Senin, 22 Juli 2013

Membaca Draf Skripsi Bg, Arenda Meliala

Membaca Draft Skripsi Bung Arenda Meliala
Kubaca sudah draft skripsi Bung dari BAB II, sampai di BAB III, aku berenti dibagian ini:
“BTI kerap melakukan pengkaderan dengan jalan menarik simpati para petani. Metode menarik simpati berupa pemberian bantuan pupuk dan bantuan keperluan pertanian lainnya pun kerap kali mereka lakukan. Lambat laun, BTI juga mulai mengarahkan para petani untuk mulai menentang kebijakan yang diterapkan oleh kepala desa berkaitan dengan sertifikasi tanah yang dilakukan tanpa mengadakan konversi terlebih dahulu.”
Ini sepertinya kampanye pemilu parpol-parpol di dekade kini. Bagi-bagi “hadiah”, agar dipilh oleh pemilih. Sejatinya tak seperti itu Bung. Ini kebanyakan terjadi menurut pengamatanku, jawaban dari interogasi juru periksa atau wawancara yang dilakukan dipriode sesudah Suharto berkuasa. Di Tanjung Morawa, ketika peristiwa Tanjung Morawa Terjadi, dan berhasil, menjadikan kaum tani mempertahankan hak miliknya, dengan dukungan BTI dan organisasi tani lainnya. Kaum tanipun sadar pentingnya mereka berorganisasi, termasuk di BTI dan organisasi lain. Begitu di daerah-daerah lain. Hampir merata daerah konflik persoalan tanah terjadi pada priode ‘50-an disekitar areal perkebunan di Sumtera Utara. Konflik dimulai dari adanya kompromi di Konfrensi Meja Bundar antara Drs Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri dengan pemerintah kolonial Belanda. Aku yakin Bung paham ini, sudah menjadi catatan Bung di sebelumnya.
Tentunya Bung maklumlah ketika terjadi penangkapan-penangkapan, penahanan, kerja-paksa  dan pembantaian di akhir tahun’65 itu. Bukan anggota BTI pun dipaksa untuk mengakui anggota BTI dan  bila sampai demikian jawaban yang lebih tidak mengakibat resiko yang lebih lagi ya, itu: Mengapa anda mau menjadi anggota BTI? Karena BTI bagi-bagi pupuk, bagi-bagi cangkul, malah ada yang menjawab bagi-bagi tanah. Meskipun demikian mereka juga ditahan sama lamanya dengan yang menjawab, bahwa organisasi BTI tidak terlarang waktu itu dan perjuangannya nyata, membela kaum tani. Bukan hanya terhadap anggota BTI perjuangan mereka, tapi juga terhadap semua kaum tani. Dan ini berlanjut sampai didekade   apa yang disebut dengan masa “reformasi”.
Banyak daerah hunian kaum tani yang kukunjungi ditahun-tahun 1958- sampai 1965, banyak juga kantor-kantor BTI yang pernah menjadi tempatku singgah, tak pernah kutemui tumpukan karung pupuk atau cangkul. Dari mana BTI punya dana untuk itu? Dana untuk membangun kantor dan sekretariatannya saja adalah hasil sumbangan dan yuran dari anggotanya (anggota BTI).
Ada 2 judul sajak yang sangat sering dideklamasikan di tahun 50-an sampai di akhir 1965 tentang kaum tani di Sumatera Utara, yang ditulis oleh penyair LEKRA , Agam Wispi.
Agam Wispi:

Latini

latini, ah latini

gugur sebagai ibu
anak kecil dalam gendongan

latini, ah latini
gugur diberondong peluru
bayi mungil dalam gendongan

tanah dirampas
suami dipenjara
tengkulak mana yang akan beruntung?

desa ditumpas
traktor meremuk palawija
pembesar mana yang akan berkabung?
gugur latini sedang masyumi berganti baju
gugur pak tani dan adanya diberondong peluru
gugur jenderal, mulutnya manis hatinya palsu

beri aku air, aku haus
dengan lapar tubuh lemas
aku datang pada mereka
aku pulang padamu
sedang tanah kering dikulit
makan samasama
kudian muram
latini, ah latini
tapi, ah, kaum tani
kita yang berkabung akan membayarnya suatu hari
.
Agam Wispi:
Matinya Seorang Petani
(buat L. Darman Tambunan)
1.
depan kantor tuan bupati
tersungkur seorang petani
karena tanah
karena tanah

dalam kantor barisan tani
silapar marah
karena darah
karena darah

tanah dan darah
memutar sejarah
dari sini nyala api
dari sini damai abadi

2.
dia jatuh
rubuh
satu peluru
dalam kepala

ingatannya melayang
didekap siksa
taqpi siksa cuma
dapat bangkainya

ingatannya kejama muda
dan anaknya yang jadi tentara
__ ah siapa kasih makan mereka?__
isteriku siangi padi
biar mengamuk pada tangkainya
kasihi mereka
kasihi meraka
kawan-kawan kita
suram
padam
dan hitam
seperti malam

3.
mereka berkata
yang berkuasa
tapi membunuh rakyatnya
mesti turun tahta
4.
padi bunting bertahan
dalam angin
suara loliok disayup gubuk

menghirup hidup
padi bunting
menuai dengan angin

ala wanita berani jalan telanjang
di sicanggang, di sicanggang
dimana cangkol dan padi dimusnahkan

mereka yang berumah di penjara
bayi di gendongan
juga tahu arti siksa

mereka berkata
yang berkuasa
tapi merampas rakyatnya
mesti turun tahta
sebelum dipaksa

jika datang traktor
bikin gubuk hancur
tiap pintu kita gedor
kita gedor.


Terakhir aku sampaikan salut buat, Bung. Salam, senantiasa sukses.*** Astaman Hasibuan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar