Emakku Sayang, Emakku
Malang
( dari catatan
panjang Adi Suwardi )
penulis: Astaman Hasibuan
Pengantar:
Kisah ini kudapat dari catatan-catatan panjang
seorang sahabatku, Adi Suwardi; yang berharap kisah ini bisa dibaca anak
cucunya. Agar mereka tahu, bahwa bapaknya, kakeknya, kakek buyutnya, pernah
mengalami penggalan priode sejarah yang hitam, penuh jelaga. Jelaga kebencian.
Manusia dijadikan buruan, dibunuh, dirampas
hartanya, dan di perkosa. Tak ada harga. Ditangkapi, dibui belasan tahun, dan
terus dikucilkan, dilaknatkan. Anehnya semua ini dilakukan oleh bangsanya
sendiri, atas nama Pancasila. Falsafah bangsa dinegeri ini.
Seakan-akan perburuan, pembantaian, perampasan,
pemerkosaan pengucilan dan pelaknatan itu, adalah atas ridho dan amanah yang
Maha Kuasa. Itu sebabnya laksaan anak negeri ini dieksekusi mati, dibui belasan
tahun, tanpa pengadilan.
Ketika kutanyakan apakah dia menyimpan dendam. Dijawabnya, kalau dia
bilang, “tidak”. Dia berbohong. Jawabannya, ada di penggalan sajak HR Bandaharo
yang bertajuk “Anak Rakyat”; “Hatinya pernah luka-luka, dan luka-luka itu
sembuh sendiri. Hatinya pernah mendendam, dan dendam itu pun kering kehabisan
isi”.
Penulis: Astaman Hasibuan
Emakku Sayang, Emakku
Malang
( dari catatan panjang Adi Suwardi )
penulis:
Astaman Hasibuan
NAMA nya Wardik begitu emaknya, memanggil. Baru
sekitar beberapa bulan, menjadi penghuni salah satu barak, dari 20 barak yang
ada disini. Belum setahun, seperti para penghuni lain yang sudah
bertahun-tahun. Barak yang dikelilingi tembok tinggi itu, namanya TPU C.
Menurut mereka kepanjangan dari Tempat Penampungan Umum C.
Padahal ditilik dari semua penghuninya hanya
terdapat, satu kasta. Kasta “paria”. Kasta yang paling rendah yang tak kan
mungkin mendapatkan kesamaan dengan kasta yang lain. Bahkan dengan bayangannya
pun, kasta lain tak ada yang mau berbagi.
Entah dimana umumnya, dia tak pernah mengerti.
Bukankah kalau diperuntukkan untuk umum, hunian itu, seharusnya dihuni semua
kasta. Apalagi kalau ditanya apa itu C nya. Bagi dia itu membingungkan. Katanya,
itu adalah petunjuk bahwa para penghuninya. Tahanan yang ada di barak-barak
itu, digolongkan kedalam golongan C.
Bukankah ini membingungkan. Umum dan penggolongan. Satu kasta lagi. Hunian
kasta paria. Cibiranpun berdatangan sampai pada cibiran yang menyakitkan.
Cibiran disandangkan bagi orang-orang yang dinistakan, para petinggi negerinya
sendiri. Sedang dia merasa tak pernah berbuat nista.
Konon pula lagi. Ada tuduhan, bahwa orang-orang
yang diasingkan seperti dia, adalah orang-orang yang berbuat atau setidaknya
bermuatan niat didalam sanuhbarinya akan melakukan makar terhadap pemerintahan
yang syah.
Untuk itu kata para petinggi dan
pengikut-pengikutnya di negeri ini. Orang-orang seperti dia harus dikucilkan,
diasingkan. Dilarang bicara, dilarang segalanya, bahkan ada yang dilarang
hidup. Semua serba dilarang didepan umum.
Ditempat itu ada yang disebut portir, tempat
dimana beberapa orang tahanan yang ditunjuk pemegang kekuasaan. Penguasa hunian
yang di pariakan. Penguasa yang menentukan segala peraturan bagi semua penghuni
kurungan itu. Disana ada pengeras suara yang digunakan untuk menyampaikan
maklumat bagi semua penghuninya. Juga disana ada lonceng yang berdentang, kalau
tidak menunjukan waktu akan diiringi pengumuman sebuah maklumat.
Hari itupun datang juga, hari dia memulai
menjalani hidupnya yang berbeda dari sebelumnya. Penguasa, dan juga para
tahanan ikut-ikutan menyepakati menyebutnya; di“mandah”kan. Padahal yang
sebenarnya di jadikan tenaga kerja paksa.
Dari portir terdengar suara lonceng berdentang
sepuluh kali, kesibukan di TPU C KM 7, jalan Binjai itu seakan terhenti. Para
tahanan, pengukir kayu, sampai pemahat patung, pelukis kre, sampai pelukis
diatas kanvas, penganyam plastik, sampai perangkai bunga, serentak menghentikan pekerjaannya. Semua
keluar dari baraknya masing-masing. Ada perintah yang akan diumumkan penguasa
hunian ini. Dan perintah itu harus didengarkan. Maklumat penguasa adalah hukum.
Melalui pengeras suara satu persatu nama-nama
dipanggil termasuk namanya. Dan yang dipanggil namanya, berkumpul didepan
portir. Seorang pengawal berpangkat kopda, kopral dua Corp Polisi Militer, CPM,
memerintahkan, membentuk barisan berbanjar. 60 jumlahnya. Komandan TPU, seorang
perwira berpangkat letnan satu CPM berdiri didepan barisan para tahanan,
menyampaikan perintah: ”Saudara-saudara, setelah bubar nanti siapkan
barang-barang masing-masing, karena saudara-saudara akan di”mandah”kan ke
perkebunan Blangkahan. Saudara-saudara yang diberangkatkan ini, dianggap sudah
memenuhi persyaratan untuk dipekerjakan diluar. Dan kami yakin kalau
saudara-saudara disana, tidak akan melarikan diri, karena siapa yang melarikan
diri, akan rugi sendiri. Sebab saudara-saudara, tidak lama lagi akan
dibebaskan. Paham”. Para tahanan yang
ada dibarisan serentak menyahut. Tak ada pilihan jawaban yang lain, selain
“paham”. “Nah saudara-saudara, siapkan barang-barang kalian dan ingat,
melarikan diri berarti rugi”. Komandan TPU, letnan satu Anwar B itu, balik
kanan. Pergi meninggalkan barisan, digantikan pengawal yang berpangkat kopda
tadi langsung memberi aba-aba: Bubar jalan. Kembali ke-barak masing-masing.
Dia tak tahu dimana sebenarnya perkebunan
Blangkahan itu. Dan apa yang harus dikerjakan disana. Apakah membuka hutan,
bertanam sawit, bertanam karet atau membersihkan parit-parit yang ada
diperkebunan itu. Buat apa harus difikirkan, buat apa harus menduga-duga.
Nantilah, sesampai disana, kan ketahuan.
Barang-barang yang menjadi miliknya selama menjadi
orang kurungan yang satu kekurungan yang lain, cuma sedikit. Tak ada kesulitan,
dan tak lama dia sudah siapkan semua, sampai-sampai tak ada yang tertinggal.
Ada juga yang ikut dibarisan tadi mendatangi
portir, mencoba membatalkan diikutkan. Mereka punya alasan masing-masing.
Karenanya berkuranglah jumlah dari 60 yang namanya disebutkan tadi.Entah berapa
jadinya tak menjadi hal yang harus dihitungnya. Dia tak punya alasan untuk
tidak ikut. Itu sebabnya dia harus ikut. Dari mereka yang tidak diikutkan itu,
dia mengetahui mereka akan diberangkatkan pada pukul 18.00 WIB nanti.
Mbak San, begitu dia memanggil kakaknya ini,
datang. Dia lagi duduk dibangku panjang
yang dibawah pohon buah roda didepan baraknya. Barak XVII. Duduk
bersandar menunggu waktu keberangkatan. Mbak San nya, adalah kakaknya yang
tertua, penghuni barak XIII. Ditangkap petugas Korem 021 Pantai Timur, dibulan
Agustus 1968. Mbak San nya lebih dulu menjadi penghuni di TPU C itu.
Selain kakaknya yang tertua. Mbak Yus nya,
kakaknya nomor dua, dengan suaminya juga
lebih dulu menjadi penghuni TPU ini. Mbak Yus nya di barak XIV.
Sedangkan mas Bandi, suami mbak Yus nya di barak XVII se-barak dengan dia. Mas
Bandi, iparnya itu dipekerjakan di Teperda, Team Pemeriksa Daerah, sebagai juru
ketik. Mereka berdua suami isteri ditangkap di tahun 1967, waktu mereka sedang
melangsungkan hari perkawinannya. Dari atas pelaminan mereka digelandang
petugas Sudam I, dan langsung dibawa ke jalan Gandhi di bekas gedung sekolah,
yang disulap menjadi tempat tahanan. Kurungan. Seperti mbak Yusnya, dia, mbak
San nya juga pernah menjadi penghuni kurungan itu.
Mbak San nya duduk disebelahnya. Matanya
berkaca-kaca. Ketika mata mereka beradu mbak San nya menunduk. “Kita berpisah
lagi, dik. Rasanya, baru saja kita berkumpul. Entah kapan lagi kita bisa
jumpa”. Dia hampir ikut larut. Tidak, dia harus lebih kuat, dia anak laki-laki.
“Kita tak tahu keadaan ditempat barumu itu, kita juga tak tahu sampai kapan
kita didalam tahanan ini. Jaga kesehatanmu. Kalau kita panjang umur, kita pasti
jumpa lagi”. Mbak San nya tetap menunduk.
“Jangan menangis, mbak. Yang sudah kita lalui lebih berat dari sekarang
ini. Mbak juga jaga kesehatan, kita harus bisa bertahan hidup”. Butiran air
mata mbak San nya, sudah mengalir dipipi. “Mbak kalau duluan bebas, salamku
buat emak. Katakan aku sehat-sehat. Jangan mbak ceritakan yang membuat dia
sedih. Aku tak percaya yang dikatakan mereka. Mereka semua sama-sama penipu.
Omongan mereka semuanya bohong. Perjalanan ini masih panjang, kita harus bisa
bertahan hidup”.
Daun pohon buah roda itu bergoyang diterpa angin,
sinar matahari tak mampu menembus lebat daunnya. “Dik, mbak ambilkan nasi, kau
kan belum makan”. Dia mengiakan, dia memang sudah lapar. Perempuan itu bangkit
berdiri, melangkah pergi ke baraknya. Tak lama, kakaknya yang tertua ini datang
lagi membawa rantang. Dibukanya rantang, ada nasi jagung, dirantang paling
bawah, diatasnya tumis kacang panjang, paling atas ikan asin yang digoreng.
Sayang mbak nya. tak ada duanya.
TERAKHIR dia jumpa dengan mbak San nya dua tahun
yang lalu, sama-sama diperiksa di Seksi I Korem 021 Pantai Timur, di Siantar.
Dia dan mbak Sannya ditahan terpisah. Mbak San nya ditahan di markas Korem,
sedangkan dia di penjara jalan Sutomo. Sudah berbulan-bulan Wardik menjadi
penghuninya. Sangat kurus. Kurus, hingga lebih besar lututnya dari pahanya.
Wardik diperiksa atas tuduhan akan
melakukan makar, mengumpulkan dan menyembunyikan senjata dengan jumlah yang
banyak. Sementara menurut mereka, juru periksa itu, hanya mbak San nya lah yang
tahu dimana dia sembunyikan.
Ketika Wardik diambil petugas dari penjara, yang
terbayang dibenaknya hanyalah, penyiksaan, hingga kematian. Dia tak ingat lagi
sudah berapa kali diperiksa. Pertanyaannya yang itu-itu juga. Pertanyaan yang
harus dijawab, memang dia tidak tahu. Jawabnya pun memang tidak tahu. Sengatan-sengatan
arus listrik, tiga empat kali, lain lagi libasan rotan sebesar ibu jari kaki,
rata keseluruh badannya. Ekor ikan pari,
sengaja didatangkan dari Kodim Tanjung Balai, ikut membuat guratan-guratan
panjang warna merah dipunggungnya. Setiap diperiksa akhirnya akan berhenti,
bila dia sudah tak sadarkan diri.
Waktu masuk keruangan seksi I itu, terlihat mbak
San nya tergeletak dilantai. Sekitar matanya biru-lebam, darah mengalir dari
mulutnya. Rambutnya yang panjang, digunting habis. Entah apa yang salah dalam
pengelihatan mereka dengan rambut panjang seorang perempuan.
Dia diperintahkan duduk, borgol ditangannya
dilepas. Pembantu Letnan Satu, Meta Ginting duduk berseberangan.
Berhadap-hadapan dengannya, dibatasi meja kerja juru periksa itu. Setiap diperiksa
dia teringat masa kanak-kanaknya, prihal yang menakutkan tentang setan yang
jahat. Disini, ditempat ini, setan itu bertengger utuh didepannya. Setan memang
bertengger. Karena menurut cerita yang didengarnya setan itu bisa terbang,
tentu punya sayap seperti burung. Burung, bila hinggap diranting kayu, bukankah
itu bertengger namanya.
Sudah lebih dua puluh kali diperiksa,
ditanyai.Yang benarnya, disiksa. Disiksa setan berpangkat Peltu itu.
“Bagaimana masih tidak mau mengaku. Lihat kakakmu,
apa kau tak kasihan melihatnya. Itu semua terserah kau”. Pembantu Letnan Satu
itu memulai. Diam sebentar, lagaknya berfikir. Setan perlu berfikir. Sekarang,
Wardik yang benar-benar berfikir. Apa serdadu ini tahu, apa itu rasa kasihan.
“Kalau kau mengaku, kau, kakakmu akan dibebaskan. Dan kau akan mendapat bintang
penghargaan dari Negara. Sebab kau sudah membongkar jaringan pemberontakan”.
Lagi Wardik berfikir. Apa menurut juru periksa yang berbaju hijau ini, dia
dungu. Uh, setan pembohong. Setan memang
pembohong. Mana bisa dipercaya. Dia memaki dalam hati. “Tapi, kalau kau tetap
keras kepala, akan tahu sendiri akibatnya. Sekarang jelaskan dimana kau
sembunyikan senjata-senjata itu?”. Suara Pembantu Letnan Satu itu, pelan, tapi
sorot matanya mengancam. Mata setan menjijikkan. “Saya tidak tahu, pak. Dan
saya, tak ada menyimpan senjata”, jawab Wardik. Puluhan kali pertanyaan seperti
itu, puluhan kali jawabanya sama. “Semua kau tidak tahu, jadi apa yang kau
tahu, bangsat”. Dan, tentara itu berdiri, menghajar mukanya beberapa kali.
Kepalan tangan yang sebesar kelapa puyuh menghujani dada dan perutnya. Dia terjatuh dari tempat duduk. Seperti orang
kesurupan, kesetanan, juru periksa itu menendang perutnya. Dia menggeliat
menahan sakit. Mencoba berdiri, tapi tangannya ditarik. Lagi tendangan mendarat
kepunggungnya. Wardik kembali tersungkur, dua meter. Hampir didekat kakaknya.
Darah mengalir dari hidung dan mulut. Pandangannya mulai kabur. Samar terlihat
mbak San nya mencoba meraih tangannya.
UDARA dingin malam, menerobos sel lewat terali
besi tempatnya tergeletak. Entah berapa lama dia pingsan. Seluruh badannya,
terasa sakit sekali. Di cobanya bangun. Tak bisa. Tertidur atau dia pingsan.
Wardik terbangun, siuman, ketika pintu selnya terbuka. Dua orang kawannya
sepenjara memapahnya keluar sel. Keduanya mendapat perintah membersihkan badan
Wardik.
Disudut blok ada bak yang airnya mengalir dari
leding. Dia dibawa ke bak itu. Dia haus, minta minum. Ponidi, salah seorang
kawan yang memapahnya keluar sel, mengambil tempurung kelapa dipinggir bak.
Mengisinya dengan air bak. Satu, dua, tiga tempurung sudah air bak itu lewat
ditenggorokannya. Tapi hausnya belum mau pergi. “Sudah dulu, dik”, tegur
Ponidi. sekalian membersihkan darah kering yang lengket di rambutnya. Dia
dipapah lagi ke sel. Bersih sudah darah-darah yang mengering dimuka, dimulut,
hidung dan keningnya. Terasa lapar, tapi tak ada yang bisa dimakan. Sendiri
memikirkan kakaknya, mbak San nya. Entah bagaimana.
Sebulan kemudian dia mendengar, kakaknya dibawa ke
Medan. Terakhir baru dia tahu. Waktu diperiksa bersamanya, mbak San nya dua
hari tak sadarkan diri.
Dua
bulan kemudian dia diperiksa lagi. Wajah-wajah setan itu kembali dihadapinya.
Uh, setan yang berpangkat Letnan Satu itu, menampakkan senyum setannya. VP
Situmeang, atasan dari setan yang menyiksanya dua bulan yang lewat. Dikepala
setan-setan ini pasti sudah siap menghabisinya. Lagi, pertanyaan yang itu-itu
juga. Rasanya dia sudah tak sanggup lagi. Minta agar dia dibunuh saja, ditembak
mati, dihabisi. Setan-setan berbaju hijau itu, malah mentertawakannya.
Jawabannya yang “tidak” akan serentak bersamaan dengan pukulan rotan se ibu
jari kaki itu mendarat dibahu dan kakinya. Atau sengatan arus listrik, membuat
Wardik menjerit. Tak lagi meminta ampun. Tak lagi merasakan apa-apa.
Wardik
yang duduk dibangku, diperintahkan agar meluruskan kakinya diatas bangku yang
lain, yang ada didepannya. Setan
berpangkat Peltu itu memakai sepatu larsa, memijak kakinya. Kreepak, ada suara
dari tulang pahanya. Wardik menjerit sekeras-kerasnya. “Allahuakbar”. Cuma itu
yang keluar dari mulutnya, akhirnya dia tak sadarkan diri.
DIA mendengar suara seorang perempuan. “Dia sudah
sadar, Dokter”. Tak salah dia dirumah sakit. Kaki tergantung diatas rusbang.
“Abang dibawa kemari, dalam keadaan pingsan”, salah seorang dari perawat itu
menerangkan. Namanya Sundari, disebelah kanan seragam putihnya, tepat didadanya
terbaca begitu. Ada temannya yang lain, Kartini Sebayang. Kartini juga perawat.
Dokter itu bermarga Siagian, berseragam tentara, pangkatnya mayor. Sudah pasti,
saat ini Wardik menjadi penghuni Rumah Sakit Tentara.
Di rumah sakit ini Wardik diperlakukan, seperti
pasien-pasien lainnya. Meski dokter dan perawat-perawat itu tahu, bahwa dia
adalah tahanan Korem. Malah para perawat terkadang melebihkan jatah makan
untuknya. Perawat-perawat itu, Ginem, Kartini br Sebayang, Kartini br Sinaga,
Malijarwati dan Sundari. Doanya, mudah-mudahan mereka panjang umur rendah
rezeki.
Enam bulan kemudian dia telah dinyatakan sembuh.
Wardik mulai melatih kakinya berjalan. Kaki kanannya masih terasa nyeri.
“Baiknya memang pakai tongkat dulu”. Perawat Malijarwati, bermurah hati
memberinya tongkat bekas gagang sapu. Malijarwati siswa perawat, asalnya dari
Belawan, dia anak Belawan, lahir di Belawan. Dicobanya menggunakan tongkat itu,
ternyata terasa nyaman.
Tak ada lagi rasa nyeri dikaki kanan. Tulang
pahanya sudah pulih. Begitu kata Malijarwati, ketika dia membuka gips itu di
kaki Wardik. Gips yang enam bulan ini menyelamatkan kaki kanannya. Sekali
Malijarwati datang, Wardik lagi duduk ditepi rusbang, letih melatih kaki
berjalan. Tak sengaja dipanggilnya Malijarwati, Nawang Wulan. Tentu saja
Malijarwati heran mengapa dipanggil dengan nama itu. Nawang Wulan.
“Ada tujuh bidadari yang turun kebumi, begitu legenda rakyat di Pulau Jawa. Legenda “Jaka
Tarup”. Diantara bidadari itu ada yang
bernama Nawang Wulan. Suster Malijarwati lah, Nawang Wulan itu. Kalian
begitu baik padaku, baik seperti bidadari”. Itulah jawabannya ketika
Malijarwati menanyakan mengapa dirinya
dipanggil dengan nama, Nawang Wulan.
“Ah, abang ini bisa saja. Kami ini berusaha menjadi perawat yang baik. Kerja kami, adalah
kerja kemanusiaan. Kalau bisa, kami harus menyelamatkan nyawa manusia. Waktu
abang dibawa kemari, abang seperti tengkorak hidup. Maaf, ya bang. Mulanya saya tak yakin, kalau abang bisa
bertahan. Kiranya Tuhan masih melindungi abang”. “Juga berkat para bidadari
yang baik hati. Kalian”, Wardik menyambungnya.
“Kami fikir dulu abang, sudah tua”. Ginem perawat
dari Sidamanik itu, rupanya mendengarkan ujung bincang-bincang keduanya.
Langsung ikutan. Ditangannya ceret almunium. Pasti berisi susu. “Eeee, tahunya
masih muda”. Tawa ketiganya, lepas.
“Sebenarnya abang umur berapa?”. Tanya perawat Ginem, memilih duduk dibangku,
disamping rusbang. “Ini tanggal berapa?” dia menanyanya balik. “Tanggal 15,
hari Sabtu, bulan Februari, 1969”, jawab perawat Ginem, melihat jam
tangannya. “Kalau begitu umurku sudah 20
tahun”.
Emaknya bilang dia lahir tanggal 10, bulan Februari,
1949. Minggu wage.
“Sebenarnya abang ini dari mana, dan apa kesalahan
abang hingga sampai begini?”. Sudah diduganya pasti akan ada pertanyaan itu.
Tapi seenaknya saja dijawab berseloroh.
“Suster Ginem apa mau jadi juru periksa. Sudah bosan jadi perawat”. Wardik
melihat keluar kamar. “Cerita dong, bang, biar kami tahu tentang abang”, desak
mereka berdua serentak. “Tapi kalau itu rahasia, tak apa, bang. Yang itu jangan
diceritakan”. Perawat Malijarwati seolah-olah mengerti.
“Apakah bersalah bila seseorang itu berusaha
menyelamatkan jiwa orang lain? Tidakkan? Tadi suster Malijar membicarakan
tentang kemanusiaan, tentang menyelamatkan nyawa manusia. Begitu menyentuh, begitu agung. Tetapi aku
menyelamatkan nyawa manusia yang hampir dihabisi, malah ditangkap, dimasukkan
ke kurungan. Dijadikan penghuni hotel prodeo, dibui, dan disiksa, sampai-sampai
membuat aku berada disini. Dan kalian rawat”. Dia menarik nafas. Ketiganya
terdiam sebentar. “Lho, mengapa bisa begitu, bang?” Terlihat betul, bahwa
perawat Malijar keheranan. Begitu juga perawat Ginem, ikut mengangguk, seakan
dia juga akan menanyakan itu. “Itulah yang aku sendiri tak mengerti”. Jawabnya
tak ada beban.
“Sebenarnya kami ingin tahu banyak bang, tentang
abang. Tapi, sayangnya kami masih dinas. Begini saja, bang. Besok kami dinas
malam, jadi besok siang kami datang. Tapi abang harus janji. Janji cerita
tentang mengapa abang ditangkap, dimasukkan ke kurungan, disiksa, dan sampai
disini. Seperti cerita abang tadi”. Dia janji besok, dia akan ceritakan semuanya
pada mereka. Lagi pula besok hari Minggu. Rumah sakit biasanya pagi agak
lengang dari kesibukan. Kedua perawat itu mohon diri, hilang dibalik pintu. Dua
insan yang baik hati. Itu kata hati Wardik.
REBAHAN badan dirusbang, fikirannya menerawang kepenjara.
Mungkin besok atau lusa akan dikembalikan kesana. Akan menjumpai orang-orang
yang seperti tengkorak hidup. Manusia yang dianggap bukan manusia lagi. Manusia
yang kehilangan segalanya, juga akal sehatnya. Jantung tak pernah berdetak
normal, menunggu namanya dipanggil ke markas Korem. Diperiksa, yang sejatinya
disiksa sepuas mereka para setan-setan berbaju hijau itu. Siapa saja yang
dipanggil ke markas Korem, kembalinya ke penjara sudah dapat dipastikan akan
dipapah atau digotong . Singo, Minto,
Darto mati setelah dibawa ketempat penyiksaan. Dan entah berapa banyak lagi
mati kelaparan. Dan penjara terus dijejali dengan bertambahnya orang yang terus
ditangkapi.
Dia ingat drama, “Sinandang” cerita rakyat Asahan,
yang pernah disaksikannya di Gedung Nasional Rantau Prapat. Dimainkan para
seniman-seniman rakyat, Lekra. “Sinandang” tulisan Emha, bercerita tentang,
raja yang lalim. Sinandang, para nelayan, dan Ulong Jantan ayah Sinandang,
bertekad padu melakukan perlawanan: “Raja alim raja disembah, raja lalim raja
dibantah”. Tekad itulah yang menyebabkan raja murka, semurka-murkanya serta
memaklumatkan dan mengumumkannya sendiri dibalairung istana. Perintahnya pada para
hulubalang kerajaan: “Tangkap Sinandang, juga ayahnya Ulong Jantan dan semua
nelayan, penjarakan!”. Hulubalang yang menghadap raja di balairung istana
menghaturkan sembahnya: “Penjara sudah penuh, tuanku”. Mendengar laporan para
hulubalangnya, raja menurunkan perintah lanjutan: “Bangun penjara baru”.
Sekarang dialah salah seorang penghuni penjara,
sang raja yang lalim.
Di penjara itu, sudah sembilan bulan dia tak
merasakan manisnya gula. Minum hanya air panas tanpa daun teh atau bubuk kopi,
apalagi gula. Yang penting perutnya terasa hangat. Ada dua kaleng bekas susu
bubuk kemasan 1 kilogram yang disimpannya. Satu kaleng bekas susu kental manis,
dan sendok dari tempurung yang dibuatnya sendiri. Paku lima inci, yang
didapatnya dibawah pagar pembatas blok.
Sudah lama dikumpulkannya plastik-plastik bekas
bungkus kiriman, para keluarga yang datang berkunjung. Plastik yang
dikumpulkannya cukup banyak. Orang-orang yang sama dengan dia se bui itu,
heran. Menanyakan untuk apanya plastik-plastik itu dikumpulkan. Selalu
dijawabnya hanya dengan senyum. Mereka mengira Wardik sudah gila. Setidaknya
mulai. Atau tanda-tanda, akan.
Malam itu hujan turun dengan lebat. Seperti biasa
pintu blok pembatas antara tahanan Korem dengan tahanan militer, dikunci,
setelah usai solat Isa berjemaah. Dia masuk kekamar mandi, membawa tiga kaleng
susu punyanya. Juga plastik-plastik yang sudah digulung kecil-kecil. Dibakarnya
plastik-plastik tadi, tetesannya ditampung dikaleng, yang sudah dilobanginya
tadi siang dengan paku. Api pun menyala dikompor barunya. Ditampangkannya
kaleng yang satu lagi, yang berisi air bak. Bila apinya sudah mulai mengecil,
ditambahinya plastik. Paku digunakan juga untuk mencoker-coker api. Kira-kira
duapuluh menit mendidihlah air yang direbus dengan kompor canggih miliknya.
Kawan-kawan yang punya simpanan gula, bubuk kopi
atau teh, saling berbagi dengan Wardik. Sejak itu dia minum kopi manis setiap
malam.
DIA masih di Rumkit. Senyum sendiri. Untung tak
ada yang memperhatikan. Baru saja
istirahat, melatih kakinya disepanjang lorong rumah sakit. Tongkat bekas gagang
sapu, pemberian perawat Malijarwati, kemana dia melangkah, tak lekang dari
tangannya. Pagi itu langit diselubungi kabut putih. Para siswa perawat yang
lalu lalang bertugas, berpapasan dengannya mengangguk. Dibalasnya, juga dengan
anggukan dan ucapan selamat pagi.
Dari ujung lorong terlihat perawat Ginem menuju
arahnya. Perawat itu menjinjing bungkusan. Pagi ini perawat Ginem, tidak
mengenakan seragam putihnya. Disapanya dengan dengan ucapan selamat pagi.
Perawat itu membalas, tersenyum. Senyum bidadari, terucap dihatinya. Ginem
bilang, mereka mau menagih janji. Ceritanya. Cerita tentang dia. Cerita anak
laki-laki orang kurungan, orang yang berasal jauh dari kota tempat bangunan
Rumah Sakit ini’ “Ini saya belikan lontong untuk sarapan, abang. Saya taruh
dikamar. Sebentar lagi kami datang”. Ginem masuk kekamar dan keluar. Pamit.
Kamar-kamar di sal C ini dulunya di khususkan
untuk orang-orang sakit kusta. Ukurannya tiga kali empat meter. Isinya; satu
rusbang, satu lemari kecil dan dua bangku. Sudah 6 bulan menjadi huniannya
dengan cuma-cuma. Gratis.
Selain perawat yang baik-baik itu, ada sahabat
kecilnya, Supriadi. Rumah sahabat kecilnya itu, tak jauh dari komplek Rumkit
ini. Selepas sekolah, Supriadi berjualan utri keliling rumah sakit dan tiap
sore datang menemaninya. Di hari Minggu atau hari libur sekolah, sahabatnya ini
dengan rajin berjualan sejak pagi hari. Usianya dekat duabelas tahun. Tahun
depan lima bulan lagi dia akan tammatkan Sekolah Dasar nya. Mudah-mudahan nilai
ujian akhirnya baik, agar bisa melanjutkannya ke Sekolah Menengah Pertama
Negeri. Wardik bilang, dia ikut mendoakannya. Siapa yang tak mengagumi anak
ini. Membantu beban orangtuanya patut mendapat acungan jempol.
Perawat Malijar dan perawat Ginem datang menagih
janji, Wardik. Membawa susu dibotol, menyilahkannya diminum, setelah perawat
Malijar menuangkannya kegelas. “Biar lekas sehat”, katanya. Selain jatahnya.
Setiap hari, dia juga dapat tambahan susu dari bidadari-bidadari ini. Sahabat
kecilnya juga selalu membawa gula buatnya. Berat badannya naik menjadi 60 KG.
Dia benar-benar merasa sehat, hanya nyeri dikaki kanannya masih agak mengganggu
bila melangkah. Heran tinggi badannya juga bertambah. Tadinya 1,57 Meter,
menjadi 1,63 Meter. Bertambah 6 CM. Kata perawat Ginem tinggi manusia masih
bisa bertambah sampai usia 25 tahun.
Ini ceritanya pada bidadari-bidadari itu.
Memang tak semuanya diceritakannya. Sebab perawat
Malijar bertanya, apa yang diperbuatnya tentang rasa kemanusiaan, tentang
menyelamatkan nyawa seorang manusia. Yang diceritakannya hanya masalah
disekitar itu. Ceritanya dimulai dari bagaimana dia menyembunyikan seorang
pelarian tahanan Kodim, Komando Distrik Militer 0206 Labuhan Batu, pada 21
Maret, tahun 1967 . Muso Susilo. Tetangganya, kawan ayahnya. Dia memanggilnya
cak Muso. Cak Muso nekad kabur dari tahanan, karena mendapat berita, bahwa dia
akan di”ambil” dan dihabisi. Bagaimana Wardik tidak menyelamatkan cak Muso, dan
menyembunyikannya. Cak Muso tetangga keluarga mereka, kawan ayahnya. Dia
bersamaan dengan ayahnya ditangkap dan disekap di markas Kodim. Ayahnya, dan
beberapa kawan-kawan ayahnya, 27 Februari 1966 sudah lebih dulu di”ambil” dan
dihabisi. Mereka. Tentara itu, membawa ayahnya keluar dari tempat penyekapannya
di markas Kodim, dibawa ke bekas gudang getah di Aek Tapa. Dari tempat itu,
mereka habisi dipembantaian, mereka bunuh. Mengapa dia tidak menyelamatkan,
kawan ayahnya, yang juga tetangga keluarga mereka. Dia tak bisa menyelamatkan
hidup ayahnya, setidak-tidaknya menyelamatkan kawan ayahnya. Persembunyian cak
Muso, hanya dia dan seorang kawanya yang tahu.
Semua sanak keluarga cak Muso beranggapan kalau
cak Muso sudah mati. Kirim doa pun sudah dilakukan. Dari hari ke-Tujuh,
Empatpuluh hari, Seratus hari, begitu tradisi didesanya. Dan setiap hajatan
kirim doa, dia tetap diundang. Tujuh bulan cak Muso bertahan
dipersembunyiannya, walau akhirnya cak Muso harus menyerahkan diri kembali.
Setelah itu terjadi lagi penangkapan-penangkapan.
Kawannya yang mengetahui dimana persembunyian cak Muso dan kawan-kawan cak Muso
yang lain ditangkapi. Bulannya dia tak
ingat, tapi sebelum bulan Mei, ditahun 1967. Seandainya waktu itu cak Muso
tidak mereka sembunyikan, pastilah dia sudah tinggal nama.
Pada akhir bulan Mei 1967, Wardik ditangkap,
disiksa, juga hampir mati. Dan hingga hari ini dia masih dijadikan penghuni
penjara dan berada di rumah sakit itu. “Itulah hal yang nyata, tentang hati
nurani kemanusiaan yang pernah aku lakukan. Bukankah aku juga menyelamatkan
nyawa manusia?” Dia diam sesaat. memandangi kedua perawat itu seolah minta
jawaban. Lalu diteruskannya. “Aku dibawa kemari seperti tengkorak hidup, begitu
cerita kalian. Tulang pahaku patah. Kalian merawatku agar hidup. Kalian obati
agar sehat. Mengapa yang hidup harus dibunuh. Besok atau lusa aku diambil lagi.
Ke penjara lagi. Kemudian aku diperiksa lagi. Disiksa lagi. Dijejali dengan
pertanyaan. Dipaksa mengakui yang tak pernah aku lakukan. Yang pernah aku
lakukan tak pernah mereka tanyakan. Kadang-kadang aku lebih baik memilih mati
dari pada disiksa terus menerus”. Sampai disitu ceritanya putus. Terdengar
suara merdu Titiek Sandora dari radio pasien sebelah kamarnya.
“Aku sudah menepati janji, sekarang apa lagi.
Dalam hati kalian, pasti terucap kata-kata, berupa kasihan. Tak apa, kalian
sudah menyelamatkan hidupku. Telah membuat aku ingin bertahan hidup.
Terimakasih dan terimakasih, tak ada yang bisa aku sampaikan lebih dari itu”.
Sebelum mereka pamit, Malijar berpesan: “Kami tak tahu entah kapan abang
dijemput kembali ke penjara, tapi kalau
abang bebas nanti, jangan lupa kami”. “Tentu Suster, kalian begitu baik, kalian
bidadari, tak kan pernah aku lupa. Kalau ada kesempatan, pasti”. Kedua perawat
itu berlalu keluar dari kamar. Dia pun ditinggal sendiri.
Tidak juga. Sahabat kecilnya sudah berdiri
diambang pintu. Keranjang kue utri bergantung ditangan kanannya. Sahabat
kecilnya mendengarkan dari luar kamar percakapan mereka tadi. “Om, kapan om
kembali ke penjara?” tanyanya. Dijawabnya, mungkin besok mungkin juga lusa.
“Bila om bebas, om akan kemana”, sahabat kecilnya bertanya lagi. “Aku akan pulang ke desaku”. Jawabnya.
Dikatakannya lagi pada sahabat kecilnya, bahwa emaknya sudah tua dan
adik-adiknya masih kecil-kecil.
BESOKnya dia dijemput, kembali kepenjara, kembali
lagi keneraka. Ada yang masih dia kenal. Kawan-kawannya yang menjadi penghuni
lama. Banyak juga yang baru.
Dua bulan kembali menjadi penghuni penjara,
akhirnya langkahnya berjalan, sudah pulih seperti biasa. Tak menggunakan
tongkat lagi. Sumardi, Syaiful Achir dan Amir Hamzah Pohan penghuni baru, kawan
barunya. Ketiganya diambil dari rumahnya, dikota itu. Pak Amir dan pak Sumardi,
begitu dia memanggil kedua orang itu, sebaya ayahnya, empat bulan kemudian
dipindahkan ke Medan. Sementara dia dan Syaiful yang dipanggilnya abang,
dipekerjakan di markas Korem. Pagi menyapu seluruh ruangan, siang harinya
menyuci mobil. Terkadang menjemput kawan-kawan sesama tahanan yang dipekerjakan
di perkebunan Simarito, juga mengunjungi mereka yang di rawat nginap di Rumkit.
Kesempatan itu digunaknnya jumpa dengan
para perawat, para bidadari itu. Sempat dia menyaksikan sesama tahanan
juga, Saidam Husni meninggal di Rumkit. Sudah lama nama Saidam dia kenal.
Saidam Husni adalah seorang penulis cerita pendek, cerpennya selalu terbit di
“Harian Harapan” Medan, juga “Harian Rakyat” terbitan Jakarta, kedua koran ini
menjadi koran langganan ayahnya. Saidam anggota Lekra. Kata Syaiful, Saidam
juga adalah guru ilmu pasti di Taman Madya, SMA, Perguruan Taman Siswa Pematang
Siantar. Setammat SMA dia menjadi guru di SMA. Luar biasa, kagumnya. Hari itu
mereka berdua, dia dan Syaiful ditugasi berkunjung ke Rumah Sakit. Setelah
melihat keadaan Mariam Margolang, yang dipanggilnya kakak. Juga adalah tahanan
Korem. Sebaya mbak San nya. Pukul 4 sore
mereka mengunjungi Saidam Husni. Mereka dapati Saidam sedang berjuang melawan
maut, ditunggui ibundanya. Melihat Syaiful yang datang, ibunda Saidam menangis
dan merangkul Syaiful. Wardik meletakkan kepala Saidam dipangkuannya, membaca
doa sebisanya. Dipangkuannya, Saidam Husni pergi untuk selama-lamanya,
Innalillahi wa innailaihi rojiun.
BULAN Agustus 1969, sore hari kota Siantar terus
diguyur hujan. Dia lagi minum kopi di kantin diseberang markas Korem. Ada
beberapa orang nongkrong menikmati kopi dan gorengan. Ada seseorang yang
menegurnya. Tak percaya, anak tetangganya, Suratman mendekatinya. “Bang, aku
Suratman” , katanya. Wardi heran mengapa Suratman ada di kota itu. Dia bilang
bahwa dia ikut pakciknya. “Desa kita, digusur oleh perkebunan. Siapa yang tidak
mau meninggalkan desa, ditangkap. Ada juga yang dipukuli sampai mati”. Wardik
menanyakan siapa yang memukuli. Dia berbisik, “tentara”. “Jadi emakku pindah
kemana, Man”. ”Ke Patok Besi, bang”. “Apakah mereka sehat-sehat”?. Suratman
bilang dia tak tahu pasti, “entahlah bang, tapi adik abang Urianti meninggal.
Masuk kedalam sumur waktu mengambil air wuduk. Adik abang diambil bik Juminem,
maksudnya agar mengurangi beban Wak Jonah. Magrib petang itu, dia menimba air
sendiri dan terpeleset. Pukul delapan malam baru ketahuan, karena telekung nya
ada dipinggir sumur dan selop jepit nya terapung”.
Jalan
Kartini lengang, cairan hangat meleleh terasa hangat dipipinya. Laki-laki muda
itu menangis. Lagi penderitaan ini bertambah. Lagi dia kehilangan saudaranya.
Dia mengucapkan terimakasih pada Suratman, “kalau kau pulang kampung tolong
sampaikan salam pada emakku, katakan aku masih hidup”. Anak itu mengangguk.
Sejak itu dia tak pernah jumpa Suratman lagi.
SANG waktu terus berpacu tanpa menanti seseorang, juga
mengejar seseorang. Hari itu pukul delapan pagi, Wardik, laki-laki muda itu
dipanggil ke kantor bersama beberapa kawan-kawannya setahanan yang lain.
Jumlahnya sepuluh orang, diantaranya seorang perempuan. Mbak Rohana, begitu dia
memanggilnya. Mbak Rohana anggota Pemuda Rakyat dari Bah Gunung. Suaminya juga
ditahan, Suarno namanya. Sudah lama ditahan di TPU Tanjung Kasau. Wardik tahu
semua itu dari cerita kawan-kawannya dipenjara, yang berasal dari Bah
Gunung. Kesepuluh mereka diperintahkan
bersiap-siap diberangkatkan ke Medan. Pamit dengan kawan lain yang tinggal.
“Selamat jalan, Wardik. Mudah-mudahan cepat bebas”. Memang itu harapan semua
orang yang dihilangkan kebebasannya.
Bus tentara itu, meluncur meninggalkan kota
Pematang Siantar. Membawa sepuluh tahanan yang dituduh makar terhadap Negara.
Melewati toko-toko di jalan Merdeka, becak mesin khasnya Siantar, sado, dan
para pedagang kaki lima. Selamat tinggal Siantar.
***
Terbayang, waktu berputar kebelakang. Dia diambil
tanggal 30 Mei 1967, dari rumahnya. Dia sedang “Lagan”. Membantu warga yang
melaksanakan hajatan. Sudah lumrah menjadi suatu kewajiban bagi anak-anak muda
desa dengan ringan tangan membantu orang sedesanya yang sedang melaksanakan
hajatan. Hiburan wayang kulit digelar semalaman. Siangnya Wardik sempat pulang
kerumah, memetik buah kelapa yang akan dijual emaknya. Adik-adik nya dan
kemenakan nya sedang makan siang dengan lauk ikan asin bakar.
Kemenakan-kemenakannya ini sudah tak punya ayah lagi. Abangnya yang tertua
diculik pada malam hari dibulan Nopember 1965 dan mereka tak tahu bagaimana
nasibnya. Semuanya, jadi tanggungan emaknya.
Kabar yang terdengar, abangnya dibunuh di Pinang Lombang. Ayahnya hilang
diambil dari tahanan Kodim, di markas Puterpra,
Perwira Urusan Teritorial Pertahanan Rakyat, Aek Tapa, pada bulan
Januari 1966.
Pernah seseorang datang menemui emaknya, kata
orang yang datang itu, dia mau menunjukkan kuburan ayah Wardik. Kata dia. Dia
yang diperintahkan tentara menggali
lubang. Galian lubang tempat mengubur enam orang satu lubang, termasuk ayah
Wardik. Emaknya menolak ajakan orang itu. Emaknya bilang, itu hanya akan
menambah luka. “Biarlah mereka terkubur didadaku”, kata emaknya.
Penderitaan emaknya tak sampai disitu saja. Pada
hari itu para tentara itu datang
menangkap Wardik dengan todongan senjata. Lalu Wardik tangannya diikat
kebelakang didepan emaknya. Wardik didorong ke mobil jeep buatan Rusia. Sempat
dilihatnya, emaknya jatuh pingsan. Di
markas Puterpra, Marbau. Para tentara yang membawanya itu mendorong Wardik
kedalam ruangan kamar kerja komandannya. Kedua tangan Wardik masih terikat
kebelakang. Komandannya berdiri, dibaju hijaunya, disebelah kanan terpangpang
nama Kadir, Letda, Letnan Dua Kadir. Langsung membentaknya. “Kamu tahanan baru
ya?”. dijawabnya, “ya, pak”. “Kurang ajar kamu berani menjawab, iya”. Tanpa
tanya lagi kayu kopi sebesar ibu jari kaki dihantamkan. Wardik kesakitan minta
ampun, menanyakan apa salahnya.“Apa kau bilang, apa salahmu. Ini salahmu,” dan
kayu kopi tadi kembali menghajar kedua kakinya. Dia berteriak-teriak lagi
meminta ampun.
Letda Kadir memang berhenti menyiksanya, tapi dua
orang anggotanya datang langsung menendang perut dan kepala Wardik. Dia
terguling-guling, sementara kedua tangannya masih terikat kebelakang. Darah
mengalir dari mulut, hidung dan telinga. Kayu kopi yang digunakan Letda Kadir
kembali menghajar kakinya. Kayu itu pecah-pecah serpihannya masuk kedalam
daging. Puas menyiksa, salah seorang dari mereka mengencingi muka Wardik.
Wardik merintih menahan sakit, perutnya terasa mual. Ingin duduk tak bisa, tak
sanggup bergerak.”Mak, maafkan aku, aku tak bisa lagi membantu, mungkin aku
akan menyusul ayah dan abang”. Diapun tak sadarkan diri.
Wardik siuman, ketika beberapa anggota Puterpra
itu menyeretnya keluar dan melemparkannya ke atas truk. Dia yang terakhir
menjadi muatan truk itu. Truk tanpa tenda itu bergerak laju, berguncang-guncang
di hujan lebat. Semua kuyub, kecuali para pengawal yang bersenjata itu. Mereka memakai mantel. Darah yang sempat
kering dikepalanya, meleleh kemulut. Terasa asin.
DIJEMBATAN Pulo Raja truk berhenti, rupanya ada
dua truk yang membawa para tahanan malam itu. Kedua truk berhenti ditengah
jembatan. Hujan lebat, sesekali ditingkah petir dan guntur. Satu persatu
tahanan yang tangannya masih terikat kebelakang, dikedua truk itu diturunkan.
Dengan jelas dia melihat satu demi satu para tahanan yang di truk depan
diberondong dan jatuh ke sungai dibawah jembatan Pulo Raja.
Para tahanan yang di truk depan sudah dihabisi,
tentu giliran mereka berikutnya. Itulah yang terbayang dibenak Wardik. Celana
dalamnya basah, terasa air mengalir ke kaki. “Ya, Allah lindungilah hambamu
ini”.
Jumlah yang empat puluh orang itu tinggal sebelas orang.
Tapi, tiba-tiba seorang dari tentara itu berteriak. “Peluru habis, pak”. “Pakai
golok” teriak yang lain. “Tak ada yang bawa golok”. “Berapa orang lagi?”.
“Sebelas”. “Sudah untuk bukti”. Mereka saling berteriak mengalahkan suara
derasnya hujan.
Hujan terus mengiringi sunyinya malam. Tak
sesososkpun ada yang melewati jembatan. Baik kenderaan umum, maupun pribadi,
apa lagi pejalan kaki. Di gelap malam, truk bergerak kembali melaju menuju
Siantar. Baru darah ditubuhnya terasa
mengalir, jantungnya berdenyut. Digerobak truk tak ada terdengar suara. Meski
dingin dan sakitnya luar biasa. Eranganpun tak terdengar. “Ya, Allah apa salah
mereka. Mungkinkah ayahku dan kawan-kawannya, juga abangku, dibunuh dengan cara
seperti tadi?” Dia tanyakan dirinya. Juga tak dijawabnya.
PADA penghujung tahun 1965 dan diawal 1966, banyak
orang yang dibunuh, mayatnya terapung di sungai-sungai, juga ada yang
bergeletakan dibawah pohon-pohon kelapa sawit. Sugeng, warga desa Simpang
Ampat, Marbau, dibunuh dengan mengikatnya ditiang telephon dan kepalanya dibor
dengan bor kayu. Sugeng menjerit menahan sakit, suaranya terdengar sampai
kedesa lain.
Di bulan-bulan, Oktober sampai Desember, hujan
terus turun mengguyur bumi Labuhan Batu. Padang Halaban yang tadinya damai,
kini berubah menjadi resah. Malam hari, semua warga tak ada yang berani keluar
rumah, takut diculik dan dibunuh komando aksi. Kocik Dalimunte, ketua komando
aksi dan Tukiman sekretarisnya. Mereka ini adalah pengurus partai yang katanya
berfaham nasionalis, marhaenis ajaran Bung Karno, semaunya memberi perintah
atau dengan tangannya sendiri membunuh manusia-manusia yang tidak berdosa.
Setiap hari para algojo ini berkeliling desa, mengintimidasi warga. Kasan dan
Sumardi dengan bangga berjalan membawa tombak yang bergelepotan darah, bangga
menyebutkan bahwa baru saja membunuh Saut.
Ramut, remaja yang tak berdosa lari dari rumahnya,
karena rumahnya akan dibakar. Tersuruk dibawah kandang ayam perutnya terburai
di celurit gerombolan komando aksi. Saru, Karsan, Mahmun dan beberapa orang
lainnya, lehernya hampir putus dan terapung di titi panjang antara Panigoran
dengan kampung Selamat. Sementara Said, Tumadi, dan Saring algojo komando aksi
itu, berteriak lantang, bahwa mereka baru saja manghabisi Lasiman, Selamat P,
Rachman, dan Jali. Mereka sebelum mati menggelupur seperti ayam dipotong. Babi
Hok Seng yang melihatnya, mendadak menjadi gila.
90-an orang dibunuh tanpa tahu kesalahannya.
Selamat P, yang sudah mereka bunuh, isterinya mereka usir dari pondok
perkebunan Padang Halaban. Kemis, salah seorang algojo komando aksi itu,
mengusirnya. Dengan hanya membawa pakaian yang melekat dibadan. Dalam hujan
lebat bersama keempat anaknya yang masih
kecil-kecil meninggalkan Pondok tanpa arah entah kemana. Menangis.
Masih berlaksa, cerita duka dari desanya. Juga
masih berlaksa pertanyaan yang belum dapat terjawab. Apa salah mereka?
BUS TENTARA, yang membawa ke sepuluh mereka,
melaju meninggalkan Siantar menuju Medan. Semua dalam diam, hanyut dalam
fikiran masing-masing. Marolop Hutapea berucap pelan. “Kira-kira akan dibawa
kemana kita ini ya, dik”. Mana mungkin Wardik tahu, dia diam, Marolop mengerti,
meski pertanyaannya tak terjawab. “Aku dengar-dengar, kalau kita dibawa ke TPU
C, kita akan segera dibebaskan. Tapi, kalau ke jalan Gandhi, lain ceritanya.
Ceritanya akan panjang”. “Panjang bagaimana, Pea?” Sebelum menjawab Marolop
melihat keluar jendela. Sawah dikiri kanan jalan raya, padinya sedang
menguning, menunggu panen. “Jelasnya kita akan lama lagi dikurung”. Dia
menjawab, sedikitpun tak berpaling kearah Wardik.
Marolop Hutapea, dan Wardik usianya sebaya.
Marolop pernah cerita, amangnya dibunuh dan mayatnya dibuang ke sungai
Bahbolon, yang membelah kota Siantar. Dia ditangkap, karena dituduh melarikan
diri ke Jakarta. Padahal yang sebenarnya Marolop ke Jakarta, membantu tulangnya
di bengkel mobil. Tulangnya punya bengkel mobil di Jakarta. Tiga tahun di
Jakarta dia pulang ke Siantar rindu inangnya. Baru dua malam dirumah, ditangkap
informan seksi I Korem.
“Dik, kalau kau bebas, kau mau kemana?”. Belum
sempat Wardik menjawab, dia malah mengusul. “Kalau kita sama-sama bebas nanti,
kau ikut aku lah ke Jakarta. Tulangku pasti mau menerima kau. Kita sama-sama
bekerja dibengkel tulangku”. Dengan khas logat bataknya Marolop cerita tentang
bengkel tulangnya, tentang Jakarta yang dia amati tiga tahun itu. “Pea, aku
pulanglah, kalau aku bebas. Emakku sudah tua, tak ada yang membantu dia.
Tinggal aku yang sudah bisa cari makan, adik-adikku masih belum sanggup. Inipun
entah macam mana nasib mereka, Begitupun terimakasihlah, Pea. Kau baik kali,
kau mau mengajak aku”. Wardik senyum,
ikut-ikutan logat Marolop.
Sersan Tambunan yang ditugaskan membawa kesepuluh
orang para tahanan itu ke Medan, mengulurkan rokoknya. Wardik mengambil
sebatang rokok, dan mengucapkan, terima kasih. Dipantiknya korek api keujung
rokok, langsung menyulutnya. Asap
rokokpun mengepul hilang dibawa angin.
Kota Medan. Perjalanan ini berakhir juga disini,
teka-teki juga berakhir, TPU C jalan Binjai atau jalan Gandhi. Bus mengarah kekanan,
Jalan Gandhi. Bus tak melaju lagi, persimpangan menghalangi. Dipangkal jalan
dipersimpangan terbaca: Jalan Gandhi. “Pea, kita ke Jalan Gandhi”, tak tertahan
jantungnya berdebar kencang. Berarti cerita masih panjang. Penyiksaan lagi.
Mengapa cuma itu yang didapat disetiap
persinggahan. Persinggahan, yang dituju ini apa? “Tenanglah, dik, serahkan
semua pada Tuhan. Berdoalah agar disini, tidak seperti di Siantar”. Didepan
salah satu gedung, bus berhenti. Perintah semua turun. Seregu pengawal menyambut.
Barang-barang bawaan pun semua diperiksa.
Gedung ini cukup luas, fikirnya, ketika sudah
masuk ke gedung itu. Ada pentas dan
hall. Dia ingat sebuah sekolah di Rantau Prapat. Sekolah itu Sin Min
School namanya. Gedung sekolah itu sama dengan bentuk gedung ini. Disebelah
kiri lewat pintu besar ruangan hall ini terlihat kamar-kamar tertutup
menyerupai ruangan klas. Pasti ini dulunya juga sebuah sekolah. Sebuah sekolah
yang disulap menjadi tempat penyekapan para tahanan, kurungan bagi para
tahanan.
Wardik membanding-bandingkan keadaan disini dengan
di penjara Siantar, kelihatannya agak lebih baik. Tahanan diizinkan membawa
kompor atau membuat kompor untuk menanak nasi, atau merebus air. Jatah makan
hanya sekali sehari itupun setempurung kelapa. Nasi, campur gerontol jagung.
Rebusan kangkung yang kuahnya berwarna air comberan, secuil potongan ikan asin
bulu ayam goreng. Meskipun begitu, keluarga diperbolehkan datang berkunjung,
mengirim bahan mentah, dua kali seminggu. Solidaritas kesetiakawanan jauh lebih
tinggi bila dibandingkan dengan para tahanan di penjara Siantar.
Tapi, menurut kawan-kawan yang sudah lama menjadi
penghuni gedung ini, keringanan ini berlaku, baru menjalani waktu enam bulan
belakangan. Sebelumnya, banyak penghuni kurungan itu yang mati kelaparan atau
mati karena disiksa. Bahkan ada yang mati bunuh diri karena tak tahan lapar dan
siksaan.
Hendrik Napitupulu, menjadi penghuni gedung ini
bersama isterinya, Supriati. Keduanya aktifis CGMI, Consentrasi Gerakan
Mahasiswa Indonesia, disalah satu universitas di Yokyakarta . Hendrik
Napitupulu dan isterinya Supri ditangkap di Medan. Putri kecilnya Niken
terpaksa ikut bersama mereka. Niken sikecil yang lincah. Semua menyukai, semua
menyayanginya. Hendrik lah yang mengabari, bahwa kedua kakak Wardik masih hidup
dan berada di TPU C KM 7 jalan Binjai. Wardik merindukan mereka. Lewat seorang
pengawal, dikabarinya mereka, bahwa dia sudah di Gandhi. Seminggu kedepannya,
Wardik dikirimi sayuran lewat bus Teperda. Bus yang setiap hari kerja, membawa,
serta memulangkan para tahanan yang akan diperiksa dari TPU C dan jalan Gandhi
ke markas POMDAM II di jalan Sena, dikota itu.
Mahatma Gandhi, seluruh hidupnya diberikannya
untuk bangsanya. Bangsa yang dia cintai. Bangsa Hindia. Dialah penggagas
Swadesi. Berdiri diatas kaki sendiri. Bangsa Hindia harus mandiri, bila ingin
membebaskan diri dari penjajahan kolonial Inggeris. Dia dicintai rakyatnya, dia
dicintai bangsanya. Menjadi tauladan bagi para pejuang dinegeri-negeri jajahan.
Mengingat tokoh ini, diterakanlah pada sebuah
jalan di Medan. Jalan Gandhi. Tak disangka jalan Gandhi yang di Medan ini,
sampai nanti menjadi momok yang ditakuti. Siapa saja yang pernah menjadi
penghuni gedung ini, menjadi orang kurungan, merupakan bencana baginya.
Di jalan Gandhi, di bekas sekolah itu, pada akhir
tahun 1966 dijadikan markas “Operasi Triple Five”. Nama sandi yang menjadi
momok baik bagi sosok sipil dan militer di Sumatera Utara. Operasi ini langsung
dipimpin Asisten I Kodam II Bukit Barisan.
Setiap hari kerja, ada saja yang dipanggil untuk
diperiksa, siang, malam, pagi, sore, tengah malam, bahkan sampai pagi lagi. Dan
jantung akan jadi tak normal berdetak, mendengar jeritan-jeritan kesakitan.
Teriakan dan makian, memaksa pengakuan dari orang-orang yang sedang diperiksa. Jhon
Martin adalah salah seorang juru periksa. Dia bekas anggota Brimob, yang
dipecat dari kesatuannya, karena merampok. Dia menangani hampir semua kasus.
Ruangannya, dilantai dua. Yang akan diperiksanya harus menaiki tangga,
melangkah kearah kanan. Diatas pintu diluar ruangan tertulis, “Kamar
Investigasi”. Dimata Jhon Martin, semua tahanan adalah musuh yang harus
dihabisi. Bila meraung, menjerit menahan sakit, dan melihat darah mengalir dari
tubuh yang diperiksanya, dia akan tersenyum puas. Para orang kurungan yang
ditempatkan di hall, akan menyaksikan setiap waktu. Yang keluar dari ruangan
“kamar investigasi” menuruni tangga, pasti dipapah atau digotong.
Para tahanan tak berani bicara agak keras. Bila
seorang tahanan berbuat salah, para pengawal akan menghukum semua tahanan yang
ada diruangan itu. Ada delapan kamar, ditambah hall dan pentas menjadi
kurungan. Tujuh kamar bekas ruangan kelas diperuntukkan untuk kurungan bagi
mereka-mereka yang dianggap berbahaya. Satu Kamar paling belakang gedung itu
untuk tahanan-tahanan perempuan. Hall dan pentas, untuk para tahanan kurang
berbahaya. Tapi, tidak berarti untuk selamanya. Bisa saja sesewaktu dipindahkan
ke salah satu kamar bekas ruangan kelas itu. Wardik ditempatkan diruangan itu,
di hall.
Ada gudang, ruangan dibawah pentas. Dulunya
diperuntukkan untuk menyimpan peralatan gedung yang rusak, sebelum diperbaiki.
Ruangan ini juga sewaktu-waktu digunakan untuk para tahanan yang tak mau
mengakui, apa yang menjadi kemauan juru periksa. Ruangan yang beralih fungsi ini,
gelap, pengap dan lembab.
Pak Marto,
pensiunan Pelda, seorang serdadu dari masa-masa mempertahankan
kemerdekaan di Pangkalan Brandan, terakhir bertugas di Koanda, Komando Antar
Daerah Sumatera. Dia memilih untuk pensiun dini. Pak Marto, pernah menjadi penghuni
ruangan itu. 21 hari, ceritanya. Diruangan ini dia ditemani tikus sebesar anak
kucing, kecoa dan cecak. Dia dikeluarkan dari ruangan itu, hampir-hampir tak
mampu berjalan, badannya kurus, lemah.
Pak Marto, sebelum dimasukkan keruangan bekas
gudang itu, adalah penghuni bekas ruangan kelas, kamar tujuh. Ruangan yang
luasnya tiga setengah meter kali tiga setengah meter ini, dijejali empatbelas
tahanan. Para tahanan yang diruangan ini tak pernah kena sinar matahari.
Didepan pintu kamar VII itulah, ruangan bekas gudang yang disulap menjadi
ruangan tahanan.
Ada seorang tentara, teman pak Marto. Sama jurit
’45. Pak Mansyur, masih aktif ketika dia
digelandang kekurungan ini, Lettu pangkatnya. Tugas terakhirnya juga di Koanda,
Komando Antar Daerah Sumatera. Pak Mansyur juga pernah menjadi penghuni di
kamar IV, kamar yang terus tertutup pintunya itu. Pintu kamar-kamar itu hanya
dibuka bila salah seorang penghuninya akan diperiksa atau semua penghuninya
mendapat giliran mandi. Pak Mansyur
menyarankan bila Wardik diperiksa nanti, agar mengurangi jumlah umurnya.
Katanya, karena umur juga dapat pertimbangan dari juru periksa. Entah iya entah
tidak, diturutinya saja. Kan tak ada ruginya.
Para pengawal, tak semuanya berlaku kasar,
terhadap tahanan. Tapi, tidak juga. Mungkin mereka berlaku baik, melihat
orangnya. Kopral Sujati misalnya, kerap memberinya gula, kopi, nasi bungkus
jatah nya, bahkan sampai pakaian bekas. Kopral Sujati bilang, melihat Wardik
dia teringat adiknya di Jawa.
Pagi itu, tahanan yang ditunjuk menjadi kepala
ruangan memanggil Wardik. Dia bilang bersiap-siap untuk diperiksa. Melihat
Wardik gelisah, Hendrik, senyum dikulum. “Naiklah hadapi saja, Dik. Akan
kusiapkan beras kencur”. Seorang pengawal menjeputnya, berjalan disampingnya
kearah tangga, ya keruangan itu. “Hati-hati, dik, yang kau hadapi ini bukan
manusia, lebih cocok dinamakan binatang, jangan sampai kau terjebak dengan
pertanyaannya”. Wardik heran, merasa aneh, tak menyangka kok diingatkan
pengawal itu fikirnya. “Setelah kau selesai diperiksa, kami akan meminta Urtah,
Urusan Tahanan, agar kau membantu membersihkan kamar-kamar kami”. Wardik
mengucapkan terima kasih kepada pengawal itu.
Didepan pintu, yang tertempel papan bertuliskan
“Kamar Investigasi” tepat ditengah disebelah atas pintu, pengawal yang
menjemputnya mengetuk pintu. “Masuk”, perintah dari dalam. Wardik diserahkan.
Pengawal itu balik kanan. Juru periksa itu menyuruh Wardik duduk. Wardik duduk
di kursi yang berseberangan dengan juru periksa itu, berhadap-hadapan dibatasi
meja. Diatas mejanya ada papan nama: “Jhon Martin”, dibawah namanya tertulis
“Letda Lokal”. Dia menatap Wardik. Pertanyaan-pertanyaan pun diajukan, harus
dijawab. Dan pertanyaan-pertanyaan itu adalah tentang keterangan-keterangan
yang ditanda tangani Wardik pada proses pemeriksaan di markas Korem di Siantar.
Wardik mengatakan bahwa semua tuduhan yang ada diproses pemeriksaan di Siantar,
tidak ada yang benar.
“Kalau proses pemeriksaan ini tak benar, mengapa
kau tanda tangani hasil pemeriksaannya ?”. “Saya dipaksa, pak”, jawabnya pelan.
“Jadi, hasil pemeriksaan semua tidak benar, begitu. Coba kau beri alasan”. “Di
Siantar, saya disiksa, pak” , sembarangan dijawabnya. Jhon Martin, berdiri. “O,
kau fikir disini tidak disiksa?”. “Bukan begitu, pak, karena saya….”, dan,
tamparan bertubi-tubi ke mukanya . Tak puas dengan menampar, bekas anggota
Brimob itu mengambil potongan beroti ukuran, dua kali dua, kali satu meter,
yang tersandar didinding. Letda lokal itu menyuruhnya berdiri. Sesukanyalah
menghajar. Mulai badan, tangan, dan kaki, rata dihujani pukulan-pukulan. Dia
terjatuh, menjerit minta ampun. Meminta ampun malah membuat juru periksa yang
berpakaian preman itu bertambah ganas. Hingga akhirnya pukulan-pukulan itu tak
dirasakan Wardik lagi. Wardik merintih minta ampun. Darah keluar dari mulut,
hidung dan kepalanya. Letda lokal itu menghentikan pukulannya, melangkah keluar
ruangan. Wardik berusaha duduk. Duduk dilantai.
“Sekarang, duduk disana” Jhon Martin menunjuk tempat Wardik duduk tadi.
Menahan sakit dia berdiri melangkah kearah tempat duduknya yang semula. Kakinya
yang pernah patah, terasa nyeri kembali. Jhon Martin menyuruhnya minum, segelas air putih disodorkannya.
Laki-laki muda, anak desa, dari Padang Halaban itu meminumnya. Segelas air
putih itu terasa sejuk membasahi kerongkongannya. Dia memang haus, ingin
rasanya dia meminta lagi. Tapi, itu tak mungkin.
“Kau tahu apa salahmu? Mulai lagi, “tidak pak”
jawabnya. “Itu karena bapakmu, mamakmu, kakak-kakakmu PKI, maka kau harus PKI”.
“Saya bukan PKI, pak”. Sahutnya pelan, takut. “Jadi menurutmu apa salahmu, maka
kau sampai disini?”. “Saya tidak bersalah, pak. Saya pulang mengaji di Surau,
tiba-tiba ditangkap petugas ditengah jalan” . jawabnya berbohong. ”Mau mengaji
di Surau, di Masjid, aku tidak perduli. Kalau sudah sampai disini harus
bersalah. Walau kau bukan PKI, kalau sudah disini harus PKI. Paham”. Wardik
dibentak, gugup. “Saya jadi tambah bingung, pak”. Jawabnya. “Mengapa mesti
bingung, pokoknya yang sudah ada disini itu berarti sudah PKI, titik”.
Masih dilanjutkan, berputar-putar balik
kesitu-situ juga. Terus dielakkannya. Pengalaman di Siantar cukup untuk panda-pandai mengelak. Yang didapatnya. Yang
tak bisa, yang dia tak pandai mengelakkannya, pukulan-pukulan dan tendangan.
Pukul satu tengah hari pemeriksaan pertama selesai. Dua pengawal mengapitnya,
dipapah menuruni anak tangga, dia sudah tak bisa melangkah sempurna. Wardik
tergeletak disamping Hendrik. “Jangan takut, sudah kusediakan obat yang paling
mujarab di Gandhi ini”. Senyum Hendrik melebar, menyapukan beras kencurnya
keseluruh badan Wardik. “Cukimai”, maki Wardik.
Hendrik berkulit hitam, berkumis tebal, kalau
ketawa sederetan gigi putihnya menghiasi kehitamannya. Mulanya Wardik mengira
dia orang Ambon. Isterinya, mbak Supri memanggilnya, mas. Mas Hendrik. Orang
batak, kok dipanggil, mas, fikirnya. Sejak semula dia memanggil Wardik, paklek.
Paklek dari anaknya, si Niken.
Dia dipanggil lagi, sesudah dua hari lewat dari
panggilan pertama. Pertanyaannya seputar gerakan bawah tanah Partai Komunis
Indonesia. Memang sama sekali dia tak tahu. Malah apakah dia anak dari seorang
anggota PKI pun, dia tak tahu pasti. Apalagi yang ditanyakan tentang gerakan
dibawah tanahnya. Anehnya, dia tak pernah ditanya tentang bagaimana dan mengapa
dia menyembunyikan cak Muso. Ini aneh atau kemujuran. Dia hanya tinggal
mengelak tuduhan-tuduhan lain, apa lagi gerakan dibawah tanah Partai Komunis
Indonesia.
Kali ini diperiksa sampai ke pukul empat sore.
Kembali dia harus dipapah, keluar dari ruangan, tambahan lagi untuk menuruni
anak tangga. Tidak dibawa ketempatnya semula, dia ditempatkan kesalah satu
kamar bercampur dengan para tahanan yang dianggap berbahaya. Begitu dia
dimasukkan keruangan itu, pintu kamar lalu dikunci dari luar. Semua menjadi
gelap, tak kelihatan siapa saja yang ada dikamar barunya itu. Dia jongkok
meraba-raba kelantai, duduk. Baru samar-samar mulai melihat ada beberapa orang,
dan beberapa orang lagi. Ada yang memberinya minum, dia tak tahu siapa.
Merebahkan diri dilantai, tak beralas. Dan dia tertidur.
Baru esok paginya terbangun ketika pintu kamar
dibuka. Penghuni kamar-kamar keluar untuk mandi dan buang air. Dia ingin keluar
kamar, seluruh badannya terasa sakit semua. Darioto memapahnya ke kamar mandi.
Mereka berdua sudah saling kenal, Darioto tahanan yang ditempatkan di pentas.
Dipercaya untuk membuka dan menutup pintu kamar. Dengan sabar Darioto melap
badannya dari darah yang mengering hingga bersih. “Terima kasih, bang”. Katanya
lirih.
Tak sampai setengah jam semua harus masuk ke kamar
lagi. Penghuni di kamar-kamar keluar bergilir. Tadi sebelum mereka
diperbolehkan keluar, kamar I lebih dulu pertama giliran, kemudian giliran
mereka, kamar II, berikutnya kamar III dan seterusnya sampai kamar VII. Darioto
memberinya secangkir kopi titipan mbak Supri.
Setengah bulan berada dikamar II, yang terkunci
itu. Hanya sedikit yang diketahuinya tentang siapa-siapa mereka yang sekamar
dengannya. Ada seorang yang berumur sekitar 50-an, kepalanya botak, berkacamata
putih. Namanya Makmun Duana. Orang tua itu mengatakan, bahwa dia tak mengerti,
apa maunya mereka membawanya kemari. Dia selama ini di kurung di penjara
Sukamulia. Beberapa waktu lalu dia sudah menjadi saksi, di persidangan
Mahmilub, Mahkamah Militer Luar Biasa, ketika Gubernur Sumatera Utara, Brigjen
Ulung Sitepu disidangkan. Brigjen Ulung Sitepu dijatuhi hukuman mati. Entah,
kapan-kapan dia juga akan disidangkan. Dia sudah siap dengan pembelaannya.
Tapi, dia tak yakin bahwa pembelaanya
itu akan didengarkan para Hakim. Apalagi, para Hakim itu adalah Hakim
tentara. Yang jelas, semua yang sudah pernah diadili baik di Mahmilub atau yang
di Mahmilti, jatah putusan sudah ditetapkan jauh sebelum pengadilan
dilaksanakan. Dia juga cerita, banyak kerabatnya yang ditahan, dengan tuduhan
macam-macam yang menyangkut pada keterkaitannya dengan organisasi terlarang
PKI. Makmun Duana sebelum ditangkap adalah kepala rumah tangga Gubernur
Sumatera Utara.
Pagi itu, usai giliran keluar kamar untuk mandi
dan buang air, seorang pengawal memanggilnya. Dia ikuti langkah pengawal itu, menuju
tangga. Berpapasan dengan mbak Supri, senyum menegurnya. “Diperiksa lagi, dik?”
“Ya, mbak, entah sampai kapan”, jawabnya, sambil mendongak keatas tangga.
Biasanya mereka tak boleh saling tegur. Bila
ketahuan, hukuman pasti mereka terima. Mereka mencurigai, tegur menegur itu,
sandi. Tapi kali ini lain. Barangkali mbak Supri tahu, yang mengawalnya kopral
Pagilala. Pengawal yang satu ini tak pernah peduli dengan semua urusan terhadap
tahanan. Yang penting baginya dagangannya laris. Temon tahanan juga, di
jadikannya kaki. Lewat Temon, para tahanan bisa memesan singkong atau apa saja
yang diperlukan. Usia kopral Pagilala jauh lebih tua, dari kopral-kopral yang
lain. Cerita kawan-kawan tahanan yang berasal dari tentara, Kopral Pagilala
sewaktu masuk Catam, calon tamtama, mengurangi jumlah umurnya.
Ada cerita tentang sandi. Diantara para tahanan
beberapa orang ditangkap fasalnya karena dipecinya terselip jarum pentol. Jarum
pentol yang diselipkan dipeci itu dianggap sandi tanda kepangkatan. Beda dengan
tanda pangkat tentara. Satu jarum pentol dianggap sandi dari sipemakai kopral,
dua jarum pentol sandi dari sersan, tiga jarum pentol yang terselip dia
dipastikan seorang perwira.
Wardik dan kopral Pagilala pengawal itu, sudah
berada diruangan investigasi.
Jhon Martin duduk dibelakang meja kerjanya. Pengawal
itu menyerahkan Wardik, lalu balik kanan jalan. Perintah duduk. Latah dia
ucapkan: terimakasih. Pertanyaan rutin. Apakah dalam keadaan sehat? Jawab saja
sehat walau dalam keadaan sakit. Tapi
pertanyaan ini tidak rutin. “Sudah
makan?” dia menjawab seadanya, “belum”. Pertanyaan aneh lagi, “mengapa belum
makan?”. Lagi jawaban Wardik seadanya,”tak ada yang akan dimakan, pak”. Ini
lagi yang bukan rutin, “Kalau begitu kamu harus makan dan minum kopi dulu”.
Jhon Martin memanggil seorang pengawal, Serda, Sersan Dua, Harun, agar memesan
sebungkus nasi dan secangkir kopi.
Serda Harun, dia tahanan juga. Serda Harun ditahan
karena menyembunyikan abangnya. Abangnya bernama Mujiman, yang selamat dari
pembantaian di sungai Bah Bolon, Simalungun. pada pertengahan tahun 1966. Leher
Mujiman ditusuk besi, kemudian ketika lehernya akan ditebas, ditepi sungai Bah
Bolon, kakinya terpeleset jatuh kesungai. Dengan tangan terikat, hanyut
ditolong penduduk dihilir. Tangannya yang terikat dilepas. Namun, penduduk yang
menolong takut, kalau-kalau dia akan terseret bencana. Setelah jumpa dengan
adiknya Serda Harun dan disembunyikan, Mujiman akhirnya tertangkap juga,
bersama dengan ditangkapnya Serda Harun.
Serda Harun masuk membawa sebungkus nasi dan
segelas kopi. Wardik disuruh makan, sementara itu Jhon Martin membalik-balik
tumpukan kertas yang ada dimejanya. Gila mimpi apa Wardik semalam?
Diselesaikannya makannya, minum kopi. Disodori rokok, dipantiknya korek api
langsung rokok itu dihisapnya. ”Bagaimana? Sudah kenyang?” dijawabnya sudah.
Ditanya lagi apakah dia sudah siap menjawab pertanyaan. Jawabnya, tergantung
pertanyaannya. Ditanyakan apakah akan tetap menyangkal semua
pertanyaan-pertanyaan yang lalu. Dijawabnya tetap, karena semua pertanyaan itu,
tak satupun yang dia mengerti. “Kalau kutembak kepalamu, apakah kau juga akan
menjawab tidak tahu?” Jhon Martin mengeluarkan pistol dari laci meja dan
diarahkan kekepala Wardik. Dia takut, takut sekali. Melintas bayangan, kejadian
di jembatan Pulo Raja.
Diruangan itu dimeja lain, ada juru periksa lain
yang sedang memeriksa tahanan lainnya. Berbadan tegap, gagah, tapi tangan
kanannya kecil. Dia tahanan juga, penghuni pentas sama dengan Dariono. Dariono
pernah bilang pada Wardik, namanya, Muchtar Efendi Sirait, orang memanggilnya
Mesir. Pak Mesir. Wardik tak tahu apa yang membuat dia dipercaya memeriksa
kawannya sendiri, sesama tahanan Sepertinya Wardik tak perduli.
Jhon Martin mendekati Muchtar Efendi Sirait,
berucap pelan hampir berbisik. Entah apa yang mereka percakapkan. Jhon Martin
mengangguk-nganggukkan kepalanya, lalu memasukkan pistolnya kedalam laci
mejanya kembali. Mengambil beberapa lembar kertas lalu diberikannya kepada
Wardik. Dia tanyakan apakah Wardik bisa mengetik, dijawab bisa. “Kau buat saja
riwayat hidupmu, dari mulai lahir sehingga kau sampai kemari, kalau sudah
selesai berikan sama pak Sirait. Dan jangan lupa pula membuat alasan, mengapa
kau mau menanda tangani proses
pemeriksaanmu di Korem Siantar. Tulis dengan jelas, jangan salah-salah. Kalau
tidak mengerti, tanya sama bapak ini. Dia tunjuk ME Sirait. Diambilnya lagi
pistolnya dari laci, lalu pistol itu disarungkan disabuk dibawah ketiaknya.
Terus keluar.
ME Sirait menyerahkan mesin ketik merek Remington
dan menyuruh Wardik mulai membuat riwayat hidup. Diapun mulai mengetik. Baris
demi baris diselesaikannya. Tapi, tidak mata rantai persoalan yang sebenarnya.
Diserahkannya hasilnya kepada ME Sirait. ME Sirait membacanya lalu menyuruh
Wardik menandatangani. Muchtar Sirait, memanggil Harun, lalu Wardik dibawa
pulang ketempatnya semula. Kumpul dengan tahanan yang di hall. Hendrik memegang
bahunya berbisik “Kau lepas dari neraka didalam neraka, dik, mungkin neraka
yang lain masih menunggu”. Wardik duduk diatas tikar dan meluruskan kakinya.
Darioto datang lalu duduk disampingnya. Darioto menanyakan, apakah dia sudah
selesai. “Entahlah, bang. Aku tak tahu apa masih akan diperiksa lagi atau
tidak”, jawabnya. “Sudah kau tanda tangani”. Dijawabnya, sudah. “Biasanya,
kalau sudah ditanda tangani, itu berarti sudah selesai”. “Syukurlah, bang”,
katanya lagi. “Kalau proses pemeriksaan sudah selesai kan tinggal menunggu
pengadilan. Kalau diadili aku pasti bebas, karena aku tidak bersalah”. Wardik
seperti berharap.
“Jangan mimpi dengan pengadilan, lek”. Hendrik
menyela, menyodorkan kopi secangkir. “Bagi kita ini tak pernah ada pengadilan.
Suka-suka mereka saja. Mau dibebaskan atau mau ditahan sampai mati, terserah
mereka. Malah ada yang sudah dibebaskan ditangkap lagi”. Dan kau jangan
berfikir bahwa kau saja yang tidak bersalah. Kita ini semuanya tidak pernah
bersalah pada Negara ini. Cuma mereka yang menganggap kita bersalah. Buktinya,
mengapa mereka tidak mengadili kita. Saat seperti ini, tak usahlah kita bicara
pengadilan. Salah atau tidak, yang penting bagaimana kita bisa bertahan hidup”.
Hendrik ingin menyudahi percakapan itu. Tapi ada yang nimbrung lagi, Syafri
Sarwo, rupanya dia mendengarkan percakapan mereka bertiga, meski dengan volume
rendah. “Dan kau, lek, jangan berhayal bebas, saat ini kawan-kawan yang diluar
terus diburu, ditangkapi. Tadi baru saja tiga orang tahanan, masuk kemari”.
“Bila mereka, mau menangkap kita, salah seorang
dari kita mereka bawa. Seolah-olah kawan kita itulah yang mengkhianati kita.
Akibatnya kita tidak lagi percaya pada kawan itu”.
Percakapan itu berhenti, seorang pengawal membuka
pintu samping. Perintah, sudah waktunya mandi.
Sejak Wardik menandatangani proses pemeriksaan
terakhir, baru pagi ini dia dipanggil lagi. Mungkinkah dia diperiksa lagi. Atau
mungkin mereka tak percaya pengakuannya. Lagi keraguannya, dipatahkannya.
Mengapa mesti difikirkan. Apa yang akan terjadi, terjadilah. Harus dia hadapi.
Dia melangkah sendiri tanpa pengawal. Menaiki tangga, didepan pintu berhenti.
Mengetuk pintu. Suara dari dalam memerintahkan, masuk. Dia masuk. Perintah duduk.
Dia duduk, mengucapkan terimasih, tetap berhadap-hadapan dengan Letda Lokal
yang berpakaian preman itu. Tetap dibatasi mejanya.
Uluran sebatang rokok, diterimanya, menyalakan nya. Pertanyaan mana lebih baik disini atau di
Siantar. Dijawab lebih baik disini. Dia diberi pilihan, dipindah kan ke TPU C
KM 7, jalan Binjai atau tetap disini. Kalau dia tetap disini, dia diperbolehkan
keluar atau kemana saja, asalkan sorenya harus kembali. Dia memilih dipindahkan
ke TPU C. “Kalau begitu bersiaplah nanti pukul dua, kau dan yang lain akan
dijemput bus Teperda. Tapi ingat, di TPU C kau jangan sekali-kali cerita, bahwa
kau kami bantu dalam proses pemeriksaan. Karena, kami tahu kau tak mengerti
apa-apa. Jangan cerita tentang keadaan disini”. Jhon Martin berpesan, atau ini
ancaman fikirnya. Dia ucapkan terimakasih, tapi dihatinya berucap, “gila itu
Jhon Martin, dulu galaknya melebihi Herder”. Dia berteriak senang dihati, Cuma
dalam hati. “Aku akan keluar dari neraka yang satu ini”.
PUKUL dua siang tepat, bus Teperda datang
menjeput.Yang dipanggil namanya langsung naik ke bus, termasuk namanya. Bus
bergerak meninggalkan jalan Gandhi menuju KM 7 jalan Binjai. Dia belum makan,
tapi tak terasa lapar. Ingin cepat-cepat sampai, ingin cepat-cepat jumpa dengan
kedua mbak nya. Bagaimana keadaannya? Gemukkah mereka? Atau kuruskah mereka?
Dua puluh menit, bus memasuki jalan Binjai didepan Mayestik. Kurang sepuluh
menit, bus menyeberang berbelok kekanan, berhenti didepan bangunan bertingkat
dua. Dikiri kanannya hingga kebelakang terbentang tembok setinggi tiga meter
membentengi.
Satu persatu mereka turun langsung masuk ke
portir. Semua barang bawaan diperiksa satu persatu. Setelah dibagi dan
ditentukan, masing-masing para kepala barak menjemput mereka, menurut nama dan
pembagian barak masing-masing. Wardik dan seorang kawannya dibawa kepala barak,
ke barak huniannya, barak XVII.
Dari jauh mbak San nya berlari kearah Wardik,
dipeluknya, adiknya itu. Menangis, “kau masih hidup, dik? Katakan, dik, kalau
mbak tidak bermimpi”. Wardik tetap memeluknya, “tidak mbak. Mbak tidak
bermimpi. Aku masih hidup mbak”. Kepala barak yang baik hati itu membawa
barang-barang Wardik, mbak San nya masih merangkulnya, berjalan menuju barak.
Di barak, duduk dibalai-balai panjang.
Barak, yang masih asing, yang akan menjadi huniannya. Mbak San nya menawari nasi, baru terasa
perutnya lapar.“Selamat datang, dik, inilah rumah kita sekarang”, seseorang
mengulurkan tangan mengenalkan diri. Basiran Sutrisno, dia menyebutkan namanya,
“kakakmu banyak cerita tentang kau. Dia kira kalau kau sudah mati di Siantar”.
Basiran Sutrisno, dia berasal dari Medan Krio, kecamatan Sunggal, Deli Serdang.
Sebelum ditahan dia seorang guru. Pengelihatan Wardik orangnya ramah, suka
bercanda. Usianya lebih tua dari Wardik 6 atau 7 tahunan. Dari dia Wardik tahu,
kalau penghuni TPU C ini jumlahnya 2000-an orang. Diantaranya, tahanan
perempuan 300-an orang.
Mbak San nya datang dengan nasi campur jagung,
dirantang. Sayur kangkung dan ikan asin goreng. Wardik menghabiskan semua apa
yang dibawa mbaknya. Mbaknya senyum, walau air mata masih mengambang dipelupuk
mata. Kawan-kawan Wardik yang dulu pernah bersama di Siantar dan jalan Gandhi
berdatangan menyalaminya, menanyakan apa kabarnya.
Ada yang tak pernah dia bayangkan selama ini. Dia masih
bisa jumpa dengan mereka. Orang-orang sekampungnya. Mereka ada disini, cak
Muso, Kenyos, Ngapin, Begut, lek Kido, Geger. Padahal dia mendengar, mereka
sudah mati, sebaliknya mereka mendengar Wardik sudah mati. Kalaupun mereka
mendengar dia di jalan Gandhi, mereka belum mau percaya sebelum melihat
sendiri.
Wardik kaget bukan main, mbak Yus nya datang
bersama seorang perempuan. Perempuan yang sangat dikenalnya, yang dipanggilnya
kakak. Perempuan itu, Nurhaida Lintang. Kak Nurhaida, Pimpinan Gerwani Labuhan
Batu yang sudah diberitahukan mati, sudah dihadapannya. Segar bugar. Suaminya
Haidar Nur adalah pimpinan Lekra Labuhan Batu, dibunuh dibulan November 1965.
Kedua mereka suami isteri adalah anggota DPRD GR Labuhan Batu.
Wardik menyalami mbak Yus nya, mencium pipinya.
Airmata. Tangisan lagi. Dia salami kak Ida nya. Ada haru, membuat perempuan
yang dikenalnya tegar ini, tak mampu menahan airmata. “Kita bersama sekarang,
dik, disini di jalan Binjai. Disini kau boleh berjalan sampai kakimu penat.
Takkan ada yang melarangmu. Bernyanyi, bernyanyilah sepuasmu. Sekarang kau
katakanlah, selamat tinggal jalan Gandhi”. Kak Ida nya tersenyum, meski pelupuk
matanya masih basah.
Lahan seluas sepuluh hektar ini, dikelilingi
tembok setinggi tiga meter dan diatasnya membentang kawat duri setinggi satu
meter. Pada setiap sudut tembok, ada bangunan pos penjagaan diatasnya.
Pengawalan diluar dilakukan satuan Brimob, Brigade Mobil, sedangkan pengawalan
didalam dilakukan kesatuan CPM, Corp Polisi Militer.
Banyak yang dilakukan para tahanan disini, untuk
menyambung hidupnya. Ada yang mengukir dari bahan kayu, ada yang menganyam
plastik membuat tas, kampil tempat sirih, ada yang membuat tabungan dari
tempurung, melukis, juga mematung. Sebagian tahanan yang asal petani, menanam
palawija, ubi jalar, singkong, pepaya, juga memelihara ternak, ayam dan bebek.
Para tahanan perempuan kalau tak menganyam plastik, membuka warung kopi mini.
Menyediakan makanan- makanan ringan, sampai sarapan pagi, lontong, nasi rames
dan goreng-gorengan. Hasil kerja yang bisa dijual keluar, ada yang
memasarkannya.
Penghuni barak-barak di TPU C ini, bukan hanya
para tahanan, banyak juga anak-anak mereka. Anak-anak itu terpaksa tinggal
disini, diluar mereka tak punya siapa-siapa lagi. Ada rumahnya yang dirampas,
dijadikan markas komando aksi. Ada ayahnya yang dibunuh. Ada juga yang ayah dan
ibunya mendekam ditempat-tempat seperti TPU C ini, di Tanjung Kasau, di penjara
Sukamulia, di penjara jalan Listerik, bahkan di Jalan Gandhi. Anak-anak itu
mungkin punya famili, mungkin mampu menanggung beban secara materi. Tapi siapa
yang mampu bertahan, bila terus-terusan diintimidasi, ditakut-takuti, dituduh
segala macam. Itulah alasan mereka, mengapa mereka lebih baik memilih ikut
menjadi penghuni barak-barak di TPU C ini. Mereka bisa membantu orang tuanya
dengan memasarkan keluar hasil-hasil kerja para tahanan. Kue-kue yang dibuat
para ibu-ibunya, mereka edarkan diwarung-warung disekitar TPU. Bagaimana
sekolah mereka? Ada yang masih bisa, masih jadi murid dibeberapa sekolah, tapi
ada yang tidak lagi. Yang tidak lagi ini, belajar kepada kawan-kawan para
tahanan, banyak guru disini, ditempat ini, dikurungan ini.
Diantara semua kerja-kerja yang ada, Wardik
tertarik dengan kerja melukis diatas kanvas. Waktu didesa dulu, dia pernah
belajar melukis dengan seorang anggota Lekra, di Lembaga Seni Rupa Indonesia,
Labuhan Batu. Pelukis itu bernama Jono. Bang Jono begitu Wardik memanggilnya.
Menurutnya Wardik berbakat menjadi
pelukis natural. Melukis natural membuat Wardik
dekat dengan alam, ciptaan Tuhan. Hari-hari berikutnya Wardik mulai
belajar melukis pada Puji Tarigan.
Puji sebelum ditahan, adalah pegawai Kantor
Jawatan Kebudayaan Sumatera Utara, sarjana seni rupa lulusan Asri, Akademi Seni
Rupa Indonesia Yoyakarta. Pada lukisan-lukisannya, dia memakai nama, Pawang
Ternalem. Puji juga adalah anggota Lekra dan salah seorang pimpinan Lembaga
Seni Rupa Indonesia daerah Sumatera Utara. Setiap hari Puji melukis, dan ini
menjadi kegiatan rutinnya. Sarannya, Wardik bila ingin menjadi pelukis, dia
harus mendalami komposisi warna.
Sudah sepuluh lukisan yang diselesaikannya. Uang
yang dikumpulkan dari jalan Gandhi hasil upah kerja, menyetrika, membersihkan
kamar-kamar para pengawal, sudah habis untuk membeli cat, kuas dan kanvas.
Sampai hari ini belum ada selembar lukisannya yang terjual. Jangankan untuk
membeli cat dan lain-lain, untuk membeli rokok pun dia sudah tak punya uang.
Akhirnya dia terpaksa mengambil pekerjaan lain, melukis kre. Lumayan. Di dasar
kre, dia memilih melukis perempuan penjual jamu, jamu gendong, dia menyukai
motif lukisan itu.
Setiap jam, lonceng portir berdentang menunjukkan
waktu, dari pagi, siang, sore, malam dan pagi lagi. Apel pagi, senam, doktrin
Panca Sila, ceramah agama, apel malam, dan juga jaga malam.
USAI apel malam, Juari, tahanan yang pernah
bersamanya di Siantar dulu, datang kebaraknya. membawa dua bungkus rokok merek
Soor dan gula seperempat kilo. Dia mengajak Wardik besok bekerja diluar.
“Selagi ada kesempatan, kita kerja keluar. Kita gunakan kesempatan itu. Kita
membayar sama pengawal seratus rupiah per kepala”. Mendengar harus membayar
seratus rupiah perkepala, Wardik agak
berat. “Wah, dari mana aku punya uang sebanyak itu. Sedangkan upah melukis kre
hanya dua puluh lima rupiah tiap lembarnya. Aku tak punya uang, bang”. Gelengan
kepala Juari, membuat Wardik sadar. Seharusnya mendengarkan keterangan Juari
dulu.
Dia bilang, bahwa mereka tidak harus membayar
dimuka, tapi bayarannya sesudah pulang kerja.
Sesudah mendapat uang upah kerja mereka. “Kalau begitu aku ikut, tapi
kerja apa?”.“Begini”, katanya menggeser duduknya lebih dekat, padahal dia sudah
hampir merapat kebadan Wardik. “Tadi pagi aku keluar mencari kerja. Kebetulan
aku jumpa pak Naspirin, dia menawari aku ikut membongkar kuburan di Petisah.
Sudah kulihat lokasinya. Jadi tadi, sudah kubicarakan pada pengawal kawan pak
Naspirin itu. Kami membuat kesepakatan kalau yang kerja keluar harus membayar
uang kawalan seratus rupiah perkepala”.Wardik menanyakan untuk apa kuburan itu
dibongkar. “Kuburan itu, bukan kuburan Muslim, tapi kuburan orang Tionghoa.
Dilokasi pekuburan itu akan dibangun
tempat hiburan, “Taman Ria”. Pak Naspirin memborong pembongkaran kuburan itu,
mendapat bayaran seribu limaratus rupiah tiap kuburan. Kemudian tiap kuburan
diberikan ke kita yang mengerjakan pembongkaran seribu rupiah. Nah, barulah
kita berikan seratus rupiah tiap perkepala ke pengawal”. Wardik mengangguk,
tanda dia menyetujunya. Lumayan. Juari juga bilang bahwa semua peralatan sudah
disediakan. Mereka tinggal kerja.
“Kita coba dulu bertiga, aku, bang Sumakir, dan
kau. Kalau memang lumayan, kita ajak lagi kawan yang lain, terutama kawan-kawan
yang tak pernah mendapat kiriman”. Wardik memutuskan, besok dia akan ikut.
Sehabis apel pagi, mereka bertiga keluar dari TPU
C, tentu setelah dapat surat izin bekerja diluar. Juari memberhentikan Bemo
yang menuju Petisah. Selama hidup, baru itulah Wardik naik kenderaan yang
namanya Bemo. Di pekuburan, Tionghoa itu Juari langsung menjumpai Naspirin. Dia
sudah menunggu mereka. Menunjukkan kuburan yang akan dibongkar. Dikuburan itu,
sudah menunggu keluarga pemilik kuburan. Makan dan minum sudah disediakan para
sanak familinya. Orang-orang Tionghoa itu ramah-ramah, membuat ketiga orang
kurungan itu senang. Apalagi tak disangka, mereka diberi uang tambahan. Hari
pertama bekerja mereka selesaikan membongkar tiga kuburan.
Juari, sebelum ditahan adalah anggota Pemuda
Rakyat dari Bah Lias, Simalungun. Orangnya rajin, ciri orang desa, anak petani.
Salahnya Wardik tak pernah menanyakan marganya. Dia anak Simalungun, arif dan
jujur.
Lebihan, pembayar ongkos Bemo, tiga orang, dan
uang untuk pengawal, masing-masing mereka mengantongi 1.300 rupiah. Naspirin
anggota CPM pangkatnya koptu, kopral satu, dia juga bertugas di TPU C. Dia tak
mepersoalkan uang tambahan yang mereka dapatkan. Katanya, lahan pengganti
kuburan Tionghoa itu sudah disediakan di Deli Tua.
Selain mereka banyak juga orang-orang yang bekerja
menggali kuburan itu. Orang-orang itu berasal dari luar kota Medan. Ada yang
dari Marelan, Tembung dan Sunggal. Pukul lima sore mereka kembali ke TPU C.
Jarak Petisah dan TPU C hanya sekitar lima
kilometer. Tak sampai sepuluh menit naik Bemo sudah sampai. Ongkosnya cuma 10 rupiah. Wardik bilang ke
Juari agar besok mereka naik Bemo lagi. Juari hanya senyum, memalingkan
pandangannya kekebun jagung didepan tembok yang mengarah ke jalan besar,
Medan-Binjai. Hunian orang-orang kurungan yang entah kapan berakhir.
Melapor ke pengawalan, juga ke portir. Wardik
jumpa mbak San nya didepan portir. Menanyakan dari mana saja dia. Wardik bilang
bahwa dia kerja keluar, ikut Juari dan Sumakir. “Kau makan dimana, dari siang
mbak kecarian. Besok kalau mau keluar lagi, bilang sama mbak, jadi mbak tak
mencari kesana kemari”. Wardik menyesal, lupa tak memberitahukan mbak San nya.
Melangkah ke barak XVII, diserahkannya uang 1.000
rupiah pada mbak San nya. Mbak San nya senang ada secercah senyum. Wardik
bilang uang itu hasil keringatnya. “Aku
dapat upah 1.300 rupiah, yang 300 rupiah, untuk jaga kantong, Aku siang ini
makan enak, nasi bungkus dari warung Padang”. Mendengar laporan Wardik, mbak
San nya pura-pura cemberut, “mbak kok tidak dibeliin”. “Besok”, katanya lagi,
“kalau kau kerja dan dapat uang lagi, mbak harus kau beliin nasi bungkus,
lauknya rendang”. Senyum cerah, senyum sayang buat adiknya. “Kalau kerjanya
bisa panjang, kita bisa mengirim uang buat, emak”. Kakaknya, meletakkan
tangannya dikepala Wardik. “Iyalah, dik. Uang ini mbak simpan, bila kau perlu,
ambil”.
Malamnya, di barak, sesudah apel malam. Juari
datang lagi, bilang bahwa besok yang kerja keluar bersama mereka bertambah tiga
orang lagi, “kawan-kawan kita dulu yang di Siantar. Mereka tak pernah mendapat
kiriman”. Juari cuma mau menyampaikan itu, lalu dia pamit kembali ke baraknya.
Besoknya, sesudah apel pagi, mereka berenam keluar
dari TPU C, ke komplek pekuburan Tionghoa di Petisah. Naik Bemo lagi. Setelah
diarahkan, mereka pun mulai membongkar kuburan yang sudah ditunggui sanak
familinya. Kerangka-kerangka itu langsung di bawa sanak familinya ke Deli Tua
untuk dikuburkan kembali.
Terik matahari siang itu sungguh luar biasa.
Peluh, membasahi baju hingga bisa diperas. Namun semangat untuk mendapat uang,
mengalahkan segalanya. Dia berharap pekerjaan ini bisa agak panjang. Dia ingin
mengirim uang hasil kerjanya ke kampung untuk emaknya. Mbak San nya pernah
pulang dengan pengawal selama tiga hari. Cerita mbak San nya, emaknya sangat
menderita.
TAHUN 1969, desanya punah digusur perkebunan.
Seperti cerita Suratman tetangganya, di Siantar di kantin, depan markas Korem.
Warga desa dipaksa meninggalkan desanya. Bagi siapa yang tidak mau pergi,
ditangkap dibawa ke Kodim atau dipukuli tentara sampai mati. Lek Tamsir dipukuli,
karena tak mau menyerahkansurat-surat tanahnya. Dua hari kemudian, lek Tamsir
meninggal. Warga desa berserak mencari tempat masing-masing. Kaki-tangan
perkebunan yang dibelakangnya tentara, mengintimidasi warga.Siapa saja yang
tidak segera meninggalkan desa, akan ditindak. Dengan rasa berat, ditindih rasa
takut, warga menyelamatkan diri masing-masing.
Panutan warga, seperti Samiran, Sumardi Syam,
Sijan, Ponidi Tambeng, ditangkap dibawa ke Markas Korem 021 Pantai Timur.
Sebenarnya jangankan ditangkap petugas Korem, mendengar namanya saja warga bisa
mati berdiri. Trauma yang disebabkan pembantaian, dan teror diakhir tahun 1965,
belum lagi sembuh. Kemudian mereka sudah dihadapkan dengan pembumi-rataan,
desanya. Tak ada yang berani melawan, tak ada yang berani bicara, semua hanya
pasrah. Pasrah pada nasib. Tak ada lagi nurani para penguasa, tak ada lagi
nurani para pengusaha. Yang ada, ketamakan para penguasa, ketamakan para
pengusaha. Desa Sidomulyo, Karang Anyar, Suka Dame, Purwo Rejo, Aek Korsik,
Taman Sari, Karto Sentono, blok M, semua rata dengan tanah. Desa-desa yang
tadinya menghasilkan berbagai tanaman yang bisa menghidupi warganya, kini
tinggal puing-puing. Tak ada ganti rugi tak ada penampungan.
Emaknya terpaksa pindah keperladangan dekat hutan.
Waktu Wardik belum ditangkap, ladang itu dia yang mengerjakan. Tentunya ladang
itu sudah menjadi semak belukar. Tak ada sebatang tanamanpun. Sopir jender yang
membawa bongkaran rumah mereka, meletakkan sembarangan seenak hatinya. Itupun
dia minta bayaran yang tak masuk akal.
Selama tiga bulan emak dan adik-adiknya tak pernah
makan ubi apalagi nasi. Mereka hanya makan rebus kangkung, pakis dan pisang
hutan. Tak ada garam. Tak ada sanak famili yang membantu. Emak dan adik-adiknya
bertahan hidup, karena kodrat Nya. Emaknya yang pernah jadi kepala dapur umum
di tahun-tahun membela dan mempertahankan kemerdekaan. Dan entah berapa banyak
laskar pejuang yang diberinya makan. Saat dia dalam keadaan lapar, tak
seorangpun mau membantu. Dia hanya bisa
menjual pakis dan kangkung yang dipetiknya dengan anak-anaknya, adik-adik
Wardik. Mereka jual ke pondok perkebunan. Ada yang membeli, tapi ada juga yang
menghina. Cibiran dan ejekan. Seolah-olah, kesengsaraan ini adalah balasan bagi
isteri dan keluarga orang-orang PKI.
Juari, datang membawa kopi buat mereka berenam.
Waktunya istirahat diterik matahari siang.
Setengah bulan bekerja dikomplek pekuburan
Tionghoa, di Petisah itu. Upah yang
mereka dapat tak menentu. Terkadang banyak, terkadang sedikit. Wardik hanya
menyimpan seribu rupiah selebihnya dia titipkan pada mbak San nya, supaya
dikirim ke emaknya. Hari selanjutnya, dia kembali melukis kanvas atau kre.
Ada berita yang menggembirakan, bahwa Mbak San nya
akan dibebaskan bulan Agustus1972 yang akan datang.
WARDIK duduk dibangku panjang dibawah pohon buah
roda, menunggu keberangkatan ke mandahan. Kuryono datang memberinya dua bungkus
rokok dan Selamat Riyadi memberi satu ons tembakau untuk sangu ke mandahan.
Nasi jagung yang dibawa mbak San nya sudah ludes dimakannya. Mbak San nya
terlihat sedih. Mbak Paenah yang asalnya dari Harjo Sari Medan, memberi empat
ratus rupiah, Muliati dan Muliani, anak mbak Paenah setiap malam belajar
dengannya, tampak menangis.
Bila siang hari anak-anak yang ikut ibunya di TPU
C, bersekolah diluar, malamnya mereka belajar di barak. Wardik dan kawan-kawan
bergantian menjadi guru. Kepada mereka anak-anak penghuni kurungan itu, Wardik
meyakinkan bahwa suatu saat nanti mereka akan jumpa lagi. Disini, selama
disini, bila dia rindu adik-adiknya,
dicurahkannya kerinduan itu pada mereka. Kadang anak-anak itu berkumpul
hanya ingin mendengarkan dongeng Wardik. Semua anak-anak ini memanggilnya,
Lelek. Sebentar lagi mereka akan berpisah dengan leleknya. Mereka, anak-anak
ini, seperti apa nanti hari depannya? Mereka yang akan menjawabnya sendiri.
Langit diufuk Barat berwarna merah jingga. Sinar
matahari menerobos awan gelap disekitarnya. Sang surya yang sedari pagi
menyinari bumi, akan pergi keperaduannya. Sejenak dia menoleh mengucapkan salam
pada seisi mayapada. Saat itu ada babakan baru bagi kehidupan anak manusia.
Kehidupan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Pahit, getir, tapi harus
ditelan
Di azan magrib. Yang menunggu. Yang sedari tadi
bersiap-siap, dipanggil satu-persatu ke portir. Truk yang akan membawa tahanan
pemandah ini, sudah menunggu. Mereka bergerak bersama barang-barang bawaan
masing-masing menuju truk. Di apelkan dulu, baru naik keatas truk dan Wardik
memilih tempat paling belakang. Selamat jalan. Selamat tinggal. Jamaknya
berakhir cuma lambaian tangan. Mungkin juga sayonara, ingat semasih sekolah.
Truk bergerak, dimulai perlahan, membelok kearah
Barat. TPU C pun, tak terlihat lagi. Truk itu lalu melaju diaspal hitam. Kota
Binjai sudah lewat. Truk terus melaju menerobos kegelapan malam. Kanan dan kiri
jalan, lewat cahaya sorotan lampu depan truk, yang kelihatan hanya pohon-pohon
sawit. Sesekali berpapasan dengan kenderaan lain. Jalan itu begitu lurus.
Kawan-kawannya yang pernah lewat jalan ini atau tempat tinggalnya melalui jalan
ini, bilang, bahwa ini perkebunan Padang Belarang. Sesudah satu jam truk melaju
dijalanan barulah kelihatan cahaya lampu dari rumah-rumah penduduk. Tiba di
kota Kwala, truk membelok kekiri, jalan mulai mendaki. Truk terguncang-guncang,
bergerak terus, memasuki perkebunan karet.
Ribuan kunang-kunang menari diantara pohon-pohon
karet. Kunang-kunang itu lebih bahagia, dibandingkan dengan mereka seisi truk
itu. Kunang-kunang itu bisa terbang berkelana kemana mereka mau, kemana mereka
suka. Juga karena mereka mau, juga karena mereka suka. Tetapi manusia yang
menjadi isi truk itu, berkelana karena keterpaksaan. Sementara belenggu masih
tetap menjadi gelang kakinya. Tak tampak dimata, terasa berat terbawa kemana
pergi.
Udara dingin mulai terasa. Ini udara pegunungan,
kata kepala rombongan mereka, mas Suratijo. Seolah-olah dia tahu. Padahal dia
berasal dari Hesa, kabupaten Asahan, mereka sekarang sudah berada di daerah
kabupaten Langkat. Memang menurut kawan-kawan yang kenal dengan dia, Wardik
mendengar Suratijo pernah dikerja paksakan ke proyek Kodam di Rawang Meranti.
Disana Suratijo dan kawan-kawannya harus bekerja menebang hutan rawa, untuk
dijadikan sawah. Di Rawang Meranti, masih cerita mas Suratijo, bila kawan-kawan
yang bekerja berbuat kesalahan, hukumannya dibenam kedalam kolam yang penuh
dengan lintahnya.
Udara kian bertambah dingin, “Sebentar lagi kita
akan sampai”, kata mas Suratijo, sepertinya dia sudah pernah ke perkebunan
Blangkahan ini. Nyatanya dia benar. Setengah jam kemudian, truk berhenti di
emplasmen Perkebunan, PT Telaga Sari Indah Perkebunan Blangkahan, Kecamatan
Kwala, Kabupaten Langkat. Disebelah kanan emplasmen ada pajak perkebunan. Pajak
yang dimaksud bukan seperti pajak yang ada dikota. Pajak ini bentuknya seperti
Balai Desa. Seperti aula.Ramai sekali. Ada hiburan rakyat yang sedang tampil.
Kebetulan malam itu, malam Minggu. Siang tadi, buruh perkebunan itu menerima
upahnya. Gajian.
Kepala rombongan, Suratijo turun lebih dulu.
Sebentar bercakap-cakap dengan pengawal. Tahanan mandahan itu diperbolehkan
turun. “Kawan-kawan”, kita diperbolehkan turun dan nonton ketoprak. Tapi, satu
jam lagi kita meneruskan perjalanan. Tempat yang kita tuju tidak jauh lagi,
kira-kira empat kilo meter”. Seisi truk itu berlompatan turun.
Penonton yang menyaksikan hiburan rakyat yang
sedang digelar, pada melihat kearah orang-orang yang berlompatan dari atas
truk. Mereka tahu bahwa orang-orang yang berlompatan itu adalah para tahanan
yang dipekerjakan. Sejak tahun 1969, sudah ada para tahanan dari TPU C yang
dimandahkan ke perkebunan itu.
Berbeda memang yang dimandahkan kali ini usianya
masih muda-muda. Secara kebetulan, berpakaian seragam hijau-hijau. Tentunya
tanpa tanda pangkat dan embel-embel lainnya. Bukan karena disengaja, hanya itu
yang ada. Diperhatikan begitu, yang berlompatan dari truk itu tak ada yang
perduli, langsung saja menuju warung, memesan kopi, dan makanan lain.
Ada yang datang menyalami dan menanyakan kabar.
“Namaku Ngamen kepala barak Seberang”, dia mengenalkan diri. Mereka disini
berjumlah 60 orang. 30 orang dibarak Seberang dan 30 orang di barak Stal.
“Barak baru untuk kawan-kawan tidak jauh dari barak kami. Sedangkan barak Stal,
letaknya di Sinampur, kurang lebih satu setengah kilo meter dari tempat
kawan-kawan nanti”. Semua mandahan yang
baru datang mendengar masukan dari bung Ngamen. Orangnya ramah dan
menyenangkan. Suratijo sebagai kepala rombongan yang baru datang, banyak
bertanya. Tentang bagaimana dan seperti apa pengalaman kawan-kawan yang lebih
dulu mandah ke perkebunan itu. “Disini tak ada pengawalan. Tapi, kita
betul-betul dijadikan budak, kawan-kawan jangan berharap mendapat upah. Walau
satu sen. Pukul 05.30 harus berangkat
dari barak. Mandor perkebunan memimpin pekerjaan, kepala barak tugasnya membagi
anggota-anggotanya sesuai dengan permintaan mandor. Sementara asisten
perkebunan hanya menerima laporan dari mandornya. Pengawas kita, Letda Sungkono
dari Brimob, datang hanya sekali sebulan”. Suratijo menanyakan tentang, makan.
“Kita hanya mendapat rangsum dua kali sehari, itupun tak mencukupi. Sarapan
nol. Kalau mau mendapat sarapan, ya terserah kita bagaimana, kita harus
berusaha”. Jawabnya. “Kita kan sudah melalui macam kesulitan, berbagai macam
penderitaan dan siksaan. Dan sampai sekarang masih dapat bertahan hidup. Itu
diberbagi kurungan. Apa lagi kita berada ditengah masyarakat. Aku yakin
kawan-kawan tidak akan kelaparan ditengah-tengah masyarakat”.
Diantara rombongan Wardik ada yang mengenal, Bung
Ngamen. Dia anggota Pemuda Rakyat dari Tanjung Keliling. Orangnya tenang,
begitu meyakinkan, dia berbicara sambil tersenyum. Seakan tak ada masalah yang
tak bisa diatasi.
Tak semuanya orang yang ada di keramaian itu
datang khusus untuk menyaksikan pertunjukan. Terlihat para remaja, baik
perempuan maupun lelaki cuma lalu lalang, dua, tiga orang atau sepasang.Tapi
yang sepasang lebih banyak yang asyik menonton. Entah.
Satu jam beristirahat, sudah minum kopi, dan makan
kue-kue, merokok, seolah-olah tak ada waktu untuk yang lain. Padahal keramaian
ada disekitarnya. Disekitar orang-orang yang telah menjadi penghuni berbagai
kurungan itu.
Waktu untuk segera jalan, ajak kepala rombongan.
Pamit dengan yang punya warung, masing-masing membayar, minuman dan
penganannya. Semua naik ke truk. Bung Ngamen turut naik ke truk.
Isi truk sudah lengkap, bergerak bergoncang,
melintasi jalan berbatu. Dinginnya malam, dinginnya kaki pegunungan. Merokok
saat itu memang dibutuhkan, mengurangi rasa dingin. Meski Wardik tahu, cuma
sesaat. “Desa Lau Buntu sudah kita lewati”, terang bung Ngamen. Truk membelok
kekanan, kearah utara. Bulan sabit bersinar kusam terbungkus kabut putih. Samar
barak yang menjadi tujuan perjalanan itu sudah kelihatan. Truk berhenti, isinya
berlompatan turun. Lalu mengemasi barang bawaannya. Rutinitas tentara yang
dipaksakan, melekat sudah, apel, baris, berbanjar, berhitung, bubar jalan.
Kamarpun dibagi. Lampu-lampu sudah dinyalakan, bawaan dari TPU C, dibawa masuk
kebarak. Dalam kamar sudah ada tempat tidur dari papan, tapi tak beralas.
Berbenah sebentar, lalu bergerombol keluar di dinginnya malam. Bung Ngamen
menyalakan api unggun. Malam itu semua tak bisa tidur, mengobrol mengelilingi
api unggun. Penghuni dari barak Seberang berdatangan. Ada yang membawa teh
manis diceret, kopi, dan ubi rebus.
Ada yang Wardik baru ketahui ditempat itu;
kawan-kawannya yang terdahulu, ada yang membawa keluarganya.
Dingin dipendiangan berkurang, suasana hangat
keakraban sesama tahanan. Api unggun terus menyala. Dari barak Seberang
kawan-kawan datang, dan kembali kebaraknya lagi, berganti. “Selamat datang,
dirumah baru”, yang datang mengenalkan diri. Saling bertukar cerita,
menyebutkan namanya dan dari mana asalnya. Diantara sekian banyak penghuni di
dua barak itu, yang jauh tempat asalnya adalah Wardik. Bulan sabit menghilang
dibalik bukit, kabut putih tak kelihatan lagi.
Besoknya, pagi dan dingin. Burung-burung murai
kicaunya bersahut-sahutan dibelakang
barak. Didepan barak terbentang areal perkebunan yang akan diremajakan kembali.
Pohon-pohon karet yang ditebangi bergelimpangan. Kabut putih tampak indah
dikaki Bukit Barisan yang memanjang dari Utara ke Selatan.
Ada yang datang menghampirinya dari barak
Seberang, Pandri. “Barak kita ini menghadap kearah Selatan”, katanya.
“Bukit-bukit yang disebelah sana itu adalah tanah Karo. Dibalik bukit yang
tinggi itu adalah Mardinding”. Pandri bilang, kalau dia punya sayap, saat itu
juga, dia akan terbang untuk sebentar jumpa dengan isteri dan anak-anaknya
disana. Wardik menahan tawanya tak bersuara, membuat Pandri sadar. “Kita ini
manusia bang, kita tak punya sayap. Itu sebabnya manusia menciptakan pesawat,
agar bisa terbang kemana-mana”. Tawa mereka berdua, lepas. Tapi Wardik tahu.
Dia boleh saja ber-andai-andai. Itu karena rindunya. Rasa rindunya yang
melintasi bukit-bukit di Selatan sana. Di Mardinding.
Mardinding. Baru ini didengarnya nama itu. Dia
cuma tahu tanah Karo, dari film “Turang”. Film “Turang” dua kali pemutaran
ditontonnya di bioskop di Rantau Prapat. Film itu disutradarai Bachtiar
Siagian. Bachtiar juga penulisnya. Ceritanya tentang perjuangan rakyat tanah
Karo, melawan kolonial Belanda. Karena bagus ceritanya, itu pulalah sebabnya
dua kali Wardik menonton. Sampai-sampai dia hafal nada lagunya. Sedikit syair
yang permulaan, Turang..., Turang…, Turang ku turang.
Pagi itu, disana, di perkebunan Blangkahan, Wardik
jumpa seorang kawan yang berasal dari Tanah Karo Simalem. Bang Pandri.
Ceritanya. Pandri dulunya seorang tentara. Kakaknya ibu Syarifah, dipanggil
juga ibu Gangga, Syarifah Gangga, sesudah menjadi penghuni salah satu barak di
Jalan Sena, markas Polisi Militer, Pomdam II Bukit Barisan, dipindah ke TPU C,
jalan Binjai. Sekarang dia menjadi penghuni TPU C, jalan Binjai. Suaminya
Pongang Pane Gangga menjadi penghuni penjara Sukamulia, sudah diadili, dijatuhi
hukuman seumur hidup oleh Mahkamah Militer Tinggi, Mahmilti.
Kawan-kawan sebarak dengan Wardik, sudah mulai
bergegas untuk mandi. Melintasi mereka berdua yang asyik berbincang-bincang.
Bincang-bincang pun putus. Pandri pamit, mandi. Wardik masuk ke barak,
mengambil handuk dan sabun, mengikuti yang lain. Menurun, membelok melewati
batu-batu gunung di tepi jalan setapak ke sungai kecil. Airnya jernih. Pasir
dan bebatuan, tampak jelas. Seakan sungai kecil itu sangat dangkal. Ikan-ikan
kecil berenang kehilir, kehulu.
Menceburkan diri, mandi, menyegarkan, didinginnya
air sungai. Sepuasnya. Sampai dia diberitahukan kepala rombongan agar sehabis
mandi nanti harus mengambil peralatan kerja ke emplasmen. Keluar dari dalam
sungai, Wardik bilang bukankah emplasmen itu jauh. Suratijo mengiyakan “Ya,
jauh, tapi kita harus mengambilnya. Kalau tidak kita ambil, besok kita terpaksa
menggunakan cangkul tanpa gagang”.
Wardik kembali kebarak. Selamat Suriadi kawan sekamarnya,
baru saja selesai sarapan. Wardi disuruh nya makan, “nanti kita sama-sama
mengambil peralatan kerja”, ajaknya. Selamat asalnya dari perkebunan Bah Jambi, Simalungun. Dia
pernah ditahan di penjara Siantar. Mereka pernah berendeng tempat tidur selama
enam bulan. Kepala desa Bah Jambi ini ditangkap karena mengeluarkan surat jalan
mandah pada salah seorang anggota Pemuda Rakyat ke Hamboko. Dia dituduh dengan
sengaja membiarkan anggota-anggota Pemuda Rakyat melarikan diri dan sekaligus
melindunginya.
Sebelum diberangkatkan dari TPU C, dia sudah
berpesan, “dik, disana nanti kita sekamar saja, abang tak pandai masak. Jadi
kau yang masak”. Wardik mengiyakan. Tak mungkin Wardik yang lebih muda, sedang
orang yang dipanggilnya bang Selamat itu lebih tua harus memasak untuk mereka
berdua.
Sebulan sebelum dimandahkan, bekas Kepala Desa Bah
Jambi itu mendapat kiriman uang dari isterinya, hasil penjualan dua ekor lembu.
Rencananya uang itu akan digunakan sebagai uang “suap”, agar dia dibebaskan.
Tapi sebelum kontrak itu terjadi, dia sudah dikontrak ikut mandah ke perkebunan
itu. Entah dia bersyukur, entah kecewa. Wardik tak pernah menanyakannya.
Sebenarnya mereka sudah bersiap-siap berangkat ke
emplasmen. Tapi, sementara itu, truk perkebunan bersama seorang anggota Brimob
muncul membawa perbekalan dan alat-alat kerja.
Mereka bagi alat-alat kerja, kemudian mereka pilih
dua orang diantara mereka jadi juru masak. Dua orang yang tertua diantara
rombongan mandahan yang baru itu, Pak
Jenu dan pak Narso. Pak Jenu asalnya dari Jawa Tengah, Solo dan pak Narso
asalnya dari Polonia Medan. Tugas mereka memasak dua kali sehari.
Jatah yang diterima jauh dari cukup. Perbekalan
diserahkan semuanya pada juru masak, pak Jenu dan pak Narso. Anggota Brimob itu
meninggalkan barak bersama truk perkebunan ke emplasmen.
DESA yang terdekat dari barak, ialah desa
Lembuntu. Beberapa dari mereka pergi kedesa itu mencari keperluan untuk besok.
Hanya ada satu kedai disitu. Pemilik kedai itu namanya, Maiman Sitepu dan
isterinya Ngarapen beru Ginting. Dua-duanya ramah, bertanya kapan mereka datang dan lain-lain. Diantara mereka,
orang-orang dari kurungan yang saat ini ditempatkan dibarak-barak itu ada yang
membeli topi, gula, kopi dan keperluan lainnya, sesuai dengan isi saku
masing-masing.
Cuma Suratijo, yang lain semua penghuni barak
sudah kembali ke baraknya. Anggota Sarbupri dari perkebunan Sei Dadap, Hesa
itu, punya segudang pengalaman di beberapa mandahan. Mencari kenalan,
pendekatan pada warga. Disana tentu dengan warga desa Lembuntu. Sorenya dia,
baru pulang, dengan lima gandeng kelapa dan sekeranjang ubi kayu. Dari mana dia
mendapatkan ubi dan kelapa tak jadi soal bagi Wardik. Langsung saja ubi itu
direbusnya. Cukup setengah jam, Wardik, Selamat dan Suratijo, ketiganya sudah
menikmati ubi rebus dan hangatnya kopi.
Sempat-sempatnya Selamat menanyakan dari mana ubi
dan kelapa itu didapat Suratijo. Padahal dia sedang mengunyah ubi rebus yang
masih panas. Suratijo tertawa terpingkel-pingkel. “Aku ketemu dengan orang yang
berasal dari desaku” jawabnya. “Ah, desamu kan Sei Dadap, bagaimana bisa kau
satu desa dengan orang itu”. Selamat jelas tak percaya. Tapi Suratijo berkilah,
katanya; karena desa asalnya, Yokya, jadi, bila ada orang yang berasal dari
sana, itu sama dengan saudara sedesanya.
“Tapi, kalau asalnya dari Tanah Jawa. Itu bukan
berarti, asalnya dari Jawa, meski ada Jawa nya. Tanah Jawa kan di Kabupaten
Simalungun, Sumatera Utara”. “Yang mesti”, lanjut Suratijo sambil
menunjuk-nunjuk arah perutnya, “untuk menyelamatkan kampung tengah, dimanapun
kita berada pandai-pandailah membawa diri. Pandai-pandailah meniti buih, agar
badan sampai diseberang”, katanya lagi ber- pribahasa.
Ketawa lebar mereka, sampai juga ketelinga Tukimin
dan Ribut. Ribut duduk disebelah Wardik
mencomot sepotong, dan sepotong lagi. Begitu juga Tukimin. Tukimin berpenyakit
maag akut. Orangnya selalu rapi dan pembersih, tinggalnya sebelum ditangkap,
tak jauh dari desa Wardik. Abangnya Wagiran mati dibunuh komando aksi.
Sedangkan Ribut, Wardik tak tahu dari mana
asalnya, Ribut tak pernah cerita. Kedua mereka ini lama di jalan Gandhi bersama
Wardik.
Suratijo bilang, dia bertemu dengan orang tua yang
bernama Cokro. Dari pak Cokrolah dia mendapat ubi dan kelapa, bahkan pak Cokro
berpesan agar mereka datang kerumahnya. Rumahnya, didepan kedai tempat mereka
membeli keperluan mereka tadi.
“Kita belum tahu bagaimana kita besok. Apakah kita
punya waktu bergaul dengan warga atau tidak. Tapi kalau kita bisa membagi
waktu, kita bisa membantu warga diladangnya. Kita lihat saja besok,
mudah-mudahan tak ada hambatan dari pihak perkebunan”. Tukimin menyudahi
bincang-bincang sore sebagai basa-basi, menikmati ubi rebus dan kopi manis
panas. Kedua benda nikmat itupun memang sudah tak tersisa.
Malam kedua diperkebunan Blangkahan berlalu.
Besok, bukan lagi hari ini.
Matahari siang itu bersinar terik. Hari pertama
kerja paksa itu, terasa sangat menyiksa. Harus membongkar gelagah setinggi enam
meter. Cucuran peluh menandakan, bahwa mereka sudah lama tak memegang cangkul
dan parang babat. Telapak tangan habis terkelupas. Lengan tergores daun gelagah
terasa pedih dan gatal. Asisten perkebunan dan mandornya terus menerus memberi
arahan.
Tak seorangpun diantara mereka yang memakai
sepatu. Duri-duri tajam yang terpijak, menusuk, masuk di telapak kaki. Haus
mencekik kerongkongan. Baru semua teringat tak membawa bekal air minum. Wardik
berusaha mencari mata air. Mandor Saidi mengatakan mata air diperkebunan itu
tak ada. Yang ada hanya parit. Itupun adanya ditengah-tengah rimbunan gelagah
di depan mereka.
Sudah empat hektar rimbunan gelagah mereka bongkar,
parit yang dimaksud mandor Saidi belum mereka jumpai. Sial. Dibenak Wardik
terbersit buruk sangka, jangan-jangan akal sang mandor. Tidak. Jangan. Jangan
buruk sangka dulu.
Mantan Kepala Desa Bah Jambi itu menyuruh Wardik,
menggali tanah membuat sumur. Wardik mencari tempat yang agak lembab dan mulai
menggali tanah. Usahanya tak sia-sia. Baru setengah meter dalamnya tergali,
sudah tampak tanda-tanda. Ribut yang mengikutinya memberi semangat,
mendorongnya agar terus menggali. Wardik sudah sangat kelelahan. Sangat-sangat.
Tapi, mengingat mereka semua benar-benar kehausan, lebih-lebih dia sendiri. Tak
ada pilihan lain, dia harus terus menggali. Sampai akhirnya, mata air yang
besar menyembur. Wardik bersorak, sorak parau. Mencari Tukimin. Dia ingat
Tukimin membawa bontot dirantang. Rantangnya. Rantang bekas bontot itu
diambilnya. Jadilah sumur kecil, pelepas haus semua kawan-kawannya. Asisten dan
mandor perkebunan itu agaknya maklum.
Pak Senen yang tertua diantara mereka, kebanyakan
minum hampir pingsan. Kerja paksa hari pertama, jadi pelajaran. Pukul 13.00,
tengah hari diperbolehkan pulang ke barak. 4 kilo meter berjalan kaki. Dipondok
perkebunan ada kedai milik orang Tionghoa, yang empunya kedai dipanggil para
buruh-buruh disana dengan sebutan Banglae. Entah itu namanya yang sebenarnya,
Wardik tak tahu. Dikedai Banglae ini mereka singgah membeli jerigen yang isi
lima liter. Ada juga yang membeli isi dua liter. Besok sudah tak akan kehausan
lagi.
Lima belas hari sudah, terus bekerja membongkar
gelagah. Kulit Wardik yang hitam, bertambah legam. Kawan-kawannya sudah ada yang jatuh sakit, karena sudah lama tidak
bekerja berat seperti itu. Atau dulunya mereka bukan berasal dari petani. Tapi,
tak ada pilihan yang lain, kerjakan dan terus kerjakan. Masih lumayan lembu
penarik pedati, meski tak diberi upah, tapi diberi makan yang cukup.
Sebulan sudah di mandahan. Di desa Lembuntu ada
hajatan perkawinan. Sebagai hiburan bagi tamu, diundang kumpulan kesenian
rakyat “Ludruk”. Warung-warung kopi berdiri dikanan-kiri jalan. Lampu-lampu
petromak dipasang disana-sini. Malam didesa itu, malam yang meriah. Desa yang sunyi dan terpencil itu, berubah
seperti Pasar Malam. Entah dari mana saja orang-orang berdatangan. Wardik
datang kekeramaian itu, bukan karena ingin menyaksikan pertunjukan ludruk. Dia
cuma ingin menonton yang menyaksikan pertunjukan.
Asyik menonton orang-orang yang menonton, entah
dari mana dua dara manis datang mendekatinya, menyapanya. “Nonton, Mang”. Salah
seorang gadis itu menyapanya. “Oh, ya”. Wardik menjawab gugup. “Mamang ini
sombong, tak pernah singgah kerumah. Itu mas Suratijo sering datang kerumah.
Tapi mamang kok tak pernah ikut”. Perawan, berhidung mancung, berambut panjang,
tinggi semampai. Ideallah. “Bagaimana ya, habis mas Suratijo tak pernah ngajak.
Jadi saya dirumah saja”, jawab Wardik sejadinya, serba salah. “Dirumah, apa
dibarak?” dia senyum, Wardik jadi gugup.
Dia kikuk, kedua gadis itu begitu ramah. Tapi
mengapa mereka menyapanya dengan sebutan mamang. Sedangkan Suratijo, mereka
sebut dengan mas. Suratijo kan usianya lebih tua dari dia. Itukan jelas.
Sebutan mamang itukan sama dengan paklek. Niken dan anak-anak yang jadi
penghuni barak-barak di TPU C itu yang pantas memanggilnya dengan sebutan
mamang atau paklek. Tapi kedua gadis itu, begitu ramah. Sudah satu bulan Wardik
berada ditempat itu. Juga sudah satu bulan dia melintas didesa itu, tak pernah
jumpa dengan kedua dara manis itu. Mereka menyuruh Wardik datang kerumahnya.
Laki-laki muda itu janji bakal datang. “Tapi rumah kalian sebelah mana?” Wardik
benar-benar tak tahu. Mereka berdua tak percaya kalau dia tak tahu rumahnya.
“Bukan karena aku sombong. Tapi aku kuatir kalau-kalau tidak diterima”, katanya
meyakinkankan. Bukan itu saja malah Wardik bilang bahwa dia belum pernah main
kesemua warga disitu. Begitu bersahabat dan menyenangkan, ada tawa, ada senda.
Masa remaja Wardik hilang dikesusahan hidup. Kata orang masa kanak-kanak itu
paling membahagiakan, dan orang-orang ingin kembali kesana. Tapi orang-orang
bilang juga, masa remaja itu, lebih indah lagi. Wardik tak bisa kembali kesana.
Meski dalam bayang-bayang, dia tak sempat merasakannya.
Paginya sebelum berangkat kerja, Wardik bertanya
pada Suratijo, apa dia mengenal kedua gadis yang dijumpainya dikeramaian malam
tadi. Suratijo, sudah lama mengenal mereka, sejak awal dimandahan itu. Gadis
yang berhidung mancung itu anak pak Cokro, orang yang memberinya ubi dan kelapa
sehari mereka di perkebunan itu. Gadis yang satu lagi rumahnya tak jauh dari
dari rumah yang punya hajatan tadi malam. Sejak pertemuannya dengan kedua gadis
manis itu, setiap pulang kerja matanya sering mencari-cari. Kalau-kalau, dia
akan melihat salah satu dari keduanya, atau kedua-duanya. Tentu menyenangkan.
Dua bulan sesudahnya. Hari Sabtu di malam Minggu
kedepan, Wardik mendengar akan ada pertunjukan wayang kulit semalam suntuk
dirumah pak Timin. Hajatan mengkhitankan anaknya. Selamat bilang, pada Wardik,
Suratijo dalangnya. Bagaimana bisa kejadian, Suratijo dipakai jadi dalang
dihajatan itu. Apakah ini tidak akan menimbulkan masalah. Walaupun secara
langsung mereka tidak mendapat pengawalan, bukan berarti mereka sudah
dibebaskan untuk berbuat semaunya. Warga desa memang sudah percaya, tapi
penguasa, mereka akan terus mengawasi. Menurut Wardik, Suratijo sudah
kebablasan. Pernah dia ingatkan. Kawan-kawannya yang lain juga sudah, tapi
jawaban Suratijo malah menyakitkan.
Ada cerita dari seorang kawannya sebarak. Malam
itu dia diajak Suratijo, bertandang kerumah seorang warga di desa Lembuntu.
Suratijo mengaku dia adalah asisten perkebunan Sei Dapdap. Dan banyak lagi
cerita bohong yang diomongkan, hanya agar warga menjadi, lebih menyeganinya.
Tapi mengapa harus seperti itu? Berbohong. Tadinya Wardik begitu simpati
kepadanya, tapi sekarang berubah menjadi muak. Meski berkali-kali diingatkan.
Bukan Suratijo namanya kalau mau mendengarkan.
Malam itu, Sabtu malam, Suratijo pun mendalang.
Desa kecil itupun berubah menjadi pasar malam lagi. Seisi barak keluar ingin
menyaksikan wayang kulit. Wardik hanya mondar mandir ditengah keramaian, sedikitpun
tak ada terbetik keinginannya menyaksikan pertunjukan itu. Dia ingin minum kopi
diwarung pinggir jalan itu, tapi tak punya uang. Wardik masih mujur. Melongok
kesana kemari, melihat salah seorang dari dara manis yang dijumpainya pada
malam dikeramaian yang lalu. Gadis itu sedang membantu ibunya berjualan kopi
dan pisang goreng. Dibuangnya rasa segannya, didatanginya warung itu. “Eh, mang
apa kabar”, dara itu kaget tak menyangka didatangi. “Sudah lama enggak
kelihatan”, basa-basi fikir Wardik. Dijumpainya anak dara itu, “Boleh kubantu
mbak”, sengaja dipanggilnya “mbak” dengan suara agak keras. Bukankah anak
gadisnya, memanggil dia dengan sebutan mamang, berarti dia ini adik emaknya.
Entah merasa barangkali, Wardik meliriknya. Dara itu cuma tersenyum. Tak
menunggu jawaban Wardik kebelakang warung mengambil ember kosong, kesumur dan
mengisinya air. Semua ember-ember kosong itu terisi penuh air. Membantu
mengupas pisang. Kadang membantu menghidangkan kopi, teh, juga goreng pisang
atau goreng ubi dipiring mengikuti pesanan tamu.
Gadis itu namanya Mesiam. Dari Mesiam dia mendapat
nama temannya, Parsilah. Mbak Amum emak Mesiam membuatkan segelas kopi
untuknya. Terasa nikmat, nikmatnya kopi. Kawan-kawannya cuma senyum melihatnya
membantu mbak Amum berjualan.
Limabelas hari setelah Suratijo mendalang, dan
limabelas hari sesudah keramaian di Sabtu malam itu. Dihari minggu, datang tiga
orang pengawal anggota Brimob menjemput Suratijo dan beberapa orang tahanan
pemandah lain.
Biasanya meski hari Minggu para tahanan penghuni
barak-barak itu tetap bekerja, tapi hari Minggu, hari itu diliburkan. Menunggu
pengganti tigapuluh orang yang ditarik ke penjara Sukamulia, di Medan.
Pengawal-pengawal itu bilang bahwa, mereka-mereka itu akan segera dibebaskan,
tapi semua tahu, yang benar adalah karena ulah Suratijo. Pukul sebelas siang
truk yang akan membawa mereka datang, Selamat, Ribut, dan Tukimin ikut ditarik.
Wardik mendatangi Suratijo, menjabat tangannya, mengatakan, bahwa semua yang dikhawatirkannya
menjadi kenyataan. Suratijo mengakui kesalahannya. Cuma, semua sudah terjadi.
Kepala Desa Bah Jambi itu, abang sekamarnya
meninggalkan uang untuknya limaratus rupiah, untuk membeli sabun dan pasta
gigi. Pukul satu siang truk yang membawa mereka berangkat meninggalkan
perkebunan Blangkahan. Barak huniannya itu sunyi. Wardik pun kesesepian.
Sisa penghuni barak, yang tertinggal berkumpul
didapur. Kawan-kawan mereka dari barak Seberang berdatangan, menanyakan mengapa
sebagian penghuni barak mereka ditarik kembali. Nasrun menjelaskan mereka itu
ditarik ke Sukamulia, menunggu akan dibebaskan.
Nasrun selalu begitu. Bicaranya satu-satu dan
selalu tepat dalam menyikapi masalah. Dia selalu mendapatkan kerja upahan untuk
kawan-kawannya, mencangkul diladang para petani warga desa-desa disekitar
barak. Tak jarang, bila dia mendapat pekerjaan tambahan, dia selalu mengajak
yang lain bersama-sama mengerjakannya. Dan hasil upahan itu tetap dibaginya
rata. Tentang mereka yang di tarik tadi dia bilang. Penguasa perlu uang,
perkebunan perlu tenaga, mereka yang ditarik tigapuluh orang. Tak mungkin tak
ada tenaga tambahan lagi, untuk menggantikan mereka.
Apa yang dikatakannya benar. Lebih kurang pukul 6
sore, truk yang membawa mereka yang ditarik tadi, kembali dengan penggantinya.
Mereka yang ditarik itu dipindahkan ke penjara Sukamulia, dan yang
menggantikannya didatangkan dari TPU Tanjung Kasau yang tadinya sudah
ditempatkan di Sukamulia. Sebagai penggantinya, sebagian besar adalah mantan
serdadu. Begitu truk berhenti mereka berlompatan turun, agaknya masih ingat
waktu masih bertugas dulu.Tak ada satupun bekas serdadu ini yang dikenalnya,
kecuali beberapa orang dari sipil yang dulu pernah sama menjadi penghuni jalan
Gandhi. Biasa bersalam-salaman. Mereka diapelkan, Wardik ditugasi membagi-bagi
kamar buat mereka, sekalian membagikan alat kerja untuk kerja besok. Tak sempat
dia sendirian menjadi penghuni kamarnya dibarak itu. Mereka jadi berempat, dia,
Maju Ginting, Saman Surbakti, dan Rolip Siregar.
Pandri,
datang menjumpai Rolip Siregar. Mereka dulu pernah sama-sama satu mandahan, di
Suka Lue. Rolip Siregar pernah berumah tangga. Perkawinan mereka tak panjang.
Isterinya minta cerai. Tak tahan menunggu terus, entah sampai kapan Rolip
dibebaskan. Rolip Siregar tempat tinggalnya sebelum ditangkap di kampung
Durian, Medan, anggota Pemuda Rakyat, ditahan sejak Desember 1965.
Berpengalaman dihampir semua tempat mandahan di perkebunan yang ada di Deli
Serdang. Rolip janji, kalau dia punya kesempatan pulang, dia akan bawa radio,
untuk hiburan. Maju Ginting, juga anggota Pemuda Rakyat tinggalnya di Padang
Bulan, Medan. Isterinya seorang perawat di rumah sakit Elisabet, Medan.
Beruntung, sekamar dengan mereka ini. Wardik
memperoleh cerita-cerita dari seantero pelosok. Saman dan Maju banyak cerita
tentang Tanah Karo, Rolip cerita tentang kota Medan. Dua hari mereka disini,
Saman mengajak Wardik keluar kedesa, disekitar. Katanya dia ingin mencari anak
ayam untuk dipeliharanya disini. Mencari maksudnya akan membeli, bila ada yang
menjual. Sejak di Blangkahan baru kali ini Wardik ke desa Traktoran. Didesa ini
Saman membeli enam ekor anak ayam, harganya sangat murah. Selepas kerja di
perkebunan, Saman mengurusi ayam-ayamnya. Tak pernah mencari upahan. Di depan
barak di sela-sela tanaman karet yang masih muda, Rolip menanam kacang merah.
Bibitnya dia peroleh dari salah seorang petani. Maju Ginting menanam ubi dan
terung disamping barak. Wardik sering mendapat pekerjaan mencangkul diladang
petani, 4 kilometer jauhnya dari barak. Basiran dan Tugimin Kancil selalu
bersamanya mencari upahan. Basiran berasal dari Solo, serdadu, Yon Kavaleri ini
tak punya sanak saudara di provinsi ini. Tugimin Kancil juga mantan serdadu,
dia orang Binjai. Kedua orang tuanya masih hidup, ayahnya pensiunan Angkatan
Darat, serdadu juga. Bertiga mereka selalu bersama. Kebetulan mereka mendapat
kerja yang sama. Meracun lalang.
Mereka bertiga pernah mengajukan permintaan kepada
pihak perkebunan agar mereka dibelikan pakaian kerja, sebab pakaian mereka
sudah compang camping. Pihak perkebunan memberikan uang itu kepada kepala
rombongan, tahanan yang dipercaya perkebunan. Sofyan Junet, juga mantan
serdadu. Uang yang diperuntukkan membeli dua pasang pakaian dan sepatu kerja
itu ditilep. Begitulah kawan mereka sendiri.
Sekarang, di hari Minggu kedua, setiap bulan
mereka diliburkan. Mereka yang rumahnya disekitar Medan, mengambil kesempatan
ini untuk pulang. Sementara Wardik tetap tinggal di barak.
Sekali, di Minggu libur, Wardik keluar, ke Padas
Gempal. Sudah beberapa kali dia mendapat kerja upahan disana. Kebanyakan
petani-petaninya berasal dari desa Lembuntu. Letaknya di lereng-lereng
perbukitan. Dia, kesana. Dibawanya parang babat, dengan harapan jumpa dengan
salah seorang petani dari Lembuntu.
Jalan setapak ditepi sungai Tembuh masih berkabut.
Jalan diperut bukit itu ditelusurinya, kian lama kian jauh. Tak seorangpun yang
dijumpainya. Suara burung Kecrut dan Cucut Uran saling bersahutan. Deru air
sungai, dan kulik elang yang sedang terbang jauh diatas pucuk-pucuk pohon
menandakan bahwa area ini jauh dari keramaian.
Padas Gempal, meski Wardik sudah sering datang ke
area ini, membantu pak Jumiden mengerjakan ladangnya, membabat atau mencangkul.
Tapi hanya keladangnya saja, tak pernah keladang petani yang lain. Dia mendapat upah dari
tanaman hasil ladangnya. Pak Jumiden seorang bilal desa. Juga dipanggil pak
Kaum.
Karena tak seorangpun yang ditemuinya, Wardik
memutuskan kembali menuruni bukit Padas Gempal. Diujung jalan membelok kekanan
sedikit mendaki bukit. Di bukit, dilereng sebelah selatan ada tanaman ubi kayu,
kelihatan subur. Dituruninya lereng itu. Ladang itu begitu bersih. Ada tanaman
jagung, pepaya, ubi jalar, jahe dan kacang panjang. Dilewatinya jarak tanaman
ubi kayu, ada dangau menghadap ke sawah, padinya sudah di panen. Wardik tak
tahu itu ladang siapa. Perutnya sudah mulai lapar. Dipetiknya pepaya disamping
gubuk. Buahnya lebat, masak dipohon, dimakan codot atau burung.
Makan pepaya, dia juga ingin menyalakan api, ingin
membakar jagung. Belum sempat. Ada seorang gadis berjalan diatas pematang,
menuju kearah dangau, tempatnya duduk. Siapa dia? Dia membawa sabit dan
keranjang. Apakah ladang ini milik gadis itu. Kelihatan sekali dia kaget.
Cepat-cepat Wardik berdiri. “Maaf, dik. Aku tadi memetik dan makan pepaya tanpa
izin.
Gadis itu memandangnya. Dia ragu. “Abang, orang
dari barak, ya? Wardik mengiyakan, sekali lagi Wardik meminta maaf. Penuh
penyesalan seolah-olah terpergok dia bilang, tadinya dia berencana ke Padas
Gempal. Biasanya bekerja upahan diladang pak Kaum. Tapi tak ada orang yang
keladang. Jadi dia balik membelok keladang ini. Wardik meminta maaf lagi,
mungkin mengejutkannya dan sudah memetik pepayanya tanpa izin. “Tak apa bang,
kalau abang lapar aku membawa nasi”.
Wardik teringat emaknya, sekiranya dia jumpa
orang-orang seperti gadis ini. Nasib Wardik, lebih beruntung dari emak dan
adik-adiknya.
Dia masih berdiri, memperhatikan gadis yang
sempurna, cantik alami. “Masuklah bang, kok, berdiri diluar”. Dia jadi malu
jangan-jangan dia berfikir, aku….”. “Orang-orang dari barak, sudah dikenal
baik-baik”. Dia mengeluarkan bekalnya dan menyuruh Wardik makan. “Siapa yang
bilang?” Kikuknya mulai hilang. “Ya, semua orang-orang desa yang bilang,
orang-orang dari barak juga suka membantu”. “Makanlah, bang. Nanti kalau sudah
selesai makan, kalau mau membantuku silahkan”.
Dijawabnya, bahwa dia belum lapar, apalagi tadi
dia baru menghabiskan pepaya yang belum mendapat izin dari yang punya. Bukan
maaf saja yang didapatnya. Senyum, ramah juga didapatnya. Sekiranya santun
seperti ini didapat emaknya.
Bagaimana tidak terus memikirkan emaknya. Wardik
tak bisa menerima perlakuan orang-orang terhadap emaknya. Dihina, diteror
terus.
Dia tanyakan nama gadis itu, sedari tadi dia belum
tahu, “Surtini, bang”, katanya, “seminggu sekali aku baru pulang kemari. Aku
sekolah di SKP (Sekolah Kepandaian Putri) Binjai, tapi sekarang sudah selesai.
Di Binjai aku kos ditempat famili di kampung Manggis”. Wardik mengerti
sekarang, mengapa dia tak pernah jumpa Surtini selama ini. Akhirnya kikuknya
hilang sama sekali. Surtini pun cerita tentang dirinya.
Sebenarnya dia tak ingin segera kembali kedesanya,
dia telah membuka usaha menjahit pakaian perempuan di Binjai, dibantu familinya
tempat dia kos di kampung Manggis. Tapi kedua orang tuanya mendesak terus agar
dia pulang dan membuka usaha menjahit didesanya. “Aku dijodohkan sejak aku
masih kanak-kanak”.
Lelaki pilihan orang tuanya itu masih famili
mereka. Sebenarnya dia tak mencintainya. Tapi,
tradisi. Pernikahan yang dijodohkan, dan nikah diusia muda berlaku di
desa-desa negeri ini. Sejak usia kanak-kanak, orang-orang tua mereka sudah
menjodohkan anak-anak mereka. Dan begitu dewasa, masih usia dini dinikahkan,
meski selalu berakhir dengan perceraian.
Wardik mengenal betul lelaki pilihan orangtua
Surtini. Suwandi anak pak Kaum. Anaknya tampan, pandai dan rajin keladang.
Tapi, apakah dia juga mencintai Surtini, kalau tidak. Entahlah. “Apa abang
sudah beristri”. Pertanyaan anak perawan itu membuat laki-laki muda itu
terperangah.Mengapa ada pertanyaan seperti ini dari dia. Wardik menggeleng
menidakkan, dijawabnya belum. Lagi Wardik tak bisa menjawab nya ketika dia
tanyakan kapan Wardik bebas. “Kami ini seperti layang-layang, suatu saat diulur
jauh dari gulungan benangnya, tiba-tiba bisa saja ditarik lagi kembali
kegulungannya”. Wardik menjawabnya, berpandai-pandai mengibaratkan. “Semuanya
tergantung pada mereka-mereka yang berkuasa dinegeri ini”. Entah mengerti,
entah tidak, gadis itu. Wardik berharap mudah-mudahan dia mengerti.
Sore itu laki-laki muda yang di”mandah”kan dari kurungan itu membantu
Surtini sampai Magrib, dia diajak singgah kerumah gadis itu.
Jalan pulang dari ladang melalui jalan setapak
dilereng bukit, ada yang mengganggu hatinya. Hati laki-laki muda itu. Tapi yang
dirasakannya, ada yang belum pernah dirasakannya selama ini. Usianya. Sudahlah
pasti, terus bertambah.
Kedua orang tua Surtini menyambut ramah setelah
mereka tahu Wardik dari barak. Mereka tak mengizinkannya kembali ke barak bila
belum makan.
Sejak itu, Wardik sering membantu keluarga itu
diladang. Pulang dari ladang Wardik membawa kayu bakar. Ayah Surtini, tak
sempat mencari kayu bakar. Emak Surtini menganggap Wardik bagai anaknya, Wardik
pun menganggap keluarga ini seperti keluarganya, pengganti orang tuanya, pengganti
adik-adiknya. Sekiranya lagi sekiranya, emaknya juga mendapatkan keramahan dari
orang-orang, seperti yang didapatkannya sekarang ini. Tuhan.
Selain ke ladang, Surtini sering mendapat tempahan
menjahit pakaian perempuan. Warga di dua desa kecil itu, desa Lembutu dan desa
Teraktoran tak berpayah-payah lagi menjahit pakaian-perempuan jauh-jauh ke
Kwala.
NASRUN sekarang sudah berganti pekerjaan, menjadi
juru masak bersama pak Jenu. Nasrun bilang minggu muka, mereka dapat izin libur
selama empat hari. Wardik gembiranya bukan main. Itu artinya dia bisa pulang
kampung, ke Padang Halaban menjumpai emaknya. Dikhabarinya hal ini pada Surtini, dia kerumahnya. “Tapi abang tak punya uang untuk ongkos,
kalau kau….” belum habis cakapnya, sudah dipotong Surtini. “Abang, sudah
kuanggap seperti abang sendiri, kesedihan abang, juga kesedihanku, kegembiraan
abang, juga akan menjadi hal kegembiraanku. Kalau untuk ongkos pulang kampung,
Insya Allah aku punya. Akan kukasi. Aku ada uang, tapi tak banyak. Kapan abang
dapat izin libur”. “Tiga hari lagi”, jawab Wardik. Surtini bilang, nanti bila
harinya, akan diantarkannya ke barak. Wardik mengucapkan terima kasih
berkali-kali. Dalam hatinya bilang, Keluarga ini begitu baik, Surtini begitu
baik, tak tahu, bagaimana dia akan membalasnya. Lagi terpikir, kalaulah emaknya
mendapatkan kemurahan hati orang-orang seperti yang didapatkannya, dari
orang-orang seperti para keluarga disini, seperti kemurahan hati Surtini. Emak,
emak. Wardik tak mau Surtini tahu apa yang difikirkannya itu.
Malamnya Wardik susah tidur, sudah tak sabar
menunggu hari Sabtu. Kata Nasrun mereka hanya diberi surat izin, jangan
mengharap mendapatkan satu senpun dari perkebunan untuk ongkos. Bagi Wardik izin pulang ini saja sudah
melebihi segalanya. Sekiranya dia disuruh memilih uang puluhan ribu rupiahpun
dengan izin pulang, pasti yang dipilihnya izin pulang.
Hari yang ditunggu-tunggu itu datang juga. Surtini
datang ke barak, disalaminya Wardik uang empat ratus rupiah. Lagi Wardik
berkali-kali berterimasih.
Pukul 12.00 tengah hari, truk perkebunan datang.
Masing-masing mereka mendapatkan surat izin pulang. Dengan truk perkebunan itu
mereka diantarkan ke Sukamulia. Didepan penjara Sukamulia mereka diturunkan,
diberi pengarahan agar kembali ke mandahan tepat waktu. Pengarahan yang
berkali-kali, menjemukan, sangat membosankan.
Wardik dan Antaran sepakat mencari tumpangan di
timbangan Tanjung Morawa. Antaran sama sedesa dengan Wardik, juga tak punya
ongkos cukup. Dua kali ganti bemo, baru sampai di timbangan Tanjung Morawa.
Wardik memberanikan diri meminta tolong pada seorang petugas LLAJR, mencarikan
tumpangan ke Simpang Padang Halaban. Dengan berterus terang, dia mengatakan
bahwa mereka berdua adalah tahanan TPU C, yang dipekerjakan di perkebunan
Blangkahan. Dia tunjukkan surat izin jalan dari Perwira Pengawas. Petugas LLAJR
itu memperhatikan dia dari balik kacamatanya. “Jadi, kamu berdua, tahanan yang
dipekerjakan di perkebunan, ya”. Padahal petugas itu sudah membacanya di surat
izin Wardik. Wardik jadi ragu, jangan-jangan petugas itu tak mau membantu
setelah tahu mereka berdua tahanan. Tapi Wardik menjawab juga, mengangguk,
mengiakan. “Ya, pasti saya bantu, asal kalian mau naik truk yang penuh dengan
muatan”. Mereka berdua senangnya bukan main. Dia dan Antaran sama-sama
mengucapkan terimakasih.
Petugas LLAR itu
mengajak Wardik keruang kerjanya. Antaran, menunggu diluar duduk
dibangku panjang. Wardik dipersilahkan duduk. “Kita tunggu, truk yang ke Rantau
Prapat. Sudah berapa lama kamu ditahan?”, Sudah biasa dengan pertanyaan seperti
itu, bahkan dari kawan-kawannya setahanan. “Sudah empat tahun” jawab Wardik.
“Jadi, selama empat tahun ini, tak pernah jumpa orang tuamu?”. “Orang tuaku
cuma emak, ayahku, diambil dari tahanan sampai hari ini tak pernah tahu
bagaimana nasibnya atau kalau sudah mati tak tahu dimana kuburannya. Baru
inilah mendapatkan izin empat hari dari perkebunan. Selama beberapa bulan ini
kami dipekerjakan diperkebunan Blangkahan tanpa diberi upah satu senpun”.
Mendengar jawaban Wardik, dia geleng-geleng kepala. Entah dia tak percaya
jawaban Wardik, atau mungkin dia tak percaya mengapa bisa sampai begitu. “Aku
sangat prihatin dengan keadaanmu. Sayangnya, aku tak bisa membantu”. Wardik
bilang, membantu mendapatkan tumpangan untuk mereka berdua, sudah sangat membantu
mereka. Dan lagi Wardik mengucapkan terimasihnya, ribuan terimakasih. “Ini ada
uang untuk beli nasi nanti dijalan. Tapi jangan bilang siapa-siapa, kalau kau
kukasih uang”, dirogohnya dompet dari kantong belakangnya, disalamkannya uang
harga seribu rupiah selembar. Wardik tak percaya menerima uang seribu rupiah
dari petugas LLAJR itu. Dipandangi nya wajah petugas itu, dia tersenyum.
Malaikat barangkali. Jangan, bukan, ah, tidak.
Dikantonginya uang seribu itu, dikantong celananya. Sekitar pukul 18.30, sudah
masuk waktu magrib. Suara azan kedengaran dari mesjid Jamik yang kelihatan
disekitar lapangan rumput didepan timbangan. Truk yang menuju Rantau Prapat,
singgah menimbang muatannya, Petugas LLAJR itu berbicara pada supir truk. Lalu
supir truk itu menyuruh mereka berdua naik dibelakang. Truk itu isinya tepung
terigu, itu yang tertulis dipermukaan karungnya.
Wardik tak pernah cerita pada Antaran, bahwa dia
telah menerima uang seribu rupiah dari petugas LLAJR yang baik hati itu. Wardik
cuma memikirkan, emaknya, Dia akan memberikan uang ini pada emaknya.
Truk yang mereka tumpangi terus bergerak laju.
Sesekali berguncang-guncang dijalan yang rusak, berlubang atau berbatu-batu
karena aspalnya aus dihabisi kenderaan berat kelebihan muatan yang lalu lalang.
Sebelum masuk kekota Tebing Tinggi, truk itu membelok kekiri. Mendapatkan kota Kisaran, lewat desa Bunut
didepan rumah makan, truk itu membelok berhenti parkir. Supir dan keneknya
turun. Mereka berdua disuruhnya turun, “Dari tadi kita belum istirahat, kita
makan dulu”, katanya. Wardik sudah ingin turun. Dia sudah lapar. Dia fikir uang yang disalamkan Surtini bisa
membayar makan untuk mereka berdua, dia dan Antaran. Kan tak mungkin Supir dan
keneknya itu minta dibayarkan. Tapi, “terimakasih, lae, kami tak lapar”,
Antaran mengguit perutnya. Untungnya supir itu mendesak, agar mereka berdua
ikut makan, “Ala, jangan begitu, saya tahu kalau lae berdua belum makan.
Sudahlah jangan malu-malu. Saya juga tahu kalau lae berdua tak punya uang.
Marilah makan, Rantau Prapat masih jauh. Jalan juga agak rusak. Hampir Subuh
baru kita sampai disimpang Padang Halaban”.
Akhirnya, Wardikpun turun mengikuti Supir yang
baik hati itu, kedalam rumah makan. Duduk disatu meja dengan supir dan
keneknya. Antaran juga turun dan duduk. Bang supir memesan nasi dan lauk
pauknya. Kebetulan di rumah makan itu, cuma dua meja yang berisi, satu meja
jauh disudut sana. Sambil menunggu pesanan, bang supir mengajak
bincang-bincang. Mengapa harus saling diam. Kenalanpun belum katanya. Pengemudi
truk itu yang memulai “namaku, Bonar, Bonar Tambunan. Kampungku di Tarutung,
tapi aku sudah lama tinggal di Rantau Prapat”. Wardik dan Antaran pun
mengenalkan diri. Seperti pada petugas LLAJR tadi mereka berduapun berterus
terang mengenalkan diri, bahwa mereka berdua adalah tahanan dari TPU C.
Dimandahkan, dipekerjakan ke perkebunan Blangkahan. Empat hari ini mereka yang
diperkerjakan di perkebunan itu mendapat izin pulang kekampung. “Kalau yang itu
aku sudah tahu dari bapak petugas LLAJR tadi, bahwa lae berdua tahanan dari TPU
C yang di jalan Binjai. Aku juga pernah ditahan, aku dulu anggota SBKB, Serikat
Buruh Kenderaan Bermotor. Abangku hilang, diambil dari tahanan Kodim. Sampai
sekarang, tak tahu dimana. Raib, entah dimana kuburannya. Jadi aku harap lae berdua
jangan segan-segan makan sama-sama aku”.
Wardik jadi teringat gurunya di SMP, marganya
Tambunan. “Di Rantau Prapat lae tinggal dimana?” Tanyanya ingin tahu lebih
banyak. “Aku tinggal di kampung Cendana, tepatnya jalan Gajah Mada gang Bogor”.
“Apakah lae kenal orang yang juga bermarga Tambunan, dulunya guru SMP swasta di
Rantau Prapat”, dia ingin tahu lagi.
“Bah, itulah abangku yang hilang itu. Dari mana lae kenal dengan abangku itu?
Apa lae pernah tinggal di Rantau Prapat?”. “Dia guruku waktu SMP dulu”.
Bonar menyudahi bincang-bincang ini, katanya,
“makanlah kita dulu nanti baru kita sambung lagi”. Sambil makan Bonar bilang, tiga bulan dia ditahan di Kodim
Rantau Prapat. “Jangan malu-malu tambah nasinya, kalau perlu kita habisi semua
ini” ajaknya, dia memang sudah dua kali menambah nasi. “Sudah lae, aku sudah
kenyang”, Wardik pun cuci tangan. Selesai makan, perjalanan diteruskan.Truk
yang bermuatan tepung terigu itu, melaju dikegelapan malam.
“Sudah dapat tumpangan, dibayari makan, dibeliin
rokok lagi. Nasib kita sungguh baik, ya dik”. “Tapi, tadi abang malu-malu, tapi
sudah itu abang malu-maluin”. Canda Wardi, bergurau. Kedua laki-laki orang
kurungan itu tertawa lebar.
Sebelum Subuh truk berhenti, mereka sudah sampai
di simpang Padang Halaban. Bonar Tambunan ikut turun, dia dekati kedua
penumpangnya itu. “Lae, aku tak bisa mengantar lae berdua. Hanya aku berdoa
semoga lae berdua, sehat-sehat dan cepat bebas”. Dijabatnya tangan mereka
berdua, bergantian. Diambilnya dari saku bajunya uang tukaran seribu rupiah dua
lembar diberikannya pada bekas penumpangnya, dua orang tahanan yang mendapatkan
izin pulang selama 4 hari itu.
Lagi-lagi, dihati Wardik ada suara mengatakan,
sekiranya, emaknya menerima perlakuan seperti yang dialaminya sejak petang tadi
dan didini hari menjelang subuh itu. Tak cukup hanya ucapan terimasih. Wardik,
matanya basah. dia menangis. Sesenggukan. Terisak. Bukan karena sedih. “Ambil,
lae. Cuma ini yang bisa aku berikan”. Benar. Cuma itu yang bisa dia berikan.
Tapi mungkin hampir itulah upahnya, hari ini semalaman tak tidur. Tak lengah
dibelakang kemudi. Bagaimana Wardik tak terisak, tak menangis.
“Selamat jalan Lae Bonar. aku ingat namamu. Aku
ingat murah hatimu sampai kapanpun. Aku
akan ceritakan pada emakku, bahwa aku dan bang Antaran diberi uang oleh
seseorang yang bekerja dibelakang kemudi sebuah truk. Uang, sebanyak hampir
jumlah upahnya semalaman bekerja. Kalau aku, Wardik , berumur panjang dan
menikah dengan seorang perempuan, isteriku. Dan punya anak cucu. Kepada
semuanya, juga, akan kuceritakan perjalanan malam ini. Bahwa aku menangis,
sampai sesenggukan, karena aku dan bang Antaran diberi uang dua ribu rupiah
oleh seorang pengemudi truk. Padahal uang itu
hampir dari semua upahnya semalam suntuk bekerja tak tidur sedetikpun.
Dia lae Bonar Tambunan”.
Dan dia, Wardik, lagi-lagi mengingat emaknya
Keduanya berjalan kaki menuju rumah Antaran di
Pulo Jantan. Sebagian warga desa Pulo Jantan masih lelap. Ketika mereka berdua
mengucapkan salam, isteri Antaran menyahut dari dapur. Dia mengenal suara
suaminya. Meski begitu, sesudah membukakan pintu terkejut juga dia melihat suaminya dan Wardik. Isak tangis, rindu.
Anak-anak Antaran bangun, ayahnya pulang sudah bertahun-tahun tak pulang.
Setelah meminum segelas kopi, Wardik diantar anak
Antaran, berboncengan naik sepeda ke stasiun Kereta Api Padang Halaban. Pukul
tujuh pagi keduanya sampai dirumah Ako Abi. Melihat Wardik hampir saja dia
berteriak, karena terkejut. Ditariknya tangan Wardik keruang belakang,
dipeluknya erat-erat, diciuminya berulang kali. Mertua Ako Abi, bik Satiem pun
datang. Bik Satiem pernah mengasuh Wardik semasih bayi. Dulunya tetangga
bersebelahan rumah dengan keluarga mereka. Orang tua itu menangis. Kabar pada
orang-orang sedesa, bahkan pada orang-orang desa-desa tetangga, menyebutkan,
Wardik sudah mati.
Bik Satiem
juga bilang, bahwa emak Wardik sekarang tinggal di desa Patok Besi.
Anak Antaran pulang. Balik kerumahnya di Pulo
Jantan. Wardik berterimakasih, anak itu
sudah memboncengnya sejauh sebelas kilo meter. Untuk ke Patok Besi Wardik
meminjam sepeda Ako Abi. Dia bilang, sepedanya boleh dipakai selama Wardik di
Padang Halaban. Wardik pun pamit.
Melewati setasiun kereta api dia teringat, disini
dulu tempatnya bermain-main. Besar-besar di kereta api. Kalau pergi kesekolah,
disempatkannya berjualan dikereta api dengan kawan-kawannya. Anak-anak
sebayanya. Dulu ada kereta api sayur dari Padang Halaban ke Rantau Prapat.
Kereta api ini membawa hasil bumi dari Padang Halaban sekitarnya. Berangkat
dari Setasiun Padang Halaban pukul lima pagi, sampai di setasiun Rantau Prapat
sebelum pukul enam. Disetasiun ini pulalah hasil bumi dari Padang Halaban itu
dipasarkan. Dari mulai kelapa, ubi, bengkuang, cabai dan bermacam-macam
sayuran. Hasil bumi ini mampu menghidupi warga Padang Halaban dan sekitarnya.
Kala kabupaten Labuhan Batu kesulitan gula, warga
Padang Halaban menghasilkan gula tebu sendiri. Semua warga menanam tebu,
dilahan pekarangannya dan dibelakang tumah. Tebu yang dibudi dayakan jenis D.1.
Jenis tebu, yang dulunya berasal dari Jati Roto. Bayangan ini melintas membuat
Wardik tak mampu menahan rasa harunya.
Begitu sampai di Kayu Putih, dia terpana. Dua desa
yang dibelah jalan, desa Sidomulyo dan desa Karang Anyar sudah tak ada. Desa
yang dulu hijau dengan berbagai macam tanaman, sudah berganti dengan tanaman
kelapa sawit. Kemana warganya pindah, apa yang terjadi dengan desa itu.
Berbagai pertanyaan dibenaknya. Didayungnya sepeda pinjaman dari Ako Abi, ingin
cepat sampai dan jumpa emaknya.
Disimpang pabrik Padang Halaban, Wardik berpapasan
dengan Margono, temannya dulu sama-sama di Pramuka. Tampak jelas, tak bersahabat.
Maksud sebelumnya mau menanyakan dimana emaknya tinggal sekarang. Tak jadi. Dia
urungkan, ketika ditegurnya Margono tak acuh.
Wardik terus mendayung, sampai didesa Patok Besi.
Patok Besi dulunya hanyalah dusun kecil, lahan keluarganya berladang.
Dia laki-laki muda memanggil perempuan yang telah
melahirkan serta membesarkannya dengan sebutan emak. Emaknya lahir di Majalaya.
Menurut penuturan emaknya; emaknya dilahirkan kembar. Kembarannya diberi nama
Juni. Dan dia diberi nama Jonah. Dialah yang melahirkan Wardik.
Sejak usia dubelas tahun, emaknya dibawa ke
Sumatera. Bibi emaknya menjadi buruh kontrak tranmigrasi dimasa kolonial
Belanda. Sejak itu emaknya tak pernah pulang, ketempat dimana dia dilahirkan.
Nek Ratnah begitu Wardik memanggil bibi emaknya
itu. Pada masa itu, sangat disegani di perkebunan Padang Halaban. Dia seorang
jawara-perempuan yang tak tertandingi. Perusahaan Perkebunan mengangkatnya
menjadi mandor para buruh perempuan. Orang-orang di perkebunan Padang Halaban
pernah menyaksikan dia mengalahkan seorang mandor laki-laki dalam suatu
perkelahian. Dialah yang membesarkan emak Wardik, hingga bertemu dengan lelaki, Langkir. Namanya
Langkir, berasal dari Pono Rogo, Jawa Timur.
Jadi ayah Wardik berasal dari Jawa Timur sedang
emaknya berasal dari Jawa Barat. Pada masa-masa revolusi fisik mempertahankan
kemerdekaan, emaknya mengikuti jejak ayahnya, ikut berjuang dengan laskar
rakyat, bergabung dengan lasykar Pesindo, (Pemuda Sosialis Indonesia). Setelah
penyerahan kedaulatan, tahun 1949, mereka kembali ke masyarakat. Ayah Wardik
menjadi Kepala Desa dan emaknya memilih menjadi petani, mengolah tanah.
Menjadikan tanah sumber kehidupan. Ayah Wardik bukan saja menjadi panutan
didesanya, melainkan panutan sembilan desa disekitar perkebunan. Sembilan desa
yang aman dan damai.
Entah apa yang terjadi di Jakarta, pada penghujung
tahun 1965, pada 1 Oktober 1965, tapi petakanya sampai kedesa mereka. 99 orang
tak bersalah mati dibunuh, hilang, atau dihilangkan. Yang ditangkapi, disekap
dalam tahanan tentara, dimarkas Puterpra dan markas Kodim. Disiksa
sampai-sampai seolah-olah atau memang tak ada lagi nurani anak negeri ini. Dan
yang tak dibunuh dan yang tak ditangkap diharuskan wajib lapor, dan setiap
melapor diharuskan membayar uang lapor.
Di keluarga Wardik, hilang 4 orang tak tahu dimana
rimbanya. Ayah, abang yang tertua, serta kedua abang iparnya. Lagi kedua
kakaknya ditahan, anak-anaknya terpaksa menjadi tanggungan emaknya. Emaknya
menggantikan tempat ayahnya mencari nafkah. Dialah emak sekali gus ayah.
Tekanan dan ancaman diterima emaknya hampir setiap hari.
Pagi itu, hari Minggu, dibulan November 1965,
serombongan orang yang menamakan dirinya komando aksi pengganyangan G 30 S/PKI,
menyatroni rumah mereka. Entah apa yang
dicari. Emak Wardik dibentak-bentak. Emaknya ditampar berkali-kali,
ditendangi. Adik-adik Wardik menjerit-jerit. Jeritan adik-adiknya didengarnya
dari ladang dibelakang rumah. Wardik berlari kerumah, ingin tahu apa yang
terjadi. Begitu dia masuk kerumah, Dia lihat emaknya sedang ditampar dan
ditendangi Kemis. Darahnya mendidih, disambar nya celurit yang terselit
didinding tepas, di babatkannya kearah Kemis. Nasib Kemis masih beruntung dia
melompat kesamping, menghindar. Bagi Wardik saat itu, mati adalah soal kedua,
Orang boleh memukulnya, tapi jangan memukul orang yang telah melahirkannya
Siapapun pasti berfikiran seperti itu.
Kemis lari keluar rumah sambil mengancam, ditarik
kawan-kawannya. Wardik menantangnya satu
lawan satu. Gerombolan komando aksi itu pergi meninggalkan rumah Wardik.
Adik-adiknya masih menangis ketakutan. Diangkatnya emaknya ketempat tidur,
menyuruh adiknya Suwartik mengambil air minum. Emaknya minum, bibir emaknya
mengeluarkan darah, bekas tamparan. Perutnya masih sakit bekas tendangan. Wardi
marah sampai kepuncaknya, dengan celurit ditangan mengayuh sepeda ke rumah
Kemis. Yang dijumpainya, ayah Kemis, lek Sakiat dia kenal betul dengan keluarga
ini. Ayah Kemis benar-benar terkejut didatangi Wardik dengan celurit ditangan.
Wardik bilang, keluarga mereka tak pernah mengganggu keluarga siapa pun. Tapi
mengapa Kemis sampai hati menampar dan menendang emaknya. Dia bilang lagi,
pernahkah emaknya berlaku kasar kekeluarga Kemis. “Lek, tolong sampaikan sama
Kemis, aku sudah siap menyusul ayah dan abang-abangku. Aku tidak akan tidur
dirumah, mengintai Kemis sebelum dia minta maaf pada emak. Dengar, lek, kalau
tidak aku, maka Kemis anak Lelek yang akan mati”. Ayah Kemis berusaha
menenangkan kemarahan Wardik. Dia minta maaf tak dapat mencegah anaknya
ikut-ikutan komando aksi. Dan dia janji, akan menasihati Kemis agar datang
meminta maaf pada emak Wardik. Malamnya Wardik tak tidur dirumah, dia tidur
dirumah neneknya, mengintip kalau-kalau Kemis lewat dirumah nek Ratnah.
Besoknya Wardik kembali keladang, celurit tak pernah ditinggal.
Belum sempat Wardik membalas dendam, keadaan
berubah. Satu kompi pasukan Brawijaya ditempatkan diperkebunan Padang Halaban.
Sejak itu, gerombolan komando aksi tak lagi petantang-petenteng seperti selama
ini. Untuk meredakan pembantaian dan kesewenang-wenangan. Tiga orang anggota
komando aksi yang selama ini tangannya bergelepotan darah dan memperkosa
perempuan yang mereka tuduh Gerwani dan Pemuda Rakyat, mati ditembak Brawijaya.
Ketiganya, Siring-ringo, Manik dan Pasaribu. Sejak itu, sembilan desa disekitar
Padang Halaban kembali tenang.
Walaupun kembali tenang, tapi duka dan luka itu
masih tertoreh dalam, dihati warganya.
WARDIK tak pernah lupa jalan menuju ladangnya,
walaupun sudah banyak perubahan. Makin dekat kerumah diperladangan itu, semakin
tak menentu fikirannya. Dari jauh terlihat emak dan adiknya Susanto sedang
mencangkul disawah. Dibelokkannya sepeda kearah rumah, bekas dangau mereka
dulu. Dipanggilnya emaknya. Emak dan adiknya menoleh. Adik Wardik Susanto memekik sekuat-kuatnya. ”Mak, abang pulang”.
Cangkul yang ada ditangannya, dilemparkan. Terseok-seok emaknya berlari
dilumpur sawah, menangis, meraung, “Anakku, anakku, kau pulang nak”. Tangisnya,
raungannya, terdengar disekitar rumah. Badannya yang berselemak lumpur tak
diperdulikannya, dirangkulnya Wardik, dipeluknya erat-erat. “Anakku, anakku,
kau masih hidup anakku?” Para tetangga berdatangan ingin tahu apa yang terjadi.
Nenek Ratnah dan kakek Wardik, Atmak, yang ikut pindah menyusul emak
Wardik kemari. Terkejut melihat Wardik,
ada dihadapan mereka. Masih sehat. Wardik memapah emaknya masuk kedalam rumah.
Emaknya terus memeluknya, seakan tak akan dilepas lagi. Dia ciumi emaknya.
Wardik juga tak mengira bertemu lagi dengan Emaknya. Matanya mengitari sekitar
rumah, tak ada lagi perabotan yang tersisa. Ada tikar pandan tua disudut
ruangan, dibentangkannya. Pengikat sudut-sudutnya sudah terlepas, tak bersegi
lagi.
Wardik duduk memperhatikan adik-adiknya. Mereka
duduk mengelilinginya. Mereka menyangka dia sudah bebas. Maisih anak mbak San
nya, yang nomor dua baru pulang dari bekerja mengambil upahan menanam padi
disawah orang. Dipeluknya kemanakannya itu, Semua adik-adik dan kemenakannya,
tak ada yang bersekolah lagi. Jangankan untuk biaya sekolah, untuk makan saja
terpaksa semua ikut bekerja. Melihat emaknya, begitu kurus. Penderitaan ini,
terlalu berat menindihnya. Adiknya Harmaini, baru pulang dari tempatnya
bekerja, dia sudah pasti tak menyangka Wardi ada dirumah. Mulanya bengong. Dia
menangis dipelukan Wardik, dia mengira abangnya sudah bebas. Wardik bilang,
belum, masih menjadi orang kurungan. Kebetulan dipekerjakan di perkebunan
Blangkahan. Dapat izin empat hari, disempatkan pulang. Ini sudah hari kedua,
lusa sudah harus ada dimandahan lagi. “Abang rindu, abang rindu kalian semua”. Adiknya
Harmaini masih dalam pelukannya,
menangis, terisak, mengadu. “Kami sering tak makan, bang”, isaknya kian
menjadi. Wardik terenyuh,seharusnya Harmaini belum pantas membanting tulang
seperti itu, tapi keadaan mengatakan lain.
“Lek, lelek belum makan. Sebentar, ya Lek, Maisih
mau pinjam beras ditempat Maisih kerja”. Krmanakannya itu berdiri hendak
beranjak pergi. “Jangan”, Wardik mencegahnya, “Lelek ada uang untuk beli beras.
Hari ini dan besok, kita semua berkumpul dirumah”. Wardik memberikan uang dua ribu
rupiah, pada emaknya, pemberian petugas LLAJR dan Bonar Tambunan pengemudi truk
itu. Emaknya menyuruh Harmaini belanja kekedai yang ada didekat rumah.
Berita kepulangan Wardik, cepat tersiar di desa
Patok Besi. Mereka berdatangan menanyakan kabar dan lain-lain, tapi yang lebih
banyak menanyakan, apakah Wardik sudah bebas atau kapan dibebaskan. Mereka
sangat prihatin dengan keadaan emak dan adik-adik Wardik. Tapi mereka juga
serba kekurangan. Ada yang mau membantu tapi takut. Mereka selalu diancam akan
ditindak bila kedapatan membantu.
Wardik masih punya waktu satu hari lagi, pagi itu
dia tak jadi pergi ke desa Selenget menjumpai paklek Katno nya, seperti yang
dipesankan emaknya. Dia butuh uang, bukan untuknya, tapi untuk emaknya. Dia
ingat kawan-kawan akrabnya, Arpan, Ishak, Arifin, Yusuf, Wahab, Nanok.
Mereka-mereka harapannya bisa membantu, mendapatkan uang. Rumah-rumah mereka,
dia sudah tahu dimana, dia dapatkan dari
adik-adiknya.
Yang paling duluan dijumpainya Arpan. Wardik
kerumah Arpan. Didapatinya Arpan sedang membersihkan sepeda. Arpan kaget,
berdiri, tergagap, sampai-sampai ikhtifar, “Kau itu” Cuma itu. “Wardik, Pan,
aku masih hidup”. Wardik mencagakkan sepeda Ako Abi. Tangan Wardik ditariknya
dibawa masuk kedalam rumah. Ayah Arpan, Boimin, ketua Sarbupri, Serikat Buruh
Perkebunan Republik Indonesia, mati dibunuh. Diambil dari kurungan Kodim,
seperti ayah Wardik.
Sebelum Arpan menanyakan, Wardik sudah men dahului,
dia bilang dia belum bebas. Dapat izin
pulang empat hari. Sekarang sedang kerja paksa di perkebunan Blangkahan, besok
pagi harus balik. Kesempatannya jumpa kawan-kawan cuma satu hari itu. Wardik
butuh bantuan kawan-kawan uang untuk ongkos pulang. Wardik minta tolong agar
dia diantarkan kerumah mereka.
“Di Marbau Selatan”, katanya, “mengawasi
orang-orang yang menanam rambung”. Begitu Arpan menerangkan ketika Wardik
menanyakan apa kerjanya sekarang. Semula dia fikir Wardik bisa cerita banyak,
tapi Wardik bilang, tak ada waktu lagi. “dijalan kita cerita. Dan kau Pan,
harus nginap di Patok Besi dirumahku?” Arpan mengiyakan. Keduanya keluar
mengayuh sepeda, kearah rumah Ako Abi. Memulangkan sepedanya, sekalian pamit.
Karena, Wardik besok pagi harus balik lagi ke perkebunan Blangkahan, dengan
Kereta Api pagi. Diucapkannya terimakasih banyak, disalaminya seisi rumah. Ako
Abi memberinya uang, untuk ongkosnya pulang.
Dia dibonceng Arpan. Satu persatu kawan-kawan lama
keduanya mereka datangi, semua jumpa. Wardik minta bantuan uang. Dengan senang
hati mereka memberinya. Limaribu rupiah cukup banyak. Tapi Arpan nampaknya
belum puas dengan uang sebanyak itu.
Arpan mengajaknya kerumah Admministratur
perkebunan Padang Halaban. Wardik bilang itu ide gila. “Minta uang sama Van
Satan?” , tapi, Arpan terkekeh-kekeh, “tenanglah pasti aku bisa dapat, tak atas
nama kau. Biar aku sendiri yang minta. Manalah ingat tuan besar itu sama mukamu
yang jelek itu”. Dia terkekeh-kekeh lagi. “Tapi sebelum kita kesana, kita
singgah dulu dirumah bang Bero. Kita todong dia, pasti dia kasih uang. Masih
ingat kau, dulu, kalau bang Bero mau kerumah simpanannya, kita yang mengawal”.
Wardik ragu entah ingat, entah tidak lagi dia. Tapi Arpan bilang, mereka sering
jumpa, “bang Bero selalu menanyakan kau dan cerita tentang kau. “Baiklah aku
ikut, kemana kau suka”, Arpan terkekeh lagi. “Itu baru sahabatku”, dan
sahabatnya itu menepuk-nepuk bahunya.
Kebetulan yang didatangi ada, lagi duduk dikursi
diberanda rumahnya. Melihat kedatangan keduanya bersepeda. Langsung saja dia
berteriak, “Sontoloyo, kaunya itu Wardik”. Isterinya juga keluar keberanda.
Bero nama yang mereka panggil abang itu bekerja di Rumah Sakit perkebunan
Padang Halaban, dia juga membuka klinik di rumahnya. Mengajak keduanya masuk, tapi Wardik bilang “kita duduk
diberanda saja”. Dia langsung mengajukan tujuan utama, apalagi kalau tidak
minta bantuan uang. Agak lama dirumah itu, akhirnya kedua sekawan itu pamit.
Menyalami yang punya rumah, suami isteri. Tentu ada salam berisi.
Benar, akhirnya keduanya menuju komplek perumahan
para staf perkebunan Padang Halaban. Langsung ketempat kediaman Van Satan.
Arpan masuk kedalam rumah, Wardik tinggal diluar menunggui sepedanya yang
dicagakkan. Tak lama Arpan sudah keluar dengan tersenyum lebar.
“Cammana, Pan? Dapat?” Dia mendekat, suaranya
dipelankan “Aku. Arpan”. Sudah kita angkat kaki dari sini dayung sepeda. Sudah
lama aku melaknat komplek ini”. Dia sorong sepedanya, naik lalu mendayung.
Wardik melompat, keboncengan. Keluar dari komplek. “Mengapa begitu, Pan?”
Wardik keheranan. “Mana mungkin dia mau memberikan uang buat kita, kalau tak
ada apa-apanya. Ayahku kan musuh besarnya dulu, maksudku ayah kitakan musuh
besarnya. Malah kufikir-fikir dia yang memerintahkan agar ayah kita dihabisi”.
Dua hari yang lalu supir Van Satan datang kerumah
Arpan, disuruh majikannya membeli jago Siam. Arpan menghargai jago Siam nya
lima ribu rupiah. Uang yang dibawa sopir Van Satan itu kurang dua ribu lagi.
Seharusnya sopir itu yang mengantarkan kerumah Arpan kekurangannya.”Tapi karena
kita perlu…” “Jadi, begitu yang sebenarnya”, kali ini kekeh Wardik yang
terdengar.
Sepanjang jalan menuju Patok Besi, Arpan terus
cerita. Tentang orang-orang pengisi komplek yang dilaknatinya itu. “Apa lagi
Letda Aritonang itu, mentang-mentang jadi perwira pengawas perkebunan, dengan
seenaknya mengusir orang-orang kampung. Macam tanah itu milik nenek moyangnya,
coba kalau dia pensiun nanti”.
“Orang-orang tak ada yang berani membantah. Siapa
saja yang membantah akan dianggap pembangkang, mereka dikatakan PKI. Kalau
sudah di cap PKI, dia sudah harus kehilangan segalanya, juga nyawanya. Aku
jarang pulang kerumah. Aku lebih baik berlama-lama di Marbau Selatan, orang tak
tahu siapa aku. Meski disana orang-orangnya juga seperti disini, sama jahatnya.
Tapi aku bilang sama mereka, bahwa aku dari Medan dan baru beberapa bulan tinggal
di Padang Halaban”.
“Aku pernah menginap dirumah kenalanku, di Janji”,
cerita Arpan lagi dan terus mendayung sepeda. Wardik mendengarkan diboncengan.
“Pak Samin yang sering kerumah kita, diakan pimpinan Sarbupri perkebunan Janji.
Dia matinya dibakar hidup-hidup, ditontonkan ke orang banyak. Para buruh
dipaksa mereka melihatnya. Dan yang memilukan, isterinya disulut oleh para
isteri komando aksi, dengan potongan kayu yang masih ada baranya. Para komando
aksi itu Soksi dibantu sama Pemuda Pancasila”.
Kedua sahabat itu, akhirnya memasuki desa Patok
Besi. Emak Wardik gembira melihat kedua bersahabat itu. Malam itu Arpan tidur di Patok Besi,
besok pagi-pagi dia akan mengantarkan Wardik ke stasiun kereta api. Malam itu
mereka, Wardik, Arpan dan adik-adik Wardik berbagi cerita. Berbagi cerita pahit
yang harus ditelan. Terakhir menjelang tidur Wardik berpesan pada Arpan, Dia
menitipkan emaknya dan adik-adiknya. Agar Arpan, bila kebetulan pulang dari
Marbau, tolong lihat-lihat, mereka. Arpan janji. Wardik menyerahkan uang
pemberian kawan-kawannya pada emaknya. Arpan manyalamkan ketangan Wardik uang hasil menjual ayam Siam
nya.
Adik ipar Wardik, suami adiknya, Suwartik,
Ngatijan malam itu ikut ngobrol. Ngatidjan juga kehilangan abangnya, Rachman.
Bang Rachman nya dibunuh bersama ketiga kawannya, dikubur keempat-empatnya
dalam satu liang. Dan abang Ngatidjan
yang satu lagi, Wakidi yang juga anggota
Pemuda Rakyat harus menjalani kerja-paksa di proyek Kodam di Rawang Meranti.
Sesudah malam, pagi. Itu sudah hukumnya. Yang
datang harus pergi lagi, entah sampai kapan. Wardik pamit diciuminya
adik-adiknya, para kemanakannya, emaknya. Wardik pamit. Ke stasiun kereta api
Padang Halaban, dia diantar, boncengan lagi dengan Arpan. Antaran sudah
menunggu. Begitu kereta api yang dari stasiun Rantau Prapat menuju Medan
berhenti di depan peron, Arpan disalaminya, saling rangkul. Wardik dan Antaran
naik ke gerbong penumpang, setelah tadinya memesan tiket, diloket.
Arpan belum beranjak, sampai akhirnya jadwal
kereta api harus patuh pada peluit kepala stasiun. Wardik ingat penggalan sajak
panjang Banda, “Ada cacat yang tak mau hilang itulah kenangan. Ada penyakit
yang tak mau sembuh itulah rindu”.-- Tapi dia harus jalani hidup ini --, yang
terakhir ini bukan termasuk penggalan sajak itu. Kereta api terus meluncur
berdetak-detak. Singgah disetiap stasiun yang harus disinggahi. Kemudian
bergerak lagi.
Dari Stasiun Besar, setelah turun dari gerbong
penumpang Kereta Api. Keduanya naik bemo kearah terminal Sei Wampu. Nasrun, pak
Sareng, pak Tukul, dan pak Senen AP sudah sampai duluan. Lalu bersama-sama naik
bus umum “Pembangunan Semesta”, menuju Binjai. Di sepanjang perjalanan, dari
recorder bus ini mengalun lagu-lagu dari alunan pegunungan Tanah Karo.
“Kujange, kujange, kuja ngena kudarami”. Sang sopir dan kondektur, tak salah
lagi berasal dari Tanah Karo.
Tak terasa mereka harus turun, didepan lapangan
Merdeka Binjai. Harus ganti bus ke Kwala. Dari Kwala ke emplasmen perkebunan
Blangkahan, jalan kaki sepanjang delapan kilometer. Dua jam melintasi jalan
berbatu ditengah-tengah rimbun pohon karet, membuka cerita masing-masing.
Diakhiri, sampai di emplasmen.
Enaknya memang singgah di warung kopi. Melepas
lelah, memesan minuman. Rasa lapar mengusik. Ditanyanya kawan seperjalannya,
Antaran, apa sisa nasinya masih ada. Ternyata semua kawan-kawannya membawa
bekal. Sepakat akhirnya, mereka makan diwarung itu. Yang lain, yang baru datang
juga singgah, ikut bergabung. Warung penuh diisi orang–orang dari barak yang
baru pulang dari kampung halamannya.
Jam didinding Warung menunjukkan sudah pukul 20.00
lewat. Masing-masing membayar pesanannya.
Barak-barak kelihatan masih lengang. Rupanya pak
Jenu sudah menyalakan lampu di teras barak. Dia sudah hampir satu jam menunggu
sendiri. Lampu dikamar Wardik sudah terpasang. Pasti pak Jenu yang
menyalakannya.
Orang-orang yang dikucilkan para petinggi penguasa
negeri pada berdatangan, kembali kekandangnya. Maju Ginting dan Rolip Siregar
masuk ke kamar. Maju mengeluarkan jeruk manis dari tasnya. Buah tangan, yang
betul-betul buah dari gunung. Tanah Karo Simalem. Wardik bangkit dari
pembaringan, balai-balai barak. Dia kedapur menjerangkan air diatas kompor
buatan mereka sendiri. “Ini baju buat, kau”, Rolip melemparkan kearah nya dua
potong baju. “Camana sudah jumpa mak dan adik-adik?” Wardik menjawab, sudah.
“Saman belum datang, dik?”. Belum dijawabnya, Maju
Ginting sudah menjawabnya sendiri. “Kawan yang satu ini, betul-betul payah. Tak
pernah sigap”.
Saman Surbakti orang Berastagi itu janji, pada
Wardik, kalau dia pulang nanti kebarak membawa sayuran segar. Betul janjinya
ditepati. Sudah terang terlambat, dua keranjang sayuran terpaksa dipikulnya
sejauh 18 Kilometer.
Hari-hari, dimulai esok hari, rutinitas
kerja-paksa itu, harus mereka jalani. Berhari-hari berminggu-minggu,
berbulan-bulan. Sesekali kerja diladang para warga didesa sekitar perkebunan.
Sudah tiga minggu sesudah izin pulang itu, hingga kembali lagi, belum ke
Traktoran. Barulah dia merasa sangat
bersalah, ketika Suwono anak muda desa Lembuntu itu menyampaikan pesan Surtini,
agar Wardik datang kerumahnya.
Suwono memang sering datang ke barak bersama
teman-temannya. Terkadang mereka membawa ubi kayu atau tanaman palawija hasil
ladang mereka. Anak-anak desa ini begitu kompak, bergantian mengerjakan ladang
mereka. Kadang yang dari barak pun ikut membantu menginjak padi hasil panen
mereka.
Besok siangnya, sesudah lepas tanggungan kerjanya,
Wardi menemui Surtini kerumahnya. Didapatinya gadis yang sudah dijodohkan itu,
sedang menjahit pakaian, tempahan orang sesama sedesanya. Wardik minta maaf,
belum sempat kemari sepulang dari kampung. Suwarti menanyakan bagaimana
keadaan, emak dan adik-adik Wardik. Wardik cerita apa adanya. Berkali-kali
Wardi minta maaf.
Surtini
bilang bukan karena itu, “bukan karena abang tak datang, kutitip pesan
sama Suwono, tapi aku mau minta tolong abang. Aku dapat bagian dari mengetam
padi diladang si Sawon. Aku tak kuat mengangkatnya sendiri. Kalau abang ada
waktu ayok kita ambil”. “Ayoklah nanti keburu sore”, ajak Wardik.
Dalam hatinya apapun yang diminta gadis ini yang
harus dia kerjakan, dia akan kerjakan. Mengapa tidak. Begitu baik dia, sejak
mula jumpa pertama, diladang. Begitu baik keluarganya. Sekarung padi yang belum
diinjak dijunjungnya dikepala. Bawon, -- semacam upah mengetam padi diladang
orang, seperberapa dari jumlah ketaman yang didapatkan -- lebih dari 50 kilo.
Begitu sampai dirumah, karung berisi bawon diletakkannya diruang tengah. Padi
ketaman itu dikeluarkannya dari karungnya, langsung diinjaknya agar Surtini tak
berpayah-payah lagi.
Seandainya
Wardik bukan orang kurungan. Seandainya. Tidak, jangan berandai-andai. Wardik
kau orang kurungan. Titik.
Sudah 2 tahun. Banyak cerita dia alami. Entah itu duka entah itu suka,
tapi para warga disini begitu baiknya. Begitu murah hatinya. Dua tahun ini,
memang dihati tak pernah lekang baik
didalam mimpi, bahwa mereka yang tinggal dibarak ini, adalah orang-orang
kurungan. Bahwa mereka yang tinggal dibarak-barak ini, orang-orang yang
diinginkan para pemegang tampuk kekuasaan menjadi orang-orang yang harus
dikucilkan. Tapi tidak kenyataanya.
Lagi, kenyataan juga. Bahwa jumpa juga, ada batas
waktunya.
Fajar di Timur, mengubah kegelapan. Para
orang-orang kurungan yang ada dibarak-barak itu sudah siap-siap ke
tempat-tempat, dimana mereka harus terkuras tenaganya. Untuk kesenangan para
penguasa dan para pengusaha.
Setiap paginya memang begitu. Lain pagi itu. Jono
masuk ke kamar Wardik. Dia bilang, tampaknya, ini hari terakhir mereka disini.
Memang ada deru mesin terdengar, sepertinya suara dari mesin kenderaan yang
berhenti didepan barak. Wardik mengira, truk perkebunan yang mengantar
perbekalan bulan itu.
Djono, bekas serdadu itu menerangkan, bahwa plat
nomor Polisi dari truk itu, serinya, seri Tebing Tinggi. “Kita bakal dipindahkan
ke Tanjung Kasau”. Katanya
Benar, waktu mereka keluar, kelihatan ada dua
orang pengawal mengiringi seorang yang berpangkat Peltu CPM turun dari truk.
Dia menanyakan siapa kepala barak. Sofyan Junet keluar menemui Peltu CPM itu.
Mereka bercakap-cakap sebentar. Kemudian pemandah yang menempati barak itu
diperintahkan bersiap-siap, akan diberangkatkan hari itu ke Tanjung Kasau.
Keterangan kepala barak, bahwa yang datang adalah Wakil Komandan TPU Tanjung
Kasau. Peltu Malanthon Napitupulu. Wardik memberanikan diri mengusulkan, agar
mereka diberi waktu mengambil alat-alat kerja yang masih mereka simpan ditempat
mereka kerja. Wakil Komandan itu mengizinkan, dia dan anggotanya juga ingin
istirahat.
Sebenarnya itu semua akal-akalan dari mereka, tak
ada yang ketinggalan. Mereka hanya ingin mengulur waktu, agar bisa pamit pada
warga desa Lembuntu dan Traktoran. Yang utama buat Wardik pamit pada Surtini
dan keluarganya.
Kabar tentang akan dipindahkannya para penghuni barak hari itu ke Tanjung Kasau
pun sudah tersiar kesemua warga didua desa itu. Suwono dan kawan-kawannya
datang kebarak. Juga banyak warga yang lain ikut datang ke barak, sebagian
menunggu dipinggir jalan perkebunan.
Semua penghuni barak sudah berkumpul, dibariskan
berbanjar, kepala barak melapor ke kedua pengawal, jumlah anggotanya. Agak lama
memang. Dipanggil namanya satu persatu, yang dipanggil naik keatas truk
mengusung naik barang bawaannya. Perpisahan memang membawa haru, apalagi dua
tahun, banyak diantara para penghuni barak sudah dianggap keluarga para warga
didua desa itu. Ada tangis memang. Dia juga.
Wardikpun pamit ke warga desa yang datang ke
barak. Minta maaf. Ada yang dia tunggu. Ya, ada. Menatap kearah desa Traktoran, apakah dia
cuma akan.
Ada. Dia datang. Surtini berlari datang. Datang
juga akhirnya. Jumpa juga akhirnya. Kancil, Basiran dan Jono melompat turun,
Diapun ikut melompat turun. Surtini menangis. Disalaminya mereka berempat. Dia
ditinggalkan berdua dengan Surtini, Kancil Basiran dan Jono, kembali ke atas
truk. Mereka mengerti, mengerti betul. “Abang tadi kerumah, aku sedang kerumah
mak Lijah mengantarkan tempahan bajunya. Mak bilang abang akan dipindahkan hari
ini. Selamat jalan bang, jangan lupakan aku”.
Cuma itu. Dia menangis. Wardik tak mau larut dan menambah beban yang tak
pernah dia timbun. “Sudah, Sur. Jangan menangis, mari kita jalani masing-masing
hidup ini. Jaga kesehatanmu, karena kita masih punya kesempatan jumpa lagi”.
Dicubitnya pipi Surtini dibisikkannya. “Aku sayang sama kau, Sur. Kau tahu
itu”. “Ya bang aku tahu. Aku juga sayang sama abang”. Diangkatnya dagu Surtini
dengan tangannya, dilepaskan lagi, ”Selamat tinggal, Sur. Jangan menangis
lagi”. Wardik balik kanan, ada yang tak bisa dihentikannya. Dia tak mau
terlihat Surtini.
Sebulan lagi Surtini akan melangsungkan
pernikahannya dengan Suwandi. Surtini berharap mereka-mereka yang dari barak
itu, bisa datang pada hari pernikahannya, pernikahan yang tidak dia inginkan.
Andai Wakil Komandan TPU Tanjung Kasau itu, tidak
ketiduran, sudah dipastikan, bahwa Surtini akan mendapatkan barak sudah kosong penghuninya.
Naik ke truk Wardik tersenyum. “Selamat tinggal,
terimakasih pada semua. Adios, sayonara lagi. Truk bergerak, selamat tinggal
Blangkahan.
TANJUNG Kasau, itulah nama area perkebunan ini.
Letaknya di kabupaten Asahan berbatasan dengan kabupaten Simalungun dan
kabupaten Deli Serdang. Dari Tebing Tinggi arah ke Kisaran berjarak sekitar
sembilan kilo meter.
Kolonial Belanda yang menjadikan area ini menjadi
perkebunan karet. Diperkebunan ini, perusahaan perkebunan mendirikan Rumah
Sakit khusus untuk para buruh-buruhnya, juga para pensiunannya. Rumah Sakit ini
setelah semua perusahaan, termasuk perusahaan perkebunan Belanda diambil alih,
berubah menjadi Sekolah Polisi Negara. Sekolah Polisi Negara dipindahkan ke
Sampali di Medan akhirnya komplek ini dikosongkan. Pernah memang komplek ini
dijadikan komplek tahanan. Tahanan para penyeludup, yang marak terjadi
ditahun-tahun 1960-an.
Cerita itu didapatnya dari kawan-kawan penghuni
sebelumnya yang berasal dari anggota kesatuan kepolisian. Jumlah mereka, yang
dari kesatuan Angkatan Kepolisian sedikit, dibandingkan dengan tahanan yang
berasal dari serdadu, terutama para jurit Angkatan Darat. Sama dengan jurit
dari Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
Tempat Penampungan Umum, TPU Tanjung Kasau, begitu
komplek bekas Rumah Sakit Perkebunan ini mereka sebut. Entah apa bedanya dengan
TPU C jalan Binjai, jangan tanyakan dia itu. Jelas dia tak mengerti. Tanpa
pemeriksaan, tentunya tanpa penjelasan, apakah
golongan yang disandangnya ikut berubah dari golongan C menjadi golongan
yang lebih tinggi lagi atau menurun kegolongan yang lebih rendah. Entah itu
menjadi takaran bertambah berat atau sebaliknya. “Sesuka hati para
penguasalah”, itulah jawaban kawan-kawannya sekurungan bila dia tanyakan itu.
Kalau di TPU C, jalan Binjai KM 7, para
penghuninya dibagi menjadi penghuni barak-barak yang diatur oleh kepala barak,
disini dibagi menjadi kompi-kompi yang diatur oleh komandan kompi. Kedua jabatan yang tugasnya mengatur itu, baik
kepala barak maupun komandan kompi sama-sama disandang para tahanan juga.
Tidak seperti di TPU C jalan Binjai. Disini hampir
semua penghuninya di mandahkan yang lebih pasnya di kerja-paksakan, kebeberapa
perkebunan. Dijual tenaganya, untuk memakmurkan kocek para penguasa. Yang
tertinggal, hanya mereka yang sakit-sakit atau yang sudah terlalu tua untuk
diperkerjakan. Ada juga yang lain mereka-mereka yang membayar, semacam suap
yang diberikan kepada komandan TPU.
Menunggu ikut dikerja-paksakan, kawan sebarak nya,
Jimanto, mengajak membantunya mengukir. Dari pada menganggur dan sering lompat
pagar mencari tambahan makan.
Lompat pagar besar resikonya akan mendapat hukuman
yang tak setimpal dengan hasil yang diperoleh. Dan dia sudah lakukan itu,
selama ini. Entah sudah berapa goni ubi kayu yang diangkatnya baik dengan izin
maupun yang tidak dengan izin yang empunya kebun. Yang tidak dengan izin pasti
bukan ubi kayu milik warga desa. Tapi milik para penguasa TPU. Mereka memiliki
ladang masing-masing disekitar kawasan TPU.
Ubi kayu itu bukan untuk Wardik sendiri, tapi
untuk dibagi-bagi pada para penghuni yang tak mujur. Yang tak pernah mendapat
kiriman dari keluarganya. Ada beberapa kawan Wardik yang bijak, menyamarkan
sindirannya agar dia menghentikan cara-cara seperti itu. Bukan salah, tak ada
salahnya memang, kata mereka. Cuma bukan masanya lagi. Masa seperti itu sudah
lewat. Di lebih tengah abad, abad kedua puluh ini, bukan masanya berperilaku
seperti Robin Hood lagi.
Ajakan Jimanto diturutinya, tak lagi lompat pagar
dimalam hari. Begitu juga ajakannya
untuk mengisi waktu yang lowong untuk belajar apa saja. Wardik ingin belajar
bahasa Inggeris. Belajar bersama dimalam hari, dibawah temaramnya lampu teplok.
Akhirnya waktunyapun datang juga, dikerja-paksakan.
Dua ratus orang dibariskan berbanjar. Diantaranya ada yang baru kemarin
dikembalikan dari mandahan diberbagai perkebunan. Tengah hari 6 truk datang
menjemput. Ke-200 para tahanan yang akan dimandahkan itu, dibariskan didepan
portir. Satu persatu namanya dipanggil dan naik keatas truk. Ke-6 truk yang
berisi 200 para tahanan itu bergerak, membelok kekiri kearah Tebing Tinggi.
Mereka menuju area kerja paksa di perkebunan Deli Muda.
Sudah banyak cerita yang didapatnya tentang
berbagai tempat kerja paksa yang dinamakan mandahan itu. Salah satunya adalah,
perkebunan Deli Muda. Cerita bagaimana mereka diperlakukan. Cerita bagaimana
para tahanan dipekerjakan agar membuat mereka para penguasa itu makmur
hidupnya, cerita tentang para tahanan
yang diperlakukan seperti layaknya bukan manusia. Akankah cerita-cerita itu
harus dialaminya.
Perkebunan Suka Luwei, dikecamatan Bangun Purba,
kabupaten Deli Serdang. Udaranya dingin, menandakan letak perkebunan ini sudah
berada di kawasan lereng Bukit Barisan. Perkebunan karet yang sudah masanya di
replanting ini masih saja terus disadap getahnya. Tapi dibagian lain,
pohon-pohon karetnya sudah ditebang duabelas tahun yang lalu. Jadi tempat yang
diberi nama Balua itu sudah menjadi hutan liar.
Pukul empat sore, ke-6 truk yang mengangkut dua
ratus para tahanan pekerja paksa ini parkir diperkebunan Suka Luwei. Dua barak
panjang sudah menanti isinya. Ada pembagian kupon untuk mendapatkan jatah beras
dari kantin yang disediakan perkebunan. Dapur tempat memasak juga disediakan diantara
barak I dan barak II. Mereka menunjuk Amran Tambat Sitepu sebagai mandor
sekaligus mengatur pengambilan bon dikantin. Bon ini akan disesuaikan dengan
hasil kerja tiap orang perorang para tahanan.
Malamnya, diapelkan. Seorang pengawal yang
bertugas sebagai pengawas para tahanan, mengatur kelompok kerja. Semua para
tahanan ditanyakan keahklian masing-masing. Seperti Maju Ginting mendapat kerja
dibengkel perkebunan, karena dia ahkli tentang mesin diesel dan pandai
membubut. Ada beberapa orang yang dikerjakan dipembibitan, dulunya mereka
memang akhli mengokulasi tanaman. Ada juga yang dipekerjakan digudang asap.
Sisanya besok akan dikirim ke Balua. Wardik termasuk sisanya, ikut ke Balua
besok.
Apa yang akan dikerjakan, di Balua tak ada yang
tahu pasti. Malamnya dilalui dengan hati was-was. Pukul empat subuh sudah
dibangunkan pengawal. Seisi barak serentak bangun memasak, sekaligus membuat
sarapan. Dua truk sudah siap menjemput. Berdiri padat, berdesakan, tak ada sisi
yang kosong. Balua. Jaraknya dari barak sekitar 8 kilo meter.
Di lokasi diberikan masing-masing cangkul dan
parang babat. Pekerjaannya, membabat semak dan mencangkul. Seorang harus
menyelesaikan empat gawang. Satu gawang berukuran empat kali enam meter.
Berarti satu orang harus menyelesaikan sembilan puluh enam meter. Dan setelah
itu selesai, barulah mendapat upah duapuluh lima rupiah pergawang. Kalau hanya
mendapat babatan dan cangkulan yang wajib, para tahanan hanya diberi pinjaman
beras 2 ons perorang. Dengan demikian para tahanan harus bekerja keras untuk
mendapatkan hasil lebih babatan dan cangkulan dari yang wajib.
6 hari sudah dilalui, rasa lapar berbaur dengan
letih. Tak ada tumbuh-tumbuhan yang bisa dimakan di hutan itu.
Untungnya ada lipan, juga kala jengking yang
besarnya setelapak tangan menjadi santapan lezat. Rasanya persis udang bakar,
bila dipanggang diperapian. Beras bisa mereka dapatkan dengan paksaan bekerja
ektra keras. Tapi untuk lauk benar-benar tak kuat. Suatu kali akhirnya Wardik
punya akal. Akal yang sedikit mengelabui. Tapi tak seimbang dari pemerasan yang
mereka lakukan. Maksud dia, terlalu kecil. Sebenarnya tak berarti. Setiap pagi,
patok yang dipacakkan pihak perkebunan digesernya kebelakang sejauh empat
gawang. Jadi kalau nantinya jumlah babatan dan cangkulan didapat delapan
gawang, berarti sudah mendapatkan dua belas gawang. Yang enam gawang pekerjaan
wajib, dari yang enam gawang lagi mendapatkan upah seratus lima puluh rupiah
perhari. Maka bisalah minum kopi yang ada gulanya. Dia teringat dan sambil
senyum sendiri, ungkapan Suratijo; yang penting selamatkan “kampung tengah”.
Tikus ladang dan ular jadi santapan penambah
penyelamat “kampung tengah”. Biasanya, keroyokan bisa didapat empat sampai
delapan ekor tikus ladang. Kalau sudah dikelebet kulitnya, lalu kepala dan
kakinya dibuang, bentuk dan besarnya persis burung merpati.
Tak semua para pekerja paksa kawan-kawannya mau
ikut mengelabui seperti yang dia lakukan. Mereka takut kalau ketahuan pasti
sangat berat hukumannya. Pernah seorang kawannya, karena tak kuat mengerjakan
jatah wajibnya, semua para pekerja paksa diperintah pulang ke Suka Luwei
berlari dengan cangkul dan parang babat dipundak. Padahal jarak yang harus
ditempuh 8 kilo meter.
Pak Saring usianya sudah lima puluh enam tahun
terpaksa ditandu karena pingsan di tengah jalan. Ada seorang kawan agak jahil
berteriak seirama dengan lari yang dipaksakan itu. Teriakannya membuat yang
lain tertarik ikut berteriak: “lari-lari, anjing”…… “lari-lari, anjing” …… Anjingnya lebih keras, jiiing nya agak
panjang diteriakkan.
Hampir setiap hari ada saja diantara mereka yang
mendapat hukuman, Walau kesalahan itu sekecil apapun. Sekali ada yang kedapatan
sedang merebus air diwaktu jam-jam kerja, dia dihukum push up 100 kali.
2 bulan sudah, kerja paksa yang seharusnya
dikerjakan traktor itu dilalui, tapi ratusan hektar lagi belum tersentuh. Sudah
empat kali penggantian pengawal. Ada yang baik ada yang kurang baik, ada yang
kejam. Itu menurut penilaian para tahanan, tentu lain penilaian, pihak yang
berseberangan.
Untuk bisa bertahan hidup, apa saja yang bisa
dimakan harus dimakan. Ubi racun, ular sawah, tikus ladang, bahkan monyet. Ubi
racun sebelum direbus atau dibakar. Dikuliti dulu dan berdirikan lurus menjemurnya.
Monyet yang berwarna abu-abu itu mereka namakan
jekong. Pengawal pengganti yang baru bermarga Sembiring mengajak Amran Tambat
Sitepu berburu monyet. Ya, yang namanya jekong itu. Limabelas ekor dibagi-bagi.
Sembiring bilang, kali ini gratis. Tapi,
besok atau lusa, mereka harus mengganti pelurunya. Seekor jekong harus dibayar
100 rupiah.
Cerita jekong berakhir cuma setengah bulan,
pengawal Sembiring digantikan pengawal Rusli yang berpangkat kopral. Jangankan
jekong didapat, melihat ada yang membakar lipanpun dia marah bukan main. Dan
anehnya lagi, langsung menampar.
Seperti biasa, walau badan begitu letih, apel
malam tetap jadi kewajiban. Malam itu sebelum ada perintah bubar jalan, Wardik
dan 5 orang lagi yang sebaya dengan dia yang usianya lebih muda diantara yang
lain, diperintahkan kedepan barisan. Mereka berenam selesai apel, mendapat
perintah agar menghadap sang kopral.
Pondokan para pengawal tak jauh dari barak. Mereka
berenam, dengan hati yang bertanya-tanya menemui sang kopral. Cemas, apa kesalahan
mereka tadi siang. Laporan, menghadap khas serdadu. Terperangah diberi
sebungkus rokok seorang, satu persatu diamati. Ditanyai asal masing-masing, dan
siapa diantara mereka pernah bekerja menebang balok. Mereka berenam saling
pandang. Wardik bilang, dia pernah ikut menebang balok dikampungnya. Poniman
bilang, menebang balok belum pernah, tapi dia pernah menebang rambung.
Menurut kopral Rusli itu sama saja. Bedanya,
balok-balok itu dipotong dengan ukuran panjang, kalau kayu rambung hanya kurang
dari satu meter. Wardik menanyakan kayu apa yang akan ditebang.
“Ini baru pertanyaan orang yang berpengalaman.
Yang akan ditebang jenis maranti. Menurut ADM jumlah kayu itu sekitar dua ratus
pohon. Rata-rata berdiameter 12 inci. Bagaimana menurut kamu, apa kira-kira
kalian sanggup menebang balok-balok itu”. Wardik menjawab, sebenarnya kalau ada
pilihan lain mereka lebih baik yang lain. Tapi kopral itu bilang, malah
pekerjaan ini yang membuatnya memilih mereka berenam. “Kalian jangan takut
tentang makan kalian. Kalau, kantin tak mau memberi beras sama kalian,
laporkan, biar kutembak kepala pemilik kantin itu”. Sombong. Kelihatan lagi
bengis serigalanya. Anjingkan galak. Serigala dan anjing kan serumpun.
Ada tawar menawar memang, sesudah ditanyakan
alat-alat apa yang dibutuhkan. Seperti gergaji selendang, dua, kampak potong,
tiga, serta kikir gergaji dan kunci pembuka mata gergaji. Jatah yang harus
diselesaikan, masing-masing harus mendapat dua potong balok barulah selebihnya
dihitung menjadi jatah mereka berenam. Setiap incinya, mendapatkan dua puluh
rupiah. “Kalau balok yang jatah kalian dapatkan besarnya dua belas inci, maka
tiap potong balok kalian mendapat imbalan 140 rupiah”. Itu hitung-hitungan dia,
dipelaksanaanya nanti. Lain lagi. Wardik
mengusulkan jatah untuk mereka dinaikkan upahnya, ditambah 5 rupiah perincinya.
Dia sepakat. Mereka kerjakan dulu, nanti dia akan bicarakan hal itu pada ADM.
Mereka berenam diantarkan ke kantin mengambil
perbekalan yang diperlukan. Apa saja kata kopral itu. Berjalan menuju kantin
Saidi mendekati Wardik, bilang agar mengambil perbekalan yang banyak. Bila
nanti tak memenuhi jatah wajib, paling-paling akan dipulangkan ke Tanjung
Kasau. Wardik mengangguk setuju. “Kontrak” malam itupun diamini. Masing-masing
mendapat hutangan belanja 10 kilo gram beras, ikan asin, cabe, bawang, garam,
gula, kopi dan sabun cuci.
Pohon-pohon meranti itu tumbuh dilembah.
Penebangannya tak ada masalah. Menaikkan balok-balok itu, ini yang menjadi
masalah. Balok-balok itu harus dinaikkan sampai kepinggir jalan. Agar
balok-balok itu mudah diangkat keatas truk. Kemerengan dari lembah keatas tak
lebih dari empat puluh lima derajat.
Dikampungnya, Wardik biasa mencari rotan atau
balok dihutan. Tetapi hutan dikampungnya, hutan rawa. Menarik balok dihutan
rawa, jauh lebih mudah dibandingkan dihutan darat. Hari kedua menebang kayu di
sepanjang lembah tak menemui kesulitan. Ternyata dibohongi, besaran diameter
balok. Menurut kopral Rusli diameternya duabelas inci, ternyata rata-rata
duapuluh lima inci.
Sudah diperhitungkannya, mereka bisa menumbangkan
pohon meranti itu dua puluh batang sekali gus. Pohon-pohon meranti yang
berdekatan dipotong dua pertiga dari besaran batang. Kemudian ditebang pohon
yang dipilih, pohon meranti yang agak besar. Begitu pohon yang besar itu
tumbang, maka pohon-pohon yang lain sebagian akan ikut tumbang tertimpa pohon
yang besar.
Hari kedua mereka hanya melakukan pemotongan
dengan gergaji selendang, menjadikan balok-balok meranti itu gelondongan empat
meter delapan puluh senti. Ukuran tiap keping papan. Sampai hari keenam jumlah
yang mereka hasilkan mencapai 50 potong. Hari ketujuh membuat mereka berenam
berfikir keras. Tak ada yang punya gagasan bagaimana caranya menaikkan
potongan-potongan gelondongan tadi keatas.
Sesekali ADM perkebunan dan pengawal datang
memeriksa kerja mereka. ADM dan pengawal itu, dipastikan tak akan pernah
memikirkan seperti apa sulitnya pekerjaan ini. Yang ada dibenak mereka berdua,
bagaimana balok-balok itu segera bisa dijual. Mereka tak perlu mengeluarkan modal
untuk penebangan pohon meranti yang sangat menjanjikan itu. Seandainya diantara
para tahanan itu ada yang mati tertimpa balok, tak ada masalah bagi keduanya.
Mereka berenam tahanan, bukanlah manusia bagi keduanya. Lebih berharga sapi
perahan, karena sapi perahan punya harga.
Sampai hari kesembilan, baru sepuluh potong balok
yang bisa ditarik sampai kepinggir jalan. Kopral Rusli mulai kelihatan
belangnya, dia berang. Mereka berenam bekerja dianggap lamban. Walaupun kopral
itu menyaksikan langsung bagaimana mereka berenam bersusah payah menaikkan
balok-balok itu, mana dia perduli. Sudah 3 kali truk pengangkut balok-balok itu
mengangkut balok-balok dari lokasi penebangan, itupun kopral itu belum puas.
Pernah sekali balok yang Wardik dan kawan-kawannya naikkan, berguling kembali
kebawah, talinya putus. Kalaulah mereka tak cepat melompat menghindar, pastilah
tergilas balok yang berukuran dua puluh lima inci itu.
Juah Sembiring kebetulan lewat, dia melihat
kejadian. Dia sarankan agar Wardik merubah cara menaikkan balok-balok itu.
Kiatnya harus dirubah dari yang sudah-sudah, karena akan sangat berbahaya dan
menyusahkan. Balok-balok yang akan ditarik sebaiknya diberi ganjal kayu sebesar
lengan, posisinya jangan melintang, tapi membujur. Kayu-kayu sebesar lengan itu
sebagai pengganti roda.
Sejak itu Wardik berenam bisa menaikkan 10 sampai
12 batang balok setiap hari. Cukup 2 bulan habislah pohon-pohon meranti
dilembah itu menjadi balok-balok gelondongan. Tak seperti biasanya penggantian
pengawal seharusnya dua minggu sekali, kecuali kopral Rusli. Selesai kerja para
tahanan yang berenam itu melakukan penebangan, barulah dia diganti. 2 bulan.
Tiga setengah bulan jadi budak pekerja paksa di
Suka Luwei. Wardik rasanya sudah mulai tak sanggup. Didekatinya pengawal pengganti.
Memintanya agar dia dikembalikan ke Tanjung Kasau. Pengawal pengganti itu
bilang dia harus punya alasan memulangkan setiap tahanan. Cari alasannya. Wardik tak punya jawaban untuk itu, malah
balik bertanya. Saran pengawal itu, besok Wardik harus melawan asisten
perkebunan yang ikut mengawasi kerja mereka. “Kalau perlu kau hajar Mesin
Tarigan. Pasti dia mengadu. Sudah pasti juga kau akan kuhukum. Barulah kau bisa
dipulangkan ke Tanjung Kasau, karena melawan asisten”. Begitu kata pengawal
itu, yang menggantikan pengawal kopral Rusli.
Besoknya sekitar pukul 12, Mesin Tarigan, asisten
itu datang memeriksa pekerjaan para tahanan. Wardik sedang menanam bibit-bibit
rambung yang sudah diokulasi. Begitu sampai ditempatnya, asisten itu
marah-marah. Membentak-bentak, bilang pekerjaannya tak beres. Wardik disuruh
membongkar lagi tanaman yang sudah ditanaminya. Tentu saja Wardik tak mau. Dia
dikatakan asisten itu, melawan. Asisten itu mengancam akan melaporkan hal ini
ke Tanjung Kasau, bisa-bisa Wardik akan dinaikkan golongan dan karenanya pasti
akan dipindahkan ke Suka Mulia.
Pertengkaran bertambah sengit. Kawan-kawan Wardik
jadi keheranan. Tak biasanya si Wardik itu melawan, biasanya dia sangat
penurut. Sebenarnya sudah lama Wardik ingin menampar asisten yang congkak ini.
Ini kesempatan, dapat saran dari pengawal lagi. “Anjing geladak. Kau fikir aku
takut dipindahkan ke Suka Mulia. Disana juga kawan-kawanku. Bagiku dimana saja
sama. Mau dibuang, memang aku orang buangan. Mau dikurung, memang aku orang
kurungan. Jadi terserah kau. Sekarang silahkan kau melapor sama pengawal. Aku
tak takut dengan hukuman apa saja. Nanti kalau aku bisa bebas, kucari kau”.
Wardik mendorong pundak asisten itu, agar asisten itu memukulnya. Ternyata
benar, asisten itu melayangkan tinjunya kearah muka Wardik. Wardik memang sudah
siap. Dia mengelak, membalas bertubi-tubi. Tak menyangka, asisten itu jelas tak
siap. Kawan-kawan Wardik datang memisah. Asisten itu akhirnya pergi dengan muka
lebam, melapor ke pengawal yang sengaja menjauhi tempat itu. Dia mengadukan,
bahwa para tahanan mengeroyoknya. Malu bila muka lebam, hanya melawan seorang
tahanan.
20 orang dipanggil, mendapat hukuman. Ditampari
dan merayap sejauh seratus meter, disuruh kembali kebarak berjalan kaki.
Asisten itu puas menyaksikan para tahanan mendapat hukuman. Padahal bagi
mereka para tahanan itu, hukuman seperti
itu tak ada apa-apanya. Hukuman seperti itu sudah biasa, tak seorangpun yang
kaki ataupun tangannya cedera.
Diperjalanan pulang ke barak semua menanyakan,
mengapa Wardik melawan, malah memukul Mesin Tarigan asisten perkebunan itu.
Wardik sambil senyum bilang, besok mereka yang dikatakan mengeroyok asisten itu
akan dipulangkan ke markas besar Tanjung Kasau.
Paino mendapat penjelasan seperti itu, sebab
senangnya memeluk Wardik. “Betul-betul kancil, banyak saja akalmu. Akupun sudah
lama ingin lari dari tempat ini, terima kasih Lek. Besok “hari baru” buat
kita”.
KEMBALI ke Tanjung Kasau, besok atau lusa
layang-layang itu akan dilepaskan terbang lagi, diulur, tapi juga bisa ditarik
kegulungan benangnya lagi. Baru dua hari, tigapuluh orang diantaranya dia,
terdaftar dimandahkan lagi. Hanya sebagai tenaga sisipan, begitu keterangan
yang didapatnya dari wakil komandan TPU. Ke perkebunan Naga Timbul.
Perkebunan Naga Timbul masih di kabupaten Deli
Serdang. Kota terdekatnya Tanjung Morawa. Jarak perkebunan ini lebih kurang 15
kilo meter dari Tanjung Morawa.
Di perkebunan ini tahanan pemandah itu akan
mendapat upah seratus rupiah perhari, membersihkan parit-parit perkebunan. Paritnya sudah 8 tahun tak pernah
dibersihkan. Tak ada barak, seperti biasa tempat hunian mereka. Para tahanan pemandah
itu ditempatkan di tiga pondok kosong.
Malamnya diapelkan pengawal yang ditugaskan
mengawasi. Seperti biasa ada arahan. Pengawal itu bilang, baginya, yang penting
mereka jangan melarikan diri dan borongan yang dipatokkan harus diselesaikan.
“Saya bisa mengatur, kalau kalian ingin mengunjungi keluarga”. Dia bilang juga
kalau dia akan jarang disana. “Jadi saya
berharap kalian jaga nama baik saya”. Begitu arahannya, dan arahan ini adalah
maklumat. Dan bukan saja agar mereka tahanan-tahanan itu memahaminya, tapi juga
harus dipatuhi. Pelanggaran ada ganjarannya.
Anemer Menghong, dia yang membeli tenaga mereka
dari penguasa. Tenaga yang sangat murah, melebihi murahnya tenaga budak. Tenaga
yang dipaksa menerima apa saja. Seratus rupiah perhari, hanya cukup setengah
kilo gram beras. Dia, Amran Tambat Sitepu dan Paino menjadi satu grup makan.
Paino yang mengatur belanja mereka bertiga. Dengan uang tiga ratus rupiah,
mereka bertiga harus bisa bertahan hidup. Sudah terbiasa di Suka Luwei, tak
begitu terasa kesulitan yang akan mereka hadapi ditempat baru itu. Pakis,
kangkung, genjer dan banyak lagi yang tumbuh dibawah kelapa sawit yang dapat
dimakan. Apa lagi parit yang akan dibersihkan sudah 8 tahun tak pernah dijamah
orang. Segala macam ikan parit, dari ikan gabus, lele, paitan, belut sampai
labi-labi, bisa menjadi santapan lezat didapatkan.
Sebenarnya, waktu dikampung dulu, sekalipun dia
tak pernah memakan makanan yang tidak-tidak. Tapi setelah hidup menjadi orang
kurungan yang dikerja paksakan, untuk bertahan hidup segala yang bisa dimakan;
dimakan. Disini, diperkebunan Naga Timbul, dia merasakan daging labi-labi.
Enak.
Setiap hari menempuh perjalanan tidak kurang dari
lima kilo meter. Tak ada sarana pengangkutan disediakan. Pukul setengah enam
pagi sudah harus berangkat dan pukul setengah enam sore baru selesai. Tak ada
alasan hujan atau sakit. Harus kerja, seperti ketentuan yang dibuat anemer.
Ada satu desa didekat perkebunan itu. Desa itu
namanya Naga Rejo. Desa Naga Rejo dulunya sangat luas. Tetapi, pada tahun 1969
desa ini separuhnya dirampas perkebunan, ditanami kelapa sawit. Menurut
warganya, mereka tak pernah mendapatkan ganti rugi. Nasib desa Naga Rejo sama
dengan kampungnya di Padang Halaban. Wardik sering menukarkan ikan yang
ditangkapnya, dengan ubi atau kelapa. Hampir setiap sore bila melewati desa
itu, ada saja yang memberi pisang, ubi kayu atau sayuran. Pernah sekali mereka
bekerja didekat rumah penduduk yang berdekatan dengan lahan perkebunan.
Tiba-tiba hujan turun sangat lebat. Semua berlari, menumpang berteduh kerumah
itu. Pukul dua belas siang hujan belum juga reda. Pemilik rumah mengajak mereka
masuk, mempersilahkan mereka makan. Jumlah mereka sepuluh orang. Semula
pemandah orang kurungan itu menolak, dengan mengucapkan terimakasih. Juga bilang
bahwa mereka membawa bekal. Namun mereka tetap diajak ikut makan bersama.
Selesai makan, si empunya rumah cerita kalau dirinya juga sama senasib.
Di apel malam, ada perintah; besok lebih pagi
mereka akan dijemput, berangkat kedaerah Galang. Pagi masih berkabut. Truk yang
akan membawa mereka sudah siap. Truk bergerak melewati perkebunan Batu Lokong
menuju Petumbukan. Melewati Rumah Sakit Petumbukan truk membelok kearah Galang.
Tak berapa lama truk melewati jembatan yang agak lumayan panjangnya. Beberapa
orang diantara mereka berteriak agar pak supir memperlambat truknya. Usulan mereka di turuti pak supir. Begitu
truk berada ditengah-tengah jembatan, Legimin merapat mendekatinya. “Disini
ratusan orang kawan-kawan terkubur didasarnya. Inilah Sungai Ular, abangku
dihabisi di sungai ini. Diseberang sana, desa Pulau Gambar, kawan-kawan dari
Pulau Gambar semua dihabisi di sungai ini”.
Laksaan bahkan ratusan ribu anak bangsa yang tak
berdosa dibunuh demi sebuah kekuasaan. Semua cerita duka sudah pernah didengarnya
disetiap tempat. Para orang-orang yang di PKI kan disekap. Waktu dipenjara
Siantar, Junaidi, kawan sekurungan dengannya bercerita. Diperkebunan Bandar
Betsy ada tugu yang diberi nama Tugu Sujono. Bukan karena cantik dan megahnya
yang selalu diingatnya, tetapi disekitar tugu itu ratusan manusia yang di PKI
kan, yang tak berdosa dipenggal dan ditanam disekelilingnya. Juga dia mendengar
cerita di perkebunan Hamboko hampir sama. Disini ada kuburan massal
ditengah-tengah perkebunan karet. Entah dari mana saja orang-orang dibawa
ketempat ini, lalu dihabisi disungai kecil yang dalamnya sampai sebelas meter
baru dijumpai airnya.
Truk terus bergerak menuju tempat kerja yang dia
belum pernah tahu. Di pukul 7 pagi itu, truk berhenti. Anemer Menghong terlihat
sudah menanti berkecak pinggang. Mereka diberi petunjuk, apa-apa yang harus
dikerjakan. Membuka jalan tembus keperkebunan Rambung Sialang. Tak kurang tujuh
hari jalan tembus itu sudah selesai.
Mereka kerap dipekerjakan diperkebunan-perkebunan
lain yang ada di sekitar kabupaten Deli Serdang. Mengerjakan borongan yang
menjadi borongan anemer Menghong. Meski dipekerjakan diperkebunan lain sorenya,
mereka tetap dipulangkan ke perkebunan Naga Timbul.
Bila diperkebunan Blangkahan ada sungai Tembuh, di
Naga Timbul ada sungai Tawang. Gemercik sungai Tawang mengulang ingatannya,
pada perkebunan Blangkahan. Disana ada seorang gadis yang ingin lepas dari
tradisi kawin dijodohkan. Surtini. Apakah dia bahagia bersama Suwandi. Entah
kapan bisa jumpa.
Besoknya bekerja lagi diterik matahari. Membongkar
tunggul-tunggul kayu disela-sela tanaman sawit yang masih berumur tiga bulan.
Lalang kering yang sudah disemprot racun, dibersihkan.
Jauh kearah Baratdaya, Bukit Barisan seperti
punggung naga menggeliat.“Itu Bandar Baru”, Cio Sembiring kepala rombongan,
sekaligus mandor menghampirinya. Cio cerita bahwa disana di Bandar Baru
kawan-kawan yang dari jalan Binjai KM 7 dipekerjakan. Mereka sedang membangun
monumen “Patung Pramuka” dikawasan kampung Pramuka. “Kau kenal Puji Tarigan”, katanya.
Wardik bilang bahwa dia kenal Puji Tarigan. Di TPU C jalan Binjai. Puji pernah
mengajari dia bagaimana melukis dengan komposisi warna yang baik. Puji Tarigan
lah yang sekarang memimpin mengerjakan Patung Pramuka itu, kata Cio. Dalam hati
Wardik, kalau dia bebas nanti, dia akan ke Bandar Baru, melihat patung buatan
Puji itu.
Tiba-tiba Pamunar Manik berteriak melihat asap di
arah Timur. Serempak mereka berlari kearah api yang membakar kelapa sawit muda
itu. Ilalang kering yang terkena racun cepat sekali dilahap api. Sudah lima
puluhan pohon yang terbakar. Tak kurang dari setengah jam api bisa di jinakkan.
Tak berapa lama asisten perkebunan datang, mengucapkan terima kasih. “Kalau tak
ada bapak-bapak, entah bagaimana tanaman ini jadinya”. Dia pamit dan berjanji
akan datang lagi.
“Cuma terimakasih, padahal korekku entah terjatuh
dimana. Jangan ditanya harganya, tapi kerugiannya ini. Coba kalau beli koreknya
di Parapat, ongkosnya kesana berapa”. Pamunar ngomel tak terarah. Wardik geli
mendengarnya. Tapi Simprah malah menimpali “Kebetulan beli koreknya di Jakarta,
ya Nik”. Ketawa semuanya, malah Pamunar ikutan. Mereka kembali kerja lagi.
Tak lama asisten perkebunan dan pengawal datang
dengan empat orang Hansip. Mereka, para orang-orang kurungan itu diperinyahkan
berkumpul. Ditanya, siapa diantara mereka yang mula melihat api. Pamunar Manik
menjawab dia yang melihat api pertama. Pengawal bilang, ada tuduhan dari pihak
perkebunan pada mereka, kebakaran itu sengaja dilakukan. Kemudian, mereka
padamkan agar mereka mendapat imbalan. Inilah fitnah yang menyakitkan.
Orang-orang kurungan itu membantah, melakukan itu. Asisten perkebunan itu,
minta saksi. Yang dibudakkan, menyarankan agar Asisten perkebunan itu,
menanyakan pada orang-orang pekerja harian lepas itu. Karena, mereka juga ikut
berteriak-teriak. Alhasil tuduhan itu tak mengena. Asisten perkebunan itu
mengajak pengawal agar ikut kekantornya. Niat yang baik dari Manik, berbalik
jadi fitnah. Semua orang tahanan yang dipekerjakan itu terdiam, lesu.Angin yang
berhembus, kering. Musim kemarau. Hukuman apa yang akan mereka terima dari
imbalan berbuat baik. Api yang akan melahap pohon-pohon sawit itu sudah mereka
padamkan. Tapi, mereka yang dituduh membakarnya.
Satu jam setelah mereka melanjutkan kerjanya,
pengawal datang lagi menunggang sepeda motornya. Mereka diperintahkan lagi
berkumpul. Pengawal itu mengatakan, sebenarnya asisten O.O Sobi merasa sangat
bersalah. Akan tetapi tak ada jalan lain untuk menyelamatkan dirinya dari
sanksi yang akan dijatuhkan oleh administrator, atasannya atas kelalaiannya.
Tuduhan terbakarnya pohon-pohon sawit tetap kepada para pemandah, orang-orang
yang dikurung yang tak punya hak sama sekali atas dirinya sendiri.
Dilunakkan. Begitu, kata pengawal itu. Untuk tidak
dituduhkan melakukan pembakaran. Mereka dipersalahkan, tidak berhati-hati telah
membuang puntung rokok dilalang kering. Pengawal itu menambahkan lagi. Itu
artinya diantara mereka, telah dengan tidak sengaja mengakibatkan kebakaran.
Administrator, penguasa tertinggi perkebunan itu, katanya, mengatakan. Karena
kebakaran itu, perkebunan menderita kerugian 5 jutaan rupiah. Yang meringankan,
begitu hakim alias Administrator perkebunan itu menyebutkan, bahwa
pemandah-pemandah dari tahanan G 30 S/PKI Tanjung Kasau itu telah berusaha memadamkan
kebakaran itu. Dan harus menerima kesepakatan ini. Sebenarnya yang tepatnya
dipaksakan menerima kesepakatan ini. Penjelasan lain. Sudah ada kesepakatan
antara sang asisten dengan pengawal. Dipastikan kocek pengawal akan menebal
dengan uang haram. Suap. Dan ini, dimaklumi yang dikorbankan, para tahanan G 30
S/PKI.
Karena kesalahan-kesalahan itu, maka bentuk
hukuman dan eksekusinya diserahkan kepada pengawal. Sekalian menjadi
eksekutornya. Push Up seratus kali, jalan jongkok sejauh dua ratus meter dan
masing menerima tamparan dua kali. Sampai disitu. Belum. Mereka masih harus
terpanggang diterik matahari, selama pengawal itu berada didalam kantor OO
Sobi. Akhirnya diperbolehkan bubar, setelah pengawal itu keluar dari kantor
bersama asisten. Diteras kantor pengawal Umar dan asisten OO Sobi bersalaman.
Bubar, tapi bukan untuk pulang kepondok. Bubar, kepekerjaan masing-masing.
Pengawal itu menunggang sepeda motornya, hengkang kearah Tanjung Morawa. Wardik
mendatangi asisten itu. “Selamat siang, pak. Sudah puaskah bapak menfitnah
kami? Kalau bapak belum puas, besok buat lagi fitnahan baru agar kami ditembak
mati. Ingat pak, Tuhan itu Maha Adil. Besok atau lusa bapak pasti menerima
balasan. Bukan terimakasih yang kami peroleh, tapi hukuman yang kami dapatkan.
Hukuman atas kesalahan yang tak kami perbuat”. Asisten itu terdiam. Walaupun
ada penyesalan, penyesalan itu tak ada artinya lagi.
Seminggu sekali mereka menerima upahnya. Kali ini
anemer Menghong sendiri yang datang. Menghong menanyakan tentang kebakaran
tanaman sawit muda itu. Dia sudah tahu bahwa mereka mendapat hukuman. Dia
bilang, kalau benar mereka yang bersalah, dia bersedia mengganti tanaman yang
terbakar itu. Tapi, kalau tidak, dia akan menuntut asisten yang memfitnah.
Katanya, dia mendengar juga, sebenarnya mereka yang memadamkan api. Cio
Sembiring yang menjadi kepala rombongan diminta anemer Menghong memberikan
penjelasan. “Kamilah yang berusaha memadamkan kebakaran. Tetapi sebaliknya,
kamilah yang mendapat hukuman. Kalau pak Menghong mau mencari kebenaran untuk
kami, rasanya sia-sia. Tidak pernah ada kebenaran yang memihak kami. Walaupun
yang berbuat bukan kami, tetap kamilah yang salah. Jadi tak usahlah bapak
susah-susah menuntut atau membela kami. Bisa-bisa bapak dijebloskan ketahanan
seperti kami”. Menghong tertunduk, dia menyadari itu.
Besoknya, kerja lagi seperti biasa. Seakan-akan
tak pernah terjadi sesuatu.
Seminggu sesudah pohon-pohon sawit itu terbakar,
pengawal yang memberi hukuman pada mereka diganti. Penggantinya kopral Rusek. Mereka
pemandah itu sudah tak mudah lagi percaya. Seberapa baiknya pun para pengawal.
Pengawal tetap pengawal.
EMPAT tahun sudah, dari perkebunan satu ke-perkebunan
lain, menjalani kerja paksa. Bulan Oktober tahun 1974, semua tahanan yang
dipekerjakan diperkebunan-perkebunan tidak dibenarkan lagi.
TPU Tanjung Kasau sudah bertukar nama, ketika para
pemandah yang di paria kan itu dikembalikan kekurungannya, menjadi Instalasi
Rehabilitasi, Inrehab Tanjung Kasau.
Bangunan yang direhabilitasi, adalah bangunan yang
sudah rusak atau tak bisa dipergunakan lagi.. Apakah Wardik dan yang menjadi
orang-orang kurungan yang dituduhkan ikut atau setidaknya akan melakukan makar
terhadap Negara yang syah itu, benar sudah rusak atau tak bisa dipergunakan
lagi. Nyatanya mereka selama ini digunakan sebagai budak disetiap
perkebunan-perkebunan dan proyek-proyek militer. Yang mendatangkan kemakmuran
bagi mereka yang berkuasa dan bagi mereka pengusaha, bahkan bagi devisa
Negara. Untuk itu kah Wardik dan yang lain harus menghadapi rehabilitasi. Atau dia harus
direhabilitasi. Apa lagi ini.
Ada yang bilang, semua tahanan yang menjadi urusan
dan tanggung jawab tentara di gantikan gelarnya menjadi Inrehab. Termasuk RTM,
Rumah Tahanan Militer. Yang jelas di RTM, Rumah Tahanan Militer yang berganti
nama Inrehab itu, adalah tempat kurungan bagi anggota militer yang rusak yang tak bisa dipergunakan
lagi, mereka bukan saja harus di-rehabilitasi, tapi sudah seharusnya diganti.
Tak sama dengan Wardik dan orang-orang ditahanan,
yang dituduhkan, apa yang tak pernah mereka lakukan. Malah apa yang terjadi di
Jakarta pada 1 Oktober 1965, tak seorang dari mereka yang tahu, juga tak
seorangpun dari mereka yang me-mahaminya. Untuk apa mereka melakukan makar dan
dengan apa. Wardik yang dituduh menyembunyikan banyak senjata, dari mana dia
dapat senjata. Dan ternyata tak terbukti. Dan Wardik yakin semua mereka yang
bersamanya ditahan sampai bertahun-tahun tak pernah terbukti berniat merebut
kekuasaan apalagi melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan yang syah.
DUA ribu empat ratusan orang tahanan di-kumpulkan
menjadi satu. Banyak ragam asal mereka, banyak pula ragam tingkah laku mereka.
Baik sebelum dijadikan orang kurungan, maupun sesudah dijadikan orang kurungan
oleh penguasa. Ada yang sebelum menjadi orang kurungan, mereka pernah menjadi
cecunguk penguasa. Ikut menangkapi. Entah apa sebabnya menjadi orang kurungan
bersama dengan orang-orang yang pernah disakitinya. Atau ketika dipenghujung
tahun 1965 itu ikut bersama melakukan pembantaian atau menjadi algojo, entah
apa sebabnya ikut dikurung bersama para sanak famili dan kawan-kawan dari yang
pernah mereka bunuh. Ada yang menjadi penjilat ketika diangkat menjadi mandor
dibeberapa mandahan. Berbuat sewenang-wenang terhadap kawannya sendiri. Pemilik
tingkah seperti ini. Pemilik cacat dan dosa ini akan bisa jadi sasaran balas
dendam.
Tak sedikit mereka yang digotong dimasukkan
kedalam sumur, setelah setengah malam baru dinaikkan kembali. Kelihatan brutal,
tapi tidak juga. Seperti Samiran, berasal dari kampung Wardik, dia anggota yang
dinamakan komando aksi pengganyangan G 30 S/PKI. Juga menjadi Kepala Desa
menggantikan Kepala Desa yang ditangkap dan dibunuh karena dituduh anggota PKI.
Entah apa sebabnya dia menjadi orang kurungan seperti Wardik. Dia tak tahu.
Atau memang inilah karma. Wardik tak percaya karma, seperti itu. Yang membuat
Samiran menjadi orang kurunganlah yang tahu. Tak terbuktikan memang bahwa dia
ikut membunuh. Tapi, laporannya membuat orang-orang diculik, dibunuh atau
ditangkap dan ditahan di markas Kodim Labuhan Batu di Rantau Prapat. Selama dia
menjadi Kepala Desa, hampir setiap malam berkeliling kampung, memperkosa para
perempuan yang dituduhnya menjadi anggota Gerwani. Perempuan-perempuan itu
diancam. Kalau tak mau melayaninya, akan dibunuh atau dilaporkan ke Kodim.
Nyawa, jelas lebih utama. Menyelamatkannya terpaksa melayani sang Kepala Desa
durjana, Samiran.
Samiran dihajar 4 orang tahanan dari Tanah Karo.
Sesudah babak belur dibenam kedalam sumur.
Hampir setiap malam ada saja yang mendapat
giliran. Daftar dendam sudah ada ditangan “Klinik”, sebelum mereka ditarik dari
mandahan. Daftar dendam harus mempunyai indikasi, begitu istilah yang didapat
Wardik dari kawan-kawannya sekurungan yang tuaan dari dia.
Daftar itu harus terindikasi: Pertama, mereka yang
menjadi komando aksi pengganyangan G 30 S/PKI. Indikasi ini juga harus jelas,
bahwa yang bersangkutan tidak karena dipaksa, atau terpaksa. Yang terpaksa itu
juga harus dengan jelas, apakah tidak bisa dielakkannya lagi keterpaksaan itu.
Dan kedua, selama ditahan menjadi cecunguk
penguasa, juga para penjilat penguasa di mandahan. Ciri-ciri orang-orang
seperti itu, dijamin akan tertera namanya didaftar dendam dan akan berurusan
dengan “Klinik”.
Rutinitas itu hadir lagi, apel pagi, senam pagi,
apel malam, santiaji. Baik itu tentang Pancasila, UUD 45 maupun agama, Islam,
Kristen Protestan dan Katholik.
Sekali seminggu ada hiburan orkes kroncong. Ada
hari-hari istimewa, Tujuhbelasan, Hari Raya Idulfitri, Hari Raya Iduladha,
Natal dan Tahun Baru.
Tak ada lagi lompat pagar. Wardik mulai tekun
membuat ukiran dari kayu jelutung. Belajar dari Mawardi, wartawan Koran Harian
Harapan Medan itu. Lumayan bisa berpenghasilan tiga ratus rupiah sehari.
SIANG itu sekitar pukul sebelas ada panggilan dari
portir. Panggilan beberapa nama, termasuk namanya, bersiap-siap, bila sudah
selesai langsung menghadap ke portir. Semua yang dipanggil namanya telah siap
didepan portir. Bus Teperda sudah menunggu.
Bus Teperda biasanya bila ke Inrehab Tanjung Kasau akan membawa para
tahanan yang telah diperiksa di Teperda dari Inrehab Sukamulia, begitu juga
sebaliknya para tahanan yang akan diperiksa dari Tanjung Kasau akan dibawa ke
Sukamulia. Diantara yang menjemput selain petugas, ada seorang tahanan. Namanya
Sjarifuddin. Wardik mengenalnya, pernah sama-sama di bekas sekolah yang disulap
menjadi kurungan di jalan Gandhi. Wardik tak tahu apakah kurungan yang ada
dijalan Gandhi itu juga berubah nama menjadi Inrehab, agaknya dia tak perlu
memikirkannya.
Pukul dua siang nama-nama yang dipanggil naik ke
bus. Bus itu sudah berisi penuh bermacam-macam sayuran. Ada yang dialamatkan
kepada seseorang, tapi yang lebih banyak, bergoni-goni tanpa alamat. Yang tanpa
alamat ini diperuntukkan buat siapa saja yang membutuhkan, penghuni penjara
yang saat itu sudah berganti nama Inrehab Suka Mulia.
Setelah semua yang terdaftar lengkap, bus bergerak
kearah Medan, kekurungannya yang baru Inrehab Sukamulia. Hunian Wardik entah
sampai kapan.
Sjarifuddin anggota IPPI di SMA Universitas Rakyat,
Unra di Jakarta. Dia tertangkap di Medan. Abangnya, Achmad Djohar pimpinan
pusat Pemuda Rakyat. Kemungkinan besar itu penyebabnya dia ditangkap dan
ditahan sampai hari ini. Achmad Djohar saat itu berada di pembuangan Pulau
Buru. Sementara kakak iparnya Kusniwati bersama anaknya Suyudono ada di Inrehab
Tanjung Kasau.
Di Inrehab Sukamulia, Sjarifuddin diperbantukan
dibagian Administrasi. Kebetulan hari ini dia dipercaya mengantar dan menjemput
tahanan. Kesempatan ini dia manfaatkan menjenguk kakak ipar dan kemenakannya.
Dalam bus Wardik dan dia banyak saling tukar cerita tentang keadaan
masing-masing.
Pukul lima sore, bus berhenti persis didepan
bangunan penjara Sukamulia. Isinya, para tahanan diturunkan, juga sayuran yang
bergoni-goni itu. Seumur-umurnya, baru kali ini dia memasuki gedung yang
dinamakan penjara. Ketika diberi izin 4 hari mereka hanya dibariskan didepan
penjara, diberi arahan. Begitu pula di
Rantau Prapat dia hanya melihat dari luar, itupun cuma melintas.
Wardik ditempatkan di blok B. Kalau ada blok B,
tentu ada blok A. Blok A disebelah kiri, bila melihatnya dari pintu masuk ke
bangunan penjara itu.
Cerita tentang penjara Sukamulia, dia dapatkan
dari penghuni penjara ini, yang usianya sekitar limapuluhan atau lebih.
Penjara itu dibangun oleh pemerintah kolonial
Belanda. Dulunya dibangun untuk para pelanggar-pelanggar hukum yang ditetapkan
kerajaan Belanda dinegeri jajahannya ini, Hindia Belanda. Terutama
pelaku-pelaku tindak pidana kejahatan. Tapi akhirnya juga dijadikan penjara
bagi mereka para buruh perkebunan yang melanggar peraturan maskapai perkebunan
kolonial. Juga para pejuang yang mereka
sebut pemberontak, aktifis politik yang melakukan perlawanan terhadap
pemerintah kolonial Belanda. Di zaman
pendudukan Jepang sama, menjadi bui bagi para kriminil dan yang melakukan
perlawanan terhadap kerajaan Matahari Terbit itu. Malah di zaman Dai Nipon itu
berkuasa, penjara itu juga diisi orang-orang yang menjadi tangkapan Kempetai
menunggu dihukum pancung. Dimasa mula Penyerahan Kedaulatan penjara itu selain
dijadikan bui bagi pelaku-pelaku kejahatan sebelum dijatuhi hukuman oleh
pengadilan. Penjara itu juga pernah
dihuni orang-orang, pengurus PKI dan yang dianggap dekat dengan gembong
PKI, dikenal dengan sebutan “razia Agustus” atau “razia Sukiman” hal ini
terjadi pada bulan Agustus tahun 1951. Dimasa pemerintahan republik ini masih
menganut pemerintahan parlementer, dibawah pemerintahan Kabinet Sukiman dari
partai Masyumi. Baru diakhir tahun 1966 gedung penjara ini dijadikan tempat
disekapnya para orang-orang PKI dan orang-orang yang di PKI kan. Tapi mulanya
juga dibagi 2, blok A untuk para tapol PKI dan blok B untuk para tahanan
kriminil.
Sebulan sudah dia lewati, akhirnya panggilan itu
datang juga. Untuk kesekian kalinya diperiksa. Para tahanan yang akan diperiksa
di jemput dengan bus yang sama dengan bus penjemput dari Inrehab Tanjung
Kasau. Pukul sembilan pagi, pemeriksaan
dimulai. Puluhan pertanyaan dijawabnya, sebisanya, kemudian ditandatanganinya.
Pemeriksaan yang “mulus”, mulus dengan tanda kutip. Tak ada makian, apalagi
pukulan-pukulan. Latah seperti biasa dia ucapkan terimakasihnya pada
juruperiksa itu. Letda CPM Depari. Pukul satu selesai. Sorenya dikembalikan ke
Sukamulia dengan bus itu juga.
Sejak mula hari pertama Wardik menjadi penghuni
kurungan Sukamulia ini, dia sudah ikut mengukir berbagai macam kerajinan
ukiran. Dari mulai baki, tepak sirih, ukiran Mesjid Raya sampai ukiran Jesus di
salib. Lumayan dia bisa memesan ke Kantin susu kaleng, susu kental manis. Atau
mandi pun dia sudah memakai sabun mandi tak lagi sabun cuci.
Setiap Rabu, hari kiriman, sekalian hari bertamu.
Meski dia tak pernah menerima tamu. Baginya hari-hari itu, hari-hari
melongokkan pandangan keluar pagar kawat berduri blok B, menyaksikan
kawan-kawannya setahanan menerima tamu. Anak-anaknya, isterinya, adik-adiknya,
bisa juga kerabat jauh dan dekat. Ada saja yang didapatnya pemberian mereka,
terutama rokok.
Seperti di Tanjung Kasau hari-hari besar khusus
diperingati. Kebetulan keramaian Hari
Raya Idul Adha dia masih menjadi penghuni Inrehab Sukamulia. Ada syolat Idul
Adha, Khatib dan Imamnya seorang perwira dari Rohisdam II Bukit Barisan, Kapten
Agus Salim Lubis. Pada hari-hari khusus seperti itu, tamu-tamu bisa penuh sesak
sampai ke aula blok A dan blok B, sedang blok C
dipergunakan untuk sebagian tamu dan hiburan. Orkes Kroncong yang dipimpin Mas Sumarto pensiunan Pelda,
jurit ‘45 itu, penggesek biola. Ada Sumardi mantan pegawai PDAM Medan di Key
Board, ada Ir. M. Sipahutar mantan Kepala PU Sumatera Utara di Seaxofhon, ada
Minggu di Drum, ada Syarifuddin di Bass, Udin di Gitar melodi, ada Sakirman
memetik jokulele.
Siapa saja boleh menyumbangkan lantunan
senandungnya. Ada beberapa orang anak-anak mereka yang menyumbangkan
senandungnya, kebetulan anak-anak mereka memang penyanyi. Nani Haryono penyanyi
di TVRI Medan, putri Raden Mas Haryono mantan Direktur Hotel Dirga Surya, Atik
David, penyanyi Dang Dut yang ketika itu paling asyik digemari, dia adalah
putri Kapten David, Sudjasmi penyanyi keroncong RRI Medan juga penyanyi
keroncong di TVRI Medan, mengunjungi mantan Lurah Sukaramai, Lurah Satar.
Bila ada penggantian tahanan yang dipindahkan ke
Inrehab Tanjung Kasau atau sebaliknya, Wardik berharap namanya dipanggil. Namun
harapan itu, tinggal harapan. Dia masih menjadi penghuni Inrehab Sukamulia ini.
Sampailah di Natal di tahun itu. Natal di
Sukamulia diperingati dengan penuh hikmat. Perwakilan dari beberapa gereja
datang membawa buah tangan. Di hari Minggu pertama dibulan Desember itu,
perwakilan gereja sudah berdatangan merayakan Natal bersama para tahanan, baik
dia Protestan maupun Katholik. Terkadang dirombongan tersebut ikut orang-orang
dari Eropah atau Amerika. Perwakilan Katholik biasanya datang tepat pada 25
Desember, langsung dipimpin Uskup Agung. 24 Desember aula blok A sudah dihias
berbagai hiasan Natal, tentu tak lupa pohon natal. Natal tahun itu, pohon
natalnya sumbangan dari keluarga Ir. M. Sipahutar. Tak ada yang membedakan
agamanya masing-masing, yang ada persaudaraan. Buah tangan yang mereka bawa
dibagi-bagikan pada yang memerlukan. Di malam kudus, ada pembacaan puisi, ada
paduan suara, baik itu paduan suara dari gereja yang berkunjung maupun paduan
suara para tahanan. Malam kudus itu, telah meninggalkan kenangan yang tak
terlupakan bagi Wardik. Betapa indahnya kebersamaan. Esok harinya tamu-tamu
berdatangan. Paginya Wardik sudah sibuk menyusun bangku-bangku panjang, bila
tamu-tamu sudah datang, dia membantu memanggil mereka yang kedatangan
keluarganya. Sesekali matanya mencuri pandang melihat kearah ruangan bertamu.
Tak seorangpun yang dia kenal.
Tahun Baru, 1 Januari 1975. Malamnya para tahanan
membuat acara menyambut tahun baru. Esoknya tamu-tamu berdatangan. Seperti juga
Hari Raya Idul Adha, para tamu diperbolehkan menempati aula blok A dan blok B.
Wardi tak percaya. Bachtiar Sjahnur petugas portir
memanggil namanya. Begitu juga Bachtiar Syahnur, tak menyangka. Karena, selama
ini tak pernah ada tamu Wardik. Bachtiar Syahnur mendatanginya, dibelakang-nya
seorang gadis menjinjing tas plastik. Ambar berdiri didepannya. ditandainya
senyum itu, senyum kanak-kanaknya. “Aku datang, lek”. Wardik gugup. Tidak bukan
gugup saja, ini haru. Gamang, sosok yang tak pernah didatangi tamu. Tak
menyangka Ambar kecilnya dulu. Ambar kecilnya dijalan Binjai KM 7, minta
disisirkan rambutnya selesai mandi. Sekarang sudah menjadi gadis remaja berada
dihadapannya. Disalami nya gadis remaja itu, ditariknya tangannya agar ikut.
Disilahkannya duduk. Duduk ditikar yang memang sudah digelar paginya menutupi selebar lantai aula
blok B.
Ambar cerita bahwa dia datang tak sepengetahuan
abangnya. Di tahun baru ini abang dan kakak iparnya serta
kemenakan-kemenakannya berlibur ke Parapat. Sengaja Ambar tak ikut, tapi dia
minta balen. Dia diberi abangnya 500 rupiah. Uang itu dibelikannya nasi bungkus
dan empat bungkus rokok serta korek api. Ambar cerita juga bahwa catur wulan
yang lalu dia ke Tanjung Kasau menjumpai ibunya, “bang Ali bilang lelek
disini”. Dia sengaja tak jajan disekolah, uang jajan yang dikumpulkannya itulah
ongkosnya.
Satu jam sudah, Ambar pamit. Wardik pesan jangan
memaksakan diri. Dia pasti baik-baik saja. Bagaimana-pun, secepatnya mereka
akan bisa jumpa di Tanjung Kasau. Dilepasnya Ambar sampai di portir. “Aku akan
merindukan, kau, adikku”. Dia bicara sendiri tak terdengar, sampai dia
sendiripun tak mendengarnya.
Tujuh bulan sudah dipenjara Sukamulia, di Inrehab
itu. Ditengah hiruk pikuk keramaian kota Medan. Seperti apa sesungguhnya kota
Medan itu, dia tak pernah tahu. Yang jelas Sukamulia adalah kurungan, tapi juga
tempat dia dididik seperti sebuah sekolah. Makmun Duana orang tua yang
dipanggilnya bapak, yang pernah bersamanya di jalan Gandhi bilang, setiap apa
yang terjadi pada diri kita, semua ada hikmahnya.
Pukul 9 pagi, bus Teperda datang akan membawa para
tahanan ke Inrehab Tanjung Kasau. Nama-nama yang akan di Tanjung Kasau kan dan
yang akan dipulangkan dipanggil. Namanya ada. Masih ada waktu berkemas. Dia
pamit pada semua, baik pada mereka yang dekat dengannya, maupun agak kurang
dekat. Baik yang rendahan seperti dia, maupun yang tinggian. Dia pamit pada
Kolonel Baryono, dia juga pamit pada Selamat Riadi, dia pamit pada Kolonel
Yusuf, dia juga pamit pada Misno, dia pamit pada kapten David, dia juga pamit
pada Ngatman kopral Yon Arhanud, pamit pada Maruto orangtua Pimpinan BTI,
Barisan Tani Indonesia, Sumatera Utara yang selamat dari pembantaian di Sungai
Ular, dan dia pamit pada Isnanto, orang yang sering kerumahnya dulu, pamit pada
Mukajit, Syarifuddin. Terakhir dia pamit pada semua kawan-kawan perempuan dan
Ir. M. Sipahutar. Banyak yang memberi sangu, uang dan pakaian-pakaian bekas.
Disampaikannya terimakasih dan permohonan maaf, cuma itu. Ya, cuma itu.
Waktunya sampai juga, pukul sepuluh semua tahanan
yang akan dipindahkan dan yang dikembalikan ke Inrehab Tanjung Kasau, lengkap
sudah berada didalam bus. Pertanda bus harus sudah bergerak. Selamat tinggal
Sukamulia, dan tidak untuk berjumpa lagi.
3 jam diatas bus Teperda, bekas Rumah Sakit
Perkebunan dizaman kolonial itu sudah kelihatan.
Masuk ke komplek, tepat parkir di depan portir.
Didepan portir penuh dengan kawan-kawannya, penghuni barak-barak rehabilitasi.
Mereka ingin tahu siapa yang datang dan akan diambil ke Sukamulia. Yang turun
dari bus, dijemput komandan kompi masing-masing kebaraknya, sesudah tanda
terima ditanda tangani Komandan Inrehab Tanjung Kasau.
Wardik kembali ke barak XI yang berhadapan dengan
barak serdadu. Dia tak sempat tahu siapa-siapa yang diangkut ke Sukamulia.
Besok paginya dia temui Mawardi. Mawardi lagi mengukir di sanggarnya. Dia
ditawari mengukir tempahan orang. Mawardi bilang waktunya tak sempat lagi.
Kalau masalah tempat dan alat mengukir, lapak yang ditempatinya bisa dipakai
dan alat-alat mengukirnya juga. Besoknya bisa memulai kerja.
Antara barak luar dan barak dalam dibatasi dua
jalur kawat berduri. Antara barak luar dan dalam ada celah melewati pos portir.
Barak dalam dibenarkan hanya bagi para tahanan yang menganyam dan merajut jala.
Kedua pekerjaan ini, dikerjakan mereka dibarak masing-masing. Membuat sapu
ijuk, menganyam keranjang, mengukir dan kegiatan lainnya harus di barak luar.
Seperti juga ditempat-tempat penyekapan lain,
segala suku yang ada dinegeri ini, ada disini. Ada Batak Toba, Batak
Mandailing, Batak Karo, Batak Simalungun, Jawa, Nias, Aceh, Menado, Tionghoa,
Pakpak, Melayu, Padang, keturunan Pakistan, juga Arab, bahkan ada seorang yang
masih warganegara Kerajaan Belanda, meski orangnya sawoh matang.
Lumrah, pergantian Komandan berganti pula
peraturan yang dibuatnya. Tentunya penilaian itu untuk para tahanan, antara
peraturan mendapatkan kelonggaran atau sama sekali tak ada kelonggoran.
Begitulah, Lettu CPM Mahyudin pun digantikan oleh Lettu CPM Harun menjadi
komandan Inrehab. Peraturan-peraturan yang diperlonggar, oleh Lettu Mahyudin,
berganti diperketat oleh Lettu Harun. Entah apa sebabnya pada tahanan yang
muda-muda dia selalu tak suka. Seperti, bila dia tahu diperhatikan gayanya.
Pasti dia akan menghukumnya. Tamparan pipi kanan dan tamparan pipi kiri.
Untuk mengatasi peraturan yang ketat ini, ada seorang
kawan perempuan berencana, dan akhirnya dilaksanakannya. Membuat sang komandan
tertarik. Memang akhirnya beberapa peraturan diperlonggar. Tapi hal ini membuat
tak disenangi kawan-kawan perempuan yang lain. Tak bermoral kata mereka, bahkan
ada yang menyebutnya menjual diri. Persoalannya kawan tersebut kalau hanya
anggota biasa salah satu organisasi taklah menjadi soal, tapi kawan tersebut
adalah fungsionaris organisasi. Tak pantas, bisa-bisa dicontoh kawan-kawan yang
lain.
Benarkah demikian Wardik tak yakin sepenuhnya.
Tergantung pada siapa yang menilai. Dan tergantung pada siapa yang mau
mengikutinya atau tidak mengikutinya. Siapapun dia, tergantung pada apa
kepentingannya.
Akhirnya sang komandan mulai mengurangi peraturan
ketat yang dibuatnya. Tahanan-tahanan sudah ada yang diperbolehkan permisi satu
hari menjenguk keluarganya di Medan. Dengan ketentuan yang mendapat izin harus
dikawal oleh seorang petugas. Pada umumnya, petugas yang diberi wewenang
mengawal, hanya mengharuskan pada waktu yang telah disepakati harus sudah
berkumpul disuatu tempat dan bersama-sama kembali ke Inrehab. Tak ada jasa yang
gratis memang, kewajiban membayar upeti kekomandan dan pengawal, mengharuskan
kocek harus berisi. Kalau tak ada itu, jangan berharap.
Lagi, hari-hari terus bertukar menjadi minggu,
minggu menjadi bulan dan itulah kodratnya. Hasil pekerjaan para tahanan yang
menghuni komplek bekas Sekolah Polisi Negara ini kian dikenal. Yang memasar kan
berdatangan entah dari mana saja. Berarti uang yang beredar di komplek ini kian
bertambah. Mereka yang mempunyai keakhlian menjahit pakaian membuka usaha
menjahit. Mereka sudah rata-rata punya pakaian baru. Baju baru dan celana baru.
Pagi tadi Jasmin Purba kawan sekompi Wardik,
mengajaknya membantu menyembelih kambing untuk pesta hajatan wakil komandan,
Peltu CPM Malanthon Napitupulu. Anak gadisnya melangsungkan perkawinan hari
itu. Dia seorang penganut Kristiani, sedang para tetangganya dan lingkungan dia
tinggal sebagian besar penganut Islam. Inilah penyebabnya tempat memasak dan
tempat menerima tamu di bagi dua.
Mereka bertiga, Wardik, Basiran dan Sahnen diminta
membantu memasak untuk tamu yang beragama Islam. Calon suaminya, Sortali
Saragih kebetulan pernah menjadi penghuni TPU Tanjung Kasau, sebelum diganti
namanya menjadi Inrehab. Dia sudah bebas di Agustus 1972.
Membantu memasak, Wardik berkenalan dengan seorang
ibu. Tetangga yang punya hajatan, rumahnya tak berapa jauh. Ibu itu sangat
ramah, menyuruhnya singgah dirumahnya. Anak perempuannya yang tertua pernah
menikah dengan seorang tahanan, seperti Sortali Saragih calon menantu yang
punya hajatan itu. Tetapi rumah tangga mereka berakhir dengan perceraian. Dari
pernikahan itu, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki. Anak perempuannya
yang kedua belum menikah namanya Marwani. Keduanya turut lagan. Malamnya, mereka dari Inrehab,
datang atas izin komandan. Tampak gagah, tampan dengan pakaian rapi sepadan
dengan orang-orang diluar Imrehab. Sebagai pemeriah pesta ada orkes keroncong juga
sumbangan dari Inrehab. Cukup meriah. Tapi yang membuat Wardik paling
gembira dipesta itu, dia mendapatkan ibu angkat, dipanggilnya perempuan itu
mamak. Sesudah pesta itu, mamak angkatnya sering datang mengunjungi Wardik,
begitu juga adik-adik angkatnya. Akhirnya kunjungan-kunjungan mereka membuatnya
tak pernah kesepian. Saling bertukar cerita. Dia ceritakan pada adik-adik
angkatnya, bahwa dia sudah punya tambatan hati, namanya Ambar, gadis batak.
“Gadis batak kok namanya Ambar, pasti cantik, ya, bang. Namanya juga cantik”.
Goda mereka berdua.
EMAKKU sayang emakku malang. Hari itu pukul dua
belas siang, kakaknya yang tertua Mbak Sannya datang. Dia sampaikan berita,
bahwa emak mereka sakit dan sudah sangat kritis. Mbak Yus nya berusaha mendapat
izin, agar dia dan Wardik bisa pulang melihat emak mereka walau hanya sehari.
Komandan hanya memberi izin mbak Yus nya saja, sedangkan Wardik, tidak. Dalam
hati yang berontak, Wardik teringat kalau selama ini ada seorang tahanan
perempuan yang pernah berusaha mendekati komandan. Dia harus berusaha dengan jalan apapun yang bisa dia gunakan.
Wardik mendatanginya kebarak perempuan, memohon agar dia menjumpai komandan.
Wardik menjelaskan apa yang terjadi. Dia bersedia menemui komandan. Entah apa
yang dilakukan, entah apa yang dibicarakan nya itu dengan komandan, izin pulang
untuk Wardik diberikan.
Dikawal seorang anggota CPM, dia dan mbak Yus nya
bersama-sama Mbak San nya berangkat menuju Padang Halaban. Pukul dua siang dari
Tanjung Kasau dan sampai di kampungnya sekitar pukul sebelas malam. Bus yang
mereka tompangi hanya sampai di disimpang kampung Selamat.
Pengawal yang ditugaskan mengawal mereka, mendapat
pinjaman mobil Jeep milik seorang Tionghoa, Mukiang. Seorang pengusaha di
kampung Selamat. Wardik tak mau memikirkan, bagaimana caranya dia
mendapatkannya. Apakah dia meminjam dengan paksa atau tidak. Dengan jeep yang
dikemudikan sopir Mukiang, sampai juga mereka dirumah.
Emaknya sudah sangat lemah, terbaring diatas
tikar, tinggal kulit pembalut tulang. “Emak, aku pulang. Ini aku emak, anakmu
Wardik”. diciuminya emaknya.
Diterangi lampu minyak tanah, dilihatnya emaknya
meneteskan air mata. Mbak Yus nya senggukan menangis. Mbak San nya begitu
sampai langsung kedapur menjerangkan air. Adik-adik Wardik duduk mengelilingi
emaknya yang terbaring.
Melihat Wardik, bibirnya bergerak-gerak. Wardik
mengerti, mendekatkan telinganya. Emaknya minta disulangi bubur. Matanya
mengarah pada mbak Yus nya. Mbak Yus nya mengerti, langsung kedapur. Dia
keluar, sudah membawa sepiring bubur. Mbak Yus nya bilang adik-adik sudah
menyediakannya. Setelah mbak Yus nya menyulangi emaknya bubur, emaknya minta
minum air hangat. Wardik kedapur mengambilnya. Disulanginya emaknya, sendok
demi sendok air hangat itu. Seperti mendapatkan tenaga baru, emaknya minta
didudukkan. Mbak Yus nya yang duduk disamping emaknya berbaring, mengangkat
emaknya dan menyandarkannya dibahu.
“Jangan bersedih”, suara emaknya terdengar lemah.
Wardik mengangkat tangan emaknya, diletakkannya diatas kepalanya. Hanya
jemarinya yang bergerak-gerak. Seperti hendak menyisir rambut Wardik dengan
jari-jarinya. Rambut anak kandungnya yang sampai saat ini menjadi orang
kurungan. Meski gerakan jemarinya begitu lemah, Wardik merasakan kasih
sayangnya yang tak ada ujungnya. Kasih
sayang yang tak ada duanya di dunia ini. “Emak maafkan aku, emak”, Wardik
berbisik ditelinga emaknya. Emaknya hanya mengangguk. Perlahan tangannya
diturunkannya kepipi Wardik. Wardik memegangi punggung telapak tangan emaknya
dan membiarkan lama menempel dipipinya.
“Wardik, bapakmu sudah menunggu emak”. Suara nya
pelan tapi jelas Wardik mendengarnya. Wardik tak tahan menahan air matanya. Dia
menangis membuat semua adik-adiknya ikut menangis. “Emak mengapa jadi begini?”.
Cuma itu yang terucap dari mulutnya.
Tetangga-tetangga berdatangan.
Entah dari mana adik iparnya Ngatijan, mendapat
pinjaman lampu petromak. Pengawal yang bertugas mengawal istirahat dirumah
nenek wardik. Nek Ratnah nya.
Emaknya tertidur juga akhirnya, ditinggalkannya
dijaga mbak San nya dan Mbak Yus nya. Wardik kedapur. Adiknya Harmaini sedang
menggoreng ubi. Wardik menanyakan dari mana ubi itu didapatnya. “Entah dari
mana didapat bang Ngatijan, kok pulang-pulang bawa ubi”. Wardik duduk didekat
Harmaini sambil mengunyah ubi yang sudah digoreng adiknya itu. “Har, selama ini
apa ada yang datang menjenguk keadaan emak?”. Harmaini diam sebentar tak
menjawab. Dipandanginya abangnya,
seolah-olah tak percaya pertanyaan itu adalah pertanyaan dari abang nya. “Bang,
kita tidak punya saudara lagi didunia ini”. Wardik jadi sadar, seolah-olah yang
didengarnya jawaban Harmaini itu adalah; mengapa abang menanyakan itu, abang
tak mungkin tak mengerti, sudah seperti apa kita ini dianggap mereka”.
Sebelum Wardik bertanya selanjutnya, adiknya sudah
menjawabnya. ”Keluarga dekat kita memang masih ada, juga anak-anak angkat emak.
Mereka-mereka itu masih tinggal disekitar sini. Tapi bang, jangankan datang
kemari, bertemu dijalan saja mereka tak mau menegurku. Kecuali aku yang menegur
duluan”. Wardik tak ingin menambah kemurungan adiknya, dia alihkan pembicaraan.
“Har, sejak kapan emak mulai sakit?”
“Sejak mengantar uang angket ke Bandar Durian.
Emak diberi tahu Kepala Dusun agar mengikuti angket, bersama Kakek Atmak.
Tetapi bukan hanya mengikuti angket saja, emak harus membayar uang angket
sebanyak Rp. 5000.-. Terpaksa emak jual kambing 2 ekor.”
“Mengapa
harus sampai 2 ekor, kan cuma itu kambing kita yang ada, berapa harga se-ekor
kambing?”
“Karena sangat terdesak, kambing itu dijual murah.
Emak dan kakek Atmak berangkat pukul 5 pagi dan sampai kerumah pulang sudah
pukul sebelas malam. Emak kecapean sejak itulah emak tidak bisa bangun. Sepeda
kita rusak, mereka jalan kaki sejauh 40 KM. Jadi jarak yang mereka jalani
kurang lebih 80 KM.”
“Kalau emak tidak mengantar uang angket itu apa
akan ada hukumannya?”
“Bang, bang, setiap bulan ada saja uang kutipan
dari Kepala Dusun, katanya uang binaan. Itu saja kalau terlambat memberinya,
sudah digertakin. Yang katanya, kapan saja mereka bisa melakukan tindakan.
Mereka bilang, diberi kesempatan hidup saja sudah syukur. Jadi, harus tahu
membalas budi. Sedangkan untuk makan saja sudah sangat sulit, kambing yang seharus
nya untuk beli beras kini harus diberikan untuk mereka”. Air mata adikku
mengalir dipipinya sesekali terdengar isak tangisnya. Abang dikurungan cukup
menderita, tapi kami lebih menderita”. “Yang namanya dialam bebas kami sering
tidak makan. Jangankan, beras ubipun sangat sulit kami dapatkan. Baju yang
kupakai ini, bajuku satu-satunya. Tapi, fitnah yang mereka tuduhkan, tak
berkesudahan. Mereka sebarkan, bahwa aku setiap malamnya menerima laki-laki.”
Armaini, adiknya yang sudah remaja itu, kembali menangis.
“Kapan abang bebas……..? Begitu pahitnya hidup ini
kalau abang bersama kami, kepahitan ini pasti berkurang”. Diam tak ada jawaban
dari Wardik. Kapan. Dipeluknya adiknya dan dibiarkannya dia, menangis
sepuasnya”.
“Har,
mungkin emak tak lama lagi. Sementara abang besok harus kembali ke tahanan.
Kalau emak sudah sampai janjinya dan abang tak bisa menunggui laksanakan saja
fardu kifayah nya. Yang pasti abang tak akan mendapatkan izin pulang lagi”.
“Yang mengalami nasib seperti kita ini, bukan
hanya kita. Ribuan bahkan, laksaan. Mungkin di Padang Halaban kitalah yang
paling parah. Tetapi ditempat lain,
mereka mungkin lebih parah dari kita. Abang harap kau lebih tabah lagi
menghadapi segala penderitaan ini. Walaupun abang di tahanan bisa menghasilkan
uang, tapi hasilnya hanya cukup untuk bisa bertahan hidup. Abang tak pernah
berfikir hanya untuk diri sendiri, abang ingin sekali membantu kalian. Tapi
sampai saat ini masih belum bisa”.
“Maksud abang kalau ajal emak sudah waktunya,
abang tak usah dikabari? “Benar Har, sebab kalaupun kalian mengabari ke
tahanan, abang pasti tak bisa pulang. Sedangkan ongkos kesana sudah berapa.
Kalaulah ajal emak sudah waktunya, kalian laksanakan saja bagaimana semestinya.
Sesudah itu, barulah kalian usahakan berkirim kabar. Kalau mbak Fitri isteri
bang Samiran berkunjung ke Tanjung Kasau, kirimkanlah surat buat abang. Abang
sudah melihat tanda-tanda pada wajah emak, tak lama lagi emak akan menyusul
bapak”.
Wardik ditanya, adiknya, bagaimana dia mengetahui
tanda-tanda orang yang akan kembali kepada Tuhan nya. Wardik bilang, “emak dulu
mengajariku. Lihat telinganya, lihat keningnya, juga lihat hidungnya. Tanda-tanda
itu sudah ada pada emak”.
“Berapa lama lagi emak bisa bertahan, bang”. “Itu
rahasia Tuhan. Kapan dia akan diambil, tak seorangpun yang bisa tahu”. “Mengapa Tuhan membiarkan kita hidup seperti
ini?”. Wardik berfikir menjawabnya. dia pernah membaca cerita tentang
nabi-nabi.
Nabi Ayub juga mengalami penderitaan, sangat
menderita, padahal dia hamba pilihan. Pilihan sang pencipta. Tuhan. Bagaimana
Wardik harus menjawab
nya.
“Bukan Har, ini ulah manusia. Tuhan tak menghendaki hambanya hidup sengsara.
Jadi dik, jangan buruk sangka kepada Nya. Kita tak tahu apa kesudahannya, semua
yang kita alami ini pasti akan ada hikmahnya. Yang penting jaga kesehatanmu.
Kalau nanti ada seorang pria yang mau memperisterimu, sementara abang masih
didalam tahanan, ajaklah dia menemui abang. Dan kalau bisa janganlah pria yang
tangannya sudah bergelepotan darah kawan-kawan abang. Menurut abang memang ada
baiknya kalau kau cepat berumah tangga. Karena selama ini tak ada yang
melindungi kau. Bersuami bukan hanya untuk bersenang-senang saja, tapi untuk
bisa melindungimu”.
Kokok ayam sudah mulai terdengar bersahut-sahutan.
Emak Wardik tertidur pulas. Mbak Yus nya dan mbak San nya duduk didekatnya.
Adiknya, Ambran dan Subali tertidur diantara tetangga-tetangga mereka yang
turut berjaga-jaga malam itu. Mereka mengobrol kesana kemari. Tak ada yang
berani menanyakan keadaan Wardik di tahanan. Takut kalau-kalau salah bicara.
Mereka memilih pembicaraan diseputar hutan tempat mereka bekerja.
Lagi, waktu selalu menentukan, waktu tak perduli,
dia tak mau tertunda sedetikpun. Pukul sebelas siang Wardik dan mbak Yus nya,
juga prajurit yang baik itu harus berkemas kembali menjalani hidup masing-masing. Dipandanginya wajah emaknya
terbaring diatas tikar lingi. Dia sangat menyadari, kalau saat itu adalah
pertemuannya yang terakhir dengan orang yang melahirkan dan membesarkannya.
Jurit yang mengawal mengingatkan, sudah waktunya.
Dia ciumi emaknya. Tak sampai hati meninggalkan Emaknya dalam keadaan seperti
itu. Dia dekati adiknya Suwartik dan Harmaini. Pada Harmaini diingatkannya lagi
pesannya. “Bukan berarti abang menghendaki emak kembali kepada Chaliknya.
Tanda-tandanya sudah abang lihat pada diri emak. Tabahkan hati kalian, dik.
Saat ini kita masih menjalani cerita seperti ini. Mungkin dilain waktu kita
akan diperlukan orang lagi”. Kedua adiknya hanya mengangguk, airmata keduanya
mengalir. “Mbak San, aku sarankan jangan bertahan di Padang Halaban. Kalau
memang sudah memungkinkan, mbak harus pergi dari sini. Biar mbak menjadi tukang
cuci pakaian orang sekalipun asal jangan bertahan disini. Terserah mbak, yang
penting mbak harus pergi jauh. Tinggalkan Padang Halaban. Bawa Ambran dan
Subali. Kalau Suwartik, Suwarni terserah, karena sudah bersuami. Dan Harmaini
sementara biarlah ikut dengan Suwartik. Kalau mbak sudah meninggalkan Padang
Halaban khabari aku. Mbak harus percaya. Disini mbak tak akan bisa berbuat
apa-apa. Mereka-mereka itu akan terus mengawasi apa saja yang mbak perbuat.
Keadaan emak saat ini tak memungkinkan mbak tinggalkan. Saatnya nanti mbak
harus meninggalkan Padang Halaban ini”.
Sekali lagi pengawal itu mengingatkan. ”Sebenarnya
aku tak sanggup melihat keadaan seperti ini, tapi aku hanya menjalankan tugasku,
mengawal kalian. Maaf, aku ikut berduka”. Wardik mengucapkan terimakasih nya
pada pengawal itu. “Kita segera akan berangkat” katanya. Lagi diingatkannya
mbak Sannya. “Cepatlah kau bebas, dik. Kemanapun kau nanti, mbak akan ikut”.
Kesempatan terakhir, dia pamit pada emaknya. “Mak aku harus kembali ke tahanan.
Maafkan semua kesalahanku”. Emaknya hanya mengangguk pelan, pipinya basah lagi.
Pipi yang kurus pucat. Diciuminya.
Empat pemuda desa itu, sudah menunggu dengan
sepedanya. Siap mengantarkan mereka bertiga kejalan raya. Cukup jauh enam belas
kilometer.
DENTANG lonceng portir tujuh kali, itu artinya
sudah pukul tujuh malam. Wardik, mbak Yus nya melapor ke portir, bahwa mereka
sudah kembali ketempat. Sedangkan prajurit pengawal itu melapor ke komandannya.
Beberapa kawannya yang berasal dari Padang Halaban menanyakan bagaimana kabar
emaknya. Dia ceritakan apa adanya.
Perutnya terasa lapar. Ditemuinya Ali, yang
bertugas di dapur, entah masih ada nasi. Ali juga menanyakan tentang emaknya.
“Entahlah bang, mungkin inilah yang terakhir aku melihat emakku”, jawabnya. Dia
berharap Wardik jangan terus larut dalam kesedihan. “Sudah, makanlah kau dulu,
nanti kau sakit”. Wardik pamit membawa nasi jagung pemberian Ali ke baraknya.
Paeran Koplak, kawan sebelahnya tidur, sudah
memasang lampu teploknya. Dia bilang tadi emaknya datang. ”Ini ada gulai ikan
kutinggali untuk lelek”. Lagi terimakasih, diterimanya dua potong gulai ikan
pemberian Paeran. Sebentar saja habislah nasi dipiringnya.
Lima belas hari kemudian mbak San nya, datang
membawa kabar yang sudah dia duga. Emaknya sudah tak ada. Bagaimanapun tabahnya
Wardik, bagaimana pun siapnya dia menerima berita seburuk apapun. Ketegarannya
tak bisa dipertahankannya. “Dua hari setelah kepulangan kalian emak pergi untuk
selamanya. Dik. Ada pesan emak buatmu. Kau jangan mudah menyerah. Hanya itu.
Emak sudah sangat lemah. Itupun diucapkannya putus-putus”.
Jangan mudah menyerah, dan dia tak akan menyerah
dan dia akan ingat itu seumur hidupnya. Diingatkannya pada mbak San nya; ”saat
ini kita dianggap manusia yang paling hina. Tetapi percayalah mbak, kalau
disuatu hari nanti kita tidak akan disepelekan orang lagi. Terutama di Padang
Halaban”.
Besok mbak San nya bilang, dia akan memulai hidup
baru di Medan. Kalau sudah mendapat pekerjaan dan tempat tinggal barulah
kemenakan-kemenakan Wardik, anak-anaknya, adik-adiknya akan dijemputnya. Malam
itu mbak San nya menginap di barak perempuan.
Besok kakak sulungnya itu akan
mengadu nasib di Medan, entah siapa yang dia tuju Wardik tak tahu.
Kian hari penghuni Inrehab Tanjung Kasau terus
bertambah. Hampir setengah bulan sekali ada saja tahanan dari Sukamulia yang
dipindahkan, menjadi penghuni barak-barak di bekas komplek Rumah Sakit
Perkebunan yang dibangun kolonial itu. Dua ribu empat ratus lebih. Apel dua
kali sehari, senam pagi, masih santiaji, pembagian nasi, tamu yang datang
membawa berita duka dan suka, para agen yang memasarkan hasil kerajinan para
tahanan, Cuma itu? Lain-lain masih ada. Libur sekolah membuat komplek Inrehab
ini ramai dipadati anak-anak. Saat mereka bisa berkumpul dengan ayah, ibu,
kakak-kakaknya.
Seperti halnya diluar, didalam Inrehab Tanjung
Kasau juga diadakan MTQ. Wardik dan Syamsul Siregar ditugasi menata dekor
pentas, keduanya mendapat izin keluar kurungan untuk mendapatkan bambu dan apa
saja untuk dijadikan bahan bakal dekorasi. Kesempatan ini mereka gunakan,
melihat-lihat diluar kurungan. Dimasa Komandan Lettu Harun, jangankan untuk
keluar memegang pagar kawat berduri saja, penghuni kurungan itu bisa kena
hukuman. Sekitar pukul 12 tengah hari keduanya sudah kembali ke Inrehab. Tapi
mereka tidak dari jalan depan tapi dari jalan belakang, karena dari arah
belakang maka barak-barak itu berada seperti diatas bukit. Pagar kawat berduri
itu melebar sampai kelembah, arah sebelah barat barak perempuan.
Saat itu Ambar sedang libur sekolah dan berada
dibarak bersama emaknya. Dilembah itu banyak tanaman jagung dan terung milik
wakil komandan. Wardik dan Syamsul Siregar mengasoh digubug yang ada ditengah
kebun itu. Pelan-pelan Wardik mendekat kepagar yang tak jauh dari sumur barak
perempuan. Wardik memanggil anak-anak yang sedang ada disumur, lalu meminta
tolong agar dipanggilkan Ambar. Tak lama Ambar datang menuruni lembah arah
dkekebun jagung menemuinya. Rindu itupun mencair walau hanya berpegangan
tangan. Dan tatapan mata selaksa rindupun sirna. Dibawah, diterik mata hari
siang dilembah kebun jagung, janji bertaut, diikrarkan. Selepas melepas rindu,
Wardik dan Syamsul Siregar kembali ke kebarak kurungan, dengan bambu dipundak
masing-masing. Dua hari kemudian MTQ dilaksanakan.
Adik
Wardik, Suwarti datang bersama adiknya yang bungsu, Subali. Suwarti dua hari
kemudian pulang ke Patok Besi. Sibungsu Subali tinggal bersamanya sampai masa
liburnya berakhir, tidurnya bersama Wardik di barak.
Enam bulan yang lalu mbak San nya pulang ke Patok
Besi. Sewaktu akan kembali ke Medan, dia dan adiknya Ambran singgah. Ambran dan
Subali di khitan kan Wardik disana, di kurungan yang dinamai Inrehab Tanjung
Kasau itu, tak ada selamatan, tak ada kenduri kenduri.
Suatu malam, menjelang tidur adiknya si bungsu
bilang dia menginginkan tinggal bersamanya.
“Dikampung aku sering seharian tidak makan, disini
meski nasinya nasi jagung, aku masih bisa setiap hari makan. Lagi pula disini
ramai, banyak kawan. Bapak-bapak juga abang-abang semua baik terhadapku. Aku
bantuin mereka mengertas pasir ukirannya saja, aku sudah dikasi makan.
Kawan-kawan abang semua orang baik-baik”. Harunya menghilangkan keinginannya, mentertawakan
keluguan adiknya. Si Bungsu malah mengira Wardik berada dikurungan ini, sedang
menjalani pendidikan tentara. Pagi apel, senam, apalagi Wardik kerap memakai
seragam tentara, pakaian bekas yang diberikan kawan-kawannya setahanan,
kawan-kawanya yang dulunya serdadu. Si
bungsu tak menyadari, abang tumpuan harapannya adalah orang kurungan. Orang
kurungan yang dibuat oleh tentara.
“Abang tak mau pulang bersama kami, abang sudah
kaya”.
“Benar itu……abangmu sudah kaya, sebentar lagi
sudah jadi Gubernur”. Lugunya si bungsu,
membuat Pamunar Manik yang tidur bersebelahan dengan Wardik, membuat yang lain
ikut riuh, meski begitu sibungsu tak akan
mengerti. Sibungsu masih menerus kan percakapannya dengan abangnya
Wardik.
“Waktu bang Ambran disini pernah enggak cerita
sama abang?” Wardik mengangguk
“ Abang ingat enggak, mbah Gundek, itu yang kawin
sama mbah Marto. Mbah Gundek itu, pernah menuduh emak mencuri gaplek. Emak, ya,
enggak terima dituduh mencuri gaplek. Jadi emak sempat berkelahi dengan mbah
Gundek itu. Emak bilang, walaupun kami harus kelaparan, tidak akan pernah mau
mencuri”. Masih cerita si bungsu.
“Abangkan tidak tahu, kami dikampung susah sekali,
abang disini enak-enakan, buktinya abang tak mau pulang”.
“Nanti, Li, kalau abang sudah setammat dari sini,
abang pasti pulang. Meski Wardik menjawab sekenanya, tapi hatinya teriris,
sakit.
“Abang masih ingat enggak sama bang Seman?” Wardik
mengangguk, ingat, Seman, yang dulu rumahnya pernah terbakar. “Dia dipercaya
menjaga kebun babah Ahok. Sambil menunggu tanaman sawit yang belum tinggi, dia
bertanam padi. Aku disuruh mengusir burung bantuin dia. Katanya aku akan
dikasih makan sesudah dia selesai memasak. Aku sangat lapar, aku nurut saja apa
yang dia suruh. Waktu dia datang, aku nagih janjinya. Tapi dia bilang, nanti
kalau dia sudah selesai makan. Aku disuruh lagi mengusir burung. Begitu aku
dating lagi, dia bilang diapun masih kurang. Aku minta sisa sayur bening
kangkungnya, dia malah mengejek kalau sayurnya itu enak betul. Malah kuah
sayurnya bukan dikasih aku, tapi dibuang ketanah. Sampai kapanpun aku akan
ingat si Seman itu, Bang”. Sejak itu, begitu cerita si bungsu. Dia tak mau lagi
disuruh-suruh Seman. Tetapi bila Seman makan Subali bertiarap dibawah rumpun
pisang menunggu sisa makanan yang dibuang Seman, kelobang sampah. Walaupun
tinggal rimah dan duri ikan asin, sisanya tetap dimakan si bungsu, Subali.
Adik-adik Wardik sangat menderita kelaparan, waktu
mula pindah dari desa yang digusur ke Patok Besi. Jangankan nasi, ubipun belum
tentu mereka dapatkan tiap harinya.
Seman, rumahnya pernah terbakar habis, Ayah Wardik
yang Kepala Desa waktu itu, mengumpulkan warga desa dan bergotong royong
membangun rumahnya kembali. Tapi balasannya, hinaan dan cacian.
Ada yang membuat si bungsu tak mengerti, semasa
emaknya masih hidup, emaknya sering menuturkan tentang anak-anak angkatnya.
Tapi, sekarang, mengapa anak-anak angkatnya itu, tak ada yang mau tahu pada
mereka. “Suatu kali nanti”, begitu kata Wardik, mencoba meneguhkan hati si
bungsu,”nanti disuatu saat, mereka yang pernah menghina kita , akan datang pada
kita untuk minta tolong lagi. Kita tidak boleh dendam pada mereka. Suatu saat
mereka yang pernah melecehkan kalian akan malu melihat kita lebih lumayan
hidupnya bila dibandingkan dengan mereka. Karena tekat kita lebih kuat dari
mereka, karena penderitaan ini akan menjadikan kita lebih kuat dari mereka.
Disatu saat disatu ketika.
PERGANTIAN Komandan Inrehab, dari Lettu CPM Harun,
kepada Lettu CPM J. Napitupulu selain membuat longgarnya peraturan yang
terdahulu, juga membuat daftar balas dendam yang baru. Cicunguk-cicunguk Lettu
Harun satu persatu mengisi daftar balas dendam untuk dieksikusi. Eksikutornya,
“Klinik”. Sampai akhirnya Maju Ginting menyadarkan Wardik, memintanya agar
menghentikan “Klinik” melakukan eksekusi balas dendam. “Yang harus disalahkan
penguasa, kita semua korbannya. Usahakan menyadar kan kawan-kawan yang
terjerumus dengan iming-iming”. Begitu kata Maju. Sejak itu juga tak ada lagi
yang berani dekat-dekat dengan komandan jadi cicunguk.
Usaha kerajinan yang dipasarkan para keluarga dan
warga disekitar Inrehab, membuat hasil kerajinan dari Inrehab menjadi dikenal
sampai kemana-mana diseantero Sumatera Utara, bahkan ke provinsi tetangga,
Aceh, Riau dan Sumbar.
Para tahanan pun ada yang sudah jadi juragan
membeli dan menjual segala bentuk kerajinan. Dan ini menimbulkan keadaan yang
buruk. Kesetiakawanan yang dulu berjalan baik, sekarang hampir ambruk. Yang
terlihat kepermukaan adalah, egois, mementing kan diri sendiri.
Komandan Inrehab berganti lagi, Lettu CPM J.
Napitupulu digantikan Lettu CPM Munir. Berbeda dipergantian yang lalu-lalu,
kali ini wakil komandan juga diganti antara Peltu CPM M. Napitupulu dengan
Peltu CPM Umar Chaniago. Rutinitas lagi. Tak ada pilihan yang lebih baik selain
berharap. Dan harapan itu adalah segera waktunya dibebaskan. Bukan hanya hari,
minggu, bulan pun berlalu dalam hitungan.
Sampai pada minggu kedua Desember tahun 1977. Para
tahanan diperintahkan segera berkumpul didepan portir, mendengarkan pengumuman
siapa-siapa yang akan dibebaskan. Nama-nama yang akan dibebaskan pada 20
Desember. Seribuan lebih, sampai malam belum habis terpanggil, pengumuman
dihentikan. Besok pagi diteruskan lagi. Tapi, tak ada namanya dipanggil. Itu
artinya, dia masih harus mendekam dikurungan itu. Di Inrehab Tanjung Kasau.
Masih sekitar enam ratus-an orang yang belum
dibebaskan pada gelombang pertama. Mbak Yus nya dan mas Subandi abang iparnya
turut bebas di gelombang pertama. Malam tanggal 17 Desember, abang iparnya itu
menemuinya di Barak. Subandi pamit pulang duluan, Meski dia belum tahu apa
usaha diluar nanti, tapi dia berharap bila Wardik bebas nanti, agar mau tinggal
dengan mereka di Tanjung Mulia.
Untuk ikut tinggal bersama mbak Yus nya, itu hal
yang tidak mungkin. Sedang ditahanan saja dia tak memperdulikan Wardik. Wardik
sakit, mbak Yus nya tak pernah menjenguknya. Bahkan kawan-kawan setahanannya
bilang, yang bersaudara dengannya itu bukanlah mbak Yus nya, tapi abang
iparnya, Subandi. Begitupun, mungkin disuatu saat dia akan berkunjung kerumah
mereka.
18 Desember, penghuni Inrehab Suka Mulia yang akan
dibebaskan bergabung di Inrehab Tanjung Kasau. Mereka datang diangkut dengan 5
unit truk militer. Sedangkan penghuni Inrehab Tanjung Kasau sebagian dari yang
belum mendapat gilirannya, diangkut dengan truk itu juga ke Medan. Sebagian
lagi masih tinggal dengan mereka yang akan dibebaskan. Dengan ketentuan, dihari
H harus keluar dari barak. Maksudnya seolah-olah bahwa para tahanan di Inrehab
Tanjung Kasau sudah dibebaskan semua. Mendengar penjelasan seperti itu, didalam
hati Wardik tertawa. Kebohongan lagi. Penguasa selalu berbohong. Untuk apa?
Untuk apa lagi kalau bukan untuk kelangsungan kekuasaannya.
20 Desember tahun 1977, pagi harinya mereka yang
tertinggal harus meninggalkan komplek Inrehab dan sorenya harus kembali sebagai
tahanan lagi. Wardik tak kemana-mana. Dia mau menyaksikan pelepasan ribuan para
tahanan yang selama ini dianggap akan membahayakan. Itulah sebabnya mereka
dikurung dan dikucilkan dari masyarakat lainnya. Itulah sebabnya pula mereka
dijadikan kasta yang paling hina. Kasta paria.
Pelepasan para tahanan G 30 S/PKI itu dilepas oleh
penguasa tertinggi, Kopkamtib, Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban negeri
ini, Jenderal (P) Sudomo. Upacara pelepasan dilakukan di Inrehab Tanjung Kasau,
mengapa bukan ditempat lain dia tak mengerti apa sebabnya. Puluhan bus sudah disiapkan untuk mengangkut
mereka yang akan dilepas ketempat asalnya masing-masing. Ada juga yang dijemput
sanak keluarganya. Selamat jalan.
“Ayo, Cak”, Kijo Marjoko menyadarkan Wardik.
“Jangan sedih, Cak, tak lama lagi pasti giliran kita. Ayo kita cari kedai nasi,
aku sudah lapar”. Wardik bilang dia tak lapar. Haru itu tak terbendung.
Kijo Marjoko juga belum mendapat giliran dibebas kan.
Dia mantan serdadu dari kesatuan Arhanud. Dia ditangkap ketika sedang
tugaspiket. Kijo berasal dari Jawa Timur ditugaskan ke Medan, dan menikah
dengan anak Mabar. Anak dua, sayang isterinya tak sanggup menunggu, akhirnya
minta cerai.
Mereka berdua pergi ke Indra Pura dengan bus
trayek Tebing Tinggi-Kisaran. Aneh, kondektur tak mau menerima bayaran mereka.
Kembali kebarak, komplek ini lengang. Penghuninya
yang belum mendapat giliran dilepas, yang mendapat perintah menyingkir, belum
pada kembali. Baru pukul empat sore, mereka muncul satu-satu atau ber-gerombol
dulu, baru bersamaan kembali ke barak. Sedangkan sebagian yang belum dilepas
yang disingkirkan ke Medan entah kapan akan dikembalikan.
600
orang dari dua ribu empat ratus lebih. Terasa sepi. Apalagi mereka
diperbolehkan keluar kemana saja, asal permisi dan rogoh kocek pembeli rokok
untuk pengawal yang sedang bertugas. Biasanya Wardik bersama Kijo pergi keluar,
kalau bukan menonton layar tancap, ke Tebing Tinggi membeli papan Jelutung
untuk bahan ukiran. Tapi lebih banyak, sore selesai menyiap kan pesanan ukiran,
jalan-jalan disekitar Inrehab. Singgah diwarung-warung kopi.
Sore
itu, dia, Karman, Kanapi, Kijo jalan-jalan sampai ke Simpang Simujur, singgah
diwarung kopi. Selagi pesanan kopi lagi diracik, jarak beberapa puluh meter
agak kedalam dari jalan Wardik melihat ada bangunan baru. Rumah kecil, dinding
tepas dan atapnya daun nipah. Tombak layarnya belum ada, Wardik yakin bila
hujan lebat turun, apalagi bila disertai angin; tak pelak air hujan masuk
kedalam rumah.
Sebelumnya
rumah itu belum ada. Dia menanyakan pemilik kedai. Pemilik kedai bilang,
orangnya pindahan baru, dari simpang Bandar Tinggi. Baru seminggu disini.
Mereka pindah kemari karena tak tahan gunjingan orang-orang disana. Anak
perempuannya sedang hamil tua, namanya Jaliah. Suaminya bekerja sebagai Hansip
di kantor Bupati Asahan. Entah apa sebabnya, Jaliah tak mau lagi dengan
suaminya. Orang-orang disekitar situ beranggapan si Jaliah hamil selingkuh
dengan orang proyek PT Kadi.
Mendengar
cerita itu, Wardik teringat sesuatu. Inur. Dia tanyai lagi nenek pemilik kedai
kopi itu apa si Jaliah itu punya adik perempuan namanya Inur dan bapaknya
pandai besi. Nenek pemilik warung kopi itu mengiakan. “Keluarga ini harus
pindah karena orang-orang tak tahu seperti apa kebenarannya. Ceritapun bukan
saja cuma sampai kemana-mana, tapi sudah ditambah-tambahi”.
Wardik
mengiyakan, bahwa mereka sudah mengenal Inur. Sebab anak-anak dari simpang
Bandar Tinggi, sering datang kedalam. Salah seorang si Inur. “Sebulan yang lalu
kawan-kawannya kedalam, kutanya mengapa si Inur tak ikut. Saat itulah mereka
bercerita kalau kakaknya tertimpa masalah. Kalau begitu nek biar kami singgah
kerumah itu”.
Mereka
bayar kopi yang mereka minum.
Inur
kelihatan sangat kaget. Walaupun begitu,
keluarga itu menerima mereka dengan senang hati. Maknya cerita apa yang
sebenarnya telah terjadi. Jaliah sebenarnya sudah berpacaran dengan Sunardi
Hansip kantor Bupati Asahan. Sebelum menikah Jaliah sudah hamil dua bulan.
Sunardi jarang datang ke simpang Bandar Tinggi. sementara perut Jaliah kian
membesar Orang-orangpun mulai bergunjing
dan akhirnya menuding Jaliah berbuat zinah dengan orang proyek PT Kadi.
Jaliah
berulangkali memesan Sunardi agar datang, namun Sunardi tak kunjung datang.
Perutpun semakin besar. Rasa cinta Jaliah berubah menjadi benci. Calon bayi
dalam kandungan yang tak berdosa itu berulang kali akan digugurkannya. Tetapi
sang jabang bayi ingin mengabdi pada ibunya.
PULANG
kekandang, mereka berenam sepakat akan patungan membelikan tepas dan lampu
teplok. Lampu teplok yang ditinggalkan kawan-kawan yang sudah bebas masih
banyak yang bisa digunakan. Besoknya, Wardik dan Karman datang lagi kerumah
Inur, memberikan uang hasil patungan dan lima lampu teplok. Terkadang mereka bawa sayuran dan apa saja yang bisa mereka
berikan. Sesudah beberapa kali datang kerumah itu, barulah jumpa dengan Jaliah.
Selama ini dia sembunyi bila mereka datang. Pada Jaliah mereka ceritakan segala
penderitaan yang mereka alami, dan penderitaan kawan-kawan mereka yang
perempuan. “Tapi mereka terus ingin hidup, dan bertahan hidup”. Sejak itu
Jaliah berubah, terlihat mendapatkan kembali semangat hidupnya. Kedua orang
tuanya sangat berterima kasih kepada orang-orang sisa dari para tahanan yang sudah
dilepas itu.
Karman
dan Kanapi baru saja dari rumah Jaliah. Keduanya menemui Wardik. Keduanya
bilang, karena calon bayi yang didalam kandungan itu, sudah dimusuhi sejak
mulai ada. Keluarga itu sepakat bila anak itu nanti lahir akan diberikan ke
orang. Tapi Wardik ragu itu akan terjadi. Siapa pula yang mau menerima bayi
dalam keadaan sesulit ini. “Ya mudah-mudahanlah ada yang berbaik hati
menerimanya”.
SERING
dia dengar orang-orang bilang, bahwa ada sesuatu yang tak bisa diduga manusia.
Langkah, rezeki pertemuan, maut. Beberapa hari sesudah niat keluarga Jaliah
akan menyerahkan anaknya kepada orang. Wardik dikunjungi mbak San nya. Mbak San
nya pamit, dia akan menikah. Meski tak sangat kaget. Wardik kaget juga memang.
Wardik menanyakan, siapa pula yang mau menikahinya. “Pak Mansyur, Dik. Apa
kira-kira kau setuju apa tidak?” Wardi
bilang dia kenal pak Mansyur sejak dia dijalan Gandhi. Berlagak tua, Wardik
berharap agar mbak San nya berlaku baik, jangan sampai pak Mansyur sakit hati.
Sebenarnya Wardik cuma sambil lalu cerita tentang Jaliah yang mau memberikan
bayinya bila lahir nanti. Tapi, mbak San nya malah menanggapinya, menanyakan
sudah berapa bulan usia kehamilannya, kapan kira-kira Jaliah melahirkan.
“Mungkin dua bulan lagi atau lebih. Aku tak tahu sudah berapa bulan usia
kehamilannya”. Karena Wardik cuma asal-asalan. Dia alihkan cerita, menanyakan
kapan dia mau menikah. Mbak San nya minta surat persetujuan Wardik, Surat
pemberian kuasa perwalian pada Tuan Kadi yang menikahkan. Jawaban ini membuat
dia sadar, bahwa dia sudah menjadi wali, pengganti orangtuanya. Ayah mereka.
Wardik yang masih belum menikah, sudah menjadi wali. Wali dari kakaknya.
Ditanyainya lagi mbak San nya, “kalau hari ini kubuatkan?”. Enak saja dia
jawab. “Ya, besok”. Wardik membuat surat kuasa perwalian yang diwakilkan pada
Tuan Kadi, untuk menikahkan kakak kandungnya. Ditanda tanganinya.
Waktu menerima Surat Kuasa mbak San nya bilang;
bahwa dia ingin mengangkat anak Jaliah menjadi anaknya. Wardik kurang yakin,
bukankah mengurusi bayi itu merepotkan. Tapi begitupun, dia yakinkan mbak San
nya, dia akan sampaikan hal ini kepada keluarga Jaliah. Mbak San kembali ke
Medan. Dijumpainya Karman dan Kanapi. Sore harinya mereka kerumah Jaliah
mengabarkan, apa yang menjadi keinginan mbak San nya. Wardik mengantarkan
sayuran kerumah Jaliah, setelah sebulan mbak San nya mengabari tentang rencana
pernikahannya dengan pak Mansyur.
Sebenarnya
sekalian melihat keadaan Jaliah apakah anaknya sudah lahir.
Dijumpainya
Jaliah sedang kesakitan memegangi perutnya. Wardik menanyakan orangtua dan
adiknya Inur dimana. “Diladang”, jawabnya, terus merintih kesakitan. Dia bilang
pinggangnya terasa sangat pegal. Wardik segera berlari kekedai kopi yang
diseberang jalan, menemui nenek pemiliknya.
Diceritakannya
keadaan Jaliah. Nenek itu memanggil cucunya, untuk menggantikannya menjaga
kedai. Dia sendiri bergegas menuju rumah Jaliah. Melihat keadaan Jaliah nenek
itu menyuruh Wardik memanggil kerabat Jaliah yang rumahnya tak begitu jauh.
Sesudah mengabari Ijem, kerabat Jaliah itu, Wardik kembali ke barak mengabari
Kanapi dan Karman.
Tiga
hari kemudian mereka bertiga kerumah Jaliah. Anak Jaliah, perempuan. Seisi
rumah, mengucapkan terimakasih, untuk bantuan orang-orang kurungan itu selama
ini.
Besoknya
Wardik pergi ke Medan, menjumpai mbak San nya, mengabari, bahwa bayi itu sudah
lahir. Dua minggu sesudah itu mbak San nya datang membawa kain panjang, kain
sarung dan semua peralatan bayi. Tak lupa kertas meterai untuk ditandatangani
Jaliah, sebagai bukti menyerahkan anaknya pada mbak San nya.
Begitu
mbak San nya datang, keluarga itu sudah berubah fikiran. Mereka bilang, mereka
tak sampai hati melihat mata sang bayi seakan minta agar dirinya jangan
diberikan kepada orang lain. Mbak San nya maklum akan hal itu. Kain panjang,
kain sarung dan semua peralatan bayi yang dibawanya, ditinggalkan. Hadiah untuk
kelahiran bayi Jaliah, katanya. Hari itu juga dia kembali ke Medan.
Entah
berapa hari, sesudah mbak San nya datang. Sore itu Karman membawa pesan kepada
Wardik dan kawan-kawannya, malam itu diundang datang kerumah Jaliah.
Malamnya
mereka datang bertiga, dia, Karman dan Kanapi. Mereka bertiga kaget, seluruh
keluarga dan kerabat dekat Jaliah sudah berkumpul dan menunggu. Ketiganya
bingung, dalam hati menduga-duga. Entah apa yang akan dimufakatkan. Meski
begitu mereka ikut duduk setelah dipersilahkan.
Menit-menit
menunggu, membuat ketiga mereka kikuk, terutama Wardik. Baru setelah ada
penjelasan dari ayah Jaliah, kekikukan mereka bertiga hilang.
Ayah
Jaliah menjelaskan maksud pertemuan itu. Katanya, karena bayi anak Jaliah
selama ini sudah dimusuhi. “Terakhir kakak nak Wardik sudah datang berniat
menjadikannya anaknya. Tapi kami, tak sampai hati. Hingga akhirnya kami
memutuskan, akan membesarkannya dirumah kami ini. Begitupun kami sudah
berunding dan mufakat, untuk mengembalikan semangatnya. Kami mau nak Wardik
mengakuinya, hanya pengakuan menjadi anak, anak nak Wardik. Apa nak Wardik
tidak keberatan”.
Mereka
bertiga saling pandang. Melihat Karman dan Kanapi mengangguk. Wardik bilang dia sepakat. Untuk
itu ada upacara pengakuan terhadap sang bayi.
Inur,
Ijam dan seorang kawannya lagi, mengeluarkan pulut kuning yang ditaruh diatas
talam, serta gemblong yang ditaruh diatas tampah, juga urap yang mereka taruh
diatas piring.
“Begini
nak”, ayah Jaliah menerangkan acara yang akan menjadi keharusan. “Menurut kami
suku Banjar, hal ini harus diadati. Walaupun kurang sempurna, tapi ini sudah
memenuhi keharusan adat. Nanti gemblong ini nak Wardik belah dengan pisau,
ucapkan Dua Khalimah Sahadat. Dan Jaliah akan memberikan bayi ini dan
meletakkannya dipangkuan nak Wardik. Lalu bayi, nak Wardik namai. Terserah
siapa namanya. Itulah yang akan menjadi namanya, seumur hidup”.
Gemblong
dihadapannya, dibelahnya, melafaskan Dua Khalimah Sahadat. Dan Jaliah
memberikan bayi, meletakkannya diatas pangkuan Wardik. Begitu bayi berada
dipangkuannya mereka yang hadir serentak berujar, “beri nama anak itu”. Dari
semula dia tak menduga ada acara seperti itu, apalagi menyiapkan nama. Wardik
teringat Yusdi, putri Minang yang pernah meminangnya menjadi suami. “Baiklah”,
dengan membaca Basmalah, Wardik memberi nama bayi, “anak ini kutabalkan namanya
Yuswarni, Sri Yuswarni”. Usai penabalan bayi menjadi anaknya, ada makan
bersama. Berjalan menuju pulang ke kandang Wardik terkekeh, “Ini baru aneh, aku
belum pernah nikah, sudah jadi ayah”. Karman bilang dia yakin, ayah Yuswarni
bila mendengar hal ini, pasti dia akan datang.
BENAR
kata Karman entah dari mana Sunardi dapat berita, dia langsung datang dan
membawa pakaian bayi. Tapi hati Jaliah sudah tertutup. Menammatkan kisah kasih
mereka berdua.
Pertengahan
April, 1978. Marjoko mengabari Wardik, katanya Komandan bilang, bahwa bulan
depan akan ada lagi yang akan dibebaskan, gelombang kedua. Dan komandan juga
menyebutkan kalau gelombang kedua ini, semua tahanan yang disangkut pautkan
dengan G 30 S/PKI di seluruh Sumatera Utara akan dibebaskan semua, kecuali yang
sudah diadili.
Tapi
kalau Wardik bebas, bingung mau pulang kemana. Yang pasti, dia tak akan pulang,
untuk menetap kekampungnya lagi.
Marjoko
menyarankan agar dia kerumah Subandi dulu. Setelah itu katanya, bersama-sama
mengontrak rumah. “Cak, aku punya sedikit modal. Nanti kita buka usaha
bersama”. Wardik manggut-manggut saja, entah dia kira barangkali Wardik setuju,
padahal Wardik cuma paham maksud baiknya. Ketika dia bilang, dia nikah dulu.
Wardik terkekeh-kekeh, sambil memaki “cukimai, kalau cak Kijo menikah dulu, itu
artinya aku ngawulo sama cak Kijo. Aku enggak mau. Sudahlah, cak, aku pasti
bisa hidup di Medan”. Marjoko ikut terkekeh. “Nah begitu, itu baru semangat”.
Wardik
sangat berharap berita yang dibawa Marjoko itu benar. Dia sudah berketetapan
hati tak akan pulang unuk menetap dikampungnya.
Dipertengahan April itu juga, komandan datang kesanggar. Dia menyuruh
Wardik membuat ukiran Jaka Tarup, akan jadi kenang-kenangan, katanya. Tapi
bukan kisah para bidadari mandi di telaga, atau Jaka Tarup sedang mencuri
selendang. Lettu CPM Munir ingin dibuatkan, ukiran, kisah Jaka Tarup yang lain.
Jaka Tarup yang sedang menggendong bayinya, melihat keatas putri Nawang Wulan
terbang meninggalkannya. Wardik disuruhnya meminta papan jelutung pada Kijo
Marjoko. Lalu Wardik diberi uang seribu rupiah, untuk beli rokok, katanya.
Sebelum
dia balik kanan. Wardik menanyakan kapan ukiran Jaka Tarup itu harus
diselesaikan. Komandan itu bilang, secepatnya, karena tak berapa lama lagi mereka
akan dibebaskan.
Katanya
lagi ukiran itu akan digantungkannya diruang tamu. Kalau Wardik datang
kerumahnya, bila sudah bebas nanti, pasti akan melihatnya.
Ukiran
itu diselesaikan Wardik dalam tiga hari. Ukiran terakhir yang dibuatnya
dikurungan. Kurungan yang dibuat penguasa dinegerinya sendiri, penguasa
bangsanya sendiri.
Sampai
saat itu, Wardik belum tahu mau kemana, kalau dia dibebaskan nanti. Tapi
begitupun dia berusaha agar dilihat kawan-kawan senasib, bahwa dia. Wardik,
seakan-akan sudah ada yang menunggu diluar sana.
Ada
beberapa orang yang sudah dibebaskan datang berkunjung kekurungan, diantaranya
Sahnen. Sahnen setelah dibebaskan pulang kekampungnya, katanya dia masih sulit
menyesuaikan diri. Kerja belum punya.
Dia
membantu emaknya berladang. Kawan-kawan sebayanya sudah pada berumah tangga.
Wardik asal asalan menyuruhnya, agar dia juga cepat-cepat nikah, berumah
tangga. Cuma guraunya. “Lelek jangan kira biaya perkawinan itu murah. Aku akan
memerlukan lima tahun lagi mengumpulkan uang. Mana pakaianku habis kemalingan”.
Dia
cerita, bahwa selama ini tidurnya di Masjid. Malam itu emaknya membantu orang
yang sedang mengadakan pesta mengawinkan anaknya. Paginya baru dia tahu
rumahnya dibobol maling. Pakaiannya tinggal yang dipakainya, cuci kering. Waktu
dia pulang, Wardik memberinya 3 pasang pakaian, dibungkus dengan koran bekas.
Dia bilang kalau Wardik bebas, dia akan ikut Wardik. 19 Mei, 1978 semua para
tahanan diumumkan akan dibebaskan.
Malamnya,
diadakan keramaian dikomplek tahanan. Ada pertunjukan ludruk dari group ludruk
Indra Pura.
Wardik
menyempatkan, menjumpai keluarga Jaliah untuk pamit. Bayi mungil yang menjadi
anak “akuan” nya sudah lelap tertidur, wajahnya teduh. Wardik selain akan pamit
juga menyampaikan keinginannya. “Bang, biarlah saat ini kami yang akan mengasuh
Iyus, nanti kalau dia sudah besar, kami akan ceritakan, bahwa yang
menyelamatkannya adalah orang-orang tahanan. Dan dia menjadi anak “akuan”
abang”. Begitu jawaban Jaliah ketika, Wardik bilang, bahwa nanti bila dia sudah
berumah tangga dan keadaannya sudah lumayan si Yus akan dibawanya.
Sebelum
dia kembali kekeramaian yang ada dikandang, Wardik janji, suatu kali nanti dia
akan sempatkan datang menjumpai mereka. Wardik minta didoakan dan minta maaf
bila ada kata dan langkahnya yang salah.
Keramaian
terus berlanjut sampai pukul empat pagi.
Masih
dikemeriahan keramaian itu, semua para tahanan yang akan dibebaskan, satu
persatu diperintah kan menuju, dan naik ke truk militer yang sudah ber- jejer
menunggu sejak malam tadi.
Setelah
semua truk berisi penuh, beriring bergerak meninggalkan Inrehab Tanjung Kasau,
menuju arah Medan.
Beda
memang, kalau yang lalu para tahanan dibebas kan dari komplek kurungan itu,
kali ini akan dilepas di markas Pomdam II Bukit Barisan, di jalan Sena Medan.
Komplek ini juga pernah menjadi komplek kurungan yang diakhir tahun 1965,
sampai ketahun 1967.
Pukul
tujuh pagi belasan iring-iringan truk militer yang mengangkut para tahanan
belasan tahun itu, memasuki komplek Markas Polisi Militer. Relief Gajah Mada
olesan kepiawian tangan Puji Tarigan terpampang didinding depan gedung, sudah
terlihat dari jalan membelok ke komplek.
Semua
diperintahkan agar turun dari truk. Istirahat, menunggu upacara pelepasan.
Pukul 8 pagi, perintah apel. Ada pengarahan dari Komandan Pomdam II Bukit
Barisan. Semua dipanggil namanya, satu persatu menerima surat bebas. Surat
bebas itu diterima Wardik, dikantongi tanpa membaca isinya. Masuk kebarisan
lagi.
Ketika
semua nama sudah dipanggil dan menerima surat bebasnya masing-masing, barisan
dibubarkan. Jadilah semua yang dibebaskan itu menjadi orang bebas.
Hampir
semuanya orang-orang yang dibebaskan itu, dijemput sanak keluarganya.
Lapangan
yang didepan markas Pomdam sudah lengang, tinggal para petugas yang terlihat
lalu lalang dihalamannya. Wardik sendirian. Ransel berisi pakaian tersandang
dibahunya. Bingung, entah gamang, mau ke Barat atau mau ke Utara. Untuknya sama
saja. Medan, ibukota Sumatera Utara, pernah lama dia menjadi warganya.
Sayangnya warga yang tak tercatat dikantor kependudukan, baik di kantor sipil
kota, maupun dikantor kecamatan atau di kantor kelurahan, malah tak tercatat di
kantor kepala lingkungan. Tapi namanya sudah tercatat di administrasi tempat
penyiksaan jalan Gandhi dan penjara Sukamulia, juga TPU C KM 7 jalan Binjai. (Tempat ini
dikosongkan, semua penghuninya dipindahkan ke tempat-tempat kurungan lain atau
dibebaskan. Area yang dikelilingi tembok tinggi itu, ketika semua para tahanan
dibebaskan, sudah menjadi komplek Markas Kodam II Bukit Barisan. Jadi tempat
itu, tak sempat berganti nama menjadi Inrehab).Tak menyangka, ada suara orang
memanggilnya. Mas Bandi, iparnya, mengenderai sepeda mendekat. Sepedanya
dicagakkan.
Abang
iparnya itu bilang, dia tak tahu bahwa Wardik ikut dibebaskan. Tadi pagi kebetulan
dia mendengarkan warta berita di RRI, bahwa pagi hari ini ada upacara pelepasan
para tahanan G 30 S/PKI.
“Sekarang
lelek ikut aku kerumah, selanjutnya, ya, lelek. Terserah lelek mau kemana.
Persoalan Lelek tak mau campur dengan mbak Yus mu, itu urusan nanti”. Wardik
bilang bahwa dia sudah bingung mau kemana.
Wardik
dibonceng abang iparnya, meninggalkan markas Polisi Militer itu. Membelok
kekiri memasuki jalan Sutomo arah ke Utara. Menurut mas Bandi nya, rumah mereka
di Tanjung Mulia. Dimana Tanjung Mulia itu sudah pasti dia tak tahu. Wardik
menanyakan, rumah mereka seberapa jauh. Dijawab, jauhnya cuma sebatang rokok.
dia ketawa diboncengan, “Itu kalau rokoknya diselipkan di telinga”. Tawa dua
manusia ipar ber-ipar itupun lepas, tak ada yang menghalangi ataupun
melarangnya. Dibebaskan dari keterasingan malah membuat Wardik merasa terasing.
Gamang dikeramaian. Dua hari dirumah mbak Yus nya, dia diantarkan abang iparnya
kerumah mbak San nya di Martubung.
Menginap
semalam. Banyak cerita yang didapatnya dari abang iparnya; yang sebelumnya
Wardik menyebut-nya, pak Mansyur. Mulanya gagap menyebutkan bang Mansyur.
Cerita, bagaimana mereka masa sekarang ini disibukkan dengan memelihara ternak,
bebek, ayam ada juga lembunya. Adik-adik Wardik ikut membantu, sekalian menjadi
beban mereka. Santo, Ambran dan Subali, lain lagi kemenakannya; anak-anak mbak
San nya, Agus, Maisih, Dinah dan Jety.
Wardik
sudah berketetapan hati, kalau dia tak bisa membantu, setidaknya dia tidak akan
menjadi beban mereka. Menginap semalam melepas rindu, paginya Wardik pamit ke Tanjung
Mulia. Kerumah Basiman.
Sore
dibebaskan, dia menemui Basiman, diantarkan abang iparnya, mas Bandi nya. Dua
kilo meter dari rumah mereka. Basiman dibebaskan tahun 1974. Dia membuka usaha
kerajinan ukiran kayu. Wardikpun ditawari membantunya. Langsung hari itu Wardik
mulai mengerjakan ukiran kepala tempat tidur, dari kayu jati. Sore sehabis
kerja dia menginap ditempat mbak Yus nya.
Belum
sebulan, ada masalah. Kalau Basiman keluar, yang menjadi majikan, isterinya.
Rewelnya bukan main, membuat Wardik tak betah. Kerjanya yang terlalu lambanlah,
dan lain sebagainya. Apalagi pendapatannya tak ada peningkatan. Dari pada dia
ribut dengan Basiman, lebih baik dia mengundurkan diri. Basiman memang
memakluminya. Walaupun, dia sebenarnya masih sangat memerlukan Wardik bekerja
dengannya. Saat Wardik pamit, Basiman memintanya membuatkan mal. Acuan untuk
ukiran kepala tempat tidur, dengan motif ukiran dari Jepara. Diberikannya
selembar karton. Wardik mengerjakannya dirumah mbak Yusnya. Malam itu
diselesaikannya. Besoknya diserahkannya pada Basiman, dia diberi uang lima
puluh ribu rupiah. Dua puluh ribu diberikannya pada mbak Yus nya, selebihnya
dikantongi. Besok dia mau ke Padang Halaban ziarah ke makam emaknya.
Selepas
subuh, Wardik keluar dari rumah mbak Yus nya. Kestasiun Kereta Api, naik Bemo
yang ke Sentral Pasar, turun tepat didepan pemesanan tiket. Memesan tiket
Medan-Padang Halaban, 5000 rupiah. Pukul 2 siang, sudah turun di peron Stasiun Kereta Api
Padang Halaban.
Berpaling,
dia tak pernah lupa, rel dijalur tiga. Jalur Kereta Api Padang Halaban-Rantau
Prapat pukul 5 pagi. Ingat masa kanak-kanaknya. Sejak desa-desa disekitar
perkebunan digusur, tak ada lagi Kereta Api pagi. Tak ada lagi hasil bumi yang
akan dibawa. Semua tinggal kenangan. Ditawarnya ojek, langsung ke Patok Besi.
Kepemakaman.
Ditanyakannya
ke juru kunci pemakaman, dimana makam emaknya. Wardik lalu membersihkan makam
emaknya dari rerumputan. Dia tak diberi kesempatan ikut mengebumikan emaknya.
Hari ini dia datang dan berdoa untuk emaknya.
Malam
harinya Wardik menginap di rumah adiknya, Suwartik. Besoknya kembali ke Medan.
Di Stasiun Besar Medan penumpang semua sudah turun, Wardi memilih paling
terakhir. Tak ada yang menjadi tujuannya. Tak ada arahnya melangkah.
Dengan
ransel tersandang di bahu. Isinya beberapa pasang pakaian dan sendal jepit. Langkah
yang tak terarah berhenti didepan Kantor Pos. Didinding atas ada lukisan kaca,
bergambar burung merpati pengantar surat.
Burung
merpati pengantar surat itu terbang kesana-kemari punya tujuan, punya arah.
Dia, melangkah tak punya tujuan, tak punya arah. Setidaknya, dia harus mencari
dimana tempatnya beristirahat.
Dia
dapatkan. Didepan Kantor Pos, dilapangan Merdeka, ada tribun. Tempat para
petinggi di Provinsi ini berpidato bila ada acara-acara kenegaraan.
Diputuskannya,
dia kesana.
Sudah
seminggu dia menjadi penghuni tribun di lapangan Merdeka itu. Siang dia mencoba
mencari kerja, malamnya dia tidur dilantai tribun.
Di
depan Kantor Pos, banyak berdiri kios-kios. Para pedagang menggelar barang
dagangannya. Ada seorang pedagang rokok, sekalian menjual perangko, kertas
meterai, koran dan majallah. Wardik tergerak, mengapa tak mencobanya, menjual
koran dan majallah di stasiun Kereta Api. Pagi itu didatanginya si pedagang
rokok. Dia sudah kenal, karena selama di
tribun setiap hari beli rokok di kiosnya. Awik namanya, begitu didengarnya
orang-orang memanggilnya. Wardik bilang, bahwa dia mau menjual koran dan
majallahnya di stasiun Kereta Api. Awik tak usah membayarnya, asal diberi
makan. Wardik diserahi tigapuluh lembar koran, tiga jenis. Dan dua belas
berbagai majallah. Awik bilang, kalau habis ambil lagi.
Pagi
itu Wardik mulai berjualan koran dan
majallah di stasiun kereta api. Dihari pertama koran terjual habis semua,
sedangkan majallah tinggal dua. Dua bulan, hari-hari berjualan koran dan
majallah dilaluinya. Tetap menjadi penghuni cuma-cuma tribun lapangan Merdeka.
Tak
seorangpun kenalannya jumpa.
Dia
rindu. Rindu suasana meriah, seperti dulu masa dipengasingan.
Sore
itu para penumpang Kereta Api dari Rantau Prapat turun. Wardik menawarkan koran
dan majallah. Kadang dia tersenyum sendiri. Salah menawarkan berita hari itu,
padahal berita itu ada dihari kemarin nya.
Asyik
menawarkan koran dan majallah, ada yang memanggil. Yang dipanggil tentu bukan
namanya, nama koran yang dijajakannya. Tapi suara itu sepertinya sudah akrab dengan telinganya. “Mbak Rohana”,
sapanya. Perempuan itu, terheran-heran, agaknya dia pangling. “Aku Wardik,
mbak”. Perempuan itu memukul-mukul bahu Wardik, tak menyangka Wardik yang
menjajakan Koran dan majallah itu.
Lalu
membayar majallah. Perempuan yang disapanya mbak Rohana itu bilang bahwa dia
baru dari Padang Halaban, “melihat emak”, katanya. Ngobrol dikeramaian stasiun,
pasti tak mengenakkan, tentu tak nyaman. Wardik menanyakan alamatnya. Di Jalan
Sutomo ujung Komplek VDM, katanya. Perempuan itu lalu pamit. Laki-laki yang
bukan lagi remaja itu, sipenjual koran dan majallah, terus menawarkan koran dan
majallah, dagangannya.
Tak
susah mencari rumah mbak Rohana, perempuan yang dijumpainya disetasiun kereta
api itu, hampir semua orang mengenalnya di komplek itu. Mbak Rohana ingin
mendengar ceritanya, kapan dia bebas dan cerita lain sesudah dibebaskan. Apakah
Wardik sudah pernah kerumah mbak San nya dan bagaimana tentang adik-adik Wardik.
Juga apakah Wardik sudah pernah ke Padang Halaban. Dan bagaimana sekarang
keadaan mbak Yus nya dan mas Bandi nya.
Dia
ceritakan semuanya tanpa kecuali.
Terakhir
Wardik menyampaikan maksudnya. Dia ingin tinggal bersama mereka untuk
sementara.
Perempuan
yang dipanggilnya mbak Rohana itu dan suaminya Pardi setuju, asal Wardik mau
membantu mereka membiayai makan dirinya sendiri. Maksudnya seperti orang bayar
makan.
Sepulang
dari komplek diujung jalan Sutomo itu Wardik pamit pada Awik pedagang kaki lima
didepan Kantor Pos itu.
Dia
tinggalkan lapangan Merdeka dengan tribunnya, mulai tinggal menumpang di rumah
Rohana. Hari itu juga dipinjamnya sepeda Pardi. Dia kerumah mbak Yus nya, ingin
tahu dari mas Bandi alamat rumah Zul
Iskandar. Zul Iskandar pernah berpesan, bila Wardik bebas datang kerumahnya.
Bandi mencatat alamat itu. Di jalan Krakatau simpang jalan Perwira.
Dia
datangi alamat rumah itu. Dia beruntung. Zul Iskandar mengajaknya ikut bekerja menata
taman. Katanya namanya dekorasi eksterior. Wardik tahunya menata taman.
Laki-laki yang dipanggilnya bang Zul Iskandar itu, sebelum petaka itu terjadi
bekerja sebagai wartawan di Koran Harian Harapan, bisa melukis dan, membuat
patung, serta piawi menata taman.
Besoknya
Wardik sudah bekerja menata taman dengannya. Sorenya dia pulang kerumah mbak
Rohana. Tak setiap harinya ada pekerjaan menata taman, kadang-kadang kosong.
Dalam
keadaan tak ada pesanan, Wardik bekerja apa saja. Yang penting dia bisa memberikan
uang pada mbak Rohana untuk biaya bayar makannya.
Sudah
setahun tinggal di komplek Sutomo ujung itu. Wardik mendengar ada sanggar
senirupa memerlukan tenaga. Didatangi sanggar itu. dia diterima bekerja, dan
dibolehkan tinggal di sanggar. Sanggar milik pak Kamarudin Nasution, di jalan
Pancing, gang Murni, Medan Timur. Karena letaknya di gang Murni itu sebabnya
barangkali sanggar itu namanya, “Sanggar Murni”.
“Sanggar
Murni”, meskipun bila hujan bocor, tapi lumayan. Dia sudah tak membebani orang
lain lagi. Lebih tenang.
Wardik
tak pernah lupa pada mbak Rohana, kadang dia menginap sampai dua malam
dirumahnya.
DALAM
kesendirian, ada yang membuat kegelisahan. Rindu. Iya rindu. Alamatnya masih
dia simpan. Minggu libur di sanggar. Naik sepeda pinjaman, Wardik menuju
Sukaramai, gang Danau Maninjau. Rumah itu, tempat tinggal abangnya. Abangnya
bilang, Ambar ke Siantar. Ada cerita memang. Dia diterima dirumah itu sebagai
tamu. Dijamu minum dan sedikit penganan ringan. Tapi ujungnya menyakitkan.
Wardik ditanya, apakah dia menyayangi
Ambar. Tentu saja jawabnya, benar, sangat menyayangi Ambar. “Kalau benarf dik
Wardik benar-benar sayang, jauhilah Ambar”. Inilah ujung-ujungnya, membuat dia
marah pada dirinya sendiri, sedih, juga malu. Seolah-olah abangnya bilang.
Lihatlah dirimu itu, siapa kau? Atau, inilah sindiran, agar Wardik mengaca.
Wardik pamit. Pulang ke Sanggar Murni. Kegelisahan selama ini buahnya
kegoncangan. Lama goncangan itu menggumulinya tak mau melepaskannya, mimpi
buruk membuat dia linglung. Tak mungkin berharap lagi, tak ada gunanya.
Kalaupun dia mengajak lari Ambar, dengan apa dan kemana.
Akhirnya,
diputuskannya. Sudahlah, dan “selamat tinggal Ambar”. Meski selalu berharapkan
mimpi jadi kenyataan, tapi kenyataan itu
tetap bukan mimpi. Dia buang jauh-jauh goncangan itu.
Dua
tahun sudah menghirup udara bebas. Mbak San nya mendesak agar dia segera
menikah.
Dijawabnya
sembarangan, nikah itukan perlu modal. Dia belum punya apa-apa.
SEKALI
dia jumpa dengan seorang kepala sekolah. Perempuan itu dengan suaminya. Usia
mereka berdua, suami isteri separo baya. Malam itu hampir pukul sebelas malam,
Wardik baru pulang nonton layar tancap di lapangan bola Kebun Pisang. Mobil
mereka mogok, ketika mereka sedang dijalan pulang. Dia hampiri mobil itu.
Mobilnya distarter, tak bisa hidup. Begitu keterangan ibu itu. Wardik bilang
coba buka kap depan. Dia periksa kepala baterai nya. Jepitannya lepas. Wardik
membersihkannya dengan kain lap, kepala baterainya. Lalu disambungkan dengan
penjepit yang terlepas. Ternyata ini penyebabnya. Dicoba mesinnya hidup setelah
distarter.
Wardik
menutup kap depan kembali. Dan pamit. Tapi suaminya, memintanya menunggu. Dia
merogoh kantong, mengeluarkan dompet. Wardik bilang tak usah, dia bukan montir,
dan itu cuma kebetulan.
Setelah
berterima kasih. Ibu itu dan suaminya menanyakan dimana rumah Wardik. Wardik
bilang dia tinggal di sanggar Seni Rupa, di gang Murni. Wardik juga bilang
bahwa dia selain, bekerja sebagai pengrajin ukiran di sanggar itu, juga penata
taman.
Ibu
itu memberikan kartu namanya dan menyuruh Wardik besok kerumahnya.
Kebetulan
besok hari minggu, sanggar libur. dia janji besok akan kerumah mereka. Di
Sampali. Dijumpainya ibu kepala sekolah itu, dirumahnya. Ditawari pekerjaan
menata taman di didepan sekolah, Perguruan SMA Swasta. Sama-sama melihat lahan
yang akan dijadikan taman sekolah. Ukur sana ukur sini.
Dia
terangkan ke ibu itu, bahwa dia akan membuat sketsanya dulu. Dan dengan
perincian apa-apa yang dibutuhkan untuk penataan taman. Bila nanti ada
kesepakatan baru kemudian dikerjakan.
Wardik
pamit kembali ke Sanggar, langsung mengerjakan sketsa taman, serta membuat
rancangan kebutuhan materialnya.
Kebetulan
pesanan yang harus dikerjakan di sanggar, lagi sepi. Disampaikannya tentang
tawaran ibu kepala sekolah itu pada Kamarudin, pemilik sanggar. Diizinkannya,
tapi dia bilang kalau nanti pesanan ada, Wardik harus membantunya.
Tentu
Wardik mengiyakan.
Ibu
kepala sekolah sepakat. Seminggu dia kerjakan penataan taman. Ibu Kepala
Sekolah itu memanggilnya. Dia mengusulkan bagaimana kalau siswa diikutkan
menata taman, maksudnya membantu menata taman. Memenuhi ekstra kulikuler. Dia
juga menanyakan, apakah Wardik bisa mengajar melukis. Dijawabnya bisa. Nanti
dipertemuan guru-guru dengan pihak yayasan akan menjadi agendanya, agar Wardik
diangkat menjadi guru honorer. Itupun kalau Wardik sepakat. Setiap bulan ada
pertemuan, kepala sekolah, guru-guru dengan pihak yayasan. Kebetulan diminggu
itu, jadwal pertemuan diadakan.
Menjadi
guru honorer di SMA perguruan swasta itu. Mengajar tiga hari dalam seminggu.
Sehabis mengajar, dia jajali pekerjaan yang ada disanggar. Itu bila sanggar
mendapat pesanan, tapi bila sedang sepi digunakan waktu selepas mengajar,
mencari kerja ditempat lain. Malamnya, dia sempatkan waktu, membaca buku-buku
senirupa.
ADIKNYA,
Susanto, setelah menikah, menumpang dirumah adiknya Suwarni. Mereka tinggal di
pasar dua Helvetia, Medan. Mereka tinggalkan Patok Besi. Anak pertamanya
meninggal di usia lima hari. Wardik datang bersama anak mbak Rohana. Selesai
pemakaman, dia pamit balik ke “Sanggar Murni”. Tapi adiknya, Suwarni memintanya, mengantarkan salah seorang tamu
ke Sei Batang Serangan, Medan Baru. Tamu itu seorang gadis, usianya
diperkirakannya tak lebih dari 19 tahun.
Diantarkannya
naik angkot, angkutan kota. Gadis pendiam fikirnya. Sepanjang perjalanan dia
diam terus. Setelah dipintu pagar rumahnya pun, dia tidak mempersilahkan Wardik
masuk, juga tanpa terimakasih.
Sombong,
itu yang terlintas difikirannya. Kembali ke sanggar. Wardik baru ingat, bahwa
mereka belum berkenalan. Dia antarkan gadis itu kerumahnya, tapi tak tahu siapa
namanya. Malam Minggu, Wardik keluar sanggar bersepeda. Dia ingin main kerumah
gadis itu. Malam itu kebetulan di Taman Ria ada hiburan khusus Band dari Ibu
Kota. Band nya Koes Plus. Karena Wardik masih belum tahu namanya. Dia bicara
pada ibunya. Wardik bilang, bahwa dia ingin mengajak anaknya, ke Taman Ria, menyaksikan
pertunjukan Koes Plus.
Ibunya
bilang coba saja tanya anaknya, anaknya mau apa tidak. Dia ditertawai. “Anaknya
mau, bu”. Jawab Wardik tanpa menanyakan anaknya. Sianak diliriknya senyum.
Masuk kekamar, keluar sudah dengan dandanan. Cantik.
Terlihat
ibunya senyum. Mau kan. Pamit dengan ibunya.
Wardik
bilang, apa tak malu berboncengan naik sepeda. Dia bilang tidak. Menonton,
berdesak desakan. Baiknya menonton dari jauh saja. Baru Wardik tahu namanya.
Malam itu juga. Dikeramaian itu, Wardik melamar gadis yang baru dikenalnya
kemarin, jadi isterinya. Elya Yuswita. Permintaan Wardik tak dijawab. Wardik
bilang. Kalau tak mau, nggak apa-apa. Jangan diambil hati.
Pukul
sepuluh malam lewat, Wardik mengajak pulang. Wardik bilang, dia tak ingin
ibunya, menjadi khawatir.
Pulangnya.
Dipintu pagar. Dia bilang, kalau Wardik mau jawabannya, besok Wardik harus
datang lagi. Masuk sama keruang tamu Wardik pamit pada ibunya. Pulang kerumah
mbak Rohana. Wardik sudah tahu siapa dia. Ayahnya sudah meninggal. Meninggal,
karena sakit. Anggota Brimob. Sedang ibunya anak kampung Rambung Dalam, Binjai.
Untuk biaya hidup setelah ayahnya meninggal, mereka berdua bekerja di Mess Bina
Marga.
Paginya
Wardik lalu pergi ke Binjai, menjumpai Juah Sembiring. Orang yang dipanggilnya
abang, dia pernah memberikan petunjuk bagaimana menaikkan balok dari lembah
keatas, kepinggir jalan di Suka Luwe.
Wardik
menanyakan,apa ada kenalannya dikampung Rambung Dalam. “Banyak”, jawabnya. “
Dulu, hampir seratus persen kawan kita”, tambahnya lagi. Wardik menanyakan
lagi, apa dia mengenal Warsiah, suaminya anggota Brimob.
“Kenal,
Dik. Andai dia pada waktu itu tidak sedang mengikuti suaminya ke Kisaran,
mungkin dia juga akan ditangkap seperti kita”.
“Kalau
begitu”, kata Wardik. “Aku akan lamar anaknya, menjadi isteriku”. Tentu sehabis
makan siang dirumah Juah. Wardik pun pulang ke Medan. Hati sudah tak ragu lagi,
tak akan mendua. Malamnya, Wardik datang lagi ke mess Bina Marga. “Kalau nak
Wardik memang sudah siap dan sudah berketetapan hati. Ibu harap segeralah orang
tua nak Wardik datang kemari”.
Itu
jawaban ibunya, ketika dikatakannya dia ingin melamar Elya.
Wardik
berjanji akan membicarakan hal tersebut pada abang iparnya dan kakaknya,
kemudian mereka akan segera datang lagi untuk melamar Elya. Mbak San nya sudah
tentu sangat gembira. Seminggu berikutnya, abang iparnya, bang Mansyur dan pak
Nukman datang meminang Elya. Kesepakatan, waktu diberikan dua bulan. Di tempo
dua bulan itu, Wardik sudah harus menyediakan segala keperluan pernikahan. Dia
terus mengajar, dan tetap menjadi orang upahan dan tinggal di “Sanggar Murni”.
Kerja hingga jauh malam. Bukan hanya keperluan pernikahan yang difikirkannya,
tapi dia harus mendapatkan bayaran dan rumah kontrakan.
Pada
29 Februari tahun 1980, jadilah hari itu menjadi hari pernikahannya. Pernikahan
sederhana, cuma semacam pertemuan keluarga.
Ada
pelaminan memang, yang dibuatnya sendiri. Ijab Kabul. Tepung tawar dan iringan
Marhaban. Ada mbak Supri, tentu juga suaminya Hendrik Napitupulu, Anas, Rumandung. Seminggu kemudian, Wardik
memboyong isterinya kerumah kontrakan di desa Helvetia. Jadilah Wardik suami
Elya. Paling tidak, dalam 2 tahun itu, Wardik bukan manusia nomaden lagi. Menompang
kesana, menompang kemari. Jadi guru honorer dan jadi pengrajin, tetap dia jalani.
Terkadang dapat borongan menata taman, terkadang merehab rumah atau
membangunnya, kalau bernasib baik merehab gedung. Wardik sudah tahu alamat
kawan-kawan yang dulunya sama-sama menjadi orang tahanan, yang pernah
diperbudak di perkebunan-perkebunan. Anak-anak mereka diajaknya bekerja
bersamanya, kalau ada pekerjaan yang memerlukan tenaga kerja. Ketika Elya hamil
tua, dia melepas guru honorernya, masalahnya waktu yang dipergunakan untuk
mengajar yang tiga hari itu membuat pekerjaan yang lain menjadi kurang bermanfaat,
kurang mendapatkan lebihan.
Sedang
pendapatan yang diterimanya sebagai guru honorer sangat minim. Juga kebutuhan
akan masa bersalin Elya membutuhkan banyak biaya. Belum lagi nanti kebutuhan
sang bayi. Berhentinya jadi guru honorer pun sudah, disampaikannya pada ibu
kepala sekolah.
Diterangkannya
tentang keadaannya. Kepala sekolah itu mengerti. Kebetulan dia mendapat kontrak
kerja agak lumayan pula dan tenggang waktunya yang diperkirakannya bisa
bertahan lama. Anak pertamanya lahir, 23 November ditahun pernikahan orang
tuanya. Ayah dan ibunya. Ditahun itu akhirnya Wardik punya isteri dan anak. Diawal
tahun 1981, ibu kepala sekolah datang kerumahnya. Pertemuan diawal tahun antara
guru-guru dan kepala sekolah dengan pihak yayasan telah mengambil kesepakatan.
Wardik diterima menjadi guru tetap. Kesepakantan ini, atas usul para siswa,
guru-guru dan kepala sekolah. Diucapkannya terima kasihnya. Namun dia minta
tempo sampai esok hari. Tentunya akan terlebih dulu membicarakan hal ini pada
isteri nya.
Wardik
tahu mengapa para siswa dan guru-guru memberikan usulan agar yayasan menetapkan
dia menjadi guru tetap. Bukan hanya ekstra kulikuler mata pelajaran pada
jam-jam belajar, yang menjadi tugasnya mengajar, seperti, senirupa, drum band,
pramuka dan berenang. Tapi terkadang bila guru-guru perempuan lagi cuti hamil, mata
pelajaran yang diajarkan guru yang lagi cuti, digantikan Wardik. Pihak sekolah
dan yayasan tak susah-susah mencari guru dari sekolah lain.
Ketika
menjadi guru honorer dia pernah mengajar dikelas satu, dua dan tiga, mata
pelajaran sejarah dan ilmu pengetahuan sosial lainnya.
Sepulang
ibu kepala sekolah itu, dia tanya Elya bagaimana pendapatnya.
Dikemukakannya
kontrak kerjanya memang masih agak lama selesainya. Tapi untuk pekerjaan itu dia
hanya memerlukan waktu, cuma untuk mengawasi, kepala-kepala tukang. Itu bisa
dilakukannya setelah tugasnya selesai disekolah. Apalagi kalau tugasnya seperti
kala menjadi guru honorer. Isterinya setuju, apa yang terbaik. Hari Senin, di
minggu kedua awal 1981, Wardik kembali menjadi guru di SMA perguruan swasta
itu. Tidak lagi menjadi guru honorer. Hari itu dia belum bertugas mengajar.
Dijanjikan besok surat penetapan Wardik sebagai guru tetap dikeluarkan dan dia
akan mengajar, seperti tugasnya diwaktu dia menjadi guru honorer. Di semester
dua tahun 1996, Wardik menandatangani kontrak kerja dengan salah sebuah
perusahaan kontraktor yang membangun komplek perumahan Malibu di kawasan
Polonia Medan. Mengawasi dan menyediakan tenaga kerja. Wardik memutuskan
berhenti sebagai guru di perguruan SMA swasta itu. Lagi pula sejak semula dia
selalu khawatir, pada Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 32/1981, tentang
larangan bagi eks tapol dan napol. Diantaranya menjadi guru. Malah yang terjadi
bukan hanya eks tapol dan napol yang dilarang menjadi guru, tapi juga sampai
keturunannya pun dilarang. Ada dosa yang disandang sampai keketurunannya. Uh.
Tahun
1999, Wardik mendapat kontrak membangun pabrik kramik. Pengalamannya sewaktu
dia mendapat kontrak dikomplek perumahan Malibu, digunakannya pada pembangunan
pabrik kramik itu. Wardik dapat kontrak, dari mengawasi tenaga kerja dan
menyediakan tenaga kerja bangunan sampai mengawasi tenaga kerja pabrik dan
menyediakan tenaga kerja pabrik. Wardik mendapat upah yang lumayan. Dari
hasilnya dia bisa membangun rumah sederhana. Empat kamar. Tiga untuk kamar
mereka sekeluarga. Satu kamar agak besar digunakannya untuk kamar tamu,
kalau-kalau, para kerabat, kawan-kawan dari Padang Halaban memerlukan tempat
menginap bila datang ke Medan.
SUDAH
delapan belas tahun dijalaninya hidup bersama Elya, isterinya. Di delapan belas
tahun itu, isterinya melahirkan empat orang bayi. tiga bayi lelaki dan satu
bayi perempuan. Anaknya, anak mereka berdua.
Ada
waktu-waktu Wardik jumpa dengan kawan-kawannya yang dulunya bersama
dipengasingan. Dipesta-pesta perkawinan anak-anak mereka, khitanan anak-anaknya
atau di pesta-pesta perkawinan mereka.
Dipastikan
tentu juga mereka akan berkumpul di pertemuan duka, saat kawan-kawan yang
pernah sama di berbagai kurungan menghadap Chaliknya. Berbagi cerita.
Sampailah
berita itu, dari mulut kemulut dan dari telinga ke telinga. Suharto akan jatuh.
Wardik mulai berfikir. Dia mulai bertanya pada kawan-kawan, yang dianggapnya
tahu banyak hal tentang hal-hal seperti itu. Kalau Suharto jatuh, apa tanah
yang dirampas dulu bisa kembali.
Semua
kawan-kawan yang ditanya menjawab. Untuk mendapatkan hak kembali, diperlukan,
organisasi.
Membentuk
sebuah wadah yang akan menjadi alat memperjuangkan hak-haknya. Inilah permulaan
yang harus dikerjakan, pengorganisasian Mengorganisasi orang-orang yang telah
dirampas haknya. Wardik harus segera ke Padang Halaban. Sudah saatnya dia ke
Padang Halaban, dan jangan ditunda. Dia jumpai Samiran, Sumardi juga
kawan-kawannya yang lain. Dia sampaikan Suharto akan jatuh, mereka harus
siapkan langkah-langkah. Dikatakannya juga, kalau menurut beberapa orang
mahasiswa yang menjadi aktifis di kampusnya, Suharto jatuh tinggal menunggu
harinya. Tanpa organisasi dan perjuangan hak-hak mereka tidak akan
dikembalikan. Begitu katanya pada mereka. Samiran bilang, bahwa bukti-bukti
kepemilikan dan surat menyurat lahan ada beberapa yang disimpannya. Sumardi
menyanggupi, akan menghubungi kawan-kawan, juga akan mencoba mengorganisasi.
Seperti apa bentuknya, nanti difikirkan. Samiran bilang agar tak menjadi
masalah nantinya, buat saja semacam arisan. Sampai disitu kesepakatan. Wardik
pulang ke Medan dengan Kereta Api malam.
Dibulan
Mei 1998, tujuh hari sebelum Suharto jatuh. Wardik membuat acara pengkhitanan
anaknya yang nomor tiga dirumahnya.
Kawan-kawan
diundang datang. Lagi berbagi cerita, berbagi apa yang dia tahu tentang negeri
ini. Tentang mereka yang memegang tampuk kekuasaan. Ceritapun sampai pada
gerakan mahasiswa yang akan menduduki Parlemen di Senayan, hingga Suharto
lengser. 21 Mei Suharto mengundurkan diri. Wardik terus berhubungan dengan
kawan-kawannya di Padang Halaban. Mereka
sudah membentuk organisasi, para petani yang pada kekuasaan Suharto dirampas
tanahnya, dirampas hidupnya.
Kelompok
Tani Padang Halaban dan Sekitarnya. Menuntut pengembalian tanahnya. Samiran
diangkat menjadi ketua nya. Di Medan Wardik bergabung di Agresu, Aliansi
Gerakan Reformasi Sumatera Utara, belakangan pada kongresnya yang ke-2 menjadi
Aliansi Gerakan Rakyat Sumatera Utara. Singkatannya tetap Agresu. Bersama
dengan para aktifis mahasiswa berkeliling membangkitkan kesadaran para kaum
tani yang ketika Orde Baru berkuasa tanahnya dirampas. Mereka harus bersatu,
melawan kezaliman para petinggi yang berkuasa.
28
Oktober 1998. Untuk pertama sekali aksi kaum tani dimulai. 5.000 petani, dari
kabupaten Labuhan Batu, Asahan, Deli Serdang dan Langkat menyatu dalam barisan
unjuk rasa ke kantor Gubernur dan kantor DPRD Sumatera Utara. Unjuk rasa
bermalam dikantor DPRD. Mereka bilang ini rumah wakil rakyat, itu artinya rumah
rakyat dan mereka berhak menginap dirumahnya sendiri. Malam itu kaum tani dan
para mahasiswa berhasil membentuk wadah aliansi empat kelompok tani di empat
kabupaten yang ikut pada aksi unjuk rasa itu. Sebuah organisasi kaum tani, yang
ketika dimasa Orde Baru tak akan dibenarkan selain organisasi kaum tani yang
dibentuk kekuasaan. Wadah itu dinamakan, Gerag, Gerakan Reformasi Agraria.
Para
Aktifis mahasiswa itu mengatakan bahwa melalui Gerag, kaum tani diempat
kabupaten, disemua kabupaten di Sumatera Utara akan berani mengangkat muka
tanpa takut lagi terhadap penguasa. Tahun diawal reformasi, adalah tahun-tahun
aksi. Tahun-tahun unjuk rasa. Setiap ada aksi kaum tani, Wardik ikut. Terkadang
kawan-kawannya dari Padang Halaban sedikitnya satu gerbong Kereta Api, ikut
aksi datang ke Medan.
Kawan-kawan
para mahasiswa ada yang menjadi korban penembakan. Unjuk rasa di Tanjung
Morawa, sembilan kawan mahasiswa di rawat dirumah sakit Elisabet. Dua sampai
tiga orang tertembak kakinya, dengan peluru tajam atau dipukuli dengan tongkat
oleh petugas, luka-luka. Di Langkat, di Pancur Batu unjuk rasa kaum tani tak
terbendung. Begitu juga aksi-aksi unjuk rasa didesa-desa pinggiran perkebunan
disemua daerah kabupaten di Sumatera Utara.
Kaum
TaniPadang Halaban berkali-kali, mengadakan aksi sampai pada pemerintahan
SBY-JK. Tanah yang dirampas belum juga kembali. Para aktifis yang dulu menjadi
penggerak, entah sudah kemana. Mereka datang hanya dibatas lima tahun sekali.
Atas nama partainya. Untuk memenangkan partainya dan dirinya, duduk menjadi
anggota dewan. Sebagai wakil rakyat diparlemen. Di pusat maupun diprovinsi,
kabupaten dan kota. Tapi kaum tani Padang Halaban terus, tak hentinya berjuang sampai
mendapatkan kembali haknya.
“Karena, pancang itu,
adalah janji yang menjadi keyakinan mereka sampai hari ini dan nanti. Pancang
itu bagi mereka adalah garis demarkasi. Dan pancang itu, bagi mereka adalah
rekat-rentak senandungnya menapak matahari” *** Medan, 4 Februari 2011.
***
Halllo, saya sedang mencari tahu keberadaan film turang dan mendapatkan artikel ini, maaf, boleh saya tahu info film turang diputar dimana? kalau boleh saya juga ingin meminta no yang bisa dihubungi. terimakasih banyak
BalasHapus