang akan beruntung?
desa ditumpas
traktor meremuk palawija
pembesar mana yang akan berkabung?
gugur latini sedang masyumi berganti baju
gugur pak tani dan adanya diberondong peluru
gugur jenderal, mulutnya manis hatinya palsu
beri aku air, aku haus
dengan lapar tubuh lemas
aku datang pada mereka
aku pulang padamu
sedang tanah kering dikulit
makan samasama
kudian muram
latini, ah latini
tapi, ah, kaum tani
kita yang berkabung akan membayarnya suatu hari
.
Agam
Wispi:
Matinya Seorang Petani
(buat L. Darman
Tambunan)
1.
depan
kantor tuan bupati
tersungkur
seorang petani
karena
tanah
karena
tanah
dalam
kantor barisan tani
silapar
marah
karena
darah
karena
darah
tanah
dan darah
memutar
sejarah
dari
sini nyala api
dari
sini damai abadi
2.
dia
jatuh
rubuh
satu
peluru
dalam
kepala
ingatannya
melayang
didekap
siksa
taqpi
siksa cuma
dapat
bangkainya
ingatannya
kejama muda
dan
anaknya yang jadi tentara
__
ah siapa kasih makan mereka?__
isteriku
siangi padi
biar
mengamuk pada tangkainya
kasihi
mereka
kasihi
meraka
kawan-kawan
kita
suram
padam
dan
hitam
seperti
malam
3.
mereka
berkata
yang
berkuasa
tapi
membunuh rakyatnya
mesti
turun tahta
4.
padi
bunting bertahan
dalam
angin
suara
loliok disayup gubuk
menghirup
hidup
padi
bunting
menuai
dengan angin
ala
wanita berani jalan telanjang
di
sicanggang, di sicanggang
dimana
cangkol dan padi dimusnahkan
mereka
yang berumah di penjara
bayi
di gendongan
juga
tahu arti siksa
mereka
berkata
yang
berkuasa
tapi
merampas rakyatnya
mesti
turun tahta
sebelum
dipaksa
jika
datang traktor
bikin
gubuk hancur
tiap
pintu kita gedor
kita
gedor.
Terakhir aku
sampaikan salut buat, Bung. Salam, senantiasa sukses.*** Astaman Hasibuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar