Kamis, 25 Juli 2013

Cerita Dari Front Barat

CERITA DARI FRONT BARAT
(Bagaimana sekelompok anak muda lintas etnis dan agama di wilayah Kebumen, bahu membahu dalam suatu pertempuran berdarah dengan militer Belanda)

BATAS DESA SIDOBUNDER DI PENGHUJUNG AGUSTUS 1947. Langit pekat menggantung di atas bumi. Sang Surya, perlahan beranjak ke peraduannya, meninggalkan rona merah di sela-sela awan hitam, menabalkan kesuraman yang menggetarkan hati p
ara anak muda bersenjata yang tengah jalan beriringan menapaki jalan desa. Mereka para prajurit remaja dari Seksi 321 Kompi 320 Batalyon 300 Tentara Pelajar dibawah pimpinan Komandan Anggoro. 

Begitu memasuki Desa Sidobunder (masuk dalam wilayah Front Barat: Kebumen, Gombong, Banyumas,Purwokerto), Anggoro langsung melapor kedatangan pasukan kecilnya ke para penguasa setempat: seorang Letnan TRI (Tentara Republik Indonesia) bernama Letnan Achmad Dimajat dan seorang setengah baya yang mengenalkan dirinya sebagai Kepala Desa Sidobunder.

“Kalian akan ditempatkan sementara di rumah Pak Ponco,”ujar Sang Letnan

“Siap!”

Diantar oleh Kepala Desa, bergeraklah mereka ke rumah Pak Panco, yang tak lain adalah pensiunan juru tulis pegadaian (pandhuis schatter) di era Hindia Belanda. Karena posisi itu masyarakat menyebutnya sebagai Pak Sekater. Setelah ngobrol ngalor ngidul sejenak, Pa Sekater menyilahkan mereka untuk menikmati nuk (istilah untuk nasi bungkus bagi para gerilyawan saat itu). Tanpa ba bi bu, anak-anak muda yang kelaparan itu dalam waktu sekejap sudah menandaskan hidangan berlauk pauk sederhana tersebut. 


Usai menikmati makan malam, di luar mereka mendengar teriakan “merdeka” bersahut-sahutan. Rupanya itu suara penduduk desa yang menyambut kedatangan ratusan anak muda gabungan TP Purworejo dan TP Sulawesi atau lebih dikenal sebagai PERPIS (Persatuan Pelajar Indonesia Sulawesi) yang pimpinan Komandan Maulwi Saelan.

“Merdeka Bung! Sudah lama datang?”ujar Maulwi sambil tersenyum dan menyorongkan tangan kanannya.

“Merdeka! Baru beberapa jam saja,” jawab Anggoro seraya menyambut ramah uluran tangan lelaki muda berkulit kuning langsat tersebut. Anak-anak muda dari dua kesatuan dan etnis berbeda itu pun kemudian saling bersalaman. Sebagian yang sudah saling mengenal berpelukan akrab.



PAGI BARU SAJA MENYAPA DESA SIDOBUNDER, ketika seorang penduduk dengan muka panik datang ke rumah Pak Sekater. Ia melaporkan kepada Anggoro dan Maulwi bahwa tentara Belanda telah memusatankan kekuatan mereka di Karangbolong, kawasan yang tak jauh dari tempat mereka berada. Demi mendapat laporan tersebut, Maulwi kemudian menugaskan salah seorang anak buahnya bernama Losung untuk memimpin 3 anak muda lainnya mengecek isi kebenaran laporan tersebut. 

Benar saja. Seteah sekitar dua jam menunggu dalam ketegangan, mereka kembali dan mengiyakan laporan penduduk tadi. Kendati demikian, Losung menyebut jumlah tentara Belanda tidak banyak dan belum stelling (dalam posisi siap tempur). Alih-alih siap bergerak, bahkan diantara mereka malah ada yang sempat berenang dan mandi di sungai. “Sebelum pulang, kami sempat menembaki mereka, hingga lari terbirit-birit tanpa sempat mengenakan pakaian mereka kembali…”ujar Losung sambil terkekeh. 

Setelah merundingkan hasil laporan tersebut, Anggoro dan Maulwi memerintahkan pasukannya masing-masing untuk bersiap menyongsong kedatangan musuh. Mereka membagi gabungan 2 pasukan itu dalam beberapa regu. Regu 1 dibawah pimpinan Djokonomo, menempati pertahanan terdepan dengan tugas khusus mempertahankan jembatan yang telah diledakkan pada waktu yang lalu atau minimal menghambat gerakan pasukan Belanda apabila mereka menyerang dari arah Barat. Sedangkan Regu 2 menjadi pelapis di perbatasan desa.
Mendapat tugas tersebut, alih-alih merasa segan dan takut, para anggota Regu 1 nampak sangat gembira pagi itu. Mereka lantas menempati lubang-lubang perlindungan di tebing sungai yang rupanya pernah dipakai sebagai lubang pertahanan pasukan yang datang sebelumnya. Sorenya, beberapa orang dari Regu 2 bersama komandan mereka yang bernama Djokopramono sempat mengunjungi pertahanan Regu 1 dan ikut ngobrol di pos terdepan sampai menjelang malam

Malam berganti siang. Tak ada gerakan mencurigakan dari arah Karang Bolong. Namun demikian, Pasukan TP tetap berjaga di pos masing-masing. Semua sadar bahwa serangan mendadak tentara Belanda bisa datang kapan saja. Malamnya hujan deras turun menombaki Sidobunder dan sekitarnya. Lolongan anjing kampung menjadi pelengkap ketegangan malam yang dingin itu. Suara binatang malam bersipongan seolah membentuk orkestra alam yang mencekam.
Anak-anak muda yang berada di lubang-lubang pertahanan itu hanya bisa diam membisu. Kendati pertahanan mereka diguyur hujan hingga menyerupai kolam-kolam kecil, mereka tetap bertahan. Bunyi nafas yang memburu bersanding dengan bunyi keruyukan cacing-cacing perut mereka yang menuntut makanan. Sementara air hujan sudah menumpahi mereka dalam ukuran setinggi dada.
Djokomono, disertai Imam Sukotjo lantas memeriksa anak buahnya dari satu lubang ke lubang lainnya. Akhirnya setelah yakin bahwa semua anggota pasukannya tetap waspada dan siap tempur, kedua orang ini mengatur strategi berikutnya di sebuah kandang kerbau yang kosong. Sementara itu, di Pos TP Sulawesi, Sukiman bersama 9 orang temannya menempati pos di sekitar pertigaan. Tempatnya di sebuah kandang dan lumbung desa. Semua berpencar sesuai instruksi yang mereka peroleh sore itu. 

Sekitar tengah malam, tiba-tiba terdengar suara “ uuuuuu..” seperti bunyi kokok seekor ayam jantan. Ketika diperiksa ternyata tidak ada hal yang mencurigakan. Tapi beberapa saat kemudian, suara itu muncul lagi di tempat lain. Kewaspadaan terus ditingkatkan. Lewat tengah malam, sekitar pukul 01.00, entah dari mana tiba-tiba muncul dua orang yang berpakaian tradisional Jawa. Mereka membawa satu ceret kopi panas dan beberapa singkong rebus kepada Sukiman, satu-satunya anggota TP yang mengerti bahasa Jawa. 
Kendati laparnya bukan alang kepalang, Sukiman melarang keras kawan-kawannya untuk memakan kiriman itu. Ia teringat kejadian di Puring beberapa waktu lalu, saat seorang penduduk mengirim makanan ke satu regu TRI yang tengah stelling dan sesudahnya menyebabkan empat anggota TRI itu tewas seketika. Rupanya ini merupakan taktik mata-mata Belanda untuk menghabisi gerilyawan Indonesia RI dengan cara mudah. 

SELASA, 2 SEPTEMBER 1947. Malam baru saja beranjak pergi. Namun hari masih gelap ketika rentetan bunyi senapan mesin 12,7 membahana dari berbagai penjuru. Ditengah hujan peluru yang berhamburan menghujani pertahanan mereka, tiba-tiba muncul Letnan Achmad Dimajati. Ia setengah berteriak mengatakan bahwa posisi pasukan TP telah terkepung tentara Belanda.
Setelah berunding dan mempelajari situasi, Anggoro memutuskan agar mereka mengadakan stoot (pergerakan pasukan) ke arah timur guna meloloskan diri dari kepungan itu. Untuk menyiapkan pergerakan pasukan itu, ia memerintahkan seorang anggota TP Sulawesi menahan laju gerak tentara Belanda dengan menggunakan Juki, senapan mesin yang pernah digunakan tentara Jepang di palagan Pasifik. Kepada salah satu anak buahnya bernama Soejitno, Anggoro memerintahkan agar segera menghubungi pasukan di garis depan yang dikomandani Djokonomo dan memerintahkan mereka mundur serta secepatnya menggabungkan diri dengan pasukan induk yang berpusat di Desa Sidobuder.

Saat menunggu kedatangan pasukan Djokonomo, induk pasukan di Sidobuder mendapat serangan gencar dari sebelah utara desa. Sempat panik, namun dengan keberanian luar biasa, seorang anggota TP dari Seksi 321 bernama Ridwan membalasnya dengan tembakan brend gun. Suara senjata berat itu sempat membungkam dan menggagalkan gerakan masuk tentara Belanda ke Desa Sidobunder. Namun malang tak dapat ditebak, untung tak dapat diraih, saat sibuk memberondongkan brend gun-nya, tiba-tiba Ridwan terpental. Rupanya ia terkena hantaman senapan mesin 12,7 yang menyalak tiba-tiba dan membuatnya tewas seketika. Demi melihat Ridwan yang tertembak, Koenarso Kampret yang ada di dekatnya segera mengamankan senjata Ridwan.


Setelah Regu 1 datang melapor, Komandan Seksi 321 segera memerintahkan pasukannya untuk memulai pergerakan mundur. Hapto merelakan diri sebagai penunjuk jalan, diikuti Pramono dan Kusdradjat. Sementara itu, Anggoro dan Fuad Sahil menelusuri jalan ke arah Timur. Sisa pasukan dibagi dua bergerak di antara rumah-rumah penduduk ke Timur di kedua sisi jalan. 

Saat mendekati regu Maulwi Saelan, Hapto mendapat kode bahwa bahwa keadaan masih aman dan pasukan dapat mengikuti mereka ke arah timur. Tak mereka sadari, sebenarnya mereka telah terperangkap dalam wilayah yang telah dikuasi tentara Belanda. Pertempuran jarak dekat pun terjadi. Beberapa anggota TP bahkan terlibat duel bayonet dengan sekelompok tentara KNIL. Dalam duel tersebut, Hapto dan Pramono tewas. 

Komandan Seksi dan sisa pasukan yang lolos, lantas bergerak ke arah timur dan sempat berlindung di sudut desa untuk menyusun ulang kekuatan yang ada sambil mengkoordinasi kawan-kawan yang masih hidup. Dalam waktu yang relatif singkat, telah berkumpul 11 orang yang terdiri dari Kusdradjat, Rinanto, Fuad Sahil, Djokonomo dan selebihnya adalah anggota TNI dari kesatuan lain.

Djokonomo yang saat itu menjadi pimpinan, memutuskan untuk terus bergerak ke arah timur. Saat memasuki desa pertama, pasukan kecil ini tiba-tiba dihujani tembakan mortir. Rupanya mortir itu berasal dari Pasukan Angkatan Oemat Islam (AOI) yang berjumlah besar. Namun alih-alih disambut ramah, mereka malah dikepung oleh pasukan AOI yang bersenjata detonator. 

“Serahkan senjata kalian!” ujar pimpinan Pasukan AOI.

Demi mendapat sambutan yang tidak ramah itu, Djokonomo terpancing emosinya. Ia segera akan menarik pelatuk standgun-nya. Tapi untunglah, Anggoro mencegahnya. Kemudian Anggoro meminta kepada anggota pasukan AOI untuk mempertemukan dirinya dengan pimpinannya. Tapi tidak ada tanggapan sama sekali. Mereka tetap terdiam. Akhirnya, Anggoro minta untuk diantar ke masjid guna menunaikan shalat maghrib. 

“Karena yang Muslim hanya dua orang, anggota pasukan lainnya saya perintahkan untuk mengikuti saja gerakan teman yang ditunjuk menjadi imam,”kata Anggoro seperti dituliskan oleh Istopo Sebul dalam buku Peringatan Palagan Sidobunder

Terbukti upaya Anggoro ada hasilnya. Setelah usai menunaikan shalat maghrib, mereka disuguhi hidangan. Bahkan alih-alih dikasari, mereka malah dipertemukan dengan seorang Kyai yang menjadi pimpinan pasukan AOI tersebut. Dia lantas meminta senjata diserahkan. Permintaan itu ditolak Anggoro secara halus. Sebagai komprominya, Anggoro berjanji akan memberikan sekotak granat tangan begitu mereka bisa lolos sampai ke markas Tentara Pelajar di Karanganyar. Kiyai itu setuju. 


NASIB PASUKAN TP SULAWESI pimpinan Maulwi Saelan, tak jauh berbeda dengan pasukan Anggoro. Saat terkepung oleh tentara Belanda, mereka pun terpaksa mengundurkan diri sambil bertempur secara individual dan tercerai berai karena kurang mengenal medan. Tapi untunglah mereka berhasil keluar dari kepungan. Begitu lolos, mereka mengkoordinasi kembali kekuatan pasukan dan berniat membalas serangan. 

Sekitar jam lima pagi, Maulwi dengan teropongnya melihat sejumlah besar tentara Belanda yang tengah bergerak di jalan antara Karanganyar dan Puring ke arah Desa Sidobunder. Demi melihat pemandangan itu, Maulwi memerintahkan seorang pelajar Timor bernama Herman Fernandez menyiapkan senapan mesinnya. Ia juga memerintahkan La Sinrang untuk menghubungi Anggoro agar brendgun ditarik ke depan. Beberapa saat sehabis Subuh, pecahlah kontak senjata diiringi hujan mortir. Dari arah Gombong terdengar dentuman meriam yang pecahan pelurunya berjatuhan di kiri dan kanan pertahanan pasukan TP.

Dalam hujanan desing peluru, tiba-tiba Tajudin tersungkur karena tertembak senjata musuh. Aba-aba mundur lantas diteriakkan dan pasukan ini tak sempat memberitahu pasukan Anggoro. La Sinrang, La Indi, Losung dan Herman Fernandez terpisah dari induk pasukannya. Setelah melewati persawahan yang tergenang air setinggi dada, mereka mencapai hamparan kebun kelapa. Tiba-tiba, dari rimbunan pohon kelapa itu bermunculan orang-orang berseragam hijau. Tentara KNIL!. 

Kontak senjata pun berlangsung dalam jarak dekat. Tentara Belanda yang rupanya datang dari arah Puring itu, dipimpinan oleh seorang opsir NEX (sejenis wajib militer dalam tentara Belanda). Karena kekurangan amunisi, Losung dan La Indi hanya bisa menggunakan bayonetnya. Apa daya, bayonet tak berarti menghadapi berondongan peluru: mereka berdua pun akhirnya gugur secara berdampingan. 

Sebelum kejadian itu, dalam persembunyian di antara semak-semak, La Sinrang dan Herman Fernandez sempat mendengar teriakan Losung:

“ Jangan tembak Oom… Peluru habis.” Rupanya Losung coba membujuk salah seorang tentara KNIL asal Indonesia Timur yang akan menembaknya. Namun alih-alih diampuni, Si KNIL itu malah memakinya “Cukimai kau Kawanua! (sebuah tempat di Sulawesi Utara tempat Losung berasal)… Dasar, Budak Soekarno!”, lalu terdengar rentetan tembakan.

Ketika mengendap-endap di tengah semak belukar, Herman Fernandez tiba-tiba kepergok seorang Opsir KNIL yang berteriak:“ God verdom zeg Ambonese. Angkat tangan…!”. Demi menghadapi situasi yang tak terkira ini, Herman Fernandez hanya bisa membalas teriakan Opsir KNIL itu dengan kata-kata: “Inlanderrrrrrr….”, belum sempat selesai ia berteriak tiba-tiba terdengar senjata La Sinrang (yang pelurunya tinggal sebutir) menyalak, menembus dada Opsir KNIL itu yang segera roboh dan tewas seketika.

Kedua anggota Tentara Pelajar itu lantas lari berpencar. Di tengah jalan, La Sinrang menemukan standgun milik teman yang gugur. Tanpa pikir panjang, ia membuang senjata laras panjangnya yang sudah tak berpeluru, dan meraih standgun itu. Belum semenit ia menyentuh senjata berat tersebut, tiba-tiba dari arah Puring muncul anggota pasukan Belanda lainnya dan berteriak: “Angkat tangan ! “. 

Setelah mengetahui senjata di tangannya juga tanpa peluru, La Sinrang membalas dengan teriakan lain” Tak ada peluru…”. Teriakan La Sinrang dibalas oleh tembakan gencar. Namun anehnya, kendati dihujani tembakan gencar, tak ada satu pelurupun yang mengenai tubuhnya. Setelah sempat terlongok-longok, salah satu dari tentara Belanda itu berlari dan memukul tubuh La Sinrang. Ia jatuh dan segera diikat, diseret menyeberang sungai dan dibawa truk menuju Gombong. Kejadian ini disaksikan oleh beberapa orang penduduk yang diantaranya adalah Rasikun alias Ana mat Mu’sin.


DI MARKAS BESAR BELANDA DI GOMBONG. Setelah lukanya dirawat oleh para dokter militer Belanda, kondisi La Sinrang perlahan pulih. Ia lantas segera dihadapkan ke bagian Polisi Militer dan diinterograsi :

“ Apakah anda kenal (Herman) Fernandez..”, tanya seorang tentara Belanda

“ Ya..” jawab La Sinrang.

Selang waktu sekitar dua minggu, La Sinrang dipindahkan ke tempat tahanan lain. Di situlah ia bertemu Herman Fernandez . Mereka kemudian berpelukan layaknya sahabat yang berpisah lama.

Ketika dibawa ke kantor MP (Militaire Politie/ Polisi Militer) untuk diperiksa, disaksikan oleh seorang Pastor Belanda dan seorang lain yang bertugas mengambil foto. Pertama perlakuan mereka baik-baik saja, namun begitu pastor dan juru foto pergi, Herman Fernandez yang fasih berbahasa Belanda dan La Sinrang mendapat beberapa kali pukulan dari para anggota MP. Mereka pun dimaki dengan kata-kata : “ Anjing Soekarno…!”.

Kemudian dengan bengis, salah seorang dari mereka bertanya: “ Apa kamu yang tembak itu Kapiten NEX..?”.

“ Tidak tahu.. Karena dalam situasi pertempuran..”, jawab La Sinrang. Belakangan, ia segera tahu bahwa ada empat tentara Belanda yang ditembak mati dirinya : seorang kapten Belanda dan tiga orang lainnya dari suku Ambon dan Timor. 

Saat ditanyakan, “ Senang mana Negara Indonesia Timur atau Jogja”, Herman Fernandez dengan lantang menjawab : “ Kami hanya kenal dan pertahankan hanya satu, Negara Republik Indonesia!”. Setelah pernyataan itu, kedua anggota TP ini dipukul berkali-kali. Kemudian keduanya dihadapkan di pengadilan militer Belanda di Gombong.


Di tahanan, Herman Fernandez bercerita kepada La Sinrang bahwa mereka berdua disangka keras sebagai penembak Kapten NEX, karena jenis senjata yang dipegang mereka berdua (ketika ditangkap): laras panjang dan stendgun, merupakan dua jenis senjata yang pelurunya bersarang di tubuh Sang Kapten.

“ Tapi tak mengapa.. Kamu jangan takut mati. Mati ditembak Belanda lebih baik dari pada mati konyol”, kata Herman Fernandez dalam nada lirih namun tenang. 

Herman pun bercerita bahwa kemungkinan ia tak kan hidup lama lagi. Pastor Belanda telah memberinya kitab dan menyuruhnya untuk segera bersembahyang. “Pastor itu pernah menawarkan pertolongan jika saya mau mengakui sangkaan itu. Tapi saya selalu menolaknya”

Dalam nada tetap tegar, Herman bercerita sering mengalami mimpi buruk selama di sel. “Kalau nanti saya mati ditembak, tolong sampaikan salam kepada teman-teman dan tunangan saya yang ada di Asrama Katholik Magelang”, kata Herman Fernandez dengan tabah.

Suatu malam, La Sinrang mendengar kabar bahwa Herman Fernandez dibawa pergi oleh tentara Belanda dan tidak pernah kembali lagi. Sementara itu, ia sempat mengalami dua kali pemindahan sebagai tawanan: di Sumpyuh dan Banyumas. Dalam pemeriksaan lanjutan dan sangat menentukan, ia ditolong seorang anggota Tentara Belanda asal Pulau Buton bernama Lambia yang memberi kesaksian meringankan dan menyebabkan La Sinrang urung dieksekusi mati. 

Batas Desa Sidobunder di pertengahan Agustus 2008. Langit pekat sudah berubah menjadi cerah. Sang Surya, mulai perlahan beranjak memenuhi tugasnya. Awan putih bergulung bagai kapas raksasa, menabalkan kenang-kenangan penuh darah dan air mata di tanah yang tengah saya injak ini. Bisakah anak-anak muda hari ini mencontoh (atau minimal menghargai) semangat anak-anak muda dahulu yang kehadiran mereka sekarang hanya diwakili seonggok tugu sederhana di depan mata saya? Tiba-tiba saya teringat sebait puisi Chairil Anwar: “ …Kami cuma tulang-tulang berserakan…Tapi adalah kepunyaanmu…Kaulah lagi, yang menentukan nilai-nilai tulang yang berserakan itu…Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, harapan atau tidak untuk apa-apa?...Kami tidak tahu…Kami Tidak lagi bisa berkata…Kaulah sekarang yang berkata! …(hendijo)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar